Itz Spring Voice


— andai aku tak mengaguminya ...
Eny Rochmawati Octaviani; Eny Rochmwati Octaviani; Eny; Rochmawati; Rochmwati; Octaviani; Tata; Thata; Pelantan; Adib Rifqi Setiawan; Alobatnic; Butcah Chuniez; Butcah; Chuniez;

“Membacalah dengan hati, jangan dengan emosi dan prasangka.”
Nong Darol Mahmada pada 10 November 2016

“Ojo gumunan” (Jawa: mudah kagum),  pernyataan yang belum saya pastikan siapa penutur awalnya, menjadi salah satu ungkapan manis. Saya belum memastikan penutur awalnya apakah Mbah Arwani Amin atau Mbah Turoichan Adjhuri. Serupa dengan sebagian orang yang menyematkan penemu Kalkulus pada Isaac Newton dan Gottfried Wilhem Leibniz. Pernyataan “ojo gumunan” biasa disematkan pada dua legenda Kudus, Mbah Tur dan Mbah Arwani.

Pernyataan tersebut termasuk ungkapan manis buat saya, yang semakin terasa ketika saya mengagumi sesuatu—perkara maupun peristiwa. Pasalnya saya terlahir dengan potensi fanatik luar biasa yang kalau dibiarkan liar tanpa pagar bisa semena-mena menerjang semau-maunya. Apalagi potensi arogan juga luar biasa besarnya.

Pernyataan “ojo gumunan” menjadi penting lantaran saya mudah mengagumi banyak hal, seperti mengagumi manusia lainnya. Kebiasaan ini mulai muncul sejak lama dan semakin dibiasakan sebagai bentuk usaha untuk menekan sikap arogan yang ada dan luar biasa juga besarnya. Walau setelah ditekan dengan beragam cara tetap saja sikap arogan sulit untuk bisa sirna.

Kebiasaan mengagumi banyak hal membuat manusia yang saya kagumi banyak jumlahnya. Banyak sekali sampai sulit dihitung sendiri berapa jumlahnya. Oleh karena itu, saya enggan menyebut bahwa bahwa saya ini menjadi diri sendiri. Pasalnya semua yang saya kagumi memberi pengaruh tersendiri.

Saya baru bisa menyebut bahwa saya menjadi diri sendiri jika bisa membuang pengaruh itu seluruhnya. Bisakah saya melakukannya? Yang jelas sampai saat ini dan saat nanti saya tidak bisa mengembalikan air susu Ibuk yang saya tetek ketika balita.

Pengaruh-pengaruh itu terus bertumbuhkembang sepanjang mengayuh perjalanan. Pengaruh yang bertumbuhkembang tak selalu sama atau serupa malahan bisa juga berlawanan. Misalnya saya bersahabat dengan Eny Rochmawati Octaviani. Puan kelahiran 04 Oktober 1995 yang biasa saya sapa Tata ini termasuk manusia yang memiliki pengaruh tersendiri.

Gara-gara Tata menjadi penggemar Girls’ Generation [소녀시대] (Sonyeo Sidae atau SNSD), saya bisa menjadi penggemar berat 2NE1 [투애니원] (To Anyone). Walaupun sudah banyak dimengerti kalau Girls’ Generation dan 2NE1 tak hanya berbeda gaya namun jauh bertentangan dan terlibat persaingan. Pertentangan dan persaingan yang saling melengkapi untuk membuat Korea Selatan [대한민국] (Daehan Min-guk) bisa terbang tinggi di industri hiburan.

Bisa dibilang saya dipengaruhi oleh semua manusia, meski sebagian lebih cepat disebutkan. Mereka lebih cepat disebutkan karena beberapa hal, seperti saking kuat mengendapnya pengaruh mereka, daya dorong luar biasa, atau menjadi ‘peletak pondasi’, dan/atau ‘pembuka gerbang’ perjalanan.

Dari beberapa nama yang lebih cepat disebutkan, Tata memang terbilang paling cepat disebutkan.  Tentu sudah mafhum [المفهوم] bahwa meski saya sangat kagum, tak seluruh yang melekat padanya harus serta merta dipraktikkan sepanjang perjalanan. Beberapa yang bisa klop dengan nurani layak dilantan selaras dengan perkara lain yang merisak nurani patut ditanggalkan.

Mengungkapkan sekaligus mengabadikan kekaguman dengan cara yang bisa dilakukan adalah perilaku wajar dari pengagum terhadap sesuatu yang dikaguminya. Dari banyak cara yang tersedia, menulis adalah salah satunya. Satu bentuk unjuk rasa ini sudah saya gandrungi sejak lama.

Sejak dibuat terpesona oleh permainan keyboard Dhani Ahmad Prasetyo dan guitar Andra Junaidi Ramadhan dalam langgam azam Persembahan dari Surga, keinginan untuk bisa berunjuk rasa mulai ada. Keinginan yang kemudian mendapat jalan selepas saya membaca Membangun Fikih yang Pro-Perempuan karya Nong Darol Mahmada.

Dalam beberapa perkara memang Tata dan saya memiliki titik temu serta pada beberapa perkara lainnya kami juga memiliki titik pisah. Kalau ada satu titik yang bisa menemukan, untuk apa titik-titik pisah dianggap terlampau menjadi masalah? Sejauh-jauhnya kami berpisah pada beberapa perkara, kami sama-sama manusia. Malahan dilahirkan di kabupaten yang sama, Kudus.

Saya memang akhirnya bisa menulis Tata untuk diterbitkan pada 15 Februari 2017, tanggal tak bisa nego. Namun tulisan tersebut tak bisa disebut sebagai catatan tentang dirinya. Lebih tepat disebut sebagai catatan persinggungan—bisa titik temu maupun titik pisah—antara saya dengan Tata. Menulis persinggungan dengan Tata memberi gairah membuncah pada saya. Banyak tantangan yang segera muncul sesaat setelah saya ingin memulainya.

Tantangan pertama ialah ketika dikaitkan dengan baik-buruk, benar-salah, dan indah-jorok, saya tak bisa menentukannya. Jadilah saya kabur dari perkara ini dengan memulai dari ruang rasa. “Manusia adalah makhluk berperasaan,” yang menjadi kalimat pembuka. Tak kabur-kabur amat juga, lantaran sepanjang perbuatan yang dilakukan tak merisak rasa manusia lainnya malahan bisa menggembirakan rasa, apakah tak bisa disebut bahwa perbuatannya baik dan/atau benar dan/atau indah? Menentukan sesuatu itu baik, benar, dan indah bagi saya tak pernah mudah.

Misalnya dalam persoalan `Ādam ketika memetikkan buah terlarang untuk menuruti kemauan Hawa. Sebagian kalangan girang betul menyebut Hawa adalah biang keladi terusirnya manusia dari Surga dan terdampar di planet Bumi hingga perbuatan tersebut dianggap sebagai kesalahan. Namun tanpa kemauan Hawa itu, tujuan awal penciptaan manusia sebagai khalīfah di Bumi bisa jadi tak akan terlaksana. Tanpa ada perbuatan tersebut, mungkin Hawa dan `Ādam selamanya menjadi penghuni surga, yang berarti mengingkari tujuan awal penciptaan manusia.

Pencapaian Tata sepanjang perjalanannya menjadi tantangan kedua. Pencapaian dirinya memang tidak istimewa, masih kalah jauh dibanding Muhammad [محمد], kirana azalea pemula Semesta Raya. Malahan terbilang kalah dibanding Im Yoon-ah [임윤아] (YoonA), penghibur asal Korea Selatan. Bahkan kalau di-plot pada linikala kekinian Nusantara, Tata masih kalah dibanding penghibur asal Pulau Pinang, Malaysia, bernama Venice Min [慧敏].

Oleh karena itu, saya merasa perlu menyertakan pernyataan yang mengungkapkan bahwa Tata tetap layak dijadikan sebagai panutan walau tak dianggap memiliki pencapaian mengagumkan sama sekali. “Tak lelah mengayuh secara terus-menerus”, menjadi ungkapan yang digunakan saat menghadapi tantangan ini.

Mungkin Tata tak semenawan Aspasia dalam berjuang bersama Periklēs membangung lingkungan. Barangkali pengaruh Tata tak segagah ‘Ā’isha [عائشة‎‎] dalam menggerakkan kerumunan. Bolehlah peran Tata tak sepenting Ḥafṣah [حفصة] yang menjadi kunci penyusunan teks al-Qur’an. Bisa jadi segala usaha yang dilakukan Tata tak berdampak banyak laiknya Émilie du Châtelet dalam mengembangkan gagasan.

Walau begitu, Tata tetap layak menempati kapling permanen dalam kalbu. Kita bisa berbeda pandangan, tak dimungkiri kadang berlawanan, namun Tata tetap manusia yang laras, puan yang tegas, panutan yang pantas. Buat Tata, semoga keteladanan darimu membuahkan riḍhā Allah selalu.

If words could describe how a person become successful, then why is there such quote saying that “Action speak louder than words?” Wouldn’t it be easier if he express his feelings just by saying “I love you” rather than wasting his time proving? .. Think deeper.
— Venice Min pada 02 Oktober 2011
Eny Rochmawati Octaviani; Eny Rochmwati Octaviani; Eny; Rochmawati; Rochmwati; Octaviani; Tata; Thata; Pelantan; Adib Rifqi Setiawan; Alobatnic; Butcah Chuniez; Butcah; Chuniez;