— there is a rainbow in Islām
Karen
Armstrong (14 November 1944) mulai saya kenal melalui buku Sejarah Tuhan
yang ditulis oleh Zaimul Am. Buku tersebut adalah karya terjemahan dari A
History of God yang ditulis oleh
Karen Armstrong. Isinya berupa evolusi gagasan Tuhan dari jaman kuno sampai jaman
now yang ditelusuri dari akar di
Timur Tengah. Sehingga tradisi Yudaisme, Kristen, dan Islam beserta Buddhisme
dan Hindu pun turut terlibat dalam pembahasan.
Sampai
sekarang saya belum pernah membaca keseluruhan buku tersebut secara malar.
Namun, buku terjemahan itu mengesankan saya hingga mengetuk hasrat membeli
beberapa buku terjemahan lainnya dari Karen Armstrong. Mulai dari Masa Depan
Tuhan, Muhammad, dan Sejarah Islam.
Sepertihalnya
Sejarah Tuhan, Masa Depan Tuhan karya Zaimul Am pun gagal dibaca
keseluruhan secara malar. Dua buku tersebut termasuk ke dalam buku yang dibaca
acak-acakan, meskipun semuanya dibaca, tapi tidak berurutan. Lain halnya dengan
Muhammad dan Sejarah Islam, yang keduanya ditulis oleh Yuliani
Liputo berdasarkan terjemahan dari Muhammad: Prophet for Our Time dan Islam:
A Short History dari Karen Arsmtrong.
Bagian mengesankan
dalam buku Muhammad ialah setiap cerita yang terkait dengan Aisha. Wajar
saja, saya adalah penggemar berat perempuan mbeling ini. Saking terkesannya,
sampai pada bagian akhir ketika wafatnya Muhammad di pangkuan Aisha, mata mulai
sembab. Puas.
Secara umum,
uraian yang disajikan berhasil menunjukkan bahwa Muhammad ialah manusia biasa
pada satu sisi sekaligus nabi dan rosul pada dua sisi lain. Nabi dan Rosul buat
saya berbeda. Karena itu saya tak mau menyebut ‘Nabi Muhammad’ saja lantaran bisa merusak iman
saya. Mending disebut Muhammad saja, lebih aman pada iman.
Sementara
dalam buku Sejarah Islam bagian terkait Aisha masih menyita perhatian
saya. Namun, hanya disajikan ringkas saja dalam drama pertarungan Aisha melawan
Ali. Bagian yang memuaskan justru terletak pada uraian kronologis mengenai proses
menghasilkan produk inovatif dari tiga sosok utama rujukan saya dalam beragama:
Muḥammad ibn Idris al-Syāfi’i, Abu al-Ḥasan al-Asy’arī, serta Abū Ḥāmid
Muḥammad al-Ghozālī.
Muḥammad ibn
Idris al-Syāfi’i menghasilkan Ushul al-Fiqh seusai berada pada arena
dialektika antara Ahlu al-Ra’yi dan Ahlu al-Ḥadits. Dengan proses
yang serupa, Abu al-Ḥasan al-Asy’arī pun menyintesis antara Ahlu al-Ra’yi
dan Ahlu al-Ḥaditsi dalam cabang Ilmu Kalām. Lain halnya dengan Abū
Ḥāmid Muḥammad al-Ghozālī, yang menyembul sebagai perekat umat lantaran
berhasil menjembatani kubu Fiqh dan kubu Tashoquf. Plus
bagian yang menunjukkan bahwa Abū ‘Alī al-Ḥusain ibn Sīnā adalah ilmuwan
sekaligus sufi, meski kita semua tau sosok yang sohor dengan sapaan Avicenna
ini peminum alkohol.
Saya merasa
beruntung dengan kehadiran karya Karen Armstrong ini. Saya merupakan penggemar berat
penulis yang disebut ‘a prominent and prolific religious historian’ (ahli
sejarah yang menonjol dan produktif) oleh Lisa Bonos, jurnalis The
Washington Post ini. Membaca karya Karen Arsmtong membantu saya dalam menjelajah
khazalah Islam yang sangat luas. Banyak menguras materi dan energi tak sedikit—dan bakal melewatkan berita update
Instagram-nya Park Bom (@newharoobompark, follow ya).
Meski
demikian, saya tak menyangkal bahwa karya Karen
Armstrong bukanlah kajian yang megah. Dalam buku Muhammad, misalnya, sama
sekali tak dapat ditemukan pandangan baru. Tampak kentara kalau Karen Arsmtrong
tak menguasasi Bahasa Arab, hingga menimbulkan kesalahan fatal seperti madrasah
ditulis madaris dalam Muhammad. Karen Armstrong hanya menyajikan
hasil pembacaannya terhadap membaca buku-buku klasik Islam (kitab kuning) yang disusun
secara berurutan laiknya sebuah peta.
Walau
begitu, saya sangat mengapresiasi karya Karen Armstrong karena ditulis dengan
gaya populer bukan akademis, sehingga bisa membawa kajian ilmiah ke dalam
setiap rumah tak mandeg sebagai diskursus kampus. Selain itu, setiap uraian
disajikan secara empatik. Karen Arsmtrong tampak tertarik untuk mengenerti
motifterdalam dari kehidupan keagamaan Islam, secara individu maupun kelompok,
jiwa pula raga.
Dalam Sejarah
Islam, misalnya, Karen Arsmrtong sempat menguraikan beragam gerakan
fundamentalis modern tanpa mengaitkannya secara tendensius dengan Islam. Dirinya
mengurai gerakan fundamentalisme dari dalam, memotret para pegiatnya sebagai
pengikut sebuah iman yang merasa terancam oleh ketimpangan lingkungan. Kita
dibawa masuk ke dalam pikiran terdalam orang-orang yang bersedia mati, sambil
membawa bom di tubuhnya, yang merasa putus asa dengan kelaliman para penguasa.
Melalui
status best-seller yang didapat oleh karya Karen Armstrong terkait
Islam, dapat dilihat bahwa Islam semangkin kerap dibicarakan oleh khalayak
ramai. Entah para pembaca itu dari kalangan yang mudah tersulut amarah atau
berusaha meningkatkan gairah ilmiah, hanya Allāh yang tahu.
Yang perlu kita tahu, kalau keadaan sedang begini, setiap hal terkait Islam
mudah untuk mendapat perhatian.
Karya Karen
Arsmtrong memang tidak mendalam secara akademik, tetapi kesederhanaan tuturan
justru berguna untuk dibaca oleh publik. Karya-karya itulah yang turut menjawab
pertanyaan Linda Christanty, “Is there a rainbow in Islam?” dalam Latitudes
Magazine. Bahwa Islam itu pelangi, banyak warna terdapat di dalamnya,
terbentuk sebagai spektrum yang bersumber dari Cahaya:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا
مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ
مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ
زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ
لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah
merupakan Cahaya terang terhadap langit beserta bumi. Perumpamaan Cahaya Allah
seumpama sebuah celah yang di dalamnya terdapat pelita besar. Pelita itu di
dalam kaca sehingga kaca itu menyerupai bintang yang berkilauan yang dinyalakan
dengan hasil dari pohon yang memberkahi; pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur maupun barat, yang minyaknya dapat menerangi, walaupun tidak
dipicu api. Cahayanya cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya kepada yang
Dia perkenan. Bahwa Allah mengadakan perumpamaan-perumpamaan itu untuk umat
manusia, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
wallāhu
a’lam bi al-sowāb