Berkarya Sebagai Diaspora


— Ulas Kilas Nadirsyah Hosen

Intro :
Artikel ini ditulis bersama Amatullah dan diterbitkan melalui Majalah SANTRI edisi Oktober 2016 halaman 56-9. [lihat: sumber]

Nadirsyah Hosen berziarah ke makam Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari pada (malam) Sabtu Wage, 21 Syawal 1436 H./7 Agustus 2015 M. pukul 23:30 GMT+7.
Nadirsyah Hosen berziarah ke makam Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari pada (malam) Sabtu Wage, 21 Syawal 1436 H./7 Agustus 2015 M. pukul 23:30 GMT+7.
[Sumber : Facebook Nadirsyah Hosen]
Seorang yang berprestasi ialah ia yang mampu memanfaatkan kesempatan dan waktu dengan efektif serta mampu mengembangkan potensinya secara optimal setiap saat dan tempat. Diantara orang yang seperti itu ialah Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M, MA (Hons), PhD.

Beliau merupakan putra Indonesia yang menyelesaikan studi S1 dari Fakultas Syari'ah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1996. Kemudian beliau kembali belajar di University of New England dan meraih gelar Graduate Diploma in Islamic Studies (1999) serta Master of Arts with Honours (2001). Gelar LL.M di Hukum Perbandingan beliau dapatkan pada tahun 2000 usai belajar dari Charles Darwin University. Beliau memiliki totalitas serta semangat yang tinggi dalam mencari ilmu, sehingga pada tahun 2005 beliau menyelesaikan PhD pertama (Hukum) di University of Wollongong dan PhD kedua (Hukum Islam) di National University of Singapore pada tahun yang sama.

Gus Nadir, sapaan karib beliau, adalah putra bungsu almarhum Prof. KH Ibrahim Hosen, LML (1917-2001). Abah beliau yang merupakan pakar ushul fikih (filsafat hukum Islam) dan fikih perbandingan lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir, termasuk salah satu figur kunci yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan dunia fatwa di Indonesia. Terobosan pemikiran pendiri Institut Ilmu Al-Quran Jakarta ini kerap mengejutkan, menyajikan alternatif, dan tak jarang menuai polemik.

Gus Nadir yang sangat mencintai abahnya ini, turut mengikuti jejak abahnya melalui prestasi yang diukirnya. Keahliannya pada Syariah dan Hukum Indonesia dikenal secara internasional. Beliau adalah orang pertama dan satu-satunya dari Indonesia yang menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum, Monash University, sejak 20 Juli 2015. Di sini beliau mengajar Hukum Tata Negara, mata kuliah yang diajarkan di semester kedua.

Sebelum memainkan peran ini, selama 8 tahun beliau mengajar di Fakultas Hukum, University of Wollongong (2007-2015) hingga meraih posisi sebagai Associate Professor. Di sini beliau mengajar Dasar Hukum, Hukum Tata Negara, Hukum Islam dan Masalah Kontemporer dalam hukum Asia Tenggara.

Sebelum mengajar di University of Wollongong, sejak tahun 2005 beliau bekerja sebagai peneliti post-doctoral di TC Beirne School of Law, Universitas Queensland. Selama 2 tahun, beliau melakukan penelitian dan mengajarkan “Perbandingan Hukum Anti-Terorisme dan Kebijakan” untuk program LL.M.

Hingga kini, tercatat 64 artikel telah diterbitkan beliau di jurnal internasional. Mulai Nordic Journal of International Law (Lund University), Asia Pacific Law Review (City University of Hong Kong), Australian Journal of Asian Law (University of Melbourne), European Journal of Law Reform (Indiana University), Asia Pacific Journals on Human Rights and the Law (Murdoch University), Journal of Islamic Studies (University of Oxford), Journal of Southeast Asian Studies (Universitas Cambridge), hingga  lainnya. Kecerdasan dan kecermatan beliau yang dituangkan dalam jurnalnya mampu memikat para penilai/wasit jurnal setara Oxford dan Cambridge University.

Pemikiran beliau juga dituangkan ke dalam buku. Shari’a and Constitutional Reform in Indonesia, menjadi buku pertamanya yang ditulis sendiri. Buku yang diterbitkan oleh Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, pada tahun 2007 ini memfokuskan pembahasan pada reformasi konstitusi di Indonesia (1999-2002) dari sudut pandang syari’ah. Sejak akhir pemerintahan Orde Baru Soeharto pada tahun 1998, Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Pengunduran diri Soeharto juga membuka jalan bagi beberapa kelompok Muslim dan partai politik untuk mengajukan syari’ah ke dalam Konstitusi.

Buku ini mengajukan pertanyaan penting yang tersirat dalam amandemen UUD 1945: dapatkan syari’ah dan konstitusionalisme demokrasi digunakan tanpa mengorbankan hak asasi manusia, supremasi hukum, dan kemerdekaan beragama? Kontribusi dari partai-partai politik Islam di Indonesia untuk proses dan hasil amandemen, dengan cara mengadopsi pendekatan syari’ah substantif, mencerminkan kemampuan untuk berhadapan dengan konstitusi tanpa meninggalkan prinsip dan tujuan dari syari’ah. Kajian ini menyingkap satu gambaran memungkinkan tentang cara Islam dan konstitusionalisme dapat berpadu dalam visi yang sama, bukan tanpa risiko ketegangan, melainkan dengan kemungkinan keberhasilan.

Tiga tahun kemudian, pada 2010, beliau juga kembali menerbitkan buku. Republic of Letter Publishing, Dordrecht, Belanda, menerbitkan bukunya yang berjudul Human Rights, Politics and Corruption in Indonesia: A Critical Reflection on the Post Soeharto Era. Kita tahu bahwa pengunduran diri Soeharto dari kursi presiden pada Mei 1998 membuka era baru di Indonesia. Saat untuk mereformasi sistem politik Indonesia, untuk melindungi hak asasi manusia dan kebebasan pers, dan untuk menghilangkan korupsi yang sistematis dan sistemik, telah tiba.

Buku ini menelusuri proses reformasi hukum yang berlangsung di Indonesia selama era Habibie, dari Mei 1998 hingga Oktober 1999. Era ini boleh disebut sebagai periode kritis sepanjang sejarah gerakan Indonesia untuk menjadi negara demokrasi. Pada bab terakhirnya, diberikan refleksi 12 tahun transisi Indonesia dan menelaah struktur baru negara Indonesia setelah Amandemen UUD 1945 tahun 2002-2004, serta masalah keamanan nasional dan aturan hukum setelah peristiwa Serangan 11 September dan bom Bali pada tahun 2002.

Buku lainnya berjudul Modern Perspective on Islamic Law ditulis bersama Ann Black dan Hossein Esmaeili. Ann Black merupakan Associate Professor of Law di TC Beirne School of Law, The University of Queensland, Australia, sementara Hossein Esmaeili adalah Associate Professor of Law di Flinders Law School, Flinders University, Australia. Buku yang diterbitkan oleh Edward Elgar, Cheltenham, UK pada tahun 2013 dan 2015 ini memberikan penjelasan, refleksi, dan analisis hukum Islam dengan baik. Tak hanya dalam tradisi hukum klasik syari’ah, walakin dalam konteks modern kontemporer.

Buku ini mengeksplorasi peran hukum Islam di negara-negara Barat sekuler dan merefleksikannya pada sistem hukum Islam dalam konteks klasik seperti yang diterapkan di beberapa negara Timur Tengah dan juga Aisa Tenggara. Ketiga penulis yang merupakan cendekiawan terkemuka berasal dari latar belakang berbeda: seorang Muslim dengan tradisi Sunni, Muslim dengan tradisi Syi’ah, dan seorang perempuan non-Muslim; menjadikan buku ini tak hanya unik melainkan juga diperkaya dengan perbedaan pandangan tentang hukum Islam.

Kata pengantar dalam buku yang mengakui bahwa Islam terus memainkan peran penting tak hanya di Timur Tengah namun di bagian dunia lainnya ini diberikan oleh Sir William Blair, hakim Pengadilan Tinggi Inggris dan Wales yang juga kakak Tony Blair. William Blair menyebut bahwa pembahasan dalam buku ini adalah salah satu yang sangat penting.

Pembahasan dimulai dengan analisis sifat hukum Islam, konsepnya, makna dan sumber, serta perkembangannya dalam berbagai tahap sejarah Islam. Pembahasannya diiringi dengan catatan tentang cara hukum Islam yang sedang dipraktikkan saat ini. Lembaga-lembaga modern kunci dibahas, seperti parlemen, peradilan, dar al-ifta, partai politik, dan organisasi penting lainnya. Berlanjut dengan analisis beberapa konsep kunci dalam era modern ini: negara-bangsa, kewarganegaraan, ummah, dhimmah (pengakuan status tertentu non-Muslim di negara-negara Islam), dan aturan hukum.

Buku ini meneliti bagaimana belakangan ini, lebih banyak fatwa yang dikeluarkan secara kolektif dan bukan berasal dari seorang cendekiawan secara individu. Para penulis kemudian mengevaluasi bagaimana tawaran hukum Islam terhadap masalah keluarga, ekonomi, kejahatan, aset, dan alternatif penyelesaian sengketa. Terakhir, buku ini melihat kembali isu-isu kontemporer yang diperdebatkan dalam hukum Islam, seperti burqa, makanan halal, riba (bunga), dan kemurtadan.

Buku ini menjadi teks ilmiah standar pada hukum Islam yang memberikan cakupan luas dan menarik bagi peneliti dan pelajar hukum Islam serta kajian keislaman pada umumnya. Aspek perbandingan hukum Islam yang disajikan dalam buku ini juga menarik bagi praktisi hukum.

Selain menulis buku dalam Bahasa Inggris, beliau juga menulis beberapa buku dalam Bahasa Indonesia. Mari Bicara Iman: ..kearifan, kepedulian, kesejukan batin, dan tantangan zaman, menjadi buku pertama beliau dalam Bahasa Indonesia. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Zaman pada Januari 2011 ini mengajak kita mengobrol tentang berbagai persoalan kehidupan dan keberagamaan. Potongan cerita dan ulasannya disampaikan secara sederhana dan sarat muatan makna.

Basah oleh kisah, baik dari khazanah keislaman ataupun dari cerita keseharian. Kadang mengasah kepekaan dan mengusik pikiran yang terlanjur meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Kadang menawarkan kearifan praktis dan menyirami hati dengan kesejukan iman. Mendalam tapi dituturkan secara menawan, bab demi bab dalam buku ini asyik dinikmati tanpa harus mengerutkan dahi; bisa pula dijadikan teman dalam perjalanan atau di saat antre.

Bersama Nurussyariah Hammado, pakar Neurosains dari Makassar, menerbitkan buku Ashabul Kahfi Melek 3 Abad: Ketika Neurosains dan Kalbu Menjelajah Al-Quran. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Noura Books pada September 2013. Peristiwa tidur panjang ashabul kahfi merupakan mukjizat sekaligus fenomena ilmiah yang menakjubkan. Serangkaian proses ilmiah yang memungkinkan tidur berdurasi 309 tahun itu dijelaskan terperinci dalam Al-Quran (QS 18: 9-20). Salah satunya adalah mereka tidur dengan mata tetap terbuka (QS 18:18). Secara ilmiah, tujuan “desain” ini adalah agar mata tetap mendapat asupan cahaya, di samping andai kelopak mata tertutup lama, saraf mata akan mengecil (disused arthopy), mengalami disfungsi hingga kebutaan.

Berangkat dari kekaguman dan kecintaan pada Al-Quran sebagai mukjizat zikir dan pikir yang tiada habisnya, kedua penulis berhasil memadukan khazanah iman dan neurosains dalam bunga rampai refleksi yang terangkai cantik dan menakjubkan di dalam buku ini. Tak hanya kisah ashabul kahfi yang sangat menakjubkan, buku ini juga mengisahkan binatang yang diungkap dalam Al-Quran, agar manusia dapat belajar dari kisah tersebut. Kemudian pembaca akan turut dibawa serta menghadiri drama pengajian ala Ujang dan Haji Yunus, mengenai bid'ah serta perbedaan pendapat ulama, perbedaan cara beribadah dan perbedaan waktu lebaran.

Uraian kembali khazanah keilmuan cendekiawan muslim klasik yang sangat luar biasa dan tak banyak dikenal sejarahnya juga diberikan secara singkat dalam buku ini. Ada pula penjelasan singkat mengenai hati setiap manusia, mengenai ego, mengenai amarah, penyakit hati, dan masih banyak lagi yang penulis tuang dalam buku ini. Semua itu dimaksudkan agar pembaca tergugah untuk bersemangat menelaah Al-Quran dan kajian kehidupan agar semakin mencintai Sang Pelantan dan ciptaan-Nya.

Penerbit Noura Books kembali menerbitkan karya beliau pada tahun Juni 2015. Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal Hingga Memilih Mazhab yang Cocok menjadi buku yang menjawab praktik-praktik keseharian hukum Islam lintas benua. Misalnya tentang hukum makanan tanpa label halal. Umat Islam yang pernah tinggal di luar negeri pasti akan merasakan masalah mencari makanan halal. Di Eropa, umat Islam biasanya akan berbelanja di toko-toko muslim Maroko atau Turki. Memang ada juga daging yang diberi label halal. Tapi bagaimana hukum daging tanpa label halal?

Gus Nadir menjelaskan bahwa dalam menerapkan syariat, Islam berprinsip untuk memudahkan pelaksanaan ajaran tertentu dalam situasi khusus. Untuk masalah ini, Gus Nadir merujukkannya pada contoh yang diberikan Rasulullah yang memperbolehkan mengusap khuff (sesuatu yang menutupi kaki sampai mata kaki baik berupa sepatu atau kaos kaki) saat berwudu. Nabi melakukan ini baik dalam status bermukin maupun saat di perjalanan. Tentu saja ada syarat dan ketentuan tertentu dan hal lain mengatur hal ini yang diuraikan dengan baik oleh Gus Nadir.

Selain masalah yang spesifik berkaitan dengan hukum Islam, Gus Nadir juga memaparkan tentang masalah keislaman secara umum, seperti ucapan selamat natal, mencari fatwa keagamaan (termasuk “bertanya kepada” Google), penghinaan terhadap Nabi Muhammad, dan sebagainya. Penyampaiannya yang bersifat populer, naratif, dan penuh dengan dialog, membuat buku ini renyah dicerna. Meski demikian, buku ini kaya dengan referensi dan otoritatif.

Dapat disimpulkan bahwa melalui buku ini, beliau hendak menyatakan bahwa Islam itu top banget karena cocok buat semua tempat, buat Arab, Indonesia, dan tempat lainnya. Hal ini karena aspek yang diambil adalah sisi substansi dari Islam yang bisa diterapkan di berbagai tempat. Dalam Islam kita sudah tidak perlu mencari yang mudah-mudah karena sudah banyak kemudahan dalam Islam.

Selain menulis buku, beliau juga ikut serta menyumbangkan pemikirannya dalam beberapa bab buku. Artikel berjudul Religious pluralism, inclusive secularism, and democratic constitutionalism: the Indonesian experience dimuat dalam Muslim Secular Democracy: Voices from Within.

Dalam artikel di buku yang diterbitkan Palgrave Macmillan, New York, US pada 2013 ini, beliau menyoroti perdebatan mengenai pengadilan syari’ah. Artikel ini memberikan ulasan terkait kasus penghapusan Pengadilan Yahudi di Toronto, Beith Din, pada tahun 2005. Kasus ini bermula ketika para pemimpin Muslim meminta hak yang sama seperti Yahudi dengan diperbolehkan menggunakan arbitrase yang berdasarkan akar keagamaan mereka. Pejabat Ontario dipaksa untuk memutuskan apakah akan membentuk pengadilan syariah bagi umat Islam atau menghapuskan pengadilan keagamaan sama sekali. Akhirnya, Premier, Dalton McGuinty memutuskan bahwa tidak akan ada hukum syariah ataupun arbitrase agama di Ontario. Akan ada satu hukum untuk semua warga Ontario.

Dalam buku Constitutionalism in Islamic Countries: Between Upheaval and Continuity yang diterbitkan oleh Oxford University Press, USA, New York, US pada tahun 2013, Gus Nadir menyumbangkan artikel berjudul Indonesia: A presidential system with checks and balances. Artikel ini menelaah reformasi konstitusi Indonesia.

Sebelum era reformasi, cabang eksekutif tampak memiliki keunggulan dibandingkan cabang legislatif. Bahkan keunggulannya ditulis dengan jelas dalam konstitusi. Namun setelah melalui proses amandemen pada 1999-2002, terjadi perubahan drastis terhadap lembaga-lembaga politik Indonesia. Perubahan tersebut seperti peran presiden tak sekuat sebelumnya, sistem multiparta, parlemen lebih kuat dari sebelumnya, serta penghapusan kursi parlemen untuk militer.

Pada 2014, beliau juga kembali menyumbangkan pemikirannya dalam bab buku Constitutionalism in Asia in the Early Twenty-First Centure. Di buku terbitan Cambridge University Press, Cambridge, UK, ini beliau menulis artikel berjudul Promoting democracy and finding the right direction: A review of major constitutional developments in Indonesia. Reformasi konstitusi masih menjadi topik pembahasan.

Amandemen UUD 1945 yang menjadi aspek paling penting dalam transisi demokrasi di Indonesia telah mengubah pemetaan peran lembaga politik. Secara mendasar, reformasi Konstitusi mengubah aturan mengenai negara berkaitan dengan itu warga; tiga cabang dari kesepakatan pemerintah dengan satu sama lain; warga sipil dan berinteraksi militer, dan nasional, provinsi, kabupaten dan pemerintah desa berhubungan satu sama lain.

Artikel berjudul Law, religion and security dalam Routledge Handbook of Law and Religion yang diterbitkan pada 2015 oleh Routledge, Oxford, UK, menjadi artikel lainnya yang disumbangkan. Dalam artikel ini beliau mengulas kegiatan teroris yang digambarkan sebagai terorisme keagamaan lantaran ajaran agama digunakan sebagai pembenaran atau sumber tindakan. Hal ini menimbulkan motif keagamaan menjadi bagian penting dalam pendefinisian terorisme di Inggris dan yurisdiksi lain termasuk Australia dan Selandia Baru. Beliau memaparkan pandangan yang membedakan terorisme dengan kejahatan biasa dengan mengambil kasus pemboman maraton di Boston tahun 2013 sebagai telaahnya.

Selain menulis artikel-artikel di buku teknis keilmuan, beliau juga beberapa menulis artikel populer. Artikel populernya tersebar di media massa Indonesia seperti Gatra, Media Indonesia, The Jakarta Post dan Jawa Pos.

Tak hanya menulis, Gus Nadir pun ikut serta menjadi editor untuk dua buku. Bersama Joseph Liow, beliau menjadi co-editor Islam in Southeast Asia yang diterbitkan Routledge, London, UK, tahun 2010. Buku yang terbit sebanyak empat jilid ini menghimpun 74 artikel tentang Islam di Asia Tenggara. Volume I berfokus pada aspek sejarah, budaya, sosiologis, teologis, dan intelektual Islam di Asia Tenggara. Volume II mengkaji tren dalam politik Muslim di Asia Tenggara, menyelidiki keberhasilan dan kegagalan politik Islam dalam kasus-kasus mayoritas Muslim di Indonesia dan Malaysia, serta konteks minoritas Muslim di Thailand, Filipina, dan Singapura. Volume III mengidentifikasi dan menganalisis para pelaku utama dan agen yang terlibat dalam pembentukan dan pengembangan jaringan masyarakat sipil pan-regional. Sedangkan Volume IV meneliti hubungan antara Islam, politik, dan terorisme pasca bom Bali tahun 2002.

Routledge, London, UK, ketika menerbitkan Law and Religion in Public Life The Contemporary Debate tahun 2011 dan 2013 kembali memberikan kepercayaan pada beliau untuk menjadi editor bersama Richard Mohr. Buku ini khusus dalam membawa cendikiawan terkemuka dan pemimpin agama yang disegani secara bersama-sama untuk mengkaji aspek hukum, teoritis, sejarah dan agama dari isu-isu sosial yang paling mendesak saat ini. Dalam mengatasi masalah masing-masing, penulis meyakinkan kemudahan penjangkauan ke khalayak interdisipliner dan non-spesialis: cendikiawan dan mahasiswa dalam ilmu sosial, hak asasi manusia, teologi dan hukum, serta khalayak yang lebih luas terlibat dalam urusan sosial, politik dan agama.

Melalui rekam jejaknya, Gus Nadir membuktikan bahwa putra Indonesia mampu memiliki kualitas yang diakui dunia. Selain itu, beliau juga membuktikan bahwa untuk bisa mengharumkan nama Indonesia, tak harus tinggal di Indonesia.