Sebagai
pembuka, ini sebenarnya klise yang sudah diafdruk berulang kali di banyak tempat
dan saat: rezeki itu tidak hanya uang. Dalam hidup saya tentu banyak masalah
yang datang. Kadang langsung dikenali kemudian diatasi dengan pilihan solusi.
Tak jarang sulit untuk diketahui secara presisi. Uang bisa menjadi masalah
sekaligus solusi. Dalam posisinya sebagai solusi, seringkali uang dapat membantu.
Namun, itu tak selalu.
Paragraf
pembuka itu rasanya perlu untuk dituturkan lebih dulu di sini. Pasalnya banyak
orang, tepatnya orang yang biasa bercakap dengan saya secara daring dan luring,
kerap menuturkan kalau saya tak punya gairah dalam mencari rezeki. Tandanya
saya tak tampak ambisius dalam melibatkan diri pada “lahan basah” yang
sebenarnya mudah untuk saya jamah. Sebagian menyebut saya termasuk kelompok
jahiliyah. Lainnya malah menyangka saya memilih hijrah—sesuai dengan
kecenderungan makna ‘hijrah’ kontemporer.
Tuturan
tentang gairah mencari rezeki itu sering saya bantah, dengan pembuka yang klise
itu. Saya masih bergairah dalam mencari rezeki, malah rasanya seperti pemburu.
Namun, buat saya rezeki bukan hanya uang saja. Uang memang termasuk rezeki,
tapi bukan makna seutuhnya. Rezeki itu bisa mewujud dalam bentuk sahabat baik, keluarga
yang harmonis, maupun komunikasi dengan guru. Bisa juga hadir dalam bentuk
memiliki kesempatan memanfaatkan waktu. Boleh dibilang saya memaknai rezeki
sebagai keadaan yang menenangkan batin sendiri tanpa merisak batin orang lain.
Tentu
saya tak memungkiri kalau butuh uang. Malahan hasrat ingin memiliki banyak uang
pun sering datang. Hanya saja selama saya masih dapat mencukupi kebutuhan untuk
saat ini tanpa memiliki tanggungan terhadap orang lain, buat saya itu sudah
cukup. Bukan sok esketis, memang hal itu sudah terlanjur menjadi bagian dari
sesuatu yang kadang disebut prinsip hidup.
Tuturan
tersebut sengaja diungkapkan lebih dulu juga karena hal-hal seperti itu kerap
mengganggu keseharian saya. Gangguannya dapat seperti ejekan kalau saya
esketis, sok tidak butuh uang, atau sejenisnya. Bisa juga seperti menyangka kalau
saya enggan terlibat dalam kegiatan lain di luar rutinitas harian. Dengan
demikian, kemunculan gangguan itu banyak diakibatkan oleh kesalahpahaman,
bahkan mungkin kegagalpahaman.
***
Mungkin—karena
saya belum memeriksa keseluruhan data—perbandingan orang yang menginginkan
perubahan pada tahun 2019 dengan orang yang cuek terhadap tahun tersebut dapat
disimpulkan kalau tak banyak yang menginginkan perubahan. Dari jumlah yang tak
banyak itu, saya termasuk di dalamnya.
Tahun
2019 adalah tahun ketika saya berumur seperempat abad, solarly, dan genap
berusia 26 tahun, lunarly. Masa yang wajar membincangkan pernikahan.
Juga wajar dengan obrolan terkait kelanjutan pendidikan formal—kata ‘formal’
perlu disertakan sebagai batasan dari ‘pendidikan’ yang luas dan dalam
cakupannya.
Terkait
pernikahan tentu faktor utama ialah pendampingnya, calon istri yang tepat
setelah ijab ditanggapi qobul berstatus menjadi istri. Saya
pribadi sudah punya pilihan yang kalau disebut namanya tidak akan mengagetkan beberapa
teman. Namun, siapa yang bisa menjamin kalau saya dapat menikahi orang yang
saya pilih sejak masih bibit itu? Siapa tahu orang yang kelak menjadi istri
saya itu justru datang bukan dari pilihan saya sendiri? Only God knows.
Maksud
saya, meskipun saya sudah memiliki pilihan yang diusahakan untuk tercapai,
tetapi tidak hendak menolak ketetapan Allah yang biasanya disebut takdir. Saat
menerimanya mungkin bisa kecewa, dapat sakit hati, atau apalah-apalah sebutannya.
Hanya saja ketika penerimaan itu berlanjut dengan kebahagiaan, rasa kecewa yang
sulit dihilangkan tetap mudah untuk ditenggelamkan. Rasa kecewa bukan datang
karena penerimaan tak sesuai dengan pilihan, melainkan kebahagiaan tak kunjung
datang setelah penerimaan itu.
Kebahagiaan
itu pula yang membuat saya terus tetap semangat melanjutkan pendidikan meski
secara formal break dulu. Beberapa guru utama saya, mulai saat
pendidikan dasar sampai tinggi, banyak mengenali perilaku yang saya tunjukkan
ini. Mereka kerap mendukung saya untuk tidak secara langsung melanjutkan
pendidikan formal ke jenjang berikutnya. Dukungan itu diwujudkan dalam bentuk
memberi kesempatan pada saya untuk terlibat interaksi dengan mereka.
Dalam
hal pendidikan formal, saya adalah pemain di cabang pendidikan fisika. Cabang
yang membahas tentang pedagogi, fisika, serta kaitan keduanya. Sejak lulus
sebagai sarjana pendidikan fisika 13 April 2017 silam, saya malah belum pernah
bekerja sesuai dengan gelar yang tertera di ijazah.
Rekam
jejak menunjukkan bahwa mulai dari mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa
untuk jenjang pendidikan dasar tingkat bawah, Matematika pada jenjang
pendidikan menengah tingkat bawah, sampai sekarang ini mengajar Biologi untuk
jenjang pendidikan menengah tingkat atas, tak pernah sedikitpun bersinggungan
secara langsung dengan muatan pelajaran fisika. Sebenarnya nyaris saja saya
mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada jenjang pendidikan menengah tingkat
bawah, tetapi batal terlaksana. Namun, di situlah letak kebahagiaannya.
Kebahagiaan
terletak pada kenyataan bahwa pada dasarnya saya belum sampai pada tingkatan
menguasai fisika. Sehingga pemahaman terhadap matematika dan biologi seperti
dipacu untuk bisa setara dalam diri saya. Pengalaman mengajar Bahasa Inggris
dan Bahasa Jawa sendiri lebih banyak mengasah ranah pedagogi saya, untuk tak
ceroboh dalam menyampaikan muatan pelajaran serta memperhatikan aspek
psikologis dalam pembelajaran.
Sampai
sekarang semua yang sudah diputus tanpa saya urus dapat dinikmati. Tandanya
saya merasa senang untuk mengeksplorasi cabang yang harus saya ajarkan, lalu
dikonsultasikan dengan orang yang dipandang lebih menguasasi, untuk dijadikan
bahan pembelajaran. Banyak orang yang menjadi tempat konsultasi memberi petuah
bijak kalau saya tak perlu seluas dan sedalam itu mencari tahu. Saya menerima
petuah bijak yang disampaikan itu, mungkin mereka tidak memiliki kegemaran
seperti dengan saya atau menyangka saya akan menyampaikan seluruhnya dalam
pembelajaran. Padahal justru dengan mengerti satu konsep sesuai perkembangan
kelimuan, saya lebih mudah dalam memilih bagian yang perlu untuk disampaikan
dalam pembelajaran.
***
Beberapa
orang bilang bahwa saya tak pernah berusaha untuk maju. Anggapan yang bisa
benar dan salah secara bersamaan. Anggapan itu benar kalau kemajuan yang dimaksud
berada pada arah yang berbeda serta salah kalau arahnya sama. Karena dalam
fisika, semua barang—baik makhluk hidup atau benda mati—disebut berusaha kalau
terdapat perpindahan posisi saat perlakuan diberi. Usaha itu bernilai maksimal
ketika arah perlakuan sesuai dengan arah perpindahan, minimal kalau arahnya
tegak lurus, serta beragam ketika arah keduanya berbeda.
Usaha
terkait erat dengan energi, sesuatu paling misterius di alam ini. Dia ada tapi
tak pernah dapat diindra, apalagi dikristalkan. Keberadaannya selalu tetap, tak
dapat dikurangi dan ditambahi, oleh siapa saja, di mana saja, kapan saja,
dengan cara apa saja. Tapi kehadirannya selalu berguna, untuk semua yang
terdapat di alam raya.
Sudah
dulu. Kalau memakai tingkat pengelompokan dalam penulisan kitab kuning, catatan
ini adalah matan—yang biasanya memunculkan beragam syarah
kemudian hasyiyah.
K.Jm.Po.191239.310818.16:05