— 아이 러브 컴백홈 (i love come back home)
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ
«القرآن الكريم سورة الأعراف : ١٧٩»
Periode umur keduapuluhtiga merupakan masa perjalanan
mental penuh tantangan buatku. Sebuah petualangan panjang dan berat untuk
mengerti diriku—semacam proses refleksi terdalam dariku. Aku mencoba menilai
diriku sendiri serta keadaan yang kualami. Dari penilaian ini bisa diungkapkan
bahwa aku mungkin sudah berhenti menghembuskan nafas sebelum ulang tahunku yang
keduapuluhtiga, kalau bukan karena sahabat hebat yang kutulis nama mereka
melalui Skripsiku—Eny Rochmawati Octaviani, Ahmad Ulul Albab, Muflih Muhammad
Mahiry, Nur Hidayati, dan Leily Hardianti Rosiana.
Aku memilih menulis nama mereka berlima karena memang
peran yang diberikan luar biasa. Mungkin mereka tak menyadari bahwa pada
saat-saat suram itu—masa ketika aku lebih sering terdiam tenggelam dalam
langgam—sentuhan yang diberikan terasa sangat bermakna. Sebagian besar orang
mengenalku sebagai sosok extrovert,
walakin aku merasa memiliki sisi introvert.
Kepada mereka berlima lah aku merasa bebas bicara apa saja, tak ragu
mengungkapkan isi hatiku tanpa khawatir akan mengubah ikatan persahabatan yang
buatku terbilang expert.
Aku memilih menulis di Skripsi karena memang itu
adalah karya tulis perdanaku. Meski memiliki kegemaran membaca, berbincang, dan
berwisata serta menjadikan menulis sebagai sarana belajar (writing to learn), sampai sekarang aku belum pernah menerbitkan
satu pun buku. Satu catatan yang tak menggembirakan tentunya. Aku tak
memungkiri banyak orang yang sudah mengulurkan bantuan mereka, juga keinginan
dalam hati sudah menggelora. Namun, Allah belum menakdirkan, sejarah belum
memberi kesempatan. Melalui Skripsi—yang disebut kayak Yoona kejepit pintu
saking tipisnya itu—setidaknya terima
kasih pada mereka bisa awet sepanjang zaman.
Anyway,
Skripsiku memang sampah, tak ada hasil istimewa. Skripsiku memang tipis,
seluruhnya hanya 26 halaman saja. Walau begitu, proses sepanjang mengerjakan
Skripsi adalah peristiwa yang menahanku untuk tak terlalu lama tumbang.
Peristiwa pemberi semangat yang semula hilang. Bahkan pada proses itulah aku
baru mengerti, amanah ilmiah seperti apa yang akan kuterima saat lulus kuliah.
Hasil lumayan sepanjang menjalani proses itu adalah bonus dari Allah.
Karena Skripsi itulah aku yakin diri mengikuti harapan
Ibuk untuk kembali ke Kudus, tanah kelahiranku. Karena Skripsi itu pulalah aku
memiliki semangat untuk menjadi pengajar di sekolah—saat itu aku berharap bisa
kembali ke sekolah yang mendidikku. Buk Setiya Utari—pembimbing akademik
sekaligus pembimbing skripsi, yang selalu kusebut pengasuhku selama di Bandung—merupakan
orang yang terang-terangan mendukung pilihanku. Saat kami bercakap empat mata
terakhir, dia tak mengungkapkan apapun tentang kuliah pasca sarjana. Buk Utari
tampak mengerti bahwa I Want to Break
Free dari perkuliahan, entah sejenak atau selamanya. Sebagai gantinya, dia
mengungkapkan kesiapan menjadi rekan peneliti—kalau aku tiba-tiba ingin
melakukan penelitian selanjutnya. Ungkapan Buk Utari pula yang membuatku merasa
bahagia.
Rasa bahagia disertai semangat menggelora mengiringi
kepulanganku ke Kota Kretek, selepas lima tahun lunarly menjalani keseharian di Kota Kembang. Aku berterima kasih
telah diberi kesempatan untuk berkembang, di tempat rindang yang membuatku
merasa senang. Tentu tak sepenuhnya bahagia, ada kekhawatiran bahwa aku tak
mendapat kesempatan untuk kembali ke sekolah. Kesempatan tak selalu bisa diraih
walau semangat sudah sangat membuncah. Yang jelas, aku mencoba memanfaatkan
setiap tahap secara optimal. Sembari berserah dengan harapan hasilnya bisa
maksimal.
Aku mulai dengan mengunjungi rumah Pak Musthofa Imron,
kepala sekolah MA NU TBS—sekolahku sebelum melanjutkan di UPI. Kami hanya
berjumpa singkat, dengan ungkapan singkat saja.
“Saya alumni 2012, baru lulus tahun ini, bagaimana baiknya?” ungkapku
membuka perjumpaan.
“Mana buktinya?” tanya Pak Mus meminta foto kopi ijazah yang sudah
dilegalkan.
Tak lama kemudian, aku sodorkan ijazah yang sudah
kusiapkan dalam stopmap warna kuning.
“Ya sudah, nanti dikabari lagi.” tutup Pak Mus.
Selepas dari rumah Pak Mus, aku langsung menuju rumah
Pak Muhammad Ali Asyhari, kepala sekolah MTs NU Miftahul Falah—sekolahku sebelum
melanjutkan di MA NU TBS. Pak Ali kembali terpilih menjadi kepala sekolah saat
ini. Dulu saat aku sekolah, dia juga yang menjadi kepala—dan aku membuat ulah
paling menggegerkan sekolah, dua kali. Agak beda dengan Pak Mus, percakapan
dengan Pak Ali terbilang santai. Bahkan aku langsung berterus terang mengatakan
maksud kedatanganku.
“Kalau saya kembali ke Miftahul Falah, ada kesempatan atau tidak?”
tanyaku.
Sambil berpikir sejenak, Pak Ali menjawab, “Sepertinya belum ada
kesempatan buatmu.”
Aku menghela nafas sejenak sembari membayangkan bahwa
fokusku tinggal TBS, atau tak ke lembaga pendidikan.
“Begini, MA NU Miftahul Falah sekarang membuka kelas IPA, mungkin kamu
bisa di sana.” Pak Ali memberi saran, “Jadi kalau mau kembali, kirimkan dua
berkas, barangkali ada kesempatan di MTs.”
Aku langsung mengurusi berkas yang diminta keesokan harinya, sambil berharap untuk mendapat hasil terbaik. Maksudku hasil terbaik adalah, kalau aku tak jadi di TBS, Miftahul Falah memberi kesempatan, atau sebaliknya. Jangan tak jadi semua, atau bisa semua. Kalau tak jadi semua, aku bisa saja jatuh semangat. Kalau jadi semua, aku merasa tak enak memilih salah satunya. Aku tak punya bakat mendua.
Selagi menanti panggilan dari keduanya, aku mendapat
tawaran dari tempatku. Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria (YM2SM) bekerja
sama dengan Yayasan Arwaniyyah untuk membangun sekolah hafalan al-Qur’an buat
putri. Kerja sama tersebut membuka kesempatan yang ditawarkan, antara lain,
kepadaku. Kesemptan tersebut ialah menjadi pengajar mata pelajaran ilmu alam,
terutama fisika. Tentu ini kesempatan menarik: aku tak akan lari dari keilmuan
yang sesuai ijazahku sekaligus membangun Islam melalui perempuan.
Sisi membangun perempuan rasanya lebih kuat ketimbang
mengajar fisika. Aku selalu yakin, kalau perempuan Islam dibangun dengan bagus,
generasi Islam akan mudah terurus. Pacar-pacarku dulu yang menginspirasi hal
ini, ada beragam alasan yang bisa diungkapkan walakin lebih enak kalau dilihat
saja buktinya. Sayangnya, tawaran tersebut berlaku untuk tahun depan. Artinya,
meski aku langsung mengurus berkas saat mendapat tawaran itu, tetap saja aku
harus menanti setahun lamanya—kalau hanya bergantung padanya.
Sekolah putri belum dibuka, Miftahul Falah tak segera
memberikan panggilan, namun TBS dengan cepat mengundangku untuk terlibat
pembicaraan. Yayasan Madrasah TBS, melalui MA NU TBS, memberiku kesempatan
untuk bergabung dengan mereka. Pertama,
sebagai anggota tata usaha di MA NU TBS, kedua,
sebagai anggota pembina di Pondok Pesantren Ath-Thullab. Dengan sedikit
perenungan, aku ambil kesempatan itu. Tak peduli besaran gaji, juga perubahan
penampilan yang harus kujalani. Kebetulan sejak ulang tahun keduapuluhtiga aku mulai
peduli dengan busana serta ingin agak tertutup, sementara gaji tak jadi soal
selama kebutuhan tercukupi.
Secara seremonial, aku mulai langkahku di TBS pada
hari Rabu Legi. TBS memiliki tradisi start
pada hari Ahad atau Rabu, dan kupilih Rabu Legi karena itu weton kelahiran sosok yang sangat memengaruhiku—dialah sosok yang
berhasil meyakinkanku untuk nyantri
pada 06 Juli 2009 silam. Ternyata pilihanku bagus. Aku bisa mulai menyesuaikan
diri dengan lingkungan madrasah sedari dini, sejak 05 Juli 2017 saat siswa
belum masuk.
Selama beberapa hari, aku menikmati masa-masa menjadi
anggota TU. Beberapa album K-Pop aku
unduh, artikel kutulis, percakapan bersahabat dengan rekan-rekan baru muka
lama, juga kelegaan dalam hati. Ibuk merasa senang dengan pilihanku, Bapak
mengapresiasi, serta Ella dan Hikmal pun tampak senang. Keluarga tak memberi
rintangan malahan sangat mendukung untuk terus melantan.
Lain halnya dengan Ath-Thullab, aku baru berencana
memulainya pada Ahad Pahing, 16 Juli 2017. Namun karena ada satu acara
perkenalan santri baru, aku pun ikutserta di sana pada 15 Juli 2017.
Tanpa kuduga, selepas acara Pak Mus bilang, “Besok kamu berangkat ke MI
saja, di sana kamu dibutuhkan, mengajar Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, lalu apa
lagi saya lupa, sekalian wali kelas.”
Dahiku berkerut, mata sejenak terbelalak, namun aku masih bisa
mengendalikan suasana hati dan ucapan lisan, “Maksudnya bagaimana pak?”
“Begini, Pak Salim (kepala MI) tadi menghubungiku, dia meminta kamu
untuk mengajar saja di MI. Untuk lebih lanjut, kamu ke sana saja. Selama dua
tahun ini, mungkin kamu di MI, setelahnya lihat nanti.” jelas Pak Mus.
Terus terang aku bingung menentukan perasaan saat itu:
antara bahagia atau merana. Aku merasa sudah nyaman di MA, walau menjadi
anggota tata usaha bukan pengajar di ruang kelas. Aku juga merasa bahagia
mendapat kesempatan mengajar di kelas, hanya saja belum kenal suasana MI. Tanpa
menolak, akupun menerima saja perubahan tempat tersebut. Sejak aku mengunjungi
Pak Mus di rumah, dia tampak mernahno
(entah apa alihbahasa Indonesia yang tepat buat ini) diriku.
Aku bilang Pak Mus mernahno
lantaran diberi tawaran menjadi pembina di Pondok Pesantren Ath-Thullab. Sejak
berdiri, belum pernah ada lulusan program studi non-agama yang menjadi pembina
di sana. Memang terdapat beberapa pembina lulusan perguruan tinggi, namun dari
Al-Azhar dan kampus Timur Tengah lainnya. Selainnya, tentu saja pesantren. Pak
Mus pun tampak tak menekan aku agar bisa membimbing santri laiknya pembina
lain, “Rumahmu jauh, lebih baik di pondok saja daripada capek,” katanya.
Tentu aku berterima kasih pada kesempatan yang
diberikan ini. Menjadi pengajar sekolah dan pembina pesnatren membuat waktuku
untuk belajar tak terkurangi. Hadi Asrori yang mengungkapkan hal ini, mungkin
satu-satunya orang yang lantang mengatakan padaku. Aku bisa melestarikan
semangat belajarku walau tak lagi menjadi pelajar di lembaga pendidikan, juga
masih bisa menulis. Pesan utama yang senantiasa diberikan oleh Pak Zaini
Sirojan, Pak Muhammad Arifin Fanani, dan Buk Utari pun bisa dilestarikan.
Selain itu, aku juga memiliki banyak waktu luang untuk
melakukan hal lain: berjumpa sahabat, bercakap daring dan luring, juga menerima
ajakan lain. Sekarang aku malah merasa wajar pada keadaan Valentino Rossi,
Paris Hilton, Cristiano Ronaldo, dan Maria Sharapova—role model utamaku yang masih lajang pada usia matang—keseharian
rasanya istimewa dinimati walau masih sendiri.
K.Sn.Pa.131250.38.030917.23:51