Meyda Sefira ketika bersantai di tanah Serambi
Makkah. (© Meyda Sefira)
|
Meyda
Sefira mulai dikenal lebih luas oleh masyarakat sejak menjadi pemeran Ayatul Husna
dalam film Ketika Cinta Bertasbih, yang diadaptasi dari novel karya
Habiburrahman El-Shirazy. Kang Abik, sapaan akrab Habiburrahman sendiri,
merupakan penulis yang dikagumi oleh perempuan kelahiran Bandung 20 Mei 1988
ini.
Perjalanan
Meyda tak luput dari kesulitan dan ujian. Meyda kecil sempat mengalami ujian
yaitu lumpuh layuh karena sebuah kecelakaan kecil. Harus berpindah-pindah kota
dan harus beradaptasi kembali karena mengikuti dinas ayahnya. Kesan cerdas jauh
dari Meyda kecil, bahkan dirinya sempat menyandang cap “Meyda itu anak bodoh”
dari beberapa temannya dan julukan “spesialis telat” oleh gurunya.
Hanya
saja, Meyda memiliki kebiasaan belajar secara konsisten. Melalui kebiasaannya,
Meyda mampu bersaing dalam hal akademik, mengerti berita, sekaligus menggunakan
bahasa ilmiah. Sayangnya, hal ini tak banyak membantunya dalam mewujudkan
keinginan bersekolah di SMA pilihannya. Meyda gagal masuk pada SMA favorit di
Bandung sebagaimana keinginannya.
Walau
begitu, Meyda justru memperoleh manisnya kegagalan. Tanpa disadari sebelumnya, SMAN
23 bandung menjadi tempat indah buatnya. Melalui Marisa temannya di sekolah, Meyda
menjadi sosok yang rajin melaksanakan anjuran agama, berupa sholat sunnah,
bergaul dengan baik, dan giat dalam belajar sehingga ia mampu berprestasi
dengan lulus menjadi peringkat ke-2 di SMA-nya.
Ulangan
kegagalan setelah lulus SMA karena tak bisa masuk ke kampus yang diinginkannya,
ialah ITB (Institut Teknologi Bandung), tak menyurutkan langkahnya. Meyda tetap
kuliah dan bahkan berusaha meringankan beban orangtua dengan membiayai
kuliahnya. Dirinya pun tak malu kerja paruh waktu di sebuah perusahaan jeans
di Bandung, lalu pindah ke restoran cepat saji dengan gaji yang tak seberapa.
Meyda
harus membagi waktu antara bekerja dan kuliah, namun ia tetap berprestasi dalam
bidang akademiknya. Meyda lalu mendapat beasiswa di kampusnya, ITENAS Bandung
berdasar prestasi nilai ujiannya. Keberhasilan di kampus dan kerja paruh waktu
membentuk dirinya sebagai sosok yang konsisten dalam melangkah.
Kekonsistenan
Meyda juga terkait dengan kehidupan beragama yang semakin meningkat. Meyda,
sebagai perempuan, terbilang tomboy, tak terlampau mementingkan penampilan
badan. Namun, seiring kesadaran beragama yang meningkat, lambat laun Meyda kian
mementingkan penampilan badan berupa memilih tampil dengan busana tertutup.
Tanpa dinyana, kenyamanan luar biasa dirasa oleh Meyda selepas berubah pilihan
berbusana.
Tak
berapa lama setelah terbiasa tampil dengan busana demikian, Meyda mendengar
kabar audisi film Ketika Cinta Bertasbih. Berbagai ujian sempat diterimanya,
seperti hinaan bahwa dia tak pantas lolos, masa karantina yang harus dilalui
selama beberapa bulan, harus bolak-balik Jakarta-Bandung demi akting dan
kuliah, membagi materi dan energi.
Usaha
Meyda tak sia-sia dirasa. Lulus kuliah dengan predikat cumlaude setelah
skripsi berjudul Penyisihan Logam Nikel (Ni) dari Larutannya dengan
Menggunakan Metode Elektrodeposisi dinyatakan lulus semakin manis seiring
keberhasilan Ketika Cinta Bertasbih meraih jutaan pemirsa.
Meyda
kembali dipercaya untuk memerankan tokoh dalam film yang diadaptasi dari novel Kang
Abik berjudul Dalam Mihrab Cinta. Kali ini perannya sebagai Zizi. Tak
sampai di situ, dalam Cinta Suci Zahrana, film yang lagi-lagi diadaptasi
dari novel karya Kang Abik pun, Meyda kembali dipercaya untuk memerankan tokoh
Zahrana.
Kesibukan
di dunia hiburan tak menghentikan langkah Meyda untuk aktif dalam dunia akademik.
Hal ini diwujudkan dengan menjadi asisten dosen di ITENAS, kampusnya ketika S1.
Hal ini melatihnya untuk dapat menyampaikan gagasan untuk dimengerti oleh, bukan
sebatas menyampaikan kepada, orang lain.
Sekarang
Meyda kian mantap mengayuh perjalanan yang membuat namanya memiliki harga jual.
Kehadirannya pun dapat memiliki nilai komersial. Keadaan yang demikian tentu
memudahkannya untuk ikutserta dalam berbagai kegiatan sosial. Hal ini
dimanfaatkan oleh Meyda untuk membangunkan dan membangun kaum perempuan, yang
dipandangnya memiliki peran vital.
Perempuan
memiliki peran vital bagi perkembangan sebuah peradaban. Kuat dan rapuhnya komunitas,
baik dalam bentuk bangsa maupun umat, bergantung pada kualitas perempuannya.
Kesadaran inilah yang mendorong Meyda untuk melahirkan komunitas bernama Hujan
Safir.
Meyda Sefira bersama para aktivis Hujan
Safir. (© Meyda Sefira)
|
Hujan
Safir dilahirkan oleh Meyda sebagai sarana untuk dapat menerapkan sabda
Muhammad, “خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ
لِلناسِ”, yang boleh diartikan, “Manusia terbaik
ialah yang dapat bermanfaat buat sesama manusia”. Sabda ini memakai kata an-nas
untuk menunjuk manusia.
Selain
an-nas, Dalam Bahasa Arab, terdapat beberapa kata yang juga dapat
diartikan sebagai manusia, ialah al-basyar dan al-insan, yang masing-masing
memiliki penekanan tersendiri. An-nas sendiri dipakai kalau untuk
menunjuk manusia sebagai sebuah komunitas. Karena itulah pilihan Meyda untuk
dapat menerapkan sabda Muhammad dalam bentuk komunitas terbilang cerdas dan
bernas.
Kata
‘hujan’ dan ‘safir’ sengaja dipilih oleh Meyda lantaran keduanya merupakan dua
hal yang disenanginya. Pada dasarnya Meyda memang menyenangi hal-hal terkait
lingkungan, sementara ‘hujan’ adalah hal terkait lingkungan yang paling
disukainya. Sedangkan ‘safir’ merupakan jenis permata kesukaan Meyda. Permata yang
banyak disukai karena kecerlangannya menjadi pijakan Meyda dalam berusaha untuk
mengilakukan diri beserta lingkungannya.
Mulanya
Meyda berkolaborasi dengan Luthfiah Hayati untuk menerbitkan sebuah buku dan
mini album bertajuk Hujan Safir. Sebenarnya, buku itu adalah
autobiografi Meyda Sefira. Tapi di dalamnya berisi juga album musikalisasi
puisi yang berduet dengan Lutfiah. Seluruh keuntungan dari hasil penjualan buku
dan mini album Hujan Safir itu disumbangkan Lutfiah dan Meyda untuk
dimanfaatkan sebagai bantuan kemanusiaan.
Berkat
buku dan mini album itu, Meyda berkesempatan menyuarakan gagasannya denganberkeliling
ke beberapa kota di Indonesia, termasuk pesantren serta perguruan tinggi.
Perjalanannya berkeliling Indonesia membuka sebuah kesadaran pada diri Meyda,
bahwa kehadirannya dapat menggerakkan lingkungan.
Pada
titik inilah Meyda mulai berpikir untuk memanfaatkan hal tersebut untuk
melahirkan komunitas yang dapat memberikan pendidikan kepada para perempuan. Sebagai
perempuan yang memeluk Islam, Meyda sengaja memilih muslimah sebagai bagian
utamanya. Alhasil, pada September 2014, Meyda berhasil melahirkan Hujan Safir. Hujan
Safir bergerak untuk mendidik muslimah, bukan sekadar pendidikan keagamaan, melainkan
juga kesenian dan keterampilan. Melalui hal ini, Meyda berharap dapat
memberikan manfaat untuk sesamanya, yakni para Muslimah.
Gebrakan
awal yang dilakukan komunitas ini adalah menggelar pesantren kilat khusus
Muslimah, terlebih saat itu bertepatan dengan Ramadhan. Tak disangka, dalam
waktu singkat, program yang diluncurkan Hujan Safir ini berhasil membetot
perhatian sejumlah Muslimah dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Riau, dan Lampung. Usianya pun beragam, mulai dari 18 tahun hingga
30 tahun.
Program
pesantren kilat tersebut dihelat di Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat, selama
tiga hari, dengan turut mengundang tokoh-tokoh di luar komunitas sebagai
pemateri. Pesantren kilat itu pun mendulang sukses. Pasca program itu, Hujan
Safir mengajak para anggota komunitas untuk terlibat dalam sebuah proyek
pementasan drama musikal, yang dilaksanakan secara kerja sama dengan komunitas
teater Kabaret di Bandung.
Tema
cerita yang dipilih untuk pementasan ini adalah tentang kisah sukses seorang
sultan bernama Muhammad Al-Fatih, penakluk Kekaisaran Romawi Timur dan
Konstantinopel. Drama musikal tersebut dipentaskan di Dago Tea House, Bandung.
Jawa Barat, pada Januari 2016. Banyak anggota Hujan Safir yang mendapatkan
pengalaman baru ketika menggarap proyek pementasan tersebut. Mereka banyak
belajar dan proyek pementasan ini menjadi tempat aktualisasi diri.
Setelah
proyek pementasan drama musikal tuntas dan cukup sukses, beberapa anggota Hujan
Safir juga didorong untuk dapat menghasilkan karya sendiri, dalam bentuk apapun
yang disukai. Selain itu, para anggota juga dilibatkan dalam beragam kegiatan
sosial. Salah satu aksi sosial yang dilakukan ialah membagikan paket pendidikan
gratis, berupa perlengkapan alat tulis dan uang tunai, untuk para santri
berprestasi.
Untuk
kegiatan tersebut, para anggota Hujan Safir telah melakukan penggalangan dana
dengan memanfaatkan sosial media. Aksi ini juga mendapat sokongan dari beberapa
anggota komunitas Forum Indonesia Muda. Hujan Safir akan menyalurkan hasil
penggalangan dana itu kepada para santri berprestasi yang tengah menimba ilmu
di pondok pesantren di Desa Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat.
Kini,
Hujan Safir yang digagasnya kian berkembang. Jumlah anggota komunitas itu telah
mencapai ratusan orang. Keberadaan Hujan Safir boleh dibilang dapat menjadi
bagian dari solusi untuk menjadi pemecah konsentrasi massa dan masalah. Ketika
banyak orang mendadak latah ikut dalam perbincangan politik praktis dan
industri hiburan, Hujan Safir berusaha untuk mengangkat topik perempuan,
pendidikan, dan lingkungan sebagai bahan perbincangan. Saat banyak orang ingin
bisa mengaktualisasikan diri, Hujan Safir hadir memberikan tawaran secara
konkret.
Meyda Sefira ketika istirahat bersama
Laila Fariha Zein, aktivis Hujan Safir. (© Meyda Sefira)
|