Penulis: Jalaluddin Rakhmat
Nabi
Muhammad saw berkhutbah di Padang Arafah. Khutbah terakhir pada haji terakhir. Pada
akhir khutbahnya itu beliau bersabda, “Rubba
muballighîn aw’â min sâmi’in. Orang yang menyampaikan lebih sering dapat
memelihara dari pada yang hanya mendengarkan.” Begitulah lahir kata mubaligh. Sejak
itu, sepanjang sejarah Islam, ada sekelompok umat yang bekerja menyampaikan pesan
Nabi. Ia bukan saja dihormati Nabi karena memelihara khazanah ilmu Islam, tapi juga
disegani umat karena dialah yang sebenarnya memelihara eksistensi Islam. Dialah
pewaris para Nabi.
Mubalig datang dalam berbagai sosok. Ia dapat
muncul dalam sosok fâqih. Ia mendalami syariat Islam. Kepadanya orang bertanya tentang
halal dan haram. Ia menjadi narasumber untuk mengetahui cara yang benar dalam beragama:
salat, puasa, haji, waris, nikah, atau jual-beli. Untuk menjadi fakih, ia telah
menghabiskan sebagian besar usianya di pesantren. Umat harus bertaklid kepadanya.
Mubalig
juga bisa tampil sebagai sufi. Ia dikenal karena kesungguhannya dalam beribadat
dan kesederhanaannya dalam kehidupan. Ia menjadi rujukan untuk perkembangan spiritual.
Ia dianggap memiliki keramat karena kesucian batinnya. Pada wajahnya ada aura sakral.
Orang datang hanya untuk sekedar melihat wajahnya, meneguk sisa air minumnya, atau
mengambil berkah dari doanya. Namanya disebut dalam wirid para pengikutnya. Jika
membantahnya, itu bisa mendatangkan laknat atau kualat. Orang Jawa memanggil mubaligh
ini dengan sebutan “kiai“, sebuah istilah yang juga mereka pergunakan untuk merujuk
benda-benda yang mempunyai kekuatan supranatural. Sedangkan di zaman dahulu mereka
menyebutnya “wali”.
Dalam
sejarah Indonesia, mubalig seperti inilah yang pertama kali datang. Kemudian perlahan-lahan
wajah fakih muncul. Hubungan antara ulama dan umatnya sangat formal, seperti hubungan
guru dengan murid-muridnya di sekolah. Ulama tidak boleh dikritik atau dikecam.
Pada awal abad ke-20, lahir kelompok modernis. Mereka mengkritik ulama tradisional
sebagai penyebab kemunduran Islam. Mereka membuang institusi taklid. Penghormatan
kepada ulama dianggap feodalisme. Mengambil berkat kepada mereka dipandang musyrik.
Ulama tidak dipanggil lagi dengan sebutan “kiai”. Ia cukup disapa dengan “ustaz”
saja. Lagi pula, setiap orang bisa menjadi mubaligh. Dengan alasan hadis “sampaikan
dari aku walaupun satu ayat”, setiap orang bisa jadi mubalig. Ulama sebagai fakih
dan sufi tersingkir. Yang diperlukan sekarang hanyalah keterampilan berbicara. Berkembanglah
fatwa yang keluar dari keawaman. Tidak jarang dari sinilah bersumber konflik sosial.
Ketika
globalisasi datang, orang berhadapan dengan benturan nilai. Agama, yang tercabik-cabik
dalam berbagai paham, tidak dapat memberikan kepastian. Orang merindukan kembali
agama yang keluar dari pemegang otoritas. Mulai akhir paruh abad ke-20, terjadilah
kerinduan kembali kepada Islam yang tradisional. Sekaligus juga ada dambaan akan
hadirnya ulama yang bersosok sufi. Agama kaum modernis dirasakan gersang, kering,
dan tidak bermakna.
Umat
merindukan sosok sufi. Tetapi yang dilahirkan zaman adalah mubalig dalam sosok baru:
bukan sufi, bukan pula fakih. Teknologi modern dan media massa telah melahirkan
mubalig pop. Media massa mengemas dakwah dan mubalig. Dakwahyang disajikan media
massa adalah realitas kedua. Di dalamnya sudah masuk perilaku media, termasuk efek
suara, efek tata-letak, dan efek visual. Yang menentukan kualifikasi mubalig bukan
lagi masalah keilmuan, bukan pula integritas moral, apalagi kualitas ruhaniah. Yang
menentukan adalah selera para pengelola media massa. Dakwah sekarang menjadi bagian
dari budaya pop.
Karena
dakwah menjadi budaya pop, mubalig sekarang tampil sebagai selebriti. Hubungan mubaligh
dengan pengikutnya sama seperti hubungan artis dengan fans. Di wajahnya tidak ada
lagi aura sakral. Yang ada adalah sinar yang berasal dari lampu sorot kamera. Bahkan,
sebelum ia tampil di depan massa, petugas tata-rias sudah memoles mukanya.
Karena
time slots atau tata ruang dalam media massa terbatas, tidak mungkin mubaligh menyampaikan
informasi yang lengkap. Ia harus menyederhanakan pembicaraan. Ia juga harus membuatnya
menarik. Perlahan-lahan unsurentertainment menggeser informasi. Tujuan utamanya
ialah bagaimana menghibur pendengar. Dengan demikian, kemampuan acting menggantikan
kemampuan mengucapkan Alquran dan hadis dengan fasih.
Sebagai
selebriti, mubalig sekarang bergaul dengan kelompok eksklusif. Untuk itu, sebagaimana
anggota kelompok eksklusif mana pun, ia memerlukan aksesoris. Ia harus tampil dalam
suasana glamour. Ia harus mempunyai mobil mewah, rumah megah, kartu kredit, telepon
genggam, dan agen. Mubalig pop tidak sama dengan kebanyakan kita. Mereka hidup dalam
dunia mimpi kita. Mereka terkenal, kaya-raya, dan berdiri di tengah orang-orang
yang cantik jelita. Buat media massa, mubalig pop adalah pembuat berita. Kehidupan
pribadinya menjadi sorotan. Hidung media massa masuk sampai ke dapur dan kamar tidurnya.
Dengan semangat, media menyebarkan dan membesar-besarkan gosip di sekitar kehidupannya
sehari-hari.
Semua
itu terjadi justru terjadi ketika umat merindukan mubalig dalam sosok pemimpin ruhaniah.
Betapa kecewanya umat ketika mendengar beberapa gosip media. “Idola” mereka dibangun
dan diruntuhkan media. Tetapi itulah risikonya menjadi bagian dari budaya pop. Anda
bisa melejit dalam waktu singkat dan memudar dalam waktu yang lebih cepat lagi.
Meski begitu, di luar panggung, mungkin jauh dari hiruk-pikuk media, Anda masih
akan menemukan mubaligh dalam sosok sufi. Ia menghindari media. Ia memilih ketenangan
batin. Ia memilih malam yang gelap, untuk merintih mengadukan derita umatnya. Umat
yang makin lama makin dewasa akan mendekati mereka. Dan kafilah ruhani yang panjang
ini akan terus bergerak mendekati Allah Swt.