Penulis:
Indra J Piliang*)
PADA
mulanya manusia adalah makhluk otonom, kecuali kepada Tuhan. Ketika Tuhan
menciptakan Adam sebagai manusia pertama, ia nyaris sendirian. Siti Hawa (Eva)
lalu diciptakan-Nya agar semangat otonom itu tetap, demi tujuan-Nya untuk
memperindah dunia, bukan demi kesenangan Tuhan semata. Otonomi bukan demi
kesendirian atau kesepian pikiran, nurani, dan akal budi, melainkan demi
kemanusiaan itu sendiri dalam bingkai keimanan.
Dari
Adam-Hawa, manusia-manusia otonom lainnya lahir. Manusia ini juga yang memberi
nama benda-benda, dari impuls kecerdasan yang diberikan-Nya. Bahasa-bahasa
berkembang, sebagian dituliskan, sebagian lainnya hanya dikenali sebagai bunyi
suara dan nada. Ratusan bahasa itu hidup dalam berjenis-jenis suku bangsa,
sebagian bahasa lama mati, sebagian yang lain muncul dengan segala kebaruannya.
Bukan hanya benda-benda yang diberi nama, bahkan Tuhan sendiri diberi nama:
Tuhan, Allah, Sang Hyang Widi, dan nama-nama lainnya.
Dari
otonomi individu itu, sejarah dipahat, dunia dikreasikan, lalu manusia
berkembang dan mati. Otonomi masuk lewat jalur kebudayaan klasik sampai modern,
bahkan juga berjenis mitologi suku-suku bangsa. Sejarah sendiri adalah gabungan
dari berbagai serpihan ingatan, catatan, arsip, buku, juga tanda-tanda. Ketika
dunia Eropa sedang melepuh dalam masa kegelapan, dunia Islam justru terang
benderang.
Di
Indonesia, patahan-patahan sejarah itu berbentuk pemerintahan otonom dari
masing-masing kerajaan (agraris dan pesisir), pelumpuhan mekanis dan sistematis
oleh mesin merkantilisme ekonomi VOC (belum negara), kedatangan gubernur
jenderal dari kerajaan kecil di tepi Eropa Barat sebagai utusan Ratu Belanda,
lalu operan mahkota kekuasaan yang silih berganti dari tangan bangsa yang satu
ke bangsa yang lain.
Perlawanan
otonom, terpisah-pisah, menciptakan para 'pahlawan'. Mengkreasi para pahlawan
adalah bentuk dari kelemahan manusia ketika menghadapi perubahan dunianya.
Pahlawan juga terbentuk dari sentuhan perubahan situasi geopolitik di Asia dan
Eropa, pergerakan nasional, gagasan Pan Islamisme, politik Comintern (komunis
internasional),
belalai
gurita kapitalisme Amerika dan Eropa, dua perang dunia, dan pendudukan Jepang
(angkatan darat di bagian barat dan angkatan laut di bagian Timur).
Interaksi
itu menciptakan Soempah Pemoeda, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sampai
negara Republik Indonesia (RI) pertama pada 17 Agustus 1945, negara RI Serikat
1949 (republik kedua), negara RI Sementara 1950 (republik ketiga), Negara
Dekrit 5 Juli 1959 (republik keempat), era perang dingin, republik kelima 1963
(plus Papua), republik keenam 1974 (plus Timor Timur), gelombang ketiga
demokratisasi, dan kembali ke republik kelima 1999 (tanpa Timor Timur).
Dalam
fase-fase itu, sejarah bergerak di seputaran elite, baik di Jakarta maupun
elite daerah yang datang ke Jakarta. Masyarakat di masing-masing daerah tetap
hidup dalam nuansa kesehariannya, kecuali para aktivis yang berkepentingan
memobilisasi dukungan. Siklus hidup seperti ini tak berubah. Partai politik
hanya hadir sebagai organisasi pemilihan umum. Perubahan konstitusi berlangsung
elitis. Masyarakat jarang disapa untuk bersuara.
Bentangan
sejarah seperti ini tentu berlainan dengan versi dan kontroversi yang tercipta
selama ini. Sejarah Indonesia memang terbelenggu oleh kepentingan melanggengkan
kekuasaan segelintir elite, dengan mengeleminasi kerja-kerja masa lalu,
memasukkan kerja-kerja masa kini, memasung kerja-kerja masa datang, lantas
disebarkan lewat berbagai jalur, mulai dari pendidikan sampai buku-buku.
Doktrin dan ideologi menyebabkan sejarah tampil sebagai belenggu yang menjulur
dari masa lalu. Padahal, sejarah adalah medium pembebasan dan pencerahan.
Sejarah mengandung berbagai unsur negatif dan positif manusia, baik dan buruk,
pengkhianat dan pahlawan. Tanpa itu, sejarah adalah penjara untuk kekinian dan
kedisinian.
Desentralisasi
tanpa pengkhianatan
Desentralisasi
juga bagian dari pengkhianatan itu. Indoktrinasi, hegemoni, dan nasionalisme
represif menyebabkan Indonesia dilihat sebagai manunggaling kawulo gusti.
Indonesia disebut sebagai negara kesatuan (tunggal), dan bukan persatuan
(jamak). Unitarianisme dimaknai sebagai sebuah kepemilikan yang sudah
seharusnya begitu, dan bukan sebagai medan kesadaran demi pengabdian dan
kepedulian kepada nasib manusia Indonesia lainnya. Keadaan ini tidak
dikehendaki bahkan oleh pendiri bangsa. Salah satu amanat terbesarnya adalah
desentralisasi.
Hakikat
desentralisasi adalah dekonstruksi atas sentralisasi, pemusatan, atau
sentrifugalisme. Seluruh kehendak untuk menekankan sentralisasi politik,
komandoisme ekonomi, panglimaisasi budaya, dan hegemoni satu lajur pemerintahan
mestinya dihempas, dibatasi, diminimalisasi, atau bahkan dimarginalkan.
Indonesia dari sisi geografis saja adalah jejeran pulau-pulau, terbagi ke dalam
tiga jenis waktu (timur-tengah-barat), terpilah dalam garis persebaran
biodiversitas tumbuhan dan binatang yang dikenal sebagai garis Wallace—yang
diambil dari nama ilmuwan muda Inggris, Alfred Russel Wallace. Kalau garis
pantainya disambung, Indonesia jauh lebih luas dari garis pantai negara mana
pun.
Dari
letak dalam planet bumi, Indonesia dipisah oleh garis khatuliswa, di tengah
alam tropika. Indonesia cuma mengenal dua musim, kemarau dan hujan, tanpa perlu
melihat musim semi dan gugur. Dataran rendahnya lebih banyak dari dataran
tingginya, menunjukkan pentingnya kesetaraan dan egalitarianisme antarsuku,
agama, etnis, sampai jarak antara penyelenggara negara dan warga negara.
Dalam
mencapai dan membentuk Indonesia, sumbangan masing-masing kelompok berimbang.
Sekalipun Indonesia disatukan oleh kolonialisme, bukan berarti endapan pikiran
untuk tergabung dalam satu payung negara tidak ada. Perjalanan panjang
Indonesia disatukan oleh berbagai kelompok yang menjelajahi daratan dan lautan.
Kota-kota pantainya dipenuhi oleh berbagai jenis bangsa di dunia, dalam
interaksi yang sedikit sekali menggunakan kekerasan.
Indonesia
tidak pernah digagahi oleh perang skala besar. Sekalipun terjadi perang, lebih
banyak sifatnya perang ikut-ikutan, ketika bangsa-bangsa kolonialis
memperebutkannya: Portugis, Prancis, Spanyol, Inggris, Jepang, dan Amerika.
Sampai kini pun Indonesia tak memiliki peninggalan teknologi perang yang
bersifat menghancurkan, seperti senjata pemusnah massal nuklir dan senjata
biologis. Paling jauh, Indonesia hanya pernah memiliki senapan-senapan yang
sangat kuno, ditambah dengan peralatan zaman perunggu dan besi seperti rencong,
keris, badik, parang, tombak, panah, atau pisau. Kalaupun mengenali senapan
kaliber modern, bisa dipastikan semuanya datang dari luar.
Koordinasi
tiga level pemerintahan
Catatan
di atas memperlihatkan bahwa desentralisasi adalah bagian dari kodrat alami
bangsa Indonesia. Selama ini Indonesia dibajak sekelompok lapisan elite yang
mengatasnamakan demokrasi menurut tafsiran rezim otoriter birokratik
masing-masing. Akibatnya, kekhasan alami bangsa Indonesia lenyap. Akar-akar
kultural melemah, masyarakat kembali menjadi pihak yang diasingkan. Padahal,
dari ukuran kemajuan saja, Indonesia adalah mosaik dari suku-suku yang hidup
dalam zaman megalitikum dan neolitikum, feodal, sekaligus modern dan
metropolis.
Mosaik
Indonesia berantakan akibat pukulan palu godam kekuasaan pada kaca sejarah.
Indonesia tidak dilihat sebagai gabungan dari masyarakat yang hidup dari
berburu dan mengumpulkan makanan, dengan hanya mengenal api sebagai nyala
kehidupan, dengan masyarakat yang memiliki teknologi tinggi dan mengumpulkan
saham dalam jumlah banyak, serta diterangi listrik. Kebudayaan, bahasa, ilmu
pengetahuan, sampai jenis kebutuhannya pun berlainan.
Di
pengujung abad ke-20, desentralisasi menjadi hukum pemerintahan dengan
keluarnya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua UU itu tetap dibaluri oleh
dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Dekonsentrasi masih menjadi ikatan akan
pentingnya delegasi konsentrasi-konsentrasi yang bersifat khusus dari urusan
pemerintahan. Sedangkan tugas perbantuan menjadi bagian dari darurat
pemerintahan, karena sangat mustahil Jakarta mampu mengerahkan kemampuan
apabila terjadi tragedi bersifat nasional dalam teritorial daerah dan wilayah
tertentu. Alat-alat pemerintahan di wilayah atau daerah itulah yang langsung
menjalankan tanggung jawab nasional.
Kasus
pengungsi di Nunukan, atau yang melarikan diri dari medan konflik di Aceh,
Timor Timur, Maluku, Sambas, Sampit, dan Poso pada dasarnya diserahkan
urusannya kepada pemerintahan daerah bersifat tugas perbantuan, lengkap dengan
sumber pembiayaan dari pemerintahan pusat. Namun, ironis sekali kalau tugas
pemerintahan di Nunukan seolah-olah tanggung jawab dan wewenang masing-masing
pemerintahan daerah.
Desentralisasi
mensyaratkan banyak hal. Selain rasa tanggung jawab yang militan oleh pemerintah
daerah, juga menuntut partisipasi luas komponen-komponen masyarakat yang kini
kian kencang disebut sebagai komunitas yang otonom. Desentralisasi ini
menempatkan
demokrasi
sebagai sistem dan kultur, bukan teokrasi, apalagi monarki. Untuk menguatkan
desentralisasi, otonomi masing-masing komunitas mutlak adanya sebagai conditio
sine qua non.
Dalam
level ini, tujuan terjauh dari desentralisasi adalah otonomi individu, bahkan
di tingkat nuclear family. Pemaksaan kehendak adalah musuhnya, keserakahan
penguasaan material secara berlebihan menjadi racunnya, apalagi otoritarianisme
dan totalitarianisme sebagai pembunuh nomor satu bagi kebebasan individu.
Sedangkan
dekonsentrasi dan tugas perbantuan adalah jaring-jaring pengaman agar tak
muncul egoisme sektoral, parsial, dan primordialistis di tingkat pemerintahan
pusat, provinsi, dan daerah. Jenjang pemerintahan di tingkat pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota tidak bisa dipisahkan, mengingat birokrasi adalah uratnya,
sedangkan otonomi di masing-masing tingkatan adalah akarnya. Masing-masing
dituntut untuk saling berkoordinasi, demi tujuan-tujuan nasional
penyelenggaraan negara.
UU No
22/1999, misalnya, mengecualikan Provinsi DKI Jakarta, Nanggroe Aceh
Darussalam, dan Papua, mengingat ketiganya memiliki UU Otonomi Khusus. Artinya,
di ketiga daerah ini hanya dikenal dua jenjang pemerintahan: pusat dan
provinsi. Sedangkan urusan kabupaten/kota lebih banyak tanggung jawab provinsi.
Hal ini sering dilupakan, terlihat dari penelitian atau penyebutan oleh
pemerintahan daerah tentang 'otonomi' di ketiganya.
Inti
kekuatan masyarakat dan inti negara pada akhirnya menyebar, tidak lagi berada
di satu tangan atau satu kelompok dan partai politik. Untuk memberikan situasi
lingkungan yang kondusif, desentralisasi memerlukan perombakan di bidang-bidang
lain, termasuk pentingnya penghormatan atas tradisi, pengkhidmatan atas harga
diri, sampai terbentuknya partai-partai politik lokal yang bekerja sama untuk
kepentingan penduduk dan daerah yang saling berdekatan. Sangat diharapkan,
Indonesia akan mampu melahirkan lapisan demi lapisan pemimpin, mulai dari
tingkat keluarga inti, desa, kelurahan, kabupaten, provinsi, hingga nasional.
Evaluasi
dan proyeksi
Selama
pemberlakuan UU No 22/1999 dan UU No 25/1999, telah terlihat betapa kegamangan
pada tingkat pemerintahan pusat dan pemaknaan yang berlebihan pada level
pemerintahan
masing-masing daerah. Yang terjadi pada akhirnya penyeragamanbentuk pemerintahan,
tanpa memerhatikan detail-detail yang tertuang dalam UU.
Otonomi
langsung diberikan kepada seluruh kabupaten/kota, disertai dengan pembentukan
70-an provinsi/kabupaten/kota baru. Yang banyak dilanggar adalah studi
kelayakan apakah pemekaran wilayah atau peningkatan status otonomi sebuah
wilayah/daerah itu sesuai dengan daya dukung ekonomi, politik, dan sumber daya
manusia/alamnya.
Kalau
otonomi hanya membebani pusat yang diambil dari sumber-sumber ekonomi yang
dikuasai negara dari segi anggaran pembangunan, lewat dana alokasi umum (DAU),
apa betul penghormatan diri daerah menjadi meningkat? Yang terjadi adalah
meningkatnya jumlah 'pengemis berdasi' yang beroperasi lewat lobi-lobi di
hotel-hotel, sering berpergian ke Jakarta, lalu mengatasnamakan rakyat di
daerahnya.
Rendahnya
distribusi anggaran untuk biaya pembangunan, bahkan pemeliharaan fasilitas
sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), memperlihatkan betapa otonomi daerah
telah diakuisisi menjadi otonomi elite daerah. Elite daerah kian independen
dari rakyatnya yang miskin dan tersisih. Seiring dengan itu, elite daerah
justru kian dependen terhadap elite di Jakarta. Perkembangan semacam ini lebih
disebabkan karena masih bercokolnya elite-elite dengan paradigma lama yang
menjadikan kekuasaan sebagai ajang penumpukan harta, ketenaran, dan kepentingan
diri sendiri. Kekuasaan masih dilihat sebagai masalah struktural, tanpa
mengaitkannya sama sekali dengan kultur politik baru.
Untuk
mengubahnya, desentralisasi mestinya tak lagi dijalankan secara setengah hati.
Desentralisasi di bidang pemerintahan membutuhkan dukungan dari berbagai bidang
lain, terutama desentralisasi politik, ekonomi, dan budaya. Cita-cita keadilan
sosial dan perdamaian abadi hanya bisa dijalankan apabila masing-masing
penyelenggara negara tak menjadikan kekuasaan sebagai ajang mobilitas sosial
untuk duduk dalam singgasana tertinggi piramida sosial.
Elite
bukanlah pihak yang harus dilayani oleh warga negara. Sebaliknya, warga negara
hendaknya tak selalu tergantung kepada elite penyelenggara negara karena hanya
akan memunculkan mentalitas budak dan pengemis.
Ke
depan, apabila desentralisasi hendak kian diteguhkan, perombakan di bidang lain
di luar pemerintahan mutlak dilakukan. Sistem pemilihan umum distrik menjadi
satu pilihan, begitu juga permilihan kepala pemerintahan masing-masing level
secara langsung.
Di
bidang ekonomi, negara tak perlu lagi memonopoli hajat hidup orang banyak dan
menentukan sistem perekonomian yang linear dan sentralistis. Pemberdayaan
sektor-sektor perekonomian skala kecil dan menengah, yang terbukti lebih cepat
pulih selama krisis ini dan menyangga perkembangan ekonomi makro, kian
menemukan relevansi.
Di
bidang budaya, pemerintah tidak bisa menjadi pelaku tunggal karena bisa jatuh
kepada kepentingan sesat dan sesaat. Intinya, penyelenggara negara hendaknya
percaya kepada kemampuan warga negara dan pemerintahan pusat yang kian
mendukung perkembangan daerah. Tanpa itu, Indonesia mungkin akan mengalami
nasib sama dengan yang dialami negara-negara di Amerika Selatan dan Asia
Selatan, ketika menjalankan desentralisasi sejak 1983.
Desentralisasi
yang jatuh ke pangkuan dan tirani elite-elite lokal hanya akan menciptakan
kegagalan negara, bahkan dalam bidang-bidang yang sangat mendasar, seperti
pendidikan, fasos, fasum, trasportasi, kesehatan, dan keamanan. Kita tentu tak
akan mau menuju ke arah itu.
*)
Indra Jaya Piliang (Aya) lahir di Pariaman pada 19 April 1972. Artikel ini
diterbitkan pada Jumat, 20 Desember 2002. Sempat menjadi pendukung
Internazionale Milan, Aya sekarang lebih memilih Chelsea sejak era gianfranco
Zola.