— bahadur menghibur melantan pengharapan
Co-author : Malikatul Ma'munah
Pak Soeharto, presiden keempat Republik Indonesia, pernah berungkap pada
anak-anaknya, “Hati-hatilah kepada Cak Nun. Sebab, dia satu-satunya tokoh
nasional yang tidak pernah minta cadong kepadaku,” sejenis demikian
pesan Pak Harto. Lalu siapakah Cak Nun? Pakne
Sabrang Mowo Damar Panuluh. Selain itu, Yo embuh.
Tak tahu menahu saya tentang Cak Nun. Hanya saja Jakob Oetama, pengemong
Kompas, biasa salah nama saat menayapa Cak Nun dengan sapaan Emha Aimum. Tak
paham juga saya dengan sosok yang menyapa Sri Teddy Rusdy, sahabatnya Dhani Ahmad Prasetyo—belakangan menjadi Ahmad Dhani Prasetyo—dengan sapaan Mbak Sri ini. Hanya tahu bahwa Cak Nun –
Ni Roro Sri – Dhani sama-sama menggandrungi Queen.
Pertanyaan tentang siapa Cak Nun ini memang sulit dijawab dengan tepat
kalau hanya dilihat identitasnya. Apalagi kalau berdasarkan pandangan (cara,
sudut, jarak, sisi, dan resolusi) kekinian
nan kedisinian. Yang jelas
personalitas Cak Nun adalah bernama lengkap Muhammad Ainun Najib yang lahir di
Jombang, 27 Mei 1953. Uwis. Bubar
barisan .... jalan.
Kini Muhammad Ainun Najib banyak dikenal suka berkelana bersama Kiai
Kanjeng serta menjadi bagian dari komunitas yang disebut Maiyah. Kiai Kanjeng
adalah nama seperangkat gamelan Jawa yang mengalami beberapa perubahan sehingga
bisa menyesuaikan dengan alunan nada non-Jawa. Sebutan Kiai Kanjeng juga
melekat kepada para nayogo-nya (Jawa: pemain alat musik).
Kiai Kanjeng inilah yang setia bersama menemani Cak Nun berkelana ke
beragam tempat bermacam lingkungan menemui masyarakat (rakyat maupun goverment).
Kiai Kanjeng tak salah disebut sebagai sahabat dekat Cak Nun, yang melanglang
buana berkelana menerobos hutan, menghulu sungai, mengukur jalanan, sebagai
upaya menjumpai masyarakat yang merindukan kehadirannya. Mereka saling membantu
dan menguatkan dalam suasana susah maupun gembira.
Kelekatan keduanya melahirkan akronim CNKK (Cak Nun Kiai Kanjeng). Persahabatan
cinta yang tulus antara Cak Nun dan Kiai Kanjeng berlangsung bagus. Kiai
Kanjeng sanggup menamani Cak Nun dan rekan-rekan dalam membangun suasana
menjadi gembira melalui gubahan nada yang dimainkan melaluinya.
Suasana gembira yang merasuk bagian terdalam sukma sebagai salah satu cara
untuk menuju keadaan hening, saat sukma tak digelayuti rasa dhemen-sengit
pada liyan. Kiai Kanjeng adalah wujud dari kerendahan hati yang abadi
dan semangat belajar yang tak pernah pudar.
Gubahan karya Kiai Kanjeng, Pembuko I dan Pembuko II, sudah
ikut serta memperkaya (bukan hanya meramaikan) museum musik klasik —conservatorio
di Napoli— di kota Napoli, Italia. Kiai Kanjeng meninggalkan Demung-nya
(Jawa: salah satu alat musik) di sana bersanding dengan karya Guiseppe Verdi,
Robert Wagner, Guiseppe Tartini, dan Antonio Vivaldi. Kiai Kanjeng juga ikut
serta melantunkan puisi Hati Emas sebagai ungkap rasa belasungkawa atas
mangkatnya Paus Paulus II.
Tak hanya di Italia saja Kiai Kanjeng pernah singgah. Salju dingin di
wilayah Skandinavia juga pernah dijelajah. Begitu juga hamparan rumput di
Skotlandia nan megah. Menyapa sesama di negeri para Fir’aun di seberang
laut Merah. Merasakan udara gurun di tanah ‘buangan’ Australia, mengunjungi
belahan lain di Asia Tenggara, melintas batas Asia. Dengan rekam jejak yang
wah, Kiai Kanjeng diserta bertahan pada muruah.
Oleh nayogo-nya, Kiai Kanjeng diajak untuk senantiasa menanam tanpa
pernah berharap memanen. Seperti ketika Kiai Kanjeng yang menghembuskan nuansa
rasa sehingga shalawat menjadi tidak asing di telinga penghuni Indonesia serta
Nusantara, walakin ketika lantunan shalawat menggeliat di beragam tempat, Kiai
Kanjeng ‘undur diri’ tak serta merta mengikuti perubahan zaman saat shalawat
menjadi bagian jajanan industri.
Kiai Kanjeng menyuntikkan riak pada sukma mereka yang sedang mengalami
kuldesak. Riak yang ketika diterima terasa merisak menjadi pemantik nyala api
untuk menuju Kirana, menjadi bagian tak terpisahkan dari Kirana. Ketika sukma
sudah manunggal dengan Kirana, segala yang ada tak akan mudah membuatnya
‘berselingkuh’ dari-Nya. Bahkan iming-iming surga sekalipun tak sanggup
membikin suka terpaling. Martabat, semat, pangkat, anggapan derajat, pun tak
lagi menjadi perkara penting.
Cak Nun dan Kiai Kanjeng melibatkan dirinya sebagai bagian dari Jamaah
Maiyah. Secara serampangan, Jamaah Maiyah adalah orang-orang yang menghadiri
acara-acara Maiyah. Meski tak dimungkiri ada pula orang yang merasa sebagai
Jamaah Maiyah tanpa pernah ikut serta terlibat dengan kegiatan Maiyah. Malah
ada juga yang melibatkan dirinya tanpa pernah merasa menjadi bagian dari Jamaah
Maiyah.
Cak Nun, Kiai Kanjeng, dan Jamaah Maiyah adalah satu ke-manunggal-an
rasa. Ragam macam personalitas dan identitas tak harus disamakan lantaran
mereka memiliki titik temu jitu: rasa. Manusia adalah makhluk berperasaan,
sehingga rasa bagi manusia menjadi landasan yang kuat.
Segala perkara maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia
pasti berguna bagi keberlangsungan keseharian ummat manusia. Hal inilah yang membikin Park Bom [박봄]—pelantun
utama 2NE1 [투애니원]—lebih bahadur ketimbang Park
Geun-hye [박근혜]—presiden kesebelas Korea Selatan [대한민국]—walau berasal dan tinggal di tanah yang sama.
Cak Nun, Kiai Kanjeng, serta Jamaah Maiyah senantiasa bersama menyelami
ruang rasa. Ketiganya tampak banyak tapi tak salah disebut mereka itu satu
sepertihalnya segitiga cinta Semesta Raya. Saling mengapresiasi kesamaan
sekaligus menghormati ketaksamaan berpadu dengan semangat untuk saling
memuliakan dan melantan muruah sesama.
Cikal bakal kumpul-kumpul yang kini disebut pengajian Maiyah bermula pada
1993. Saat itu Adil Amrullah—adik Nun—menggagas pengajian yang
dilaksanakan di rumah ibu di Jombang sebagai cara ber-silaturahim (bukan
silaturrahmi). Selain itu juga
sebagai tanggapan lingkaran Cak Nun terhadap keseharian masyarakat yang saat
itu banyak mengalami ketakpuasan, keputusasaan, hingga memantik amarah
terpendam.
Jiwa masyarakat sudah berada pada titik yang mudah dipantik untuk
dihancurkan. Ada bagian di hati masyarakat yang tak sanggup diisi oleh
lembaga-lembaga yang ada saat itu. Lembaga organisasi massa, komunitas
pengajian, partai politik, dsb. dst.. Lubang inipula yang dirasa oleh Cak Nun
dan karib serta kerabatnya sehingga mewujudkan gagasan menyelenggarakan
pengajian dan pengkajian sebagai bagian dari upaya mengisi lubang menganga.
Karena kegiatan itu diselenggarakan secara rutin satu kali setiap bulan
dengan mengambil waktu saat terjadinya bulan purnama, maka kegiatan inipun
dinamakan Pengajian Padhangmbulan. Padhangmbulan merupakan
istilah lidah Jawa dalam menggambarkan keadaan pada malam purnama. Niat Cak Dil—sapaan mesra Adil Amrullah—mengadakan kegiatan ini tak dimaksudkan
akan menjadi apa pun.
Wabakdu, kegiatan ini melebar dan meluber ke mana-mana. Setelah dimulai
dari keluarga, meluas pada tetangga satu RT lalu satu desa, dan malar melintas
batas kecamatan, kabupaten, provinsi, negara, hingga tanah air bangsa. Cak Dil
tak pernah mendamba bahkan menduka akan terjadi seperti itu.
Cak Dil hanya yakin bahwa segala sesuatu akan ada manfaatnya ketika
dilakukan dengan melibatkan Allah selalu. Tak peduli lagi dengan banyaknya tantangan,
hambatan, rintangan, dan sumbatan yang dihadapi pada saat itu. Keadaan
lingkungan saat itu memang memaksa mereka, para penyelenggara, untuk bekerja
keras agar kegiatan itu bisa terselenggara.
Mengadakan perkumpulan dengan dihadiri banyak orang bukanlah hal mudah.
Secara normal, hal seperti ini tak akan pernah mendapat izin dari goverment (pengelola lingkungan sosial) wilayah lokal. Saat itu memang
untuk mengadakan acara harus mendapat izin setidaknya dari goverment lokal
serta aparat kepolisian dan militer lokal.
Untuk mengakali (kata kerja untuk
‘akal’ terlanjur lacur tapi hanya ada ini, pemuja Park Bom) keadaan yang dihadapi, Cak Dil menggunakan beragam
pendekatan personal kepada pihak-pihak yang terkait dengan perizinan. Dengan
demikian, kegiatan yang memadukan pengajian dan pengkajian inipun bisa
diselenggarakan.
Sementara waktunya mengambil saat purnama, tempatnya menapak tilas masa
jaya perhimpunan bangsa-bangsa di Nusantara. Pinggiran barat pusat negara
Majapahit dipakai sebagai tempat pengajian ini dihelat, lebih tepatnya di
sekitar patok tambatan kapal akses ke Keraton yang sekarang hanya sedikit di
luar pekarangan rumah orangtua Cak Nun dan Cak Dil. Debut pengajian ini
dihadiri oleh lebih-kurang 40 orang. Edisi berikutnya dihadiri 270 orang. Bulan
ketiga hadirin mencapai 500-an orang. Malar berkembang hingga mencapai
35.000-an orang.
Aparat telisik negara sebenarnya mulai melakukan operasi rahasia semenjak
bulan ketiga guna memantau Padhangmbulan. Mereka berpadu dengan menyaru
sebagai jamaah yang hadir sebagai peserta kegiatan. Hingga pada satu ketika
jumlah penyaru ini mencapai 80 orang. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari
aparat telisik negara dari pusat, Jawa Timur, serta lokal.
Mengerti keadaan seperti ini, para penyelenggara segera melakukan upaya
kontra. Para aparat telisik negara ini diundang oleh Cak Nun ke rumah
orangtuanya sesudah kegiatan selesai dihelat bersama. Mereka diajak ngobrol
dalam suasana hangat. Hingga akhirnya tak ada rasa curiga dari mereka bahwa Cak
Nun sedang menggerakkan massa guna menggulingkan ‘penguasa’.
Para aparat negara yakin dengan Cak Nun yang bisa menahan diri meski
sanggup menggerakkan massa hingga mereka yang mulanya menyaru justru berubah
menjadi bagian jamaah itu. Mereka tak lagi hadir untuk memantau dan melaporkan
pada goverment walakin ikut serta bersama sebagai aktor utama pengaman kegiatan.
Pada masa kekuasaan Soeharto masih meggeliat kuat, pertemuan massal hanya
sedikit dihelat. Bahkan dari pertemuan sedikit itu, tak sedikit yang dibubarkan
paksa. Hanya saja Padhangmbulan sanggup terbebas dari pembubaran paksa
dari aparat negara. Mereka sedari mula tak hendak malakukan manuver alternatif
untuk terus menerus melawan Soeharto.
Tak ada niat menggulingkan ‘penguasa’ untuk diganti posisi dan perannya
oleh mereka. Mereka memang bisa lebih kritis pada segala tindak-tanduk Soeharto
sebagai kepala negara. Hal ini membuat mereka tak terjebak pada amarah yang menggelayuti
sukma. Tak selalu menolak Soeharto juga tak selalu menerima. Segala yang ada
diletakkan pada tempatnya, semadyana sejak dalam dalam jiwa.
Capaian fenonemal Padhangmbulan antara lain bisa terus menerus
berlangsung dengan jumlah massa yang kian bertambah tanpa pernah dirasa hendak
menggulingkan ‘penguasa’ negara. Padhangmbulan adalah salah satu cara
mereka untuk berkumpul bersama berungkap rasa sembari mengisi satu sisi terlubangi
di ruang rasa sekaligus menambah wawasan keilmuan dan berbagi pengalaman.
Mereka hanya berkumpul untuk mempertahankan muruah dengan terus menerus
beserah pada Ilah serta
menyayangi Rabbi. Walau begitu, tak semua orang suka. ‘Penguasa’
saat itu memang tak pernah membubarkan paksa dan tak ada rasa diganggu oleh
mereka. Namun hal inilah menjadi pemicu kaum pandir untuk berungkap kata-kata
yang nyinyir.
Mereka mempertanyakan alasan tak ‘tersentuh’-nya pengajian ini oleh
‘penguasa’ walau alasan untuk menghentikannya terpampang kentara. Cak Nun,
sebagai sosok yang menjadi ikon kegiatan ini, pun serta merta dituduh sebagai
‘peliharaan’ Soeharto. Oleh
kaum pandir, Cak Nun disebut sengaja di-‘pelihara’ Soeharto sebagai cara kepala
negara hebat itu menyeimbangkan wacana.
Walau tak jarang dirisak dengan ungkapan nyinyir, toh pengajian ini
serta Cak Nun seorang diri, tak pernah langsir. Padhanmbulan tetap
bertahan dan terus berkembang walau Pak Harto tak lagi memegang langsung
‘kekuasaan’. Malah pengajian ini tak hanya dihelat di satu tempat. Mereka tegap
melebarkan sayap yang bukan sayap-sayap patah.
Dengan memulai kegiatan serupa di rumah Cak Nun di Jogjakarta yang tak lagi
istimewa, metamorfosis Padhangmbulan bermula. Hingga akhirnya pada tahun
2001 kegiatan ini disebut Maiyah. Tak hanya di Jombang (purnama) dan Jogja
(tanggal 17 masehi), pengajian Maiyah juga dihelat di beragam tempat lainnya.
Mulai di Mandar dengan sebutan Papperandang, Gambang Syafaat
di Semarang (tanggal 25 bulan miladiyyah), Kenduri Cinta di
Jakarta (Jumu’ah pekan kedua setiap bulan), Obor Ilahi di Malang,
serta Haflah Shalawat dan Pengajian Tombo Ati di Surabaya (tanggal 16 masehi).
Kegiatan Maiyah yang di Surabaya ini kemudian bermetamorfosis menjadi Bangbangwetan,
sebutan gampang dari Abang Abang Soko Wetan. Abang Abang Soko Wetan
ini maksudnya kirana merah dari timur. Sebutan ini dilandasi sikap untuk
kembali ke timur bukan barat yang selalu ditunjuk saat barat sedang mengalami
masa-masa segala hal dipandang sebagai barang dagangan. Manusia tak dilihat
karena martabat melainkan manfaatnya sebagai barang.
Ada pula kegiatan yang terinspirasi dari Maiyyah dengan nama Idza Ja
di Ende, Flores. Hadirin di kegiatan ini pun memberikan identitas diri
mereka sebagai bagian Jamaah Maiyah. Kegiatan ini diselenggarakan mandiri tanpa
campur tangan pihak goverment maupun sponsor. Pada setiap acara,
biasanya berjalan sekitar 7 hingga 8 jam.
Format kegiatan ini merupakan perpaduan obrolan bersama secara terbuka
tentang apa saja, mulai pendidikan, seni, budaya, politik, ekonomi, sains, dsb
dst. Siapapun diberi kesempatan untuk berbicara pada kegiatan ini. Panggung
disusun setinggi mata kaki, sehingga interaksi terhadap hadirin
terbangun dengan cepat dan spontan.
Dengan terbukanya kegiatan ini menjadikannya mudah memunculkan berbagai hal
secara spontan dengan tema beragam, sehingga berbagai topik menjadi materi
diskusi yang menggembirakan. Karya seni juga disuguhkan pada setiap kegiatan.
Berbagai warna musik seperti jazz, seni tari, juga puisi yang dikemas
sedemikian rupa hingga dapat mamadukan keindahan tanpa melupakan pesan utama
yang hendak dibahas bersama.
Kebersamaan dalam keberagaman berbingkai rasa sama terpampang kentara dalam
setiap da’wah yang disampaikan. Hal
inilah yang kerap dilupakan orang sekarang. Pandangan sempit dalam memaknai da’wah dihindari sepertihalnya
menghindari da’wah sebagai bagian dagangan
industri sepertihalnya lembaga pendidikan dan pengajaran saat ini.
Jamaah Maiyah dihidupi oleh kegiatan Maiyah sebagai kekuatan jasmani.
Sementara kekuatan jasman ini menghidupi diri dan mendapat kehidupannya dari
kekuatan rohani berkah shalawat. Bershalawat adalah bagian utama dari kegiatan Maiyah.
Sebagai bagian utama, bershalawat diiringi dengan bagian pengiring berupa
diskusi multi-arah sebagai upaya memperluas dan memperdalam wawasan keilmuan
sembari berbagi pengalaman.
Dengan capaian demikian, tak membikin Cak Nun menjadi orang penting.
Keberadaan Cak Nun memang penting bahkan sudah menjadi ikon Maiyah. Walau
demikian, dia selalu menolak dirinya diletakkan di suatu tempat berbeda dengan
jamaah. Cak Nun tetap tegap larut berpadu bersama dengan jamaah tanpa merasa
perlu mengeksiskan dirinya secara beda.
Pilihan tersebut didasari dari keberserahannya pada Pelantan semesta raya
sehingga merasa tak pantas berada di antara Khaliq dan makhluq. Buat
Cak Nun, setiap hamba memiliki hak privacy untuk berhadapan dengan
Pencipta tanpa dicampuri, digurui, atau dirisak oleh siapa pun. Cak Nun tak
berani meninggikan ‘suara’-nya melebihi ‘suara’ Muhammad—sang Persembahan dari Surga—apalagi melebihi ‘suara’ Ilahi-Rabbi.
Cak Nun selalu berusaha untuk tidak boleh dikenal sehingga membikin orang
lebih mengenalnya ketimbang mengenal dirinya, Muhammad, dan Allah. Hal ini pula
yang membikin Cak Nun dengan segala daya dan upaya terus bersembunyi dari
keriuhmeriahan lingkungan. Semua itu dilakukan oleh Cak Nun agar tak
mendapatkan kemasyhuran yang membuatnya lebih diperhatikan oleh liyan
melebihi kadar perhatian mereka pada Allah dan rasulullah.
Maiyah pun tidak pernah diproklamasikan sebagai revolusi agama. Bahkan revolusi
teologi, mazhab, maupun thoriqot pun tak pernah dilakukannya. Apalagi
diresmikan menjadi organisasi massa dan partai politik. Maiyah tidak ingin
dirasa beda dengan sesama ciptaan-Nya. Mereka hanyalah satu kebersamaan yang
nilainya mengadopsi nilai-nilai dalam persahabatan cinta.
Wajar kalau biasa didengar ungkapan bahwa maiyahan bukan solusi berbagai
persoalan yang dihadapi, melainkan sekadar perkumpulan untuk berbagi rasa
kepada sesama. Ketika ruang rasa tak lagi dipenuhi dhemet-sengit, segala kesan yang didapat bisa diterapkan sepanjang
perjalanan dengan legit—se-legit pipinya Jessica Sooyoun
Jung [제시카 정].