— a
brief friendship (5 November 11 — 2
Agustus 2014)
Fakhrun Nisa’ di Jakarta Utara pada 21
Desember 2011 17:14 GMT+7
[arsip pribadi/Kodak EasyShare C533
zoom digital camera]
|
Fakhrun
Nisa’ (فَخْرُ النِّسَأء) adalah salah satu orang yang mau
bicara langsung mengenai diri saya. Kadang saya menjelaskan mengapa saya
melakukan hal yang dikritiknya. Bukan berarti tak menerima kritikannya tetapi
agar ia tak menelan setengah-setengah dari apa yang ia lihat.
Saya
dapat mengerti mengapa ia mengatakan hal-hal yang tidak disukainya tetapi
justru saya lakukan. Ia peduli pada kehidupan teman-temannya. Bagi yang siap
hidup terbuka, Fakhrun adalah orang yang membahagiakan, tetapi bagi yang nyaman
hidup dalam tempurung, ia adalah musuh yang nyata. Jika ada sifat yang sama
diantara kami, maka sifat itu adalah suka dengan kucing dan geli dengan kecoa.
Sebelum
masuk ke bangku kuliah, saya tak pernah bicara dengan Fakhrun. Maksudnya, tak
pernah bicara hal-hal peting dengannya. Kami memang biasa bercanda, tetapi
bicara sampai pada ranah privasi adalah hal berbeda. Pada akhirnya Fakhrun dan
saya menjadi bersahabat. Kami bertahan bersama-sama dan saling menghormati setiap
kehidupan yang kami jalani.
Di
awal perkenalan, saya cukup kesal padanya. Tembakan pembukanya adalah ucapannya
tentang sikap kekanak-kanakan dan keegoisan saya. “Berani sekali anak baru
ini,” saya pikir, selagi saya menghadapi kegelisahan akan ketidakjelasan nasib
saya setelah lulus MA.
Tidak
ada gunanya memusingkan dia. Tidak usah terpancing meladeni dia. Tetapi, ia
punya kecerdasan dan keyakinan dalam membaca kepribadian orang. Dan ia berani
mengatakannya di depan orangnya langsung, salah satu hal paling saya suka.
Berada
dalam medan interaksi dengan Fakhrun adalah tantangan istimewa yang membuat
saya perlu fokus dalam percakapan. Saya harus selalu siap dengan ucapannya yang
tidak kejam tetapi menghunjam. Hida memberi masalah yang berbeda. Kalau
menghadapi Hida, saya menghadapi orang yang berpengalaman mengatur ritme
percakapan. Sementara Fakhrun, ia bicara apa saja yang ia rasakan dan pikirkan.
Hida kayak Luka Modrić, sedangkan Fakhrun seperti Francisco Román Alarcón
Suárez (Isco).
Saya
pernah membuatnya sangat jengkel ketika komunikasi kami mulai baik. Ketika itu,
masa-masa awal kuliah. Ada gratis telepon di nomor saya dan saya pakai untuk
menelepon Fakhrun. Gara-gara saya mengatakan saya memakai gratisan, ia langsung
menutup telepon. Tak hanya itu, ia bahkan tak pernah lagi membalas pesan pendek
saya. Barangkali waktu itu ia merasa tak dihargai.
Belakangan
justru Fakhrun membuat saya tak memikirkan tarif telepon malam hari saat saya
bercakap dengannya sangat lama. Itu adalah rekor obrolan berdua paling lama
dibanding siapapun—sampai akhirnya pecah pada 24 November 2016 ketika depresi
memaksa saya banyak bercurah resah pada Hida. Saat itu memang keadaan batin
sedang gelisah, meski belum sampai tingkat parah. Dan Fakhrun menjadi pahlawan
kala itu yang mau menyia-nyiakan telinganya mendengar ocehan saya.
Pasca
tragedi “gratisan”, kami bertemu di rumah Putri dalam acara buka bersama anak PBSB
Kudus. Ini adalah acara yang diprakarsai oleh Ufiq dan Putri. Dalam pertemuan
itu ia tampak memberikan tatapan mata tak suka dengan saya. Sialnya saya
terpaksa berurusan dengannya dengan memberikan kamera digital dan memintanya
memotret acara.
Setelah
itu, kami bertemu lagi di Jombang, dalam acara Pertemuan Nasional anak PBSB.
Ini adalah pertemuan pertama saya dengan Fakhrun. Maksudnya pertemuan yang bisa
membuat kita bertatap muka beberapa saat, bercakap hal-hal kecil yang sangat
mengasyikkan. Sebelum ini, kami memang pernah beberapa bertemu, baik sebelum
atau sesudah mengenalnya. Tetapi tak bisa bercakap-cakap lama.
Dalam
rangkaian acara tersebut, kami juga tampil dalam sesi hiburan mewakili kampus
kami. Saya tampil sebagai Peta dalam
drama teatrikal Dora The Explorer dan
dia menjadi salah satu penari. Bagus juga gerakannya, enerjik. Padahal ia tak
memiliki bentuk tubuh langsing.
Di
Jombang saya lebih sering bersama Fakhrun dan Roxy serta beberapa “orang baru”
dalam kehidupan saya. Bagus juga sepanjang 2012 tak ada interaksi dengan Tata wa ashabiha ajma’in. Setidaknya membuka
ruang untuk beberapa orang masuk ke dalam kehidupan saya. Kadang zona nyaman
mematikan hasrat untuk menambah jumlah teman, apalagi saya hyper-deluxe-egoistic.
Dalam
pertemuan pertama tersebut, saya mendapati dia sangat komunikatif. Saya
menikmati percakapan dengannya. Sayang di Jombang saya hanya beberapa menit
saja dengan Nova. Padahal berjam-jam dengan Rosa, yang waktu itu masih
langsing, waktu itu sih begitu.
Di
Jombang kami mengikuti serangkaian acara munas yang amburadul. Tetapi ini yang
membuat enak, saya bisa bebas berbuat semau saya. Bisa berkumpul dengan
teman-teman saya, terutama Roxy dan Fakhrun.Selagi acara berlangsung, kami
berkumpul saja, tanpa ada rasa berdosa menganak tirikan acara utama untuk
kepentingan acara pribadi. Tak masalah lagipula acara munas memang tak efektif
sebagai sarana pembinaan besar-besaran. Masalah besarnya saya lupa pada Eva,
sampai dia pundung.
Ketika
menjumpai Fakhrun di Jombang, awalnya saya merasa tak enak lantaran beberapa bulan
sebelumnya ia tampak jengkel setelah saya meneleponnya dengan gratisan. Juga
ketika di rumah Putri ia masih memberikan tatapan tak suka dengan saya.
Tapi
ia tampak sudah lupa atau mungkin tak lagi dipermasalahkannya. Hal yang biasa
terjadi ketika saya bertemu dengan orang yang pernah saya bikin jengkel. Ketika
berjumpa dengan Hida pun saya sempat merasa tak enak sejenak.
Secara
tradisonal, dalam pertemuan pertama, saya selalu mengutamakan anak baru. Ada
semangat di balik pertemuan pertama dengan anak baru. Semangat untuk memulai
cerita pertemanan baru, belajar dari masa lalu untuk tak lagi membuat kesalahan
meski kesalahan itu sulit dihindari. Jangan mencari masalah, karena ia akan
datang sendiri. Siap-siap saja menerima kedatangannya.
Fakhrun
masih baru, bertemu dengan orang yang tak populer saat MA. Di masa-masa MA
memang cenderung kurang menambah jumlah teman, hanya fokus pada menjaga
hubungan baik dengan masa lalu saja. Apalagi orang-orang yang muncul ketika
saya MTs memiliki kualitas peta pergaulan di atas rata-rata orang yang muncul
pada masa saya MA.
Di MA
saya juga malas aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah atau perlombaan antar
sekolah.Prestasi saya di MA sangat buruk, tak ada satu pun piala saya
tinggalkan di sana. Raport pun turun drastis setelah sempat jatuh ke peringkat
8 di semester I kelas 10. Beruntung hanya sekali.
Kekesalan
saya pasca pertemuan pertama itu muncul karena tanpa seijin saya dia memasang
foto berdua dengan saya sebagai foto profil di akun Facebook-nya. Saya pikir dia sedang memantik nyala api dari batin
saya. Padahal itu bukan asli foto berdua. Itu adalah foto bersama Almas dan
teman-teman lain tetapi pose kami di foto tersebut terlihat mesra. Sudah tanpa
ijin memasang, foto yang dipasang pun hasil crop
dari foto lain. Tau begini, tambah pundung lah Eva.
Saat
libur akhir semester, Fakhrun mengajak saya ke rumah Habba. Tak ada agenda hari
itu sehingga saya bisa. Ia menunggu saya di bawah pohon dekat terminal induk
Kudus dengan mengenakan pakaian warna pink,
salah satu warna favorit saya. Pertemuan itu menjadi debut berdua dengan
Fakhrun. Itu juga membuat saya mulai nyaman berteman dengan anak ini.
Saya
kemudian berpikir bahwa Fakhrun seperti ini: Ketika ia ingin melakukan sesuatu,
ia sudah menghitung risiko yang akan terjadi dan siap menerima risiko paling
buruk. Kami mulai perjalanan ke rumah Ufiq, kali pertama saya ke rumah orang
yang banyak beriteraksi dengan saya di awal-awal kepindahan saya ke Kota
Kembang. Dari debut ini, komukasi kami akhirnya bisa berjalan lumayan mapan.
Saya menemukan lagi satu “Doraemon” dalam kehidupan saya.
Satu
hal yang sempat membuat saya was-was adalah ketika Fakhrun bertanya mengenai
Hizbut Tahrir dengan gerakan khilafah-nya.
Ini terjadi di pertengahan 2013. Fakhrun tampak kuat sisi Islam-nya daripada
Indonesia-nya. Dalam pertanyaannya, saya menangkap kesan bahwa ia tertarik
dengan gerakan semacam ini.
Jelas
saya tak mau teman saya yang hebat ini terseret gerakan-gerakan tersebut. Saya
sudah mengalami sendiri rasanya ditinggal teman baik saya akibat mereka
terseret gerakan seperti itu. Mereka menjauhi saya karena alasan ideologis.
Saya
tak melarang teman saya menganut ideologi apapun. Tetapi jika gara-gara
ideologi tertentu memutuskan silaturahim, apa pantas dilakukan? Apalagi Fakhrun
memiliki otak yang cemerlang, sangat disayangkan jika ia sampai terbawa arus
gerakan dogmatis kejam seperti itu.
Belakangan
saya merasa lega ketika Fakhrun berada pada kutub berlawanan dengan
gerakan-gerakan semacam itu. Bahkan saya merasakan Fakhrun juga kuat
Indonesia-nya. Satu hal yang bagus.
Ketika
masuk kuliah, kami memulai start
dengan perasaan berbeda. Saya masuk ke Pendidikan Fisika dengan perasaan suka.
Meski saat itu lesu untuk kuliah tapi faktor Fisika membuat saya bisa
menyukainya. Sementara Fakhrun masuk Farmasi, yang sebenarnya tak ia sukai.
Fakhrun
memang lebih tertarik ke Kedokteran daripada Farmasi, meski keduanya sama-sama
masih dalam rumpun bidang Kesehatan. Saya pun melihat ada rasa kekecewaan dalam
dirinya ketika ia masuk ke Farmasi. Seolah ia melanjutkan dengan cukup
terpaksa.Tapi ia bisa menjalani keterpaksaannya itu dengan bagus dan serius.
Perempuan
kelahiran 28 Syawal 1414 ini sempat memberikan pertanyaan yang mengagetkan pada
saya. Pertanyaan yang membuat saya terpaksa “membuka kartu” mengenai Tata. Belakangan
hal tersebut justru membantu saya ketika saya sedang gelisah terkait Tata.
Ini
memang agak mengejutkan ketika saya bermasalah dengan makhluk paling fenomenal
dalam kehidupan saya, justru Fakhrun yang berada di dekat saya. Novi dan Maryam
yang biasanya menjadi partner ngudoroso
saya pun tak tahu akan hal ini.Meski tak sampai detail tetapi Fakhrun tahu
hal-hal pentingnya. Berturut-turut setelah itu, ia bersama Ulul dan kemudian
Hida membantu saya untuk bangkit.
Kami
bertemu di Taman Parteur, di samping gedung rektorat UPI, 13 April 2014. Ia
datang bersama sebagian teman-teman anak PBSB UIN Syarif Hidayatullah. Tak
penting apa agenda mereka, yang jelas saya ingin bertemu dengan Fakhrun.
Kebetulan 3 hari sebelumnya, 10 April 2014, adalah birth date-nya—meski secara resmi tertulis 10 Maret 1994. Sekalian
bisa memberikan kado untuknya tanpa perlu menunda lama.
Dimsum Terakhir adalah kado yang saya berikan. Novel
karya Clara Ng tersebut sangat bagus, salah satu novel yang mampu mengaduk
emosi saya. Entah kalau Fakhrun yang baca, mungkin beda kesannya. Saya bukan
penikmat novel tetapi beberapa novel membuat saya jatuh hati.
Sebenarnya
saya pengen memberikan novel Gadis Kretek
untuk Fakhrun tetapi saat itu stok di Gramedia Merdeka habis. Apalagi Gadis Kretek yang milik saya sudah
disemayamkan di rumah. Lagipula tak etis memberikan barang bekas sebagai kado, apalagi
kepada orang yang pernah merasa sangat jengkel karena tak merasa dihargai.
Padahal novel Gadis Kretek cocok bagi
dirinya agar tak sepihak saja menilai rokok dan perokok.
Saya
kira itu adalah satu-satunya pertemuan kami sebelum liburan. Tetapi kenyataan
berkata lain. Ulul meminta saya datang ke rumahnya di hari ulang tahunnya. Ia
menawari dan sedikit memaksa. Awalnya saya masih fifty-fifty mau datang atau tidak, tetapi mendengar kabar Muflih
juga sedang di Ciputat, langsung saya putuskan memenuhi undangan Ulul.
Usai
perkuliahan Evaluasi Pembelajaran Fisika (EPF), langsung tancap gas menuju
terminal Leuwi Panjang, naik Prima Jasa
menuju terminal Pasar Rebo. Pada 19 April 2014 itu kami bertemu, saya, Ulul,
Muflih, dan Fakhrun. Padahal baru sepekan sebelumnya kami bertemu. Obrolan
memang biasa saja tak ada yang istimewa. Tapi berada di tengah orang-orang
istimewa terasa sangat istimewa. Fakhrun belum kenal dengan Ulul dan Muflih
meski mereka sudah pernah mendengar nama masing-masing. Tapi ia cepat nyetel dengan Ulul dan Muflih.
Pertemuan
selanjutnya pada momen lebaran. Sekalian kumpul bersama Ulul dan Muflih yang
mau ke Kudus juga. Juga bersama Roxy sekalian. Berada di tengah empat sahabat
adalah hal yang membahagiakan. Kami akhirnya berkumpul di Terminal Es sebelah
timur kantor DPRD Kudus. Terbilang ada “bonus” dengan hadirnya Faiq, meski Faiq
lebih cocok kalau bersama Layli dan Novi.
Ini
adalah pertemuan yang cukup mengesankan setelah Hida gagal mengumpulkan saya,
Tata, Leily, dan Rori. Saya sudah siap dengan undangan dari Hida tapi saya
mengakui ego masih sangat besar untuk bisa dipertemukan. Saya kira saat itu
hanya Hida yang sudah melepas ego individual demi kebersamaan komunal. Sayang 4
orang lain masih enggan bertatap muka.
Nyaris
saja pertemuan yang berlangsung pada hari Sabtu itu batal. Beruntung Fakhrun
bisa, Ulul tak buru-buru melanjutkan petualangan lebarannya, dan Upih masih
sehari di Kudus. Pada saat-saat tertentu, saya memaksa agar teman-teman saya
berada di sekeliling saya. Kehadiran mereka biasa menjadi penawar luka meski
memiliki efek samping dengan munculnya luka baru.
Dalam
pertemuan itu, saya melunasi janji saya beberapa bulan sebelumnya. Pada 30
Januari 2014 ia minta jeruk bali dan saya bilang akan saya beri saat liburan
berikutnya–liburan lebaran. Iseng saja saya mengecek daya ingatnya, pasti dia
sudah lupa, ketika saya menawarinya jeruk bali. Tentu saja ia menjawab mau.
Sayang
saya hanya membawa dua buah saja, tapi saat kami berjumpa, satu buah diminta
Roxy. Tak masalah, Fakhrun juga kelihatannya tak masalah. Bagus juga karena ada
satu foto saya bersama Fakhrun dan Roxy. Bagus juga foto saya bersama Ulul,
Upih, Faiq, dan Roxy berhasil diselamatkan. Soalnya amarah Fakhrun membuatnya “berinisiatif”
menghapus seluruh foto yang diambil menggunakan ponselnya pada moment
tersebut.
K.Jm.Po.081039.220618.02:48