Too Late to Write

Catatan Penggemar Berat buat Idola Hebat


Secangkir kopi dan sebuah ponsel dalam pertemuan di Century Park Hotel Jakarta pada 10 April 2014
[foto: dokumentasi pribadi]

Saya merasa kaget dan terhenyak saat membaca cuitan mbak Nong Darol Mahmada (@nongandah) 23 Mei 2017 pukul 00.45 GMT+7 silam. “Twit2 yg fitnah & ngebully aku keliatan bgt mereka ngga mengenalku,ngga spt @alobatnic yg menulis keren ini https://adibrs.blogspot.co.id/2017/03/nongdarolmahmada.html” begitu cuitannya.


Setelah saya telusuri sejenak melalui pencarian tweets dengan kata ‘Nong Darol Mahmada’ kemudian ‘@nongandah’, baru saya tahu latar peristiwa saat itu. Gara-gara cuitan yang menyerang mbak Nong dengan fitnah, cacian, dan hujatan.

Langsung saja saya speechless membaca cuitan-cuitan lain pada saat itu. Tentu speechless-nya beda dengan ketika kali pertama berjumpa mbak Nong. Kalau saat berjumpa pada 26 Desember 2015 silam rasanya sangat bahagia, tatkala membaca cuitan-cuitan tersebut, saya merasa marah, juga sedih.

Rasanya wajar ketika seorang yang begitu dikagumi, sosok yang langkahnya diikuti, ucapannya dimaknai, hingga kehadirannya disyukuri, diserang dengan kabar tanpa konfirmasi yang tak pernah terbukti. Sedih juga rasanya karena ungkapan fitnah seperti itu kok bisa-bisanya ramai dibahas.

Walau demikian, ada rasa bahagia juga. Tentu saya bahagia karena mbak Nong tampak suka dengan catatan saya tentangnya. Bahkan mbak Nong menganggap bahwa saya cukup mengenalnya sembari menyebut catatan itu keren. Who is her? Who am I?

Namun, rasa bahagia yang lebih besar ialah kenyataan kalau mbak Nong masih menarik perhatian orang lain. Saking begitu diperhatikan, sampai-sampai fitnah yang dialamatkan padanya perlu diimbuhi dengan cuplikan layar (screenshot) cuitan lawas mbak Nong.

Saya sendiri tak perlu membaca bantahan terhadap fitnah tersebut. Sejauh yang saya tahu, mbak Nong merupakan pribadi yang berupaya terus-menerus untuk tawadhu’ dan tunduk kepada Allah. Tidak mungkin dirinya memiliki niat, apalagi sampai melakukan, tindakan keji dan kotor yang melawan larangan Allah.

Meskipun barangkali mbak Nong bukan seorang muslim yang telah sempurna dalam menjalankan semua syariat, dirinya berupaya untuk tetap takzim. Kalaupun mbak Nong akhirnya memberi bantahan, itu dalam kerangka memberi informasi yang sebanding sehingga masyarakat dapat mencerna secara proporsional dan fair.

Catatan Mbak Nong tak terlampau megah dalam hal pembaruan gagasan, tetapi dapat dilihat keterkaitan pengalaman personal dan pergaulan sosial dengan wawasan keilmuan. Perkataan itu saya tulis dalam artikel Mbak Nong yang saya terbitkan melalui blog pribadi Kirana Azalea (Setiawan, 2017a).

Artikel itu saya tulis sebagai ucapan ‘sugeng ambal warso’ (selamat tambah umur) ke-42 buat mbak Nong pada 23 Maret 2017, 08.09 GMT+7. Isinya receh, sekadar bercerita tentang arti mbak Nong dalam perjalanan pribadi saya.

Saya adalah penggemar berat mbak Nong sejak lama. Buat saya, mbak Nong adalah manusia yang laras, sehingga bisa menjadi panutan yang pantas. Memang mbak Nong hanya melangkah sesuai kehendaknya saja tanpa pernah meminta saya untuk mengikutinya. Namun, tanpa permintaan apalagi pemaksaan saya merasa ingin mengikutinya.

Dalam perjalanannya, kami tak selalu sependapat. Ada masanya ketika saya memiliki pandangan berbeda bahkan berlawanan dengannya. Bagusnya, mbak Nong yang seakan membuat saya merasa sebagai temannya tak risau dengan hal ini. Biasa saja.

Karena itulah catatan tentang cuplikan perjalanan pribadi mbak Nong saya juduli Guru yang Menyapih. Seorang yang di-gugu (memotivasi) dan di-tiru (menginspirasi) sekaligus tak pernah memaksa orang yang merasa termotivasi dan terinspirasi untuk menjadi duplikasi dirinya.

Cuplikan perkataan tersebut menjadi sejenis cara saya memandang karya mbak Nong. Meskipun saya adalah penggemar beratnya, tapi tidak menganggap mbak Nong sebagai sosok yang sempurna (insan kamil, kamil bukan tam).

Dari peta cerdik-cendekia Indonesia, jelas Siti Musdah Mulia lebih popular. Tentunya karena selain Musdah fokus pada topik perempuan saat peta kajian keilmuan sedang didominiasi lelaki seperti Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, dirinya juga memiliki gelar akademis yang tinggi (Mulia, 2005, hlm. xiii). Itu yang tidak dimiliki oleh mbak Nong. Karena faktor gelar akademis pula belakangan mbak Nong dibayangi oleh Neng Dara Affiah, kakak kandungnya, maupun Lanny Octavia, rekannya.

Memang topik perempuan bukan hanya diminati oleh Musdah seorang, Husein Muhammad dan Nasaruddin Umar serta belakangan Syafiq Hasyim juga sangat perhatian (Umar, 1998; Mahmada, 2001). Perempuan yang fokus pada topik tersebut juga tidak hanya Musdah, ada nama Saparinah Sadli, N.H. Dini, bahkan Sinta Nuriyah istri Gus Dur pun dapat dimasukkan ke dalam peta. Hanya saja dibanding orang lain, Musdah terbilang paling mudah dijamah, baik melalui karya tulis maupun ucapan lisan.

Faktor lain yang menenggelamkan mbak Nong dari peta kajian keilmuan juga tidak ada buku yang ditulis. Banyak penulis dan penerbit buku menggunakan jasanya sebagai editor dalam proses penulisan (Setiawan, 2017b). Namun, sebagai penulis mbak Nong tidak seperti Neng Dara yang menulis Islam, Kepemimpinan, dan Seksualitas maupun Lanny dengan karya agung berjudul Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren.

Mbak Nong sendiri lahir dari lingkungan santri, tepatnya Pondok Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan, Pandeglang, Banten. Syafe’i Ali, yang merupakan pengasuh pesantren tersebut adalah ayahnya. Pasangan Syafe’i Ali dan Siti Sutihat termasuk orangtua hebat, yang bisa melahirkan kemudian mendidik anak-anaknya agar menjadi orang berkarakter kuat.

Selain Neng Dara Affiah dan mbak Nong, saudara kandung mbak Nong yang yang turut dikenal lebih luas adalah Ace Hasan Syadzilly. Ace adalah politikus Partai Golkar. Selain itu, Agus Khotibul Umam sekarang melanjutkan perjuangan Syafe’i Ali sebagai pengasuh pesantren.

Dari keempat bersaudara, Agus terbilang paling kurang populer. Bahkan sempat terjadi peristiwa lucu tatkala Indra Jaya Piliang, rekan mbak Nong sejak di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sempat mengeluarkan perkataan yang terkesan meremehkan Agus. Belakangan Indra menganulir perkataan tersebut setelah tahu bahwa Agus adalah adiknya mbak Nong.

“Alhamdulillah selama sekolah dia terus-terusan dapat rangking,” tutur Syafe’i Ali mengenai prestasti mbak Nong di sekolah. Cerita tersebut disampaikan oleh Luthfi Effendi, Dwi Budiman, dan Abdul Hadi, tiga pewarta dari majalah Suara Hidayatullah.

Melalui artikel Dulu Tertutup, Sekarang Melepas Jilbab yang diterbitkan pada 4 Mei 2009, Suara Hidayatullah menuliskan profil mbak Nong sebagai ‘koki dapur’ Jaringan Islam Liberal (JIL) sembari meminta tanggapan dari Syafe’i Ali, ayahnya, terkait putrinya ini (Effendi, dkk., 2009).

“Yang penting bagi saya, Nong menjadi anak yang shalih, bisa membawa diri.” tutur Syafe’i Ali mengenai keterlibatan putrinya dengan JIL, “Tapi bagi saya nggak jadi masalah sepanjang dia bener. Paling juga ada perbedaan di dalam masalah-masalah syariah, itu lumrah,” lanjutnya (Effendi, dkk., 2009).

Di lingkungan JIL sendiri, mbak Nong memiliki peran penting. “Kalau tak ada saya, ya tidak ada JIL. Ulil itu hanya bagian luarnya saja. Di dalam JIL, bukan sombong ya, saya yang mengatur semuanya,” aku mbak Nong (Effendi, dkk., 2009).

Walau keberadaannya penting, dirinya merasa tidak menarik untuk diekpos. “Saya tidak suka diekspos. Saya ini tak menarik. Biasa-biasa saja,” tukasnya saat ditemui oleh pewarta di kantor Freedom Institute di kawasan Menteng, Jakarta Pusat (Effendi, dkk., 2009).

Mbak Nong adalah salah satu pendiri JIL, bersama dengan Ulil Abshar-Abdalla dan Luthfi Assyaukanie. Ketika bercerita pada saya mengenai peran ketiganya terhadap JIL, mbak Nong menyebut dirinya sebagai pemain lapangan. “Kalau mas Ulil itu lebih fokus di gagasan, mas Lutfi di media, aku yang di lapangan,” kisahnya.

Wajar kalau kemudian dirinya tampak lebih banyak beraksi di lapangan daripada berada dalam kesendirian guna menghasilkan catatan. Alhasil, jumlah karya tulis mbak Nong pun tidak sebanyak milik Ulil dan Lutfi. Mbak Nong juga bukanlah Indra, yang kalau tidak menulis, merasa tidak lengkap menjadi manusia, hingga menjadikannya sebagai kegiatan harian (Piliang, 2008).

Mbak Nong bukannya tanpa alasan lebih memilih bermain di lapangan. Menurutnya, perjuangan mewujudkan lingkungan yang harmonis tak cukup kalau disampaikan secara tertulis. Memang menyampaikan secara tertulis itu perlu, tetapi kudu diimbangi dengan aksi konkret yang dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung.

Peran di lapangan membuat mbak Nong mendapat kesempatan, antara lain mendapat kesempatan menghadiri ‘Global Youth Exchange’ (GYE) 2003, program tahunan yang diadakan Kementerian Luar Negeri Jepang, pada Januari 2003. Pada waktu itu, topik yang dibahas ialah Asia-ASEAN and International Community, sejalan dengan Tahun Kerja Sama Jepang-ASEAN yang dicanangkan oleh Jepang untuk tahun 2003 (Mahmada, 2003a).

Dalam diskusi antara 35 peserta dari 26 negara selama dua pekan, mbak Nong memilih kelompok yang membahas wacana keamanan dengan tema spesifiknya tentang terorisme. Buat mbak Nong, perlu dipisahkan secara tegas antara terorisme dan Islam, bahkan kudu diperjelas cakupan dan batasan antara radikal, fundamentalis, dan militan, yang merupakan lahan persemaian bibit terorisme (Mahmada, 2003a).

Cara mbak Nong memandang terorisme sebagai sebuah masalah dapat dilihat melalui catatan refleksi yang dilakukan terhadap Invasi Irak oleh Amerika Serikat mulai 20 Maret sampai 1 Mei 2003. “After the experience of the previous twenty, this century should be devoted to perfecting the humanity of all people; it should bring us greater consciousness that we are all bound together in one great humanity; and it should demonstrate the logic of cooperation, not confrontation, between the inhabitants of our earth.” tutur mbak Nong dalam Moderate Indonesian Muslim Rejection of the US Attack on Iraq (Mahmada, 2004).

Melalui artikel yang diterbitkan melalui Kyoto Review of Southeast Asia pada Maret 2004, dapat dilihat betapa mbak Nong ingin agar lingkungan dapat berlangsung harmonis. Seperti itulah mbak Nong, harapan dan perbuatannya.

Mbak Nong senantiasa berusaha untuk dapat berbuat mewujudkan lingkungan yang harmonis. Lingkungan yang memandang manusia dari sisi martabatnya sebagai orang, bukan manfaatnya sebagai barang. Lingkungan yang juga turut menjalin persaudaraan dengan alam.

Walau perbuatannya layak diapresiasi, mbak Nong tak ingin terus dipuji. “Karena anak saya perempuan, dan bukan ingin berlagak heroik,” ucap mbak Nong, “Gimana nih masa depan anak dan cucuku yang perempuan,” lanjutnya. Ucapan tersebut disampaikan oleh N Jacques Umam & Ezra Sihite, dua pewarta dari Koran Jakarta (Umam dan Sihite, 2009).

Melalui artikel Demi Masa Depan Anak yang diterbitkan pada 12 April 2009, Koran Jakarta bukan sekadar menuliskan ucapan mbak Nong dalam menguraikan alasan kekeuh memprotes UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi, juga perda yang mengatur soal perempuan. Lebih lanjut, edisi 303 itu juga mengulas mbak Nong Darol Mahmada sebagai perempuan seutuhnya.

Sebagai perempuan yang kemudian menjadi public figure, sorotan terhadap mbak Nong kian menguat ketika dikaitkan dengan jilbab. Pilihan mbak Nong untuk berjilbab secara fleksibel cukup membuat sebagian kalangan merasa heran.

Keheranan tersebut bukan semata karena mbak Nong adalah perempuan yang dilahirkan dari orangtua yang beragama dan bertradisi Islam kemudian secara sadar memilih Islam sebagai agama yang dipeluk (Mahmada, 2007). Keheranan juga disebabkan oleh pilihan berjilbab secara fleksibel diambil saat masyarakat cenderung memahami jilbab sebagai kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan (Umar, 2002).

Tentang jilbab sendiri mbak Nong beberapa kali menyampaikan pandangan yang dipilihnya, baik secara tertulis maupun lisan. Misalnya dengan menulis Kritik atas Jilbab (Mahmada, 2003c). Secara pribadi, dari semua catatan yang ditulis oleh mbak Nong, Kritik atas Jilbab menjadi artikel yang paling saya suka.

Debut perkenalan saya dengan mbak Nong sebenarnya melalui artikel Membangun Fikih yang Pro-Perempuan, yang berisi ulasannya terhadap dua buku tentang perempuan (Mahmada, 2001). Namun, buat saya Kritik atas Jilbab adalah karya agung tanpa mendung. Artikel Kritik atas Jilbab kali pertama terbit pada 17 April 2003 silam sebagai pengantar buku Kritik atas Jilbab yang ditulis oleh Novriantoni Kahar (Mahmada, 2003c).

Buku Kritik atas Jilbab yang diterbitkan oleh The Asia Foundation pada 2003 tersebut merupakan terjemahan dari buku Haqiqat al-Hijāb wa Hujjiyat al-Sunnah karya Muḥammad Sa’id Al-Ashmawy yang diterbitkan pada 1995. By the way, buku Kritik atas Jilbab memang karya terjemahan, tetapi buat saya Novri tetap pantas disebut sebagai penulisnya.

Dalam menerjemahkan karya tulis, dibutuhkan keterampilan khusus berupa penguasaan bahasa sumber dan sasaran serta bahan kajian. Novri memenuhi syarat itu. Itu pula yang kemudian dilakukan mbak Nong terhadap artikel Kritik atas Jilbab, dengan menuliskannya dalam bahasa Inggris berjudul Critic upon Jilbab (Mahmada, 2003b).

Kritik atas Jilbab kemudian disunting kembali untuk diterbitkan melalui Deutsche Welle (DW) pada 11 Juli 2016 dengan judul Jilbab, Kewajiban atau Bukan (Mahmada, 2016a). Isinya masih sama seluruhnya, dengan menanggalkan bagian tentang cerita pribadi mbak Nong dan kaitan artikel tersebut dengan buku Kritik atas Jilbab.

Beberapa hari kemudian, artikel Jilbab, Kewajiban atau Bukan diperkaya dengan Jilbab Warna-warni. Artikel yang ini menjadi narasi pandangan mengenai fenomena penggunaan jilbab serta penegasan pandangan yang dipilih mbak Nong (Mahmada, 2016b).

Dalam Jilbab Warna-warni mbak Nong turut mencuplik pemetaan pengguna jilbab dari Mohamad Guntur Romli, suaminya (Romli, 2007, hlm. 168-9). Hanya saja mbak Nong mengubah bagian ‘alasan kewajiban agama’ menjadi alasan teologis, yaitu kewajiban agama(Mahmada, 2016b; Romli, 2007, hlm. 168-9).

Tak sekadar secara tertulis, secara lisan pun mbak Nong beberapa kali mengucapkan uraiannya mengenai jilbab. Misalnya melalui tayangan Apakah Jilbab Wajib Bagi Muslimah? (ft. mbak Nong Darol Mahmada) (GEOLIVE ID, 2017). Dengan dipandu oleh Nadhila Qonita, mbak Nong tampak santai dan serius mengucapkan uraian tentang jilbab.

Dari cara mbak Nong menguraikan pandangan secara lisan maupun tulisan, tampak kentara bahwa mbak Nong memiliki keyakinan yang kuat disertai penalaran yang tepat tentang jilbab. Selain itu juga terdapat perasaan yang terlibat dalam membentuk pemikiran mbak Nong. Manusia memang makhluk berperasaan (Setiawan, 2018, hlm. 15).

Seperti telah saya sebutkan sebelumnya, dari semua catatan yang ditulis oleh mbak Nong, Kritik atas Jilbab menjadi artikel yang paling saya suka. Itu adalah artikel pertama yang saya baca ketika mencari tahu tentang jilbab pada masa anak-anak dulu. Enak dan perlu, begitu kira-kira anggapan saya terhadap artikel mbak Nong.

Mengapa enak? Karena artikel Kritik atas Jilbab disajikan dengan bahasa ringan dalam penuturan yang terasa seperti membaca cerita saja. Mbak Nong terlihat curhat saja, tak tampak sedang memberi hasil kajian yang dilakukannya.

Padahal kandungannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Bahkan beberapa penulis menjadikan artikel Kritik atas Jilbab sebagai rujukan untuk jurnal mereka. Misalnya dalam Conservative Islam Turn or Popular Islam? an Analysis of the Film Ayat-ayat Cinta dan Implications of Shariah by-Law on Moslem Dress Code on Women in Indonesia (Khairi, 2012; Hakim, 2010).

“An Indonesian liberal Islamic feminist, Mahmada says that wearing jilbab is not compulsory for Muslim women, because the status of the hadith about the obligation for using jilbab is ahad that cannot be used for legal reference, and even the tradition of wearing jilbab among Muslim society tends to refer to cultural obligation rather than religious obligation.” tulis Likman Hakim dalam artikelnya yang mengutip artikel Kritik atas Jilbab (Hakim, 2010, hlm. 118-9).

“Nong Darol Mahmada argues that wearing jilbab is not a religious obligation, but a cultural obligation. He claims that wearing jilbab is not compulsory because it is debatable. He further argues that the interpretation of Islamic scholars which obliges women to wear the jilbab is based on personal interpretation that is derived from socio-cultural context.” tulis Akhmad Najibul Khairi dalam artikelnya yang juga mengutip artikel Kritik atas Jilbab (Khairi, 2012, hlm. 43).

Mengapa perlu? Karena artikel Kritik atas Jilbab menunjukkan bahwa jilbab tidak identik dengan Islam. Mbak Nong menunjukkan bahwa dalam Islam sendiri, ayat al-Qur’an terkait jilbab memiliki beragam penafsiran dengan spektrum sangat luas. Sementara al-Hadist yang menjadi rujukan tentang jilbab pun cukup bermasalah untuk menjadi landasan hukum. Sedangkan dalam tradisi masyarakat Asia, ketentuan tentang jilbab sudah muncul sebelum Yahudi, Nasrani, dan Islam menyembul.

Melalui artikel Kritik atas Jilbab pula dapat dilihat bahwa pemikiran mbak Nong tak terlampau megah dalam hal pembaruan gagasan. Ini yang seharusnya dipakai oleh haters kalau ingin menyerang mbak Nong, bukan dengan sibuk menyusun kalimat hujatan apalagi sampai memproduksi lalu menjajakan fitnah!

Buat saya sendiri, catatan tersebut memperlihatkan kaitan pengalaman personal dan pergaulan sosial dengan wawasan keilmuan dari diri mbak Nong. Banyak cupilkan kajian lintas ruang dan waktu dimuat untuk menampakkan perjalanan gagasan sejak zaman kekunoan hingga kekinian, misalnya ibn Katsir, Imam Zarkasyi, Ruth Todded, sampai Fatima Mernissi.

Pembaca seakan berhadapan dengan sebuah peta yang disusun mengagumkan. Sementara penulis menunjukkan bahwa telah melumat khazanah keilmuan. Melalui lumatannya, dirinya berupaya mengaitkan dengan pengalamannya sendiri maupun pergaulan yang dihadapi.

Artikel Kritik atas Jilbab kembali menyentak saya beberapa waktu lalu. Sambutan perdana pada saya saat datang ke Pondok Pesantren Ath-Thullab Kudus ialah ‘sebuah buku yang harus saya baca’. Buku tersebut berjudul Ketika Fikih Membela Perempuan, karya Nasaruddin Umar ‘pendekar perempuan’.

Kebetulan saya langsung jumping start dengan membuka halaman 36 yang berisi ulasan tentang hijab. Tak pelak saya tersentak karena mendapati beberapa bagian seperti pernah saya baca. Setelah diperiksa, bagian tersebut memang pernah saya baca sebelumnya. Misalnya pada bagian, “Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung.” (Umar, 2014, hlm. 43; Mahmada, 2003b).

Tanpa lama-lama, saya memotret sampul buku tersebut, lalu membagikan melalui Instagram Story. Tak lupa mbak Nong pun ditandai, kemudian dirinya menanggapi. Walau tangapannya sekadar tanda suka saja tak sampai mengomentari, tak apalah. Who is her? Who am I?

Belakangan melalui cerita yang disampaikan melalui WhatsApp, mbak Nong bilang kalau Nasaruddin Umar adalah pembimbing akademik sekaligus skripsi mbak Nong ketika kuliah strata satu. Ahelahhh… Wajar kalau dalam artikel Kritik atas Jilbab didapati beberapa bagian yang merujuk pada karya Nasaruddin Umar.

Misalnya bagian, “Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah ‘milik’ Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti tif’eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan isti-lah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.” (Mahmada, 2003b). Bagian tersebut merujuk pada artikel Antropologi Jilbab karya Nasaruddin Umar (Umar, 1996, hlm. 36).

Atau bagian, “sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM).” (Mahmada, 2003b). Itu merujuk pada artikel Nasaruddin Umar berjudul Fenomenologi Jilbab (Umar, 2002).

Bagian lain yang juga terlihat merujuk ialah penuturan terkait dosa Hawa yang menggoda Adam. Tentang kutukan berupa menstruasi yang ditulis oleh mbak Nong, sebelumnya juga sudah ditulis oleh Nasaruddin Umar (Umar, 1998; Mahmada, 2003b).

Mengutip atau gampangnya disebut meniru adalah perilaku wajar (Hawking, 2001, hlm. 53; Prasetyo, 2005). Malah buat saya, tidak salah disebut sebagai tradisi ilmiah (Fraenkel dan Wallen, 2009, hlm. 69). Hal ini sangat biasa terjadi di arena unjuk karya.

Dalam arena karya tulis, misalnya René Descartes melalui buku Discoure de la Méthode. Buku tersebut meniru buku al-Munqidh min al-Dholāl wa al-Maushul ilā dzi al-‘Izzati wa al-Jalāl (المنقذ من الضلال والموصل إلى ذي العزة والجلال) karya Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghazālī (أبو حامد محمد الغزالي) (Descartes, 1894, hlm. 53-67; al-Ghazālī, 2010, hlm. 1-3).

Dalam arena karya gambar juga serupa. Misalnya Iridescent dari Linkin Park yang meniru lukisan Última Cena karya Leonardo da Vinci pada scene musik video pada detik ke-145-7 (Linkin Park, 2011; da Vinci, 1498). Begitu pula dalam arena karya musik, terdapat Miley Cyrus yang melalui lagu Karen Don’t Be Sad melakukan peniruan alunan nada terhadap Julia karya The Beatles (Cyrus, 2015; The Beatles, 1968).

Tak ketinggalan dalam arena karya video pun terjadi. Ada Sakit Bukan Main dari Mulan Jameela yang video musiknya meniru Radio Gaga dari Queen (GP Records, 2012; Queen Official, 2008). Video musik Come Back Home (Hangul: 컴백홈) dari 2NE1 (Hangul: 투애니원) juga secara gamblang meniru film fiksi-ilmiah The Matrix (2NE1, 2014b; Movieclips Trailer Vault, 2013). Padahal sebelumnya perilisan album Crush yang memuat lagu Come Back Home sudah meniru tanggal rilis album The Works dari Queen (2NE1, 2014a; Queen, 1984).

Tak perlu ragu maupun malu dalam meniru. Tak selamanya peniruan membuat satu karya begitu saja tenggelam bahkan bisa menjelma sebagai karya azam. Mengumpulkan beragam hal terkait bentuk karya yang akan dibuat sebagai langkah awal ketika hendak berkarya tentu wajar-wajar saja.

Misalnya ketika hendak menulis topik terkait perempuan. Penulisan bisa dimulai dengan menganalisis analisis orang lain, melihat hasil ijtihād (Arab: اجتهاد) yang sudah ada. Walau dimulai dari langkah ini, keaslian (originality) unjuk rasa tetap bisa dimunculkan dalam bentuk cara (method) maupun kesimpulan yang dihasilkan.

Catatan Too Late to Write ini juga sekadar peniruan alakadarnya terhadap catatan To write or not to write? yang dibuat oleh Lanny Octavia. Catatan tersebut bercerita tentang kaitan kesan Lanny Octavia terhadap Irshad Manji (Arab: إرشاد مانجي) dengan perjalanan pribadinya (Octavia, 2008).

Saya suka catatan To write or not to write? karena bisa membuat saya tertawa. Soalnya jurnal dan buku yang ditulis Lanny itukalau mau dibaca—memaksa untuk menyiapkan kopi dan rokok LA Ice (bukan Sampoerna Mild lho ya...). Di dalam To write or not to write?, pertanyaan dari Irshad pada Lanny dikutip dengan bagus. Pertanyaan itu ialah, “Why don't you write your own memoar?” Begitcyuuu…


References

Cerita yang disampaikan oleh Nong Darol Mahmada secara pribadi dalam beberapa kesempatan.

Bibliography

al-Ghazālī, Abū Ḥāmid Muḥammad. (2010). Al-Munqidh min al-Dholāl wa al-Maushul ilā Dzi al-‘Izzati wa al-Jalāl, hlm. 1-3. Riyadh: Islamicbook. [luring: arsip]

Descartes,  René. (1894). Discours de la Méthode : Pour Bien Conduire sa Raison, et Chercher la Vérité dans les Sciences, hlm. 53-67. Paris: Prés le Palais-Royal. [luring: arsip]

Effendi, Lutfi, dkk. (2009). Dulu Tertutup, Sekarang Melepas Jilbab. Suara Hidayatullah, 4 Mei. [luring: arsip]

Fraenkel, Jack R. dan Wallen, Norman E. (2009). How to Design and Evaluate Research in Education—7th ed. New York City: McGraw-Hill. [luring: arsip]

Hakim, Lukman. (2010). Conservative Islam Turn or Popular Islam? an Analysis of the Film Ayat-ayat Cinta. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 48(1), hlm. 101-128. [daring: lihat]

Hawking, Stephen. (2013). My Brief History. Bantam Books. [luring: arsip]

Khairi, Akhmad Najibul. (2012). Implications of Shariah by-Law on Moslem Dress Code on Women in Indonesia. Journal of Islamic Civilization in Southeast Asia, 1(1), hlm 36-54. [daring: lihat]

Mahmada, Nong Darol. (2001). Membangun Fikih yang Pro-Perempuan. Majalah TEMPO, 30 Juli. [luring: arsip]

Mahmada, Nong Darol. (2003a). Menjawab Terorisme dengan Islam Warna-Warni. IslamLib, 9 Februari. [daring: lihat]

Mahmada, Nong Darol. (2003b). A Critic upon Jilbab. IslamLib, 5 April. [daring: lihat]

Mahmada, Nong Darol. (2003c). Kritik Atas Jilbab. IslamLib, 17 April. [daring: lihat]

Mahmada, Nong Darol. (2004). Moderate Indonesian Muslim Rejection of the US Attack on Iraq. Kyoto Review of Southeast Asia, Issue 5 (March 2004). [daring: lihat]

Mahmada, Nong Darol. (2007). Peraturan Daerah Syariat dan Perempuan. Koran Tempo, 7 April. [luring: arsip]

Mahmada, Nong Darol. (2016a). Jilbab, Kewajiban atau Bukan?. Deutsche Welle, 11 Juli. [daring: lihat]

Mahmada, Nong Darol. (2016b). Jilbab Warna-warni. Deutsche Welle, 19 Juli 2016 [daring: lihat]

Mahmada, Nong Darol. (2017). Cuitan. Twitter @nongandah, 23 Mei 2017, 00.45 GMT+7. [daring: lihat]

Mulia, Siti Musdah. (2005). Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan. Mizan. [luring]

Octavia, Lanny. (2008).  To write or not to write?. LaNovria, 24 April. [daring: lihat]

Piliang, Indra Jaya. (2008). Menulis. Catatan Harian, 8 Juni. [luring: arsip]

Prasetyo, Dhani Ahmad. (2005).  Fine Art’s Maestro. Rolling Stone Indonesia, 8 Desember. [luring: arsip]

Romli, Mohamad Guntur. (2007). Pelangi Jilbab. Dalam Ustadz, Saya Sudah di Surga, hlm. 167-170. [luring: arsip]

Setiawan, Adib Rifqi. (2017a). Mbak Nong. Kirana Azalea, 23 Maret. [daring: lihat]

Setiawan, Adib Rifqi. (2017b). Guru yang Menyapih. Kirana Azalea, 30 Maret. [daring: lihat]

Setiawan, Adib Rifqi. (2018). Eny rochmawati octaviani: memberikan hiburan, menyuntikkan harapan. Majalah SANTRI, 10 April, hlm. 15-8. [daring: lihat]

Umam, N Jacques dan Sihite, Ezra. (2009). Demi Masa Depan Anak. Koran Jakarta, 12 April. [luring: arsip]

Umar Nasaruddin. (2014). Ketika Fikih Membela Perempuan. Elex Media Komputindo. [luring: arsip]

Umar, Nasaruddin. (1996). Antropologi Jilbab. Jurnal Ulūmul Qur’ān, 5(VI), 36-47. [luring: arsip]

Umar, Nasaruddin. (1998). Perspektif Jender dalam Islam. Jurnal Paramadina, 1(1). [daring: lihat]

Umar, Nasaruddin. (2002). Fenomenologi Jilbab. Harian Kompas, 25 November. [luring: arsip]

— Discography

2NE1. (2014a). Crush. YG Entertainment, 27 Februari. [daring: lihat]

Cyrus,  Miley. (2015). Karen Don't Be Sad. Dalam Miley Cyrus & Her Dead Petz. RCA Records, 30 Agustus. [daring: lihat]

GP Records. (2012). Mulan Jameela feat. Dewi Dewi - Sakit Bukan Main [Official Music Video]. YouTube GP Records, 27 September. [daring: lihat]

Queen . (1984). The Works. Hollywood Records, Inc., 27 Februari. [daring: lihat]

The Beatles. (1968). Julia. Dalam The Beatles (White Album). EMI Records Ltd, 22 November. [daring: lihat]

Photography

da Vinci, Leonardo. (1498). Última Cena. MiBACT. [luring: pindai]

— Videography

2NE1. (2014b). 2NE1 - COME BACK HOME M/V. YouTube 2NE1, 2 Maret; [daring: lihat]

GEOLIVE ID. (2017). Apakah Jilbab Wajib Bagi Muslimah? (ft. mbak Nong Darol Mahmada). YouTube GEOLIVE ID, 28 Oktober. [daring: lihat]

Linkin Park. (2011). Iridescent (Official Video) - Linkin Park. YouTube Linkin Park, 3 Juni. [daring: lihat]

Movieclips Trailer Vault. (2013). The Matrix (1999) Official Trailer #1 - Sci-Fi Action Movie. YouTube Movieclips Trailer Vault, 19 November. [daring: lihat]

Queen Official. (2008). Queen - Radio Ga Ga (Official Video). YouTube Queen Official, 1 Agustus. [daring: lihat]

K.Sb.Pa.200739.50.060418.21:35