— when who I am meet you are precious
Penulis:
Laila Fariha Zein
Pernah
berpikir gimana caranya menjadi
pemberani? Kalau
kamu sebagai penyusup, pernah bertanya
pada hatimu yang paling dalam: apa tujuanmu mencari informasi untuk
diputarbalikan? Jika
kamu punya basic agama, apa mungkin
agamamu menyuruh pengikutnya untuk dengki? Apa benar sukses tidaknya agama
dilihat dari banyaknya pengikut? Apa benar agama menyebabkan perpecahan?
Aku
rasa,
yang tau benar tujuan tuhan menciptakan suatu golongan itu jelas dan untuk kebaikan
umat. Agama dibentuk atas dasar rasa ingin menghimpun, bersatu, memfokuskan
hati untuk berbakti. Agama hanya media, wadah untuk taat. Yang kita harus atur
itu fokus. Gimana caranya kita bisa
fokus dan tanggung jawab atas agama apa yang kita pilih.
Jalani
dan beri yang terbaik. Kalo fokus kita benar, ketika berhaji kita tidak akan
pergi ke Paris, ketika lapar kita tidak akan pergi ke toko meuble, ketika ngantuk
kita tidak akan pergi ke kamar mandi. Ribuan bahkan jutaan muslim di dunia
fokus pada satu tujuan ketika arahnya sudah sejalan. Percayalah, orang-orang dalam perjalanan dengan tujuan yang
sama akan bertemu di satu titik, dengan syarat arah yang mereka tuju sama dan
tepat. Adapun cara mereka sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing.
Selama
ini yang sering diperkarakan adalah perbedaan cara, ketidakwajaran cara, atau
apapun itu yang memicu buyarnya fokus utama. Bukankah sudah biasa berdampingan
dengan perbedaan cara? Kita tidak pernah protes mereka yang menu makanan
utamanya nasi, mereka yang menu utamanya sagu, gandum, jagung, roti, karena
kita menerima perbedaan itu. Karena kita tau cara apapun yang mereka tempuh
intinya sama, mengenyangkan perut. Yang dicerna itu prinsip kerjanya. Bukan
istilahnya.
Bukan
berniat menyeragamkan apapun demi kebaikan, tapi rasanya tidak pantas ketika
apa yang kita perjuangkan ditempuh dengan cara kasar, penuh emosi, rusuh,
bahkan mencoreng wajah kita sendiri. Agama itu dibentuk bukan untuk menjadikan
antar umat saingan. Sebab Tuhan tidak rugi dengan adanya umat yang sedikit. Tuhan tidak juga untung dengan
adanya umat yang banyak. Tuhan lebih tau apa yang ingin dicapai. Sebab skenario
terbesarnya sudah ada.
Tuhan
berkehendak manasuka. Hanya kita yang
harus menjaga prasangka dan tanggung jawab atas janji yang pernah kita ucapkan
dulu. Menjalankan hidup sesuai fitrah,
menjemput kebenaran yang seringkali tertutup oleh tumpukan-tumpukan kepentingan
sepihak berbungkus samar, konsisten atas apa yang dipilih dan tanggung jawab
menjalaninya.
Apa
yang kupilih, itu adalah hutang janji yang dulu diucapkan. Apa yang kamu pilih,
itu pun hutang janji yang harus dilunasi. Tugas kita hanya fokus dan konsisten
membayar hutang itu dengan cara yang benar, baik, dan pantas.
Sebelum
menurunkan ayat menulis (Q.S. al-Qalam : 2), Allah menurunkan wahyu pertama berisi
perintah Iqra (Q.S. al-'Alaq
: 1),
yang artinya bacalah. Kenapa? Karena dalam proses memahami sesuatu tidak lantas
menciptakan, tapi membaca keadaan dulu. Untuk
menciptakan, kita butuh pengertian. Untuk mendapat pengertian, kita perlu
memahami. Untuk memahami, kita harus mengetahui. Membaca adalah langkah awal
dalam memulai langkah ‘menciptakan’ ini, sebagai kepanjangan ‘tangan Tuhan’
yang telah menugaskan kita sebagai pengelola di muka Bumi (Q.S. al-Baqarah : 30).
Allah
lebih dulu memerintah mata sebelum menyuruh tangan bertindak. Di sekolah, kita
lebih dulu diajari membaca sebelum menulis. Dalam hidup, kita diajak untuk peka
dan membaca kondisi sekitar kita sebelum melakukan sesuatu. Sekalipun hal
tersebut baik, mempertimbangkan juga perlu dilakukan, asal jangan terlalu lama.
Disegerakan tapi tidak tergesa-gesa.
Sebagai
contoh adalah menikah. Menikah memang bukan hal yang harus selalu
diistimewakan, tapi persiapannya juga bukan berarti harus main-main, sebab
menikah adalah ibadah yang paling panjang. Tujuannya bukan hanya bangga menjadi
Ratu dan Raja sehari atau bahagia menerima salam tempel dari para tamu,
melainkan bagaimana caranya mencetak generasi yang unggul dunia akhirat,
menjadikan keluarga sebagai sumber penyalur rezeki bagi sesamanya.
Nilai
kebenaran, kebaikan dan kepantasan tidaklah sama. Setiap kebenaran pasti baik
tapi belum tentu pantas jika langsung diaksikan. Butuh metode terbaik untuk
menyampainkannya supaya pantas. Setiap kebaikan belum tentu benar, sebab
kebaikan yang dimaksud kadang diracuni oleh kecenderungan sepihak, sedangkan
kebenaran sudah pasti mengandung kebaikan, sebab kebenaran semadyana buat semua.