Park
Bom ketika tampil membawakan “I am the Best” dalam konser “All or Nothing”
bersama 2NE1.
|
Allah,
yang merupakan tumpuan segala harapan dan pencarian pedoman hidup memiliki
sifat-sifat mulia yang harus kita resapi dalam membentuk rasa ketuhanan kita.
Di antara sifat-sifat itu, yang paling banyak disebut ialah ar-Rahmān (Kasih). Sifat Kasih itu mendominasi
segala sesuatu sehingga semangat kasih merupakan unsur utama moral ketuhanan (takhallqū bi akhlāq Allāh) yang
dipesankan oleh Al-Qur’an dalam surat al-Balad untuk ditegakkan di antara
sesama umat manusia.
Surat
al-Balad secara keseluruhan dapat dijadikan pegangan tentang cara menciptakan
kehidupan yang bahagia, penuh kedamaian, dan kesentosaan. Dalam surat al-Balad
itu pesan menegakkan cinta kasih sesama manusia berupa semangat kemanusiaan
pada umumnya dikaitkan dengan pesan menegakkan kesabaran. Kesabaran merupakan
dimensi waktu dari perjuangan menegakkan perdamaian dan keadilan sebagai jalan menciptakan
hidup bahagia. Kesabaran dituntut karena perjuangan yang benar itu bersifat
jangka panjang.
Seorang
yang percaya (mu’min) tentu akan memiliki
orientasi dan sikap hidup yang memandang jauh ke depan. Sebaliknya, orang yang
tidak percaya (kāfir) hanya memiliki
sikap hidup yang bersifat jangka pendek: mudah tertipu oleh kenikmatan hidup
yang sementara, dan lalai dari hidup masa depan yang lebih abadi, khususnya
hidup sesudah mati.
Rahmah dalam Taurat dan Injil
Salah
satu perkara yang menarik terkait kata al-Rahmān
adalah disebut di dalam Taurat (artinya hukum). Banyak yang menganggap
penyebutan ini lantaran para rasul dan/atau nabi setelah Musa menyadari bahwa
agama Taurat sudah tidak lagi cocok untuk masyarakat. Ketidakcocokan terjadi
karena Taurat terlalu keras dan kurang lembut untuk urusan kemanusiaan. Memang,
oleh Allah, Musa diberi tugas untuk mendidik Bani Israel supaya taat pada hukum
karena mereka mengalami masa perbudakan ratusan tahun dan budak biasanya sulit
sekali berdisiplin: mereka tidak bisa mengelola diri sendiri secara mandiri karena
biasa mendapat perintah orang lain.
Bani Israel
dulu terkenal sangat tidak disiplin, sehingga agamanya sangat keras dari segi
hukum, yang dimulai dengan The Ten
Commandments. Tetapi lama-kelamaan dirasakan kalau terus-menerus hukumnya
keras, aspek kelembutan manusia akan menjadi hilang. Maka paham tentang Tuhan
sebagai hakim yang serba memvonis diimbangi dengan paham tentang Tuhan sebagai
yang Maha Kasih. Dari situlah muncul kata al-Rahmān.
Pemahaman
inilah yang menyiapkan tampilnya Isa, yang diberi tugas oleh Allah untuk
mengajari kasih kepada manusia. Hidup ini tidak cukup hanya dengan hukum,
tetapi juga harus ada kasih. Maka Isa digambarkan dalam sebagai orang yang
mendeklarasikan untuk memperbolehkan sebagian perkara yang mulanya dilarang
untuk dilakukan serta menanamkan rasa cinta dan kasih sayang di dalam hati setiap
orang.
Sayangnya,
para pengikut Isa kemudian mengembangkan ajarannya begitu rupa sehingga segi
hukum sama sekali hilang dan hanya tinggal kasihnya. Mereka pun terjerembab
kepada sikap-sikap yang terlalu lunak dari segi moral. Pada saat seperti inilah
Muhammad datang. Kalau kita sebut Nabi Musa sebagai tesa dan Isa sebagai
antitesa, Muhammad dapat disebut sebagai sintesa, seperti pernah diungkap oleh
Tan Malaka dalam bagian lampiran Madilog-nya. Pasalnya Muhammad datang
menggabungkan kembali kasih dan hukum, memadukan sisi keras (maskulin) Allah (ilāh) dengan sisi lembut (feminin) Allah
(rabbī).
Itulah
jalan lempang (al-shirāth al-mustaqīm),
yaitu jalan tengah yang ditempuh oleh mereka yang mendapatkan kebahagiaan dari
Allah (shirāth alladzīna an‘amta
‘alayhim), bukan jalan mereka yang dimurkai Allah (ghari al-maghdlūbi ‘alayhim), yaitu orang yang memahami agama
hanya dari segi hukum seperti orang-orang Yahudi, dan bukan pula jalan mereka
yang sesat (walā al-dlāllīn), yaitu
mereka yang hanya memahami agama dari segi kasih seperti orang-orang Nasrani.
Dengan
demikian, menjadi orang Islam itu sulit, tetapi ganjarannya besar. Kalau
berhasil, kita kembali kepada rahmah.
Kita jalankan ajaran agama mengenai anjuran meniru akhlak Allah, yakni kita
terapkan rahmah, tetapi sekaligus
kita sadari bahwa Tuhan tidak bisa dianggap biasa-biasa saja.
Rahmān dan Rahīm Allah
Dalam
Al-Qur’an, kata rahmah dikaitkan
dengan hal-hal yang positif tentang kehidupan. Misalnya, ketika Zulaikha
dituduh mau menyeleweng dengan Yusuf, anak angkatnya, dia membela diri dengan
mengatakan bahwa dia tidak menyatakan dirinya lepas dari kesalahan, karena nafsu
manusia mendorong kepada kejahatan, kecuali yang sudah mendapat rahmat Tuhanku
seraya mengakui bahwa Tuhannya Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Dari sini tersurat
bahwa nafsu pun bisa sangat positif dalam kehidupan kita, asalkan dibimbing
oleh kasih dari Allah. Sebab nafsu adalah dorongan motivasi untuk mencapai
suatu hasil. Contoh lain, ketika ada pujian kepada Muhammad bahwa beliau
sebagai orang yang sangat toleran, hal itu pun dikaitkan dengan rahmah. Sifat Muhammad yang toleran dan
lapang dada adalah karena adanya rahmah
Allah.
Orang
yang mendapat rahmah Allah akan cukup
rendah hati untuk melihat kemungkinan dirinya salah. Hal itu membuat dia tidak
mudah bertengkar. Karena itu, setiap hari kita membaca bismillāhirrahmānirrahīm yang biasa diterjemahkan, “Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Dengan mengucap bismillāh, kita menyadari bahwa seluruh
perbuatan kita didasarkan pada kedudukan sebagai pengganti Allah (khalīfatullāh) di Planet Bumi. Oleh
karena itu, semua yang kita lakukan, akan kita pertanggungjawabkan kepada
Allah. Memulai pekerjaan dengan bismillāh
berarti penegasan bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan
penuh tanggung jawab.
Beberapa
kitab tafsir menjelaskan makna al-Rahmān
sebagai Kasih di dunia dan akhirat. Secara puitis al-Rahmān adalah Kasih tanpa pilih kasih. Artinya, biarpun
hamba-Nya kafir, Allah tetap memberi kasih kepada mereka. Lihatlah betapa
banyak orang yang tiap hari menentang Tuhan, tetapi hidupnya sangat
menyenangkan. Itu adalah karena kasih Allah. Ini semua terkait dengan
pengetahuan dan pemahaman kita terhadap lingkungan hidup. Misalnya, nikmat
kesehatan sebagai bentuk dari rahmah
Allah pada kita tidak tergantung pada iman, ibadah, ataupun kesalahan kita,
tetapi tergantung kepada seberapa jauh kita mengetahui masalah-masalah
kesehatan.
Sedangkan
al-Rahīm adalah sifat Allah yang
Kasih di akhirat. Kasih Allah sebagai al-Rahīm
adalah Kasih yang pamrih, berupa atas dasar pertimbangan keimanan. Orang yang
beriman akan mendapatkan rahmah Allah
sebagai al-Rahīm, tetapi yang tidak
beriman tidak memperoleh. Maka, mengucapkan al-Rahmān
al-Rahīm dalam rangkaiannya dengan bismillāh mengingatkan pada kita bahwa
sebuah pekerjaan untuk bisa mencapai hasil yang setinggi-tingginya, material
maupun spiritual, harus dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa semua itu atas
nama Allah, sehingga harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya dari dunia sampai
akhirat.
Supaya
berhasil meraih rahmat Allah sebagai al-Rahmān
kita harus tahu persyaratan-persyaratan ilmiah sesuai dengan hukum yang berlaku
di dunia, baik mengenai benda alam maupun pergaulan sosial manusia. Sebagai
orang yang mendambakan kasih Allah di akhirat, tidak hanya di dunia, kita harus
meraih rahmat Allah sebagai al-Rahīm.
Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan penuh pertimbangan akhlak dan moral,
suatu kualitas yang ada sangkut pautnya dengan masalah pahala dan dosa.
Dengan
bacaan bismillāh kita maju sebagai
manusia yang diberi wewenang oleh Allah untuk menjadi duta-Nya (khalīfah) di bumi. Di samping itu,
sekaligus kita diingatkan supaya bekerja sesuai hukum yang berlaku. Kalau kita
mau membuat sesuatu dari logam, kita harus tahu sifat-sifat logam; dengan
begitu kita akan sukses meraih rahmah
Allah sebagai al-Rahmān. Tetapi tidak
boleh lupa bahwa kesuksesan dengan ilmu pengetahuan belum tentu membawa kita
pada kebahagiaan abadi secara spiritual. Karenanya, sukses harus dilakukan
dengan penuh pertimbangan akhlak dan moral supaya meraih rahmat Allah sebagai al-Rahīm.
Kita
tidak boleh mengulangi kesalahan Adam dan Hawa setelah diberikan ilmu justru lupa
batas yang akhirnya terjatuh secara tidak terhormat. Ilmu tidak menjamin
kebahagiaan abadi. Tetapi dengan iman saja, kita tidak bisa unggul di dunia
ini. Harus ada iman dan ilmu.
Rahmah Muhammad
Muhammad
adalah seorang yang paling empatik, yaitu menempatkan diri pada posisi orang,
sehingga mengetahui dan merasakan apa yang dirasakan orang lain; mengerti dan
penuh pertimbangan pada orang lain. Orang lain diikutsertakan dalam
proses-proses pengambilan keputusannya, selama hal itu tidak mengenai agama
murni, karena dalam soal itu murni hanya wewenangnya sebagai Rasul.
Bagi
orang yang mendapat rahmah dari
Allah, perbedaan tidak akan menjadi unsur permusuhan. Sekarang ini kita sedang
berada dalam serba-permusuhan, bahkan dapat disebut kalau kita ini adalah
masyarakat dengan tingkat saling percaya yang rendah. Tampak terdapat sesuatu
yang hilang, dan ini sangat prinsipil, yaitu ketiadaan rahmah Allah.
Oleh
karena itulah, salah satu perintah Allah yang disejajarkan dengan perintah
untuk bertakwa ialah memelihara kasih sesama manusia. Istilah yang sudah kita
kenal ialah silahturahim. Tetapi
biasanya suatu istilah yang banyak sekali digunakan sehari-hari akan mengalami
inflasi, nilainya turun, tetapi tidak terasa. Silaturahim adalah persoalan yang sangat prinsipil, yaitu menciptakan
hubungan saling kasih antara sesama manusia.
Kasih
menjadi ciri penting bagi orang beriman, sebagaimana sebaliknya, tidak adanya
kasih menjadi salah satu ciri yang paling penting dari orang kafir. Arhām adalah bentuk jamak dari rahmah; di sini Allah yang memberi
contoh lebih dahulu. Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa kasih Allah itu
seratus, 99 persen untuk diri-Nya sendiri, 1 persen lagi dibagi untuk seluruh
makhluk.
Dari
1 persen yang terbagi secara tak terhingga itu, kasih itu terwujud, misalnya
dalam gejala bagaimana kucing melindungi anaknya. Kalau ada anaknya yang
terbaring di tanah, pasti kucing akan mengangkat kakinya untuk tidak menginjak
anaknya. Itu adalah rahmah. Maka,
termasuk kepada binatang, kita harus menunjukkan kasih.
Rahmatan lil ‘Ālamīn
Terdapat
pandangan bahwa orang Yahudi itu sulit sekali menerima kepemimpinan orang Arab,
karena merasa bahwa mereka anak turunan Sarah (seorang majikan berdarah Arya)
sedangkan orang Arab anak turunan Hajar (seorang budak berdarah Jawa) sehingga
orang Arab disebut oleh orang Yahudi sebagai Haggaris. Malahan agama Islam
mereka sebut Haggarisme, artinya pola tingkah orang Arab sebagai turunan budak
yang ingin diakui.
Tidak
mengherankan kalau terjadi pengkhianatan-pengkhianatan orang Yahudi terhadap
Konstitusi Madinah (Piagam Madinah), karena orang Yahudi sulit sekali menerima
keunggulan orang Arab. Akhirnya, mereka berkhianat satu per satu. Akan tetapi,
semangat Konstitusi Madinah masih tetap dipertahankan, terutama oleh para
sahabat Nabi seperti ‘Umar dalam kasus Aelia atau Yerusalem.
Hijrah
mempunyai makna yang luas, dan di antara sekian maknanya ialah kebebasan
beragama, yang dituangkan dalam Konstitusi Madinah. Konstitusi Madinah adalah
dokumen tertulis pertama di kalangan umat manusia yang mengakui kebebasan
beragama. Inilah salah satu dari ruh Islam sehingga kemudian Islam menjadi rahmah untuk seluruh alam. Di antara
semua agama, Islam bukanlah yang terbesar di muka bumi; agama Katolik dan
Protestan masih lebih besar; akan tetapi dari segi pengaruhnya kepada umat
manusia, maka tidak ada yang menandingi agama Islam. Itulah yang dinamakan rahmatan lil-‘ālamīn.
“흩어져
부서진
말들은
믿지
마,
너의
작고
작은
마음을
놓지
마,
가끔
힘이
들더라도
괜찮아.”
— 박봄
(“heuteojyeo
buseojin maldeureun mitji ma, neoui jakgo jageun maeumeul lochi ma, gakkeum
himi deuldeorado gwaenchanha.”
—
Park Bom)
“Jangan
percaya pada patah kata yang tersebar, jangan lepaskan hati kecilmu, bahkan
ketika keadaan sulit datang, itu tidak masalah.”
—
Park Bom, penyanyi yang dinanti.
Rabu Legi
12 Dzulqo'dah 1439 H.
25 Juli 2018 M.
17:26
Alobatnic,
penggemar berat Park Bom.