— listening and reading... make my heart thinking...
Rasanya
butuh sekali untuk menelepon Maryam Musfiroh «مريم مسفرة». Sayang, karena Maryam masih
sibuk dengan kegiatannya, tak ada waktu lagi untuk mendengarnya berseloroh. Mungkin
memang belum waktunya. Bisa jadi saat ini saya sedang disuruh oleh Allāh
«الله»
untuk bisa menahan gejolak yang terjadi dalam ruang rasa.
Saya
memang kangen dengan perempuan Garut ini. Kangen berbincang riang tentang
beragam angan, perjuangan, dan kenangan. Di luar rasa kangen secara pribadi,
perbincangan seperti itu sekarang sulit sekali dicari dan didapati. Terlebih
setelah beberapa hal yang tak pernah terkonfirmasi menjelma sebagai prasangka
sekerumunan.
Sebenarnya
saya hanya butuh mendengar cerita keseharian Maryam saja. Namun, rasanya berat
buat memohon padanya untuk berbagi cerita. Mungkin ini adalah hal yang konyol,
sesuatu tak penting buat Maryam justru menjadi kebutuhan buat saya.
Maryam
sendiri menjadi orang yang dapat bicara setara. Mungkin kami tidak setara,
jelas kalau dia lebih mulia dibandingkan dengan saya. Namun, Maryam bisa
membuat obrolan yang dilakukan terasa setara karena memiliki sejenis ‘standar’
yang sama. Bukan standar ganda yang hanya mau menerima enaknya sendiri saja.
Saya
kangen Maryam, sosok yang tak banyak basa-basi bicara sejak perbincangan
dimulai dari salam. Saat bicara pun, dirinya bisa terhindar dari gagal paham. SWalau
kadang rasa kangen perlu kembali dipendam.
Sepanjang
mengenal Maryam, saya memang menganggapnya sebagai orang yang murah bicara. Apa
saja dapat terucap dari lidahnya, entah itu perkara remeh maupun peristiwa
penting. Walau belakangan kami jarang terlibat obrolan, tak banyak saya dengar
Maryam bicara, tetap tak mengubah anggapan.
Karena
banyak mendengar Maryam bicara, banyak hal yang saya tahu darinya melalui
ucapannya. Misalnya ucapan yang kemudian saya tulis sebagai cerita dari,
tentang, dan untuknya.
Maryam
memang senang terlibat obrolan, menjadi
semacam jadwal wajib selain tanggung yang jawab sedang diterimanya. Selalu saja
ada waktu luang digunakannya untuk terlibat obrolan dengan siapa saja.
Obrolan
dengan mereka yang selaras dengannya ikut serta memperkaya sedangkan dengan
mereka yang berbeda dengannya memberi warna lain tersendiri. Dari obrolanlah Maryam mulai banyak
tahu hal lain yang belum pernah dijamah olehnya. Walau demikian, kalau dirinya
tak tahu, mau mengakui. Seperti untuk urusan bahasa, misalnya.
Melalui
obrolan dengan Maryam, saya merasa sedang diajari tak mem-‘benda’-kan akal.
Soalnya walau terdengar remeh, ucapan Maryam kadang perlu direnungkan secara
mendalam. Bisa jadi diam-diam Maryam berpesan bahwa Sang Pencipta
menganugerahkan akal pada manusia bukan hanya sebagai property belaka melainkan
untuk di-‘pekerja’-kan terus menerus.
Pesan
tersirat yang terasa tepat. Kalau mau sejenak menelusuri, kata ‘akal’ tak
sekalipun muncul sebagai kata benda «اسم» di dalam al-Qur’ān «القرآن», tetapi berulang kali muncul dalam bentuk kata kerja «فعل». Dalam al-Qur’ān, tidak ada kata ’aqlun «عقل»,
tetapi banyak terdapat kata sejenis ya'qilu «يعقل».
Bahkan
walau sama-sama, kata kerja, akal ditampilkan dengan bentuk present dan future
«الفعل المضارع»,
bukan kata kerja past «الفعل
الماضي». Artinya, selain tidak ada ’aqlun, tak dapat pula
dijumpai kata sejenis ’aqola «عقل».
Lalu
apa pesan yang perlu dicari dari sisi pemilihan kata dalam al-Qur’ān
ini? Apakah kita layak memuja atau mencerca soal akal kalau sisi ini saja tak
dapat dijelaskan dengan memuaskan? Bukankah lebih baik kita diam saja,
mengalihkan obrolan ke hal lain, I Need You ketika sedang merasa Over
and Over misalnya.