Penulis:
Indra J Piliang *)
Pendahuluan
Banyak
pertanyaan yang diberikan kepada saya tentang proses kreatif sebagai seorang
penulis. Rata-rata saya menulis 60-70 artikel dalam setahun, terutama sejak tahun
2001. Artinya sudah terdapat sekitar 300-350 artikel yang sudah saya tulis.
Kalau dijadikan buku kumpulan artikel, sudah bisa menjadi 7 sampai 10 buku,
sesuatu yang belum saya lakukan. Salah satu “penilaian” saya masuk ke CSIS
adalah juga karena produktifitas penulisan ini.
Lalu, dari
mana saya memulai menulis. Yang saya ingat, kebiasaan saya menulis dimulai
lewat catatan harian (1991-1996). Saya sudah menulis sejak pertama kali
menjejakkan kaki di Jakarta pada tahun 1991, beberapa bulan sebelum hasil Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri diumumkan. Saya mengikuti UMPTN di Padang,
tepatnya kampus Universitas Bung Hatta. Tiga pilihan studi saya waktu itu
adalah Jurusan Meteorologi dan Geofisika Institut Teknologi Bandung, Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Jurusan Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Saya diterima di Jurusan
Sejarah FSUI.
Karena
pernah memenangkan juara tiga lomba bahasa Inggris di Sekolah Menengah Umum 2
Pariaman, saya menulis catatan harian saya dalam bahasa Inggris. Namun,
lama-kelamaan, kebiasaan itu saya hilangkan. Ketika menjadi aktivis kampus,
saya terombang-ambing dengan kebencian terhadap Barat, termasuk hegemoni
budayanya. Akibatnya, saya juga membenci bahasa Inggris. Sesuatu yang dampaknya
luas sampai sekarang.
Catatan
harian itu mengantarkan saya kepada banyak imajinasi tentang dunia. Buku-buku
yang saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi, orang-orang yang saya temui,
sampai hubungan percintaan yang timbul-tenggelam, menghiasi catatan harian
saya. Semuanya masih tersimpan sampai sekarang. Karena sering mencatat
orang-orang yang ada di sekitar saya, saya menjadi lebih paham tentang
bagaimana cara berpikir mereka. Sebagian dari orang-orang itu sekarang menjadi
terkenal, bahkan jauh sebelum reformasi. Rata-rata para aktivis dari berbagai
kampus, terutama dari UI. Sebut saja Fadli Zon, Zulkiefliemansyah (sekarang
anggota DPR dari PKS), Rama Pratama (sekarang anggota DPR dari PKS), Nusron
Wahid (sekarang jadi anggota DPR dari Partai Golkar), Mustafa Kamal (sekarang
anggota DPR dari PKS), Eep Saefullah Fatah, Fahri Hamzah (sekarang anggota DPR
dari PKS), Wilson (pernah dipenjara karena dituduh menjadi pelaku Gerakan 27
Juli 1996), dan lain-lain.
UI ketika
saya masuk adalah ladang pergulatan intelektual yang sangat intens. Jurusan
saya, misalnya, terbagi kedalam dua garis ideologi: merah dan hijau.
Pertarungan kedua kelompok ideologi ini bukan hanya terbatas pada wacana,
tetapi juga dalam aktivitas kemahasiswaan, termasuk perebutan posisi dalam
lembaga mahasiswa intra kampus. Kalaupun kemudian sejumlah nama itu akhirnya
terus berseberangan ketika di luar kampus, hal itu tidak bisa dilepaskan dari
pengalaman intelektual mereka. Satu kelompok melahirkan Partai Rakyat
Demokratik, kelompok yang lain menjadi anak-anak emas dalam Partai Keadilan
Sejahtera. Namun ada juga yang ikut ke Partai Golkar atau menjadi sahabat dari
para jenderal.
Orang yang
saya kagumi kala itu ada empat.
Pertama,
Arfandi Lubis (almarhum). Dia senior saya di jurusan sejarah. Dia pengagum Tan
Malaka tulen. Kanker usus yang akut menjadi penyebab kematiannya. Dari dialah
saya banyak berkenalan dengan wacana kiri, lalu mengoleksi buku-buku kiri yang
berwarna merah. Dia juga yang meminjamkan saya buku Dari Penjara ke Penjara-nya
Tan Malaka.
Kedua, Fadli
Zon, teman saya satu angkatan dari Jurusan Sastra Rusia. Talentanya luar biasa,
juga jaringan pergaulannya di luar kampus. Dialah sebetulnya yang “memaksa”
saya untuk menulis, ketika dia sudah muncul sebagai penulis terkenal di
zamannya. Sebelum kemudian dikenal sebagai sahabat Prabowo Subianto, Fadli
adalah penulis esai yang bagus, kolom yang menggelitik, dan makalah yang kaya
dengan buku.
Ketiga,
Mustafa Kamal. Dialah sosok yang waktu itu mengingatkan saya kepada Natsir
muda. Dalam organisasi, dia banyak memberikan ketauladanan, begitu juga dalam
hal pengayaan keislaman.
Keempat, Eep
Saefullah Fatah. Sekalipun berbeda kampus, saya sering ketemu dalam panggung
seminar, baik ketika saya menjadi notulis, moderator, lalu lambat laun
mendampinginya sebagai pembicara. Eep punya kemampuan berbahasa Indonesia yang
sangat baik, juga menjelaskan sesuatu yang rumit dengan logika yang runtut.
Sebetulnya,
jauh lebih banyak lagi kawan, dosen, senior, dan junior yang mempengaruhi saya.
Kampus adalah tempat yang hangat. Selalu saja tersedia banyak orang-orang baik,
jauh lebih banyak dari yang potensial menjadi jahat. Beragam kisah, ucapan,
sampai pertengkaran dan perdebatan dengan orang-orang itu masuk ke dalam
catatan harian saya. Saya menulis sampai dini hari di dalam kamar kos yang
lembab dan kumal. Saya waktu itu adalah anak muda yang kurus kering,
berpenyakitan, miskin, dan sering mengenakan pakaian yang tidak layak. Kerah
baju saya—yang diingat oleh pacar yang kemudian menjadi istri saya—selalu saja
berlubang saking lamanya kena keringat dan tidak diganti.
Kenapa saya
menulis catatan harian? Terus terang saya juga terpengaruh oleh tiga buku
harian. Pertama, Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Buku ini
betul-betul menjadi kumal, penuh catatan pinggir dari saya, lalu hilang dan
saya beli lagi. Kedua, Dari Penjara ke Penjara Tan Malaka. Pengalaman
membaca buku ini kadang bercampur dengan kecemasan. Bagaimana tidak? Buku ini
adalah buku terlarang waktu itu, sehingga kalau membacanya sedapat mungkin
tidak ada yang tahu. Ketiga, Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib,
salah satu peletak dasar dari liberalisme Islam di kalangan anak-anak muda
Himpunan Mahasiswa Islam. Dari buku-buku yang saya baca dan koleksi, ada
sejumlah teman dekat yang menyebut saya “Hijau Semangka”: di luarnya hijau,
tetapi di dalamnya merah. Yang jelas, saya tidak dalam posisi “ideologis”
tertentu. Saya hanyalah anak rantau, baik dalam artian fisik, atau pemikiran.
Dengan modal
mesin tik bekas yang saya beli di Manggarai, Jakarta Selatan, tiap malam selalu
diisi dengan tak-tik-tok di kamar kos saya di kawasan Lenteng Agung. Semula,
saya menulis apapun dengan tangan, lalu saya pindahkan ke kertas putih dengan
mesin tik kalau ada uang untuk membeli kertas dan tinta. Sering sekali ketikan
itu tidak bisa dibaca, saking tipisnya tinta yang digunakan. Dari sana lahir
puisi, cerita pendek, sampai satu dua novel yang tidak rampung-rampung. Saya
tidak tahu kemana semua yang saya pernah tulis itu sekarang, karena seringnya
pindah kos. Harta berharga yang pernah saya miliki, lalu kalau teringat selalu
menimbulkan penyesalan.
Menjajakan
Tulisan
Semula,
hanya teman yang paling dekat yang tahu saya punya catatan harian, kumpulan puisi,
sampai cerita-cerita pendek. Aktivitas yang semakin banyak di luar kuliah, pada
akhirnya memaksa saya untuk menulis lebih “ilmiah”. “Kampus” pertama saya
dapatkan dalam Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya. Di sinilah saya
belajar penelitian di luar penelitian sejarah. Di KSM UI ini juga saya tampil
sebagai notulis, moderator, akhirnya pembicara. Ketakutan saya untuk berbicara
di depan orang banyak mulai pelan-pelan pudar. Sejak kecil sampai sekolah
menengah saya memang punya hambatan mental, selalu berkeringat dingin dan
berdebar-debar ketika hendak berbicara. Saya gagap. Tapi ayah saya membalikkan
dengan kalimat: “Kamu gagap karena otak kamu lebih cepat berpikir, ketimbang
mulut kamu mengucapkannya!”
“Kampus”
kedua saya adalah pers mahasiswa, yakni Suara Mahasiswa UI dan tabloid Ekspresi
FSUI. Saya ingat, laporan saya sebagai reporter tentang HIV-AIDS ditolak oleh
pemimpin redaksi Suara Mahasiswa kala itu, Ihsan Abdussalam – yang kini juga
jadi penulis. Saya harus memulai lagi belajar tentang 5W-1H. Untunglah, ketiga
gagal menjadi Ketua Senat Mahasiswa UI, saya banyak menyediakan waktu untuk KSM
UI dan Suara Mahasiswa UI. Karena sudah senior, saya punya lebih banyak
kebebasan untuk “memasukkan” tulisan atau pemikiran saya ke media kampus itu,
kalau perlu mengeditnya langsung di Macintosh yang dimiliki oleh Suara
Mahasiswa UI, agar pasti masuk.
Bantuan
paling signifikan datang dari mata kuliah Penulisan Populer yang
diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Inggris FSUI. Pengajarnya adalah sastrawan
Ismail Marahimin. Metode pengajarannya unik, yakni para mahasiswa harus menulis
satu per minggu yang akan dipresentasikan dan “dibantai” dalam jam-jam
pelajaran yang membuat bulu kuduk merinding. Banyak mahasiswa yang hilang di
tengah jalan waktu itu, karena takut “dikerjai” oleh sang dosen. Tetapi, satu
hal yang disampaikan oleh Pak Ismail kala itu masih saya ingat. “Kalau anda
lulus mata kuliah ini, itulah modal hidup anda!” Fadli Zon, Helvy Tiana Rosa,
lalu sejumlah redaktur pers sekarang setahu saya lulus dalam mata kuliah ini.
Dua semester saya ikut mata kuliah ini dan keduanya mendapatkan nilai A. Saya
masih tidak tahu, bagaimana mendapatkan kembali seluruh tulisan yang saya
pernah tulis, masing-masing 1 per minggu dalam satu tahun kuliah bersama Pak
Ismail itu. Saya kehilangan copy-nya. Tulisan-tulisan itu mulai dari fiksi
sampai non fiksi. Saya ingat, ada satu-dua cerpen yang dipuji oleh Pak Ismail
karena menyediakan banyak kejutan.
Pelan-pelan
saya juga tampil sebagai pembicara skala kampus. Makalah-makalah lahir,
sebagian besar tentang gerakan mahasiswa. Dari sana juga saya menulis skripsi
dengan tema “Koreksi Demi Koreksi: Aktivitas Pergerakan Mahasiswa Pasca Malari
sampai Penolakan NKK-BKK (1974-1980)”. Pengalaman saya sebagai aktivis membawa
saya kepada pergaulan di luar UI. Paling tidak, selain Fadli Zon, saya paling
banyak mewakili mahasiswa UI kala itu, baik untuk tingkat jurusan, fakultas
atau universitas. Samarinda, Surabaya, Pekanbaru, Yogyakarta, Malang, Bandung,
dan kota-kota lainnya mulai saya singgahi.
Karena jauh
dari kampung, saya juga sering menulis surat. Ayah saya adalah seorang penulis
yang baik, dengan tulisan tangan yang indah, turunan dari ayahnya (kakek saya)
yang pernah jadi juru tulis pada masa Belanda. Banyak hal yang saya perdebatkan
dengan ayah saya waktu itu. Selain itu, saya juga menulis surat kepada pacar
saya di kampung, Bengkulu dan Lampung. Saya juga berkomunikasi lewat surat
dengan teman-teman aktivis di sejumlah kota, termasuk juga dengan seorang
mahasiswi Jepang di Jepang dalam bahasa Inggris yang minim. (Keberadaan sms dan
internet sekarang saya kira menjadi unsur degradasi kemampuan penulisan para
mahasiswa dan anak-anak sekolah).
Saya mulai
merambah koran dan tabloid umum ketika ditawarin menulis di Tabloid Swadesi
yang dikelola oleh teman saya yang jadi reporter di sana, Bayu. Boleh dikatakan
dari sanalah saya menjadi penulis umum, terutama tentang gerakan mahasiswa.
Tabloid itu pada akhirnya bubar akibat perpecahan dalam tubuh PDI, karena
memang afiliasinya dengan PDI. Honor menulis disana Rp. 35.000-Rp. 45.000.
Tulisan saya juga nongol di Harian Merdeka dan Tabloid Mutiara milik Suara
Pembaruan. Saya masih ingat mendatangi kantor Suara Pembaruan untuk mengambil
honor sebesar Rp. 66.000, lalu Rp. 6.000,-nya dipotong pajak.
Saya juga
tetap menulis puisi. Puisi bagi saya adalah kolom tersingkat yang bisa ditulis.
Dalam banyak hal yang tidak bisa dicerna secara singkat, puisi mewakilinya.
Puisi juga bisa “menyimpan” ingatan secara tidak terduga, karena bahasanya yang
tidak tersurat. Dalam sejumlah kesempatan demonstrasi dan aksi mahasiswa,
puisi-puisi saya bawakan. Bahkan, ketika maju sebagai calon Ketua Senat
Mahasiswa UI, saya lebih banyak membaca puisi ketimbang berorasi menarik
mahasiswa untuk memilih saya.
Usai kuliah,
tahun 1997, krisis multidimensional menimpa Indonesia. Saya adalah generasi
terakhir para sarjana Orde Baru yang langsung kehilangan harapan. Banyak
lowongan kerja yang membatalkan penambahan karyawan, terutama di dunia pers dan
penerbitan. Cita-cita saya menjadi wartawan tidak kesampaian. Beban sosial juga
melekat, yakni bagaimana mempertahankan hidup setelah kuliah yang menghabiskan
umur dan dana. Apalagi saya banyak dibantu oleh kakak-kakak dan adik-adik saya
ketika kuliah, selain mendapatkan beasiswa mahasiswa berprestasi dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp. 50.000 per bulan.
Semula, saya
bekerja di Surat Kabar Kampus Warta UI, lantai 7 Rektorat UI. Bersama Pak
Rahmat, saya menerbitkan edisi-edisi khusus berdasarkan kebutuhan fakultas. Uang
yang saya dapatkan tidak menentu, karena memang tidak ada gaji tetap. Rata-rata
penghasilannya Rp. 150.000 sampai Rp. 300.000,- per bulan. Tetapi pekerjaan
itupun tidak bertahan lama, karena ada kebijakan untuk tidak lagi menerbitkan
SKK Warta UI. Nasib membawa saya ke jalanan, yakni bergabung dengan PT Deka
Megahrani Citra, sebagai interviewer produk-produk konsumsi, seperti makanan
dan minuman. Penghasilan didapat berdasarkan berapa banyak responden yang kita
dapat. Jumlahnya dikumpulkan per bulan, kadang kurang dari Rp. 100.000,- per
bulan, kadang lebih.
Dalam era
reformasi yang bergejolak itu, saya dan teman-teman UI yang membantu Keluarga
Besar UI menerbitkan juga tabloid dan jurnal, bersama teman saya Rahmat Yananda
(sekarang jadi konsultan bisnis), Andi Rahman (sekarang dosen sosiologi FISIP
UI), Dandi Ramdani (sekarang sedang menempuh pendidikan S-3 di Belanda), Padang
Wicaksono (sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di Jepang), Tirta Adhitama
(sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di Jepang) dan Muhammad Fahri
(sekarang jadi pebisnis). Arus reformasi yang bergulir itu menyediakan waktu
bagi kami untuk mengeluarkan apapun guna mengkritisi rezim yang mulai keropos.
Sikut-menyikut antar kelompok begitu kentara, kadangkala disertai ketakutan akan
dikeroyok atau diculik.
Saya
terlibat dalam aksi-aksi itu sebagai alumni, termasuk berada di Gedung DPR MPR
ketika diduduki oleh mahasiswa tanggal 20 Mei 1998. Buku harian saya dipenuhi
berlembar-lembar cerita, termasuk ketika pecah kerusuhan tanggal 12-13 Mei
1998. Saat kerusuhan meledak, saya berada di Universitas Trisakti untuk
memberikan penghormatan kepada para mahasiswa yang ditembak sehari sebelumnya.
Dari sana saya saksikan betapa kelompok yang paling berani menghadapi polisi
dan tentara ternyata bukan mahasiswa, melainkan para pelajar. Sebelum siang,
kerusuhan tidak terlalu parah. Tetapi setelah para pelajar pulang sekolah,
mereka berada di barisan depan tanpa rasa takut berhadapan dengan polisi dan
tentara. Kami yang berlindung di dalam kampus hanya bisa mengusap air mata
terkena gas air mata.
Saya kembali
mendapatkan kesempatan menulis ketika bekerja di lingkungan STIE Pramita,
Tangerang. Kebetulan majalah kampus itu membutuhkan tenaga kerja. Bersama dua
sahabat saya, Sugeng P Syahrie dan Luthfi Ihsana Nur, saya mengelola majalah
kampus itu. Lama kelamaan, karena perubahan politik, Pak Hadi Soebadio yang
menjadi pimpinan kampus itu terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah
Partai Amanat Nasional Kabupaten Tangerang. Dari sanalah saya terjun ke politik,
yakni dengan menerbitkan tabloid Mentari. Lagi-lagi menulis menjadi pekerjaan
utama.
Lalu saya
berkenalan dengan Faisal H Basri, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional.
Sejak mahasiswa saya sudah mengaguminya. Dalam waktu cepat, sayapun bergabung
dengan kelompok Faisal H Basri. Sayapun pindah dari Tangerang, lantas tinggal
di Apartemen Rasuna, Kuningan, sebagai markas kelompok Faisal H Basri. Di
apartemen itulah saya belajar politik dalam artian paling riil, karena
berdiskusi dengan genk Faisal yang lain, seperti Bara Hasibuan, Arif Arryman,
Nawir Messy, Sjahrial Djalil, Rizal Sukma, Rahmat Yananda, Santoso, Rachman
Sjarief, Aan Effendi, Tristanti Mitayani, Abdillah Thoha, Sandra Hamid, Miranti
Abidin, dan lain-lainnya. Mereka rata-rata berpendidikan master dan doktoral,
serta berasal dari sejumlah lembaga think tank berpengaruh seperti CSIS,
Econit, dan INDEF. Tugas saya adalah membikin minum, menyapu lantai, membelikan
makanan, dan mencatat hasil rapat, lalu mendistribusikannya kepada peserta rapat.
Dunia
internetpun saya kenali di apartemen Rasuna ini. Saya memasuki berbagai mailing
list, lantas menggunakan nick name, juga berdebat dengan banyak kalangan.
Informasi terbanyak memang akhirnya saya dapatkan lewat dunia maya ini. Boleh
dibilang saya selalu tidur terlambat, karena menggunakan internet sampai dini
hari. Koran-koran sudah saya baca dini hari itu di internet, sehingga informasi
terbaru selalu saya ikuti.
Karena
memang hidup di lingkungan politikus dan intelektual, sayapun memberanikan menulis.
Tulisan pertama dan kedua saya kirimkan ke Kompas. Tulisan ketiga diterima.
Semangat barupun muncul, karena Kompas adalah koran terbesar dan berpengaruh di
Indonesia. Tulisan-tulisan lainpun juga masuk ke Kompas, dan media lainnya.
Jadilah saya dikenal sebagai penulis Kompas, sesuatu yang menjadi magnet bagi
siapapun untuk menyampaikan pikiran mereka kepada saya. Selain menulis, saya
juga menjadi semacam asisten politik Faisal H Basri. Kesibukannya yang luar
biasa membutuhkan manajemen. Saya ditugaskan untuk membantunya, sekalipun untuk
mengatur jadwal Faisal sangatlah rumit.
Kolom Demi
Kolom
Akhirnya,
saya menjadi penulis. Produktifitas saya begitu meluap. Saya juga menjadi
generasi pertama penulis kolom di sejumlah website dengan honor lumayan. Booming
internet waktu itu menyebabkan banyak permintaan atas kolom, terutama
kolom-kolom politik. Detik.com, Berpolitik.com, Lippostar.com, Satunet.com,
Indonesiamu.com, dan lain-lainnya menjadi tempat saya menyalurkan bakat dan
kemampuan penulisan saya. Namun saya juga tetap terus mengirimkan tulisan demi
tulisan ke koran dan majalah.
Karena
memang “kontrak” saya dengan kelompok Faisal mau habis, saya akhirnya melamar
pekerjaan ke dua institusi, yakni CSIS dan radio 68h. Kebetulan Rizal Sukma
yang menjadi kelompok Faisal di PAN adalah Direktur Studi CSIS, begitu juga
anggota gank Rasuna lainnya yakni Santoso yang menjadi Direktur Radio 68h.
Ketika saya mulai kehilangan harapan, karena beban kebutuhan hidup yang mulai
Senin-Kamis, nyatanya saya diterima di kedua tempat itu. Tetapi, atas saran
Santoso dan teman-teman lain, termasuk dukungan dari Faisal, Arryman, dan Bara,
saya akhirnya memutuskan untuk bekerja di CSIS. Saya mulai masuk tanggal 1
Desember 2000.
Dengan
status baru sebagai peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS,
kesempatan buat saya makin terbuka lebar. Apalagi kelompok Faisal makin patah
arang dengan PAN. Tanggal 21 Januari 2001, sebanyak 16 orang fungsionaris dan
pendiri PAN mengundurkan diri, termasuk saya yang sebetulnya baru bergabung
resmi dalam Departemen Seni dan Budaya DPP PAN pascakongres PAN di Yogyakarta
tahun 2000. Sebagai orang dekat Faisal, saya punya banyak kesempatan
mengikutinya, termasuk dalam rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan penting di
luar jabatan saya di Departemen Seni dan Budaya. Saya juga mulai mengambil
tempat sebagai salah satu orang yang diberi kesempatan mengambil sikap atau
keputusan atas apa yang akan dilakukan oleh kelompok.
Setelah
mundur dari dunia politik, sekalipun tetap dikenal sebagai orang PAN, saya
mempunyai ketertarikan mendalam kepada kelompok-kelompok masyarakat sipil.
Karena kelompok Faisal sudah jarang bertemu, saya akhirnya bergabung dengan
sejumlah kelompok masyarakat sipil, antara lain Forum Indonesia Damai. Ketika
banjir melanda Jakarta, saya bergabung dengan kelompok Satu Merah Panggung
Ratna Sarumpaet. Dalam kapasitas sebagai anggota DPP PAN, saya juga pernah
menjadi tim perumus dan penulis akhir buku Skenario Masyarakat Sipil Indonesia
tahun 2010, dimana saya berkenalan dengan banyak aktifis muda kala itu, seperti
Munarman YLBHI. Saya juga menjadi salah satu deklarator Perhimpunan Rakyat
Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi (berantaS). Sebetulnya, simbol “S” dengan
huruf besar dalam KontraS dan BerantaS itu bukan timbul tanpa sengaja, melainkan
diidentikkan dengan Soeharto, sesuatu yang jarang diketahui oleh kalangan luar.
Dan sayapun
menikahi kekasih yang mendampingi saya selama 6 (enam) tahun sejak di bangku
kuliah: Faridah Thulhotimah, anak jurusan Ilmu Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) UI. Ia menjadi sumber inspirasi saya, sekaligus
kekuatan saya ketika berhadapan dengan begitu banyak persoalan hidup.
Pernikahan saya dihadiri oleh sejumlah aktifis, peneliti, politikus, dan teman
dekat. Mustafa Kamal membacakan doa, sementara Erry Riyana Hardjapamengkas
bertindak sebagai tuan rumah alias bapak angkat saya. Faisal H Basri menjadi
saksi. Biaya pernikahan saya datang dari kantong-kantong pribadi orang-orang
baik itu.
Sebagai
aktivis dan peneliti, saya juga menjadi penyiar radio, yakni di Radio Delta FM
dan Jakarta News FM. Karena bergabung dengan Koalisi untuk Konstitusi Baru yang
dikomandani oleh Todung Mulya Lubis dan Bambang Widjajanto, saya akhirnya
berkenalan dengan banyak ahli hukum dan politik dari berbagai kampus. Saya juga
pernah menjadi host acara di Trijaya FM. Undangan sebagai pembicarapun
berdatangan, termasuk di luar daerah. Inilah dunia yang “menenggelamkan” saya
ke dalam pergaulan kalangan civil society di Indonesia. Sejumlah nama yang
hadir di media massa-pun akhirnya saya kenali satu demi satu. Sayapun juga
mengenali Teten Masduki, justru setelah saya aktif di BerantaS yang merupakan
“pecahan” dari Indonesia Coruption Watch. Dari FID saya kenal Erry Riyana
Hardjapamengkas.
Sayapun
terus menjadi kolomnis. Sepanjang tahun 2001 saya menulis 67 artikel atau
kolom; tahun 2002 sebanyak 68; tahun 2003 sebanyak 60, dan tahun 2004 naik lagi
menjadi 65. Itu yang berhasil saya dokumentasikan, karena memang ada sejumlah
yang lain yang kurang terlacak. Saya juga menulis dalam jurnal ilmiah,
menyumbang tulisan untuk sejumlah buku, dan menulis makalah untuk seminar dan
diskusi. Boleh dibilang kegiatan menulis adalah kegiatan utama saya. Saya ingat
ucapan dosen saya, pak Ismail Marahimin: “Kalau anda lulus dan mendapatkan
nilai A, itulah modal hidup anda.”
Ide Tulisan
Lalu
darimana ide-ide tulisan saya. Pertama, tentunya berangkat dari kegelisahan
pribadi. Saya merupakan pribadi yang gelisah. Kalau saya merasakan sesuatu,
biasanya saya mengambil buku kecil mencatat ide-ide saya. Atau langsung
menulisnya saat itu juga. Karena dilahirkan dari keluarga miskin dan hidup
dalam penderitaan di Jakarta, selalu saja saya curiga kepada penguasa dan
kekuasaan. Boleh dikatakan saya mempunyai banyak musuh: tentara, laskar, partai
politik (terutama Partai Golkar), dan lain-lainnya. Hal inilah yang membuat
saya terus memproduksi tulisan-tulisan kritis dan emosional, terutama kalau
arogansi kekuasaan muncul. Ide-ide itu juga lahir dari semangat penolakan
kepada argumen-argumen orang lain. Selama tinggal di Tangerang, saya terbiasa
mengkliping artikel-artikel koran dari penulis ternama, lantas mencorat-coret
pikiran-pikiran mereka.
Kedua, ide
tulisan yang bersifat perubahan dan pembaharuan muncul dari keterlibatan saya
di banyak organisasi masyarakat sipil, misalnya: Forum Indonesia Damai, Koalisi
untuk Konstitusi Baru, Gerakan Tidak Pilih Politisi Busuk, Perhimpunan Rakyat
Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi, Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli
Papua, Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil, Komisi Darurat Kemanusiaan,
Kelas Indonesia Alternatif dan lain-lain. Berbagai pemikiran yang berkembang
dalam forum-forum itu saya teruskan ke media. Apalagi, sebagai orang yang mulai
dikenal sebagai pengamat politik, saya terkadang merasa jengah dengan apa yang
dikutip dari wawancara dengan saya. Biasanya, dari sejumlah wawancara panjang,
tampilan di media tidaklah utuh. Makanya, untuk “meluruskan”-nya dan
menampilkannya secara utuh, saya memutuskan menulis tema dari wawancara yang
berangkat dari peristiwa politik itu.
Ketiga,
berasal dari fokus penelitian saya selama di CSIS, yakni menyangkut otonomi
daerah, partai politik, demokrasi dan konflik. Lingkungan pergaulan di CSIS
begitu menyenangkan, karena terdapat banyak nama yang dikenal oleh publik luas,
seperti J Kristiadi, Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, Tommy Legowo, dan
lain-lainnya. Beberapa tugas kantor akhirnya saya rasakan bisa disampaikan
kepada publik. Dari sinilah muncul tulisan-tulisan yang tidak berdasarkan
peristiwa politik, melainkan lebih kepada pengembangan konseptual atau bahkan
hanya sekadar pelipur lara. Tulisan-tulisan ini lebih reflektif, karena mencoba
melihat sesuatu dari luar praktek politik keseharian.
Keempat,
berasal dari fokus pribadi saya, yakni menyangkut tema masyarakat sipil, Papua
dan Aceh. Perjalanan saya ke daerah juga menjadi inspirator, makanya muncul
tulisan soal Samarinda, Pekanbaru, Maluku, Aceh, Papua, dan lain-lain. Saya
selalu ingin mencari tahu ada apa dibalik perlawanan atas Jakarta. Sesuatu yang
saya cita-citakan sejak dulu, yakni bertualang ke banyak negeri, akhirnya
tercapai. Tidak terasa, saya menjelajahi sebagian besar ibukota provinsi di
Indonesia. Hanya Gorontalo, Kendari (Sulawesi Tenggara), Tanjung Pinang
(Kepulauan Riau), Mamuju (Sulawesi Barat) dan Monokwari (Irian Jaya Barat) yang
belum saya kunjungi. Indonesia nyatanya tidak seperti yang kita baca lewat
informasi buku dan media.
Saya juga
mendapatkan ide tulisan dari apa yang saya baca. Kadang-kadang sepotong berita
dan kalimat di sesobek koran. Biasanya, kalau saya ingin menulisnya, tema atau
ide itu terus-menerus mendesak saya untuk segera dituliskan. Kalau saya sudah
mulai menulis, biasanya saya melupakan yang lain. Tetapi saya juga bisa menulis
di tengah kebisingan atau pembicaraan. Kadang, dalam seminar, ketika menjadi
pembicara, atau ketika berbicara dengan orang lain, saya tiba-tiba berhenti dan
menuliskan sesuatu di catatan atau handphone atau XDA saya. Saya takut kalau
ide atau potongan kalimat itu tiba-tiba hilang, karena saya pasti menyesalinya.
Anehnya,
kalau saya membaca buku serius atau teoritis, saya justru tidak akan bisa
menulis beberapa hari. Saya akan tenggelam dalam buku itu. Biasanya kalau ada
sesuatu yang terbersit, saya menulis di pinggiran buku itu, misalnya bagian
yang hendak saya kutip untuk makalah atau ide yang hendak saya pertentangkan
dengan apa yang tertulis di buku itu. Makanya, saya kadang-kadang agak
kesulitan untuk “larut” dalam keadaan, karena itu bisa mematikan saya.
Ide juga
bisa muncul dari orang lain, dan ini yang dikritik oleh teman saya sebagai
tidak genuine. Misalnya, beberapa redaktur opini meminta saya menulis tema
tertentu dengan waktu tertentu. Biasanya saya cepat menuliskannya, karena
mengejar deadline. Kenapa bisa cepat? Karena saya mengikuti perkembangan berita
dengan rutin, lalu membangun opini tersendiri atas berita atau peristiwa itu.
Hanya, saya merasa menulisnya tidaklah penting atau tidak punya waktu. Baru
ketika diminta oleh redaktur opini media massa itu saya merasa, “O, menulis
soal ini penting, toh?” Kadang, karena merasa bosan atau tulisan yang saya
kirim lama dimuat atau tidak dimuat sama sekali, saya berhenti menulis dan
menganggap semua hal tidak penting, kecuali tulisan saya yang lama baru dimuat
itu atau yang tidak dimuat itu.
Struktur
Penulisan
Lalu
bagaimana saya menuliskan sesuatu yang “penting” atau “tidak penting” itu
sehingga tersaji di depan publik dalam lembaran-lembaran koran? Bagaimana
struktur penulisan yang baik? Berdasarkan pengalaman, menurut saya, tulisan
yang baik itu harus memuat unsur-unsur berikut.
Pertama,
kuat dalam data. Kadangkala saya juga ceroboh dalam hal ini, terutama
menyangkut nama, peristiwa, singkatan, atau bahkan tanggal. Tetapi, karena
peristiwa politik berlangsung cepat, soal data itu juga tidak selalu akurat
ditulis oleh media, karena informasi pagi hari bisa berubah sore dan malam
hari. Tetapi, apapun itu, penulis yang baik hendaknya jangan sekali-kali
memanipulasi data.
Kedua,
sedikit teori. Dulu saya sempat menulis dengan cara mengutip buku, bahkan juga
sekarang. Ada kelompok pembaca yang menyenangi jenis ini, terutama kalau kita
mengutip buku atau artikel terbaru berbahasa Inggris, seperti yang banyak
dijumpai di perpustakaan CSIS. Tetapi, lama kelamaan, saya merasa cara seperti
ini tidaklah menarik. Alasannya antara lain, analisa atau teori dalam buku itu
mencakup spektrum atau konteks tertentu. Teori transisi atau konsolidasi
demokrasi, misalnya, tidak sama antara Philipina, Brazil, Thailand atau
Malaysia. Kalau hanya mengambil kesimpulan akhir dari sebuah buku atau artikel,
berdasarkan uraian panjang lebar atas persoalan tertentu, berarti yang terjadi
adalah inplantasi atau pencangkokan. Dalam soal artikel koran, saya sependapat
dengan Bara Hasibuan betapa rata-rata kolom di Indonesia terlalu berat,
reflektif dan teoritis. Referensi Bara tentunya International Herald Tribune
dan koran-koran luar negeri lainnya.
Ketiga,
tidak mendalam, tetapi juga tidak dangkal. Kalau ingin menulis mendalam, pakai
kerangka teori, sebaiknya tulisan itu dikirimkan ke jurnal atau lebih baik lagi
yang ditulis adalah buku, bukan artikel atau kolom. Yang diperlukan adalah
bingkai dari keseluruhan tulisan dan bagaimana bingkai itu diberi daging opini
dan bahkan selimut pendapat. Kalau terlalu dalam, bisa-bisa tulisan itu malah
menyesatkan atau liar kemana-mana. Makanya, bagi sejumlah kawan penulis opini
media, biasanya yang dicari adalah judul tulisan terlebih dahulu, ketimbang
isinya. Tetapi ada juga yang menjadikan pemberian judul setelah tulisan
selesai. Saya menggunakan keduanya, sekalipun saya lebih senang dan cepat
menulis kalau sudah menemukan judul yang cocok.
Keempat,
ringkas. Ringkas bukan berarti padat atau ringkasan. Saya biasanya kebingungan
kalau membaca kolom atau artikel ekonomi yang dipenuhi dengan angka dan prosentase
serta istilah-istilah teknis lainnya. Pembaca koran yang baik mungkin
memerlukan kamus khusus untuk bisa memahami artikel itu. Tetapi bagaimana bisa
anda menyiapkan kamus di terminal bus atau di kursi pesawat yang terbang jauh
di atas langit? Tulisan singkat bisa memuat unsur 5W-1H, tetapi sekaligus juga
mengandung tiga hal: pembuka (angle), isi dan penutup (refleksi). Tulisan
ringkas juga sedapat mungkin menggunakan pilihan kata populer/sederhana,
ketimbang teknis ilmiah.
Kelima,
tepat sasaran. Anda ingin menujukan tulisan buat siapa? Kalau saya menulis agak
panjang (1200 karakter, misalnya), biasanya saya tujukan tulisan itu ke
kalangan mahasiswa atau pembaca yang biasa mengkliping artikel. Tetapi kalau
tulisan pendek, dalam pikiran saya langsung tergambar siapa saja orang yang
saya “tembak” dengan tulisan itu. Tentu berlainan antara tulisan yang ingin
ditujukan ke kalangan pengambil keputusan dengan tulisan kepada khalayak ramai
yang ingin “memahami” sebuah peristiwa. Sebagaimana media mencari pangsa pasar,
maka dalam diri penulis mestinya juga sudah tersedia sejumlah pangsa pasar bagi
pembaca tulisan-tulisannya.
Keenam,
karakter media. Media tentu juga memiliki visi dan misi. Karakter masing-masing
media berlainan. Saya punya catatan khusus tentang media-media tempat saya
mengirimkan tulisan saya, serta saya gunakan untuk mengirimkan tulisan saya.
Biasanya, saya tidak berpikir untuk menulis sebuah kolom atau artikel dengan
cara sesudah selesai baru dipikirkan mau dikirim kemana. Ketika menulis, saya
sudah tahu tulisan ini ditujukan ke media apa, lalu secara “otomatis”
kalimat-kalimat yang saya bangun juga akan “sebangun” dengan media itu. Hal ini
memang berat, karena karakter penulis bisa-bisa hilang. Tetapi saya selalu mempunyai
sejumlah hal yang menurut saya “khas” saya, sehingga orang mengenali itu
sebagai tulisan saya. Saya sebetulnya juga berharap bahwa tulisan-tulisan saya
dibaca bukan karena saya penulisnya, tetapi karena ada cita-rasa tersendiri
dari tulisan itu.
Ketujuh,
sebetulnya boleh ada kutipan (awal, tengah atau akhir tulisan). Tetapi ini
konsep yang sangat klasik. Terkadang saya tidak mengutip, tetapi memberikan
cerita. Kutipan juga seringkali menjadi sempalan dari sebuah tulisan, karena
kalau tidak tepat menempatkannya, bisa-bisa ia menjadi semacam benalu atau
kangker. Kutipan yang baik adalah yang bisa menyatu dengan keseluruhan tulisan.
Dulu saya mengutip lewat wawancara, sekarang yang makin sering adalah lewat
sms. Saya pernah kaget ketika Revrisond Baswir menulis di Republika dengan
diawali oleh sms dari saya. Saya juga pernah menulis di Koran Tempo dengan
kutipan langsung sms dua orang menteri, tetapi saya tidak menyebutkan siapa
menteri itu karena kurang etis.
Sebetulnya
apa yang saya tuliskan ini sangat pribadi. Mungkin banyak yang tidak
memahaminya, karena memang keluar dari kerangka umum. Sebelum menjadi penulis,
bertahun-tahun saya membeli buku-buku tentang penulisan, baik ilmiah atau
populer. Banyak teori penulisan yang muncul dalam buku-buku yang mudah
didapatkan di loakan itu. Tetapi, ketika saya menulis, tentu buku-buku itu
tidak ada lagi di meja saya. Sesekali saya memang perlu membacanya untuk
sekadar mengambil jarak atas tulisan-tulisan saya sendiri.
Tips Khusus
Bagi penulis
baru atau lama, ada beberapa tips khusus yang saya rasa perlu, terutama untuk
“menembus” media massa mapan. Anda bahkan bisa menjadi penulis produktif kalau
mempraktekkannya. Ketika saya mempraktekkannya, dulu, saya pernah kaget ketika
tanggal 9 bulan itu saya sudah menemukan 10 tulisan saya di media cetak.
Artinya, tulisan saya itu lebih dari satu dalam sehari. “Kegilaan” itu tidak
saya lanjutkan, karena ada banyak nasehat agar saya bisa menjaga jarak. Apalagi
motif saya menulis kala itu salah satunya uang, karena dari menulis saja saya
bisa mendapatkan Rp. 5 Juta per bulan.
Tips khusus
itu adalah, pertama, perhatikan headline atau tajuk rencana harian/majalah yang
bersangkutan. Dari headline dan tajuk rencana itu, kita bisa membaca kearah
mana setting agenda dari media yang bersangkutan. Kalau anda temukan headline
tertentu dan tajuk rencana tertentu ditulis berkali-kali, tetapi tidak ada juga
opini yang ditulis pihak luar, maka kesempatan masuknya tulisan anda bisa 100%.
Saya sering “tertawa” ketika menemukan kolom atau opini yang tidak terlalu
bagus, tetapi tetap dimuat, karena memang sangat sesuai dengan concern media
itu dalam tajuk rencana dan headlinenya. Kalau perlu, anda kutip tajuk rencana
media tersebut, lalu mengupas dan mengkritiknya.
Kedua,
temukan judul yang pas dan ringkas terlebih dahulu. Judul adalah otak dan otot
bagi sebuah tulisan pendek. Sering malah sebuah tulisan dimuat karena judulnya,
sekalipun isinya biasa-biasa saja. Karena memang ditujukan kepada orang yang
mungkin sedang minum kopi atau istirahat, sebuah artikel pendek akan langsung
dibaca ketika judulnya menarik. Isinya bisa apa saja, tetapi judul sudah
menjadi iklan yang luar biasa. Saya sering mendapatkan komentar atas tulisan,
hanya karena judulnya. “Kursi RI 1 untuk Apa, Jenderal” (Kompas, 29 April 2004)
termasuk yang mendapatkan banyak reaksi positif. Padahal, tulisan itu sempat
dirombak dan diganti judul, sekalipun isinya tidak banyak berubah.
Ketiga,
kalau ingin menjadi penulis terkenal, sebaiknya kejar media “besar” terlebih
dahulu, namun jangan berlebihan. Saya kira “teori” kirim 100 artikel sekalipun
ditolak gugurkan saja. Untuk apa anda mengirim 100 artikel kalau semuanya tidak
dimuat? Kalau anda betul-betul bertahan dalam susah, lalu memperbaiki tulisan
anda, lantas sekali sebulan mengirim ke media besar yang sama, saya kira anda
akan mendapat tempat. Tetapi jangan lupa, bahwa dengan cara seperti itu anda
sebetulnya harus bersiap-siap untuk mendiskusikan tulisan anda jauh lebih dalam
dari apa yang anda tulis.
Keempat,
usahakan menjadi spesialis. Banyak yang menyebut saya bukan spesialis ilmu
tertentu, karena tema yang saya tulis terlalu banyak. Spesialisasi saya, ya,
sebagai penulis saja. Akan lain misalnya seorang penulis mempunyai spesialisasi
ilmu pengetahuan tertentu, karena dia akan dicari pascatulisan itu terbit. Saya
akui, dulu saya menulis banyak hal, sekalipun pelan-pelan ingin saya arahkan ke
satu-dua tema saja. Tetapi kesulitan menjadi spesialis juga ada, yakni anda
akan sangat tergantung kepada momentum. Penulis yang baik harus bisa menyiasati
momentum, sekalipun punya spesialisasi, yakni dengan menjadikan peristiwa
apapun sebagai jalan pembuka. Ahli-ahli pemilu, misalnya, akan sulit menulis
ketika musim pemilu sudah lewat. Kalau ia kreatif, setiap bulan bisa saja
menulis segala sesuatu lalu mengaitkannya dengan pemilu.
Kelima,
jangan lupa membikin tabungan naskah. Anda pasti akan membutuhkannya, terutama
kalau anda betul-betul menjadi penulis besar. Ketika produktifitas tulisan saya
begitu tinggi, sebagian saya ambil dari tulisan ketika mahasiswa. Untunglah
saya memasukkan beberapa ke dalam komputer, sehingga tinggal mengolahnya lagi
sesuai dengan kebutuhan sekarang. Akan tetapi, model dan karakter tulisan
mahasiswa itu tentulah berlainan dengan sekarang. Tetapi ada keinginan tersendiri
betapa apa yang pernah saya tulis itu harus sampai kepada publik, kalau memang
saya menganggap tulisan itu bisa memberikan perspektif.
Penutup
Apa yang
saya tuliskan ini tentulah belumlah semuanya. Apalagi di tengah kesibukan
sekarang, tentu semakin sulit bagi saya meluangkan waktu untuk menulis. Harus
ada banyak penyiasatan atas waktu. Dulu, apabila saya bosan atas sesuatu,
biasanya saya pergi ke tiga tempat, yakni toko buku, pasar dan laut. Dengan
mengunjungi toko buku, saya merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Kalau
ke pasar dan menemukan kuli, ibu-ibu penjual sayur, atau bau busuk, saya merasa
sebagai orang paling malas di dunia. Di pinggir pantai saya merasa menjadi
orang paling kecil di tepian galaksi. Biasanya, saya kembali segar, lantas berusaha
untuk tidak malas.
Dari
menulis, saya mendapatkan banyak manfaat. Seringkali orang merasa saya orang
pintar. Padahal, banyak orang yang lebih pintar dan cerdas yang saya temui dan
kagumi. Saya justru merasa, kepintaran bukan ukuran untuk menjadi seorang
penulis. Yang paling penting barangkali empati atau keinginan merasakan apa
yang diderita atau dipikirkan atau dirasakan orang lain, seperti orang lain itu
memikirkan atau merasakannya. Kalau sisi humanisme hilang dalam diri saya,
barangkali saya tidaklah akan bisa menjadi seorang penulis.
Saya memang
mendapatkan uang, “ketenaran” dan segala macam hal lainnya dengan menulis.
Banyak yang tertipu dengan usia saya, pendidikan saya (saya baru menyelesaikan
S-1 Jurusan Ilmu Sejarah UI), sosok saya (saya tidak pakai kacamata dan agak
gaul, bukan ada di perpustakaan penuh debu), orangtua saya (saya bukan anak
jenderal, pengusaha besar atau pejabat negara, karena ayah-ibu saya hanyalah
petani dan pensiunan pegawai negeri sipil golongan rendah), atau kondisi keuangan
saya (sekarang memang sudah lebih mapan, punya mobil, tiga kantor, tetapi saya
tinggal di rumah mertua di lingkungan yang “buruk”: banyak preman, kyai, etnis,
juga ada banyak penjual narkoba, pelacur, dll, di kawasan Jalan Krukut, Jakarta
Kota), dan lain-lain.
Sebagai
pemompa semangat, dengan menulis katakanlah 350 artikel saja selama 5 tahun
ini, lalu rata-rata artikel itu dihargai Rp. 500.000,- (ada yang lebih ada yang
kurang), berarti saya sudah mengumpulkan uang kira-kira sebesar Rp.
175.000.000,- atau Rp. 35.000.000,- setahun. Kalau ukurannya uang, sebetulnya
menulis artikel hanyalah perantara kepada kegiatan lain, seperti seminar,
pelatihan, dan lain-lainnya yang uangnya lebih besar, selain tentunya tawaran
gaji yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga yang menginginkan saya bekerja di
sana. Silakan tebak, berapa saya punya penghasilan.
Menjadi
penulis menurut saya bukan berarti harus menjadi miskin. Tetapi tetap saja
menjadi sebuah kesalahan pikiran kalau tujuan menjadi penulis adalah mencari
kekayaan atau ketenaran. Pengalaman menunjukkan, ketika saya ingin bersembunyi
dan menyendiri, tiba-tiba ada saja yang kenal dan harus diajak bicara.
Kehadiran televisi sebetulnya bisa menggerus kemampuan seorang penulis, kalau
penulis itu yang seharusnya menulis, tetapi harus hadir di televisi menjadi
seorang pembicara atau komentator.
Lebih dari
segalanya, kebutuhan penulis di Indonesia masihlah besar. Selain itu, nasib
penulis Indonesia juga kurang beruntung. Jangankan untuk mentraktir orang lain,
bahkan untuk makan layak saja tidaklah cukup. Saya punya sejumlah teman yang
duluan terkenal, tetapi hidupnya pas-pasan karena hanya mengandalkan tulisan.
Karena media massa juga punya keterbatasan, misalnya paling tinggi memuat dua
tulisan dari satu penulis dalam sebulan, kehidupan penulis bukanlah sesuatu
yang menyenangkan. Untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk membeli buku,
bepergian, meneliti, atau ketemu dengan orang lain mendiskusikan sesuatu.
Bagi saya,
nasib penulis haruslah diperbaiki. Sekarang saya mencoba membangun sebuah
organisasi yang menaungi penulis, bersama Andrinof Chaniago, Jeffrie Geovanie,
Saldi Isra, dan lain-lainnya. Mungkin namanya Indonesian Writer’s Institute
(IWI). Gagasan ini sudah lama saya perjuangkan dan peminatnya tidak sedikit.
Kehadiran organisasi ini tinggal menunggu waktu, paling lama tahun depan.
Dengan cara itu, mudah-mudahan ada banyak jalan untuk menghasilkan para
penulis, juga memperbaiki kehidupan (ekonomi) para penulis, tanpa mereka harus
kehilangan jati diri, cita-cita, dan idealismenya.
*) Indra Jaya Piliang (Aya) lahir di
Pariaman pada 19 April 1972. Artikel ini diterbitkan pada Jumat, 20 Desember
2002. Sempat menjadi pendukung Internazionale Milan, Aya sekarang lebih memilih
Chelsea sejak era Gianfranco Zola.