Karya Mencolok Bernama Madilog


— telantar, telantar, telantar, terlantan


“Tulisan itu lebih abadi.”
— Nong Darol Mahmada pada 21 April 2018.

Tan Malaka, tak ada yang saya ketahui kecuali namanya. Perkenalan saya dengan buah hati pasangan Rasad Caniago dan Sinah Simabur ini baru kemarin sore. Baru setelah saya bermukim di Bandung. Itupun terjadi secara verbal. Sebutan verbal lantaran memang saya tak menangi sosok tersebut ketika masih melakoni keseharian di planet Bumi ini.

Saat kecil, saya pernah mendengar pemilik nama kecil Sutan Ibrahim ini. Namun, saat itu belum terlampau saya perhatikan saat itu. Baru pada pertengahan 2013—mungkin Septembersaja sosok immortal tersebut saya perhatikan. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk segera menyebutnya The Great One sesudah melakukan follow-up dari sebuah perkenalan verbal.

Tan termasuk sosok yang konsisten. Konsisten memperjuangkan impian dengan prinsip yang dianutnya serta konsisten antara kepribadian dengan peragaan keseharian. Saya selalu menggandrungi sosok-sosok sejenis demikian, dalam hal apapun. Antara lain Valentino Rossi dan Paris Whitney Hilton.

Kontroversi menyelimuti Tan tiada henti. Bahkan tempat dan tanggal lahirnya saja memiliki ragam pendapat. Menurut pendapat paling sering ditampakkan, Tan lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897.

Walau kabut kontroversi terus menggelayuti, tak ada keraguan lagi bahwa Tan telah berpetualang menempuh pengalaman yang nano-nano rasanya: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II, di arena internasional. Di arena nasional, Tan adalah sosok pertama yang menerbitkan gagasan tertulis mengenai konsep Republik Indonesia melalui bukunya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), terbit pada 1925.

Sebagai petualang, lebih dari 20 tahun perjalanan Tan dihabiskan untuk menjelajah ke berbagai lingkungan. Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi free agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan finansial hingga perjalanan merdeka seratus persen.

Dari beragam pengetahuan, pengalaman, dan perasaan yang kemudian diwedarkan secara tertulis, Madilog menjadi karya paling saya gandrungi. Madilog, buku yang ditulisnya dalam persembunyian dari Kempetai, intelnya Jepang (1943), adalah warisan paling gereget untik dinikmati.

Madilog merupakan karya agung dari Tan, sejenis demikian saya menyebutnya. Isinya menguraikan dengan luas dan dalam tentang kritik dan saran diserta pandangan dari Tan terkait keadaan Nusantara, khususnya Indonesia. Dengan rapi dan rinci Tan men-dedah-kan pada kita ragam macam hal mulai catatan perjalanan, pemikiran, hingga pilihan usulan sebagai cara mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang cenderung minder menuju yakin diri.

Keagungan Madilog dapat dilihat dari beberapa sisi:

Pertama, ketebalan buku. Tebal sekali buku yang ditulis Tan ini. Sekitar 150 ribu kata didayagunakan untuk mengungkapkan perasaan yang dipendam dan penalaran yang dianyam.

Kedua, buku ini ditulis dalam sebuah bilik kecil (pondokan dari anyaman bambu) di Cililitan, Jakarta Timur, secara malar sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.

Ketiga, semua data berupa angka, referensi, dan acuan terhadap gagasan-gagasan orang lain sebagian besar dikutip dari luar kepala (mengandalkan daya ingat). Hal ini dikarenakan Tan kehilangan banyak buku selama bertualang. Sedangkan sebagian kecil diambil dari buku-buku perpustakaan yang bisa didatanginya. Luar biasa anugerah daya ingat berlipat yang didapatkan Tan dari Pelantan Alam Raya.

Keempat, wawasan yang dibentangkan di dalamnya sangat luas dan dalam. Gagasan yang tertulis di dalamnya bebas dari segala subyektifitas sehingga dapat digunakan untuk mempelajari apa saja dan dari siapa saja yang dianggap memiliki keterkaitan dengan permasalahannya.

Kelima, Tan seperti perpustakaan berjalan. Seluruh karya agung peradaban dunia sepanjang masa sanggup dia dedah-kan melalui Madilog. Pen-dedah­-an tersebut bukan untuk dihafalkan, walakin dicerna secara kritis sehingga membentuk pandangan sendiri.

Keenam, keadaan dimensi ruang dan waktu selama penulisan. Madilog ditulis dalam keadaan perang sehingga terkesan buru-buru agar segera selesai. Meski demikian, terdapat usaha untuk tidak terjadi kekeliruan dalam berbagai rincian tulisan.

Dengan demikian, sulit untuk meragukan kecerdasan, daya ingat, dan sikap rendah hati Tan. Setelah selesai belajar di lembaga pendidikan formal di Belanda, Tan tetap rajin belajar tanpa merasa sudah pintar.

Selama bertualang, dia mempelajari seluruh karya tulis yang dianggapnya sangat penting, mulai dari yang bersifat teoretis, sampai yang cenderung praktis. Tan juga memanfaatkan keterpaksaan nomaden untuk mengamati keadaan lingkungan serta berbagi pengalaman melalui interaksi dengan orang-orang yang dijumpai.

Oleh karena itu, Madilog yang memakai rujukan di luar kepala itu merupakan tenun dari hasil belajar, keluyuran, dan ngobrol-nya yang tekun. Bukan hanya dari membaca buku saja tanpa mau jalan-jalan dan melibatkan interaksi dengan lingkungan (sosial dan alam).

Madilog yang merupakan kependekan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika adalah imbauan dari Bapak Nusantara kepada bangsa-bangsa di tanah ibu pertiwi agar mau keluar dari kegelapan berpikir untuk memasuki cara berpikir yang matang.

Tan merasa bangsa-bangsa di wilayah Nusantara menjadi terbelakang akibat cara berpikirnya yang terjebak dalam logika mistika. Untuk keluar dari jebakan tersebut, diperlukan bantuan logika materialisme. Logika inilah yang menjadi gagasan awal dari Madilog.

Logika mistika adalah logika gaib, yang tidak mencari sebab-akibat melainkan mengembalikan segala sesuatunya pada perbuatan roh-roh di alam gaib. Roh-roh tersebut dianggap berada di belakang alam nyata dan memengaruhi segala kejadian di dunia ini.

Akibatnya, orang yang terjebak dengan logika mistika tersebut sulit untuk maju. Mereka cuek dengan keadaan yang dihadapi dalam keseharian. Hal ini membikin mereka enggan mencari sebab-akibat yang selalu ada menyertai mereka. Malah kemalasan ini memiliki pledoi jitu dengan mendambakan anugerah kekuatan-kekuatan gaib yang dianggap memengaruhi perjalananan.

Materialisme adalah cara berpikir yang berasal dari materi, hasil dari penelitian ilmiah sehingga bisa diuji bersama. Untuk urusan keperjalananan bersama, kita tak bisa mengandalkan naluri yang dimiliki sendiri walakin harus bisa diterima bersama oleh seluruhnya.

Dialektika adalah cara berpikir timbal-balik. Maksudnya semua hal bisa dipandang berbeda hingga dua titik bertentangan tampak kentara. Orang yang tak memakai dialektika akan menganggap dua titik itu bertentangan. Tetapi orang yang memakai dialektika, pertentangan itu justru menjadi penggerak kemajuan.

Memakai materialisme tidak cukup lantaran cenderung stagnan. Dialektika dibutuhkan untuk melihat potensi-potensi yang ada pada kenyataan sehingga dapat digunakan untuk mencapai kemajuan.

Logika adalah aturan tentang cara bernalar yang benar. Berpikir materialis dan dialektis tidak cukup tanpa diiringi dengan berpikir logis. Logika berguna untuk meraih kemajuan yang pasti (real paradise) bukan kemajuan yang semu (virtual paradise).

Tan menjelaskan ketiga perkara tersebut seluruhnya disertai contoh penggunaannya. Madilog menampakkan dengan kentara kalau Tan mengagumi sekaligus ikut serta menikmati peradaban di planet Bumi. Kekaguman itu membuatnya berhasrat kuat mendalami kemudian mengerahkan segala daya dan upaya untuk ikut serta memperkaya khazanah peradaban manusia.

Dari pendalaman Tan pada setiap bentuk warisan peradaban, diambil nilai-nilai dasarnya sebagai bahan pondasi rancangan Madilog. Bagusnya, Tan bisa membaca keadaan bangsa Indonesia sehingga Madilog bisa tertanam subur di lahan Indonesia. Tak mogok laiknya pemikiran yang dicangkok.

Tan bahkan sempat meninjau Yahudi, Nasrani, dan Islam menggunakan cara Madilog. Tiga komunitas kaum beriman yang notabene memiliki benang merah pada sosok Ibrahim (Abraham). Buat saya, Ibrahim merupakan sosok kritis yang dapat disebut sebagai bapaknya ilmu logika. Ibrahim sendiri merupakan nama yang disematkan oleh orangtuanya sebelum lebih dikenal dengan sapaan Tan. Mungkin Tan dapat berkah dari nama Ibrahim. Siapa tahu?

Madilog juga perwujudan sintesis petualangan dari seorang Tan yang memiliki personalitas bangsa Minangkabau. Bangsa Minangkabau identik dengan kebiasaan merantau. Hal ini terjabarkan ke dalam dua poin penting pemikiran Tan demi menanamkan Madilog di lingkungan Nusantara, agar ajaran bisa dibumikan bukan dikebumikan.

Pertama, gubahan Madilog melalui sintesis pertentangan pemikiran di antara dua kubu aliran besar dalam filsafat, yaitu Hegel dengan Marx-Engels. Walau akhirnya berbeda pandangan, Marx terus tetap penuh hormat menyebut bahwa Hegel adalah gurunya.

Hegel dengan filsafat dialektika (tesis, antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis. Berkembang dari taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi. Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi berhubungan satu sama lain. Semua perkembangan difokuskan pada idea (tak kasat mata) bukan pada matter (kasat mata).

Sementara itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan pada matter melalui revolusi perpindahan dominasi kelas. Setiap kelas saling berpindah dari satu kelas ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya, ialah masyarakat tanpa kelas. Jadi matter bagi Marx-Engels lebih penting daripada idea, kosok bali dengan Hegel.

Dalam Madilog, Tan menyintesiskan kedua pertentangan aliran filsafat ini untuk mengubah mental budaya pasif menjadi kelas sosial secara ilmiah: bebas dari alam pikiran mistis. Melalui cara ilmiah, mindset masyarakat Indonesia harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan dan pikiran kreatif dieksplorasi.

Semuanya dilakoni dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi berupa kelas sosial baru yang berwawasan Madilog. Inilah wujud petualangan secara pemikiran karena berbagai benturan gagasan yang terjadi.

Kedua, pandangan budaya bangsa Minangkabau tentang konsep rantau.

Nilai penting konsep rantau dalam budaya bangsa Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru selama merantau demi pengembangan diri. Bangsa Minangkabau termasuk berkarakter dinamis, logis, dan antiparokial (parokial: wawasan sempit).

Konflik batin khas perantau ditepis Tan dengan tradisi berpikir rasional. Tradisi ini didukung dengan basis pendidikan guru yang mengharuskannya menanamkan cara berpikir yang sistematis, berurutan.

Sementara itu, merantau adalah juga mencari keselarasan dari pertentangan dan penyesuaian. Pandangan kebudayaan bangsa Minangkabau yang umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat maupun dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang terpisahkan.

Sebagai sintesis hasil petualangannya, Madilog merupakan perwujudan simbol kebebasan berpikir Tan. Madilog bukanlah dogma yang biasanya harus ditelan begitu saja tanpa hati-hati dalam mencerna. Menurutnya, justru kaum dogmatis yang cenderung memuja hafalan tanpa pemahaman sebagai kaum bermental budak. Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala Barat dan konsep rantau disintesiskan Tan.

Huruf, aksara, kata, disusunnya dalam suasana kesepian, kemiskinan, dan penderitaan yang sangat ekstrim. Namun Madilog-lah yang menjadi karya agung paling mahal dari seorang Tan. Sebuah breakthru hasil petualangan sepanjang melakoni bicycle race walau under pressure. A kind of magic sepanjang di tanah kelahiran, lalu di Haarlem, Nederland (1913-1919), ke beragam tempat lain, sampai kelahiran karya agungnya itu di Rawajati (1943).

Tan adalah petualang solo run yang kesepian lahir dan batin. Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme yang telah merendahkan muruah bangsa-bangsa di Nusantara.

Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan perjalanan dalam pembuangan tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan secara konroversial oleh pengelola (government) Republik Indonesia yang telah diangan dan perjuangkan.

Tak kalah penting, Tan adalah single abadi setelah kisah cintanya kandas saat remaja. Dia memilih melajang sepanjang zaman setelah roman picisannya kandas di tengah jalan. Romansa Tan serupa dengan Abu Zakaria an-Nawawi dan Isaac Newton, pada ruang dan waktu yang berbeda.

Tan boleh dibilang begitu telantar bahkan banyak dikhianati liyan (orang lain) sepanjang perjalanan. Beberapa saat setelah kematian kontroversial dan misterius pun dia masih telantar. Malah saat pengelola Republik Indonesia berpindah tangan dan pandangan, Tan tampak kentara sengaja ditelantarkan. Hingga akhirnya, ketika ‘suara dari dalam kubur’-nya menggema, Tan mulai terlantan.

“Gie dan Wahid belum banyak memikirkan bangsa, apalagi dalam tatanan regional dan global, secara sistematis. Yang memikirkan itu adalah Tan Malaka, sebelum Republik Indonesia dibentuk.”
— Indra Jaya Piliang pada 20 Agustus 2007.


Teks lengkap :
[1] Naar de Republiek Indonesia [daring: lihat]
[2] Menuju Republik Indonesia [daring: lihat]
[3] Madilog [daring: lihat]
[4] Yahudi dan Nasrani dalam tinjauan Madilog [daring: lihat]
[5] Islam dalam tinjauan Madilog [daring: lihat]