Siang
tadi, 15 Oktober 2018, saya pertanyaan dari Faliqul Jannah Firdausi, rekan saya
sejak kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Pertanyaan
tersebut tentang kemungkinan Faliqul untuk mengadaptasi kebiasaan membaca (dan
menulis) saya. Mungkin Faliqul berinisiatif menuduh bahwa saya pembaca yang
tekun—atau menyindir kebiasaan membaca yang tidak pernah tuntas.
Tanpa
berlama-lama, saya hanya menjawabnya mungkin, disertai uraian panjang tentang
beberapa kebiasaan yang mendukung. Salah satu bagian dari tuturan tersebut
ialah saran saya kepada Faliqul untuk mengingat ‘Mestakung’. Gagasan yang
disampaikan oleh Yohannes Surya tersebut punya dasar kuat dari Fisika Kuantum,
yang sudah mengalami ujicoba berulang kali, baik oleh Yohanes Surya terhadap
Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) maupun saya terhadap diri sendiri.
Pertanyaan
Faliqul tersebut nyaris selaras dengan Muhammad Haikal Aufan, siswa kelas X C
MA NU TBS Kudus pada 9 Oktober silam, serta Muhammad Muktafa Nasrul Lubab,
siswa kelas X B kemarin. Haikal mulanya bertanya tentang peran tidur dalam
keseharian yang, setelah terjadi percakapan, disebutkan kalau tujuannya agar
dapat belajar maksimal. Sementara Lubab, meminta cerita mengenai pembagian
waktu dalam sehari.
Kepada
Haikal, pada waktu itu saya menjawab kalau tidur punya peran penting dalam
mengistirahatkan ‘mesin tubuh’. Lebih lanjut saya menyampaikan kalau tidur
selama 4 jam/hari sudah cukup. Jawaban tersebut sepenuhnya saya copy-edit-paste
dari tuturan Bu Setiya Utari, guru saya sejak kuliah, yang mengungkapkan kalau
dirinya biasa tidur selama 2 jam/hari.
Tuturan
tersebut saya amini karena saya sudah mengamati sendiri kebiasaan Bu Utari,
lalu saya imani setelah didukung Ryu
Hasan dan Nurussyariah Hammado, perajin neurosains, yang bilang bahwa satu
siklus tidur pada umumnya berlangsung selama 90 menit. Artinya, kalau setiap
hari kita tidur selama 90 menit, kebutuhan istirahat sudah cukup. Jadi tidurnya
Bu Utari itu sudah 2 siklus lebih sedikit.
Sementara
kepada Lubab, yang ketika bertanya didukung oleh rekan sekelas karena sudah
merasa megap-megap menerima materi grafik pembelahan biner bakteri Eschericia
Coli terhadap waktu untuk menggambarkan empat fase pertumbuhannya, saya
mengungkapkan agar segera mengatasi kejenuhan.
Banyak
cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi kejenuhan, seperti mencari ruang yang kaya
kandungan oksigen (O2), minum air putih (H2O), mengobrol
dengan orang lain, melakukan perenggangan badan, maupun mendengarkan musik. Bahkan
kalau memang dibutuhkan, sebaiknya segera tidur. Hanya saja untuk tidur, perlu
hati-hati, lantaran kalau tidurnya sedikit berlebihan, rasa malas pun mengalami
peningkatan.
Itu
adalah pendahuluan kepanjangan, mengenai tanggapan saya terhadap pertanyaan tentang
cara saya menjalani keseharian. Jujur saya sebenarnya belum menemukan bentuk
final tentang cara menjalani keseharian, agar bisa dinikmati sendiri sekaligus
bermanfaat buat lingkungan.
Bentuk
final yang saya maksud ialah bisa menampung kebutuhan, kewajiban, dan
keinginan, yang ketiganya disesuaikan dengan diri masing-masing. Misalnya dalam
kasus saya, antara lain, kebutuhan itu ialah memperoleh nutrisi dan istirahat,
kewajibannya ialah Sholat Maktubah, serta keinginannya ialah dapat terus
berinteraksi dengan orang yang saya kenal. Saking sulitnya membuat bentuk final
itu, saya malah sering bereksperimen setiap 35 hari sekali, yang rutin
dilakukan sejak genap berusia 21 tahun.
Tapi,
entah kenapa, sudah banyak orang meminta tips menjalani keserian kepada saya.
Kalau saya tak salah membaca fenomena meminta tips ini, setiap orang punya
kebutuhan untuk berbagi manfaat dengan orang lain—kebutuhan lho, bukan
keinginan.
Jujur
pula, saya sebenarnya bukan tipikal orang yang kehadirannya bisa menggembirakan
rasa manusia lainnya. Banyak orang sering merasa tak senang dengan kehadiran
saya, yang tampak dari gestur tubuh mereka atau ucapan lisan yang disampaikan. Ketidaksukaan
tersebut kian menguat tatkala saya mulai ngomel tentang kedisiplinan,
kebersihan, dan komitmen. Apalagi saya memang tipikal ceriwis, secara luring
dan daring. Ceriwis luring mewujud dalam bentuk sering terlibat obrolan offline
sementara daring tampak dari keaktifan saya di semua media sosial @alobatnic dan
WhatsApp.
Saya
sendiri tak pernah melayang apresiasi yang disampaikan maupun rasa benci yang
ditunjukkan. Malah saya sangat terbantu dengan keduanya. Apresiasi berperan
memberi penegasan bahwa perbuatan yang saya lakukan sudah tepat. Karena itu,
perbuatan tersebut perlu dilestarikan. Sedangkan rasa benci memberi peringatan
kepada saya untuk berhati-hati dalam memilih sikap. Kalau perlu, sikap yang
menimbulkan rasa benci itu ditinggalkan. Dengan cara seperti itu saya dapat menikmati
keseharian.
Seringkali
orang lain menuduh saya itu pintar, kritis, dan rajin. Padahal, banyak orang
yang saya kagumi. Rasa kagum biasanya muncul ketika diri sendiri merasa lebih
lemah ketimbang orang lain. Saya sendiri merasa bahwa kepintaran, kekritisan,
dan kerajinan, bukanlah sesuatu yang penting. Yang paling penting barangkali
empati atau keinginan menyelaraskan perasaan sendiri dengan orang lain. Dari
sini dapat menanamkan, menumbuhkan, mengembangkan, bahkan membuahkan sisi
humanis. Kalau sisi humanis hilang dalam diri saya, barangkali saya tidaklah
akan bisa untuk makan enak dan tidur nyenyak.