Nun


— bahadur menghibur melantan pengharapan 

Co-author : Malikatul Ma'munah 
AdibRS; Kirana Azalea; Equinox; verquinox; 13; Syawal; 1414; 26; Maret; 1994; March; Sabtu Wage; Sabtu; Wage; Aries; Vernal Equinox; Vernal; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; Adib RS; Alobatnic; 1884; Poso; Ramadhan; 1372; 27; Mei; 1953; May; Rabu Legi; Rabu; Legi; Gemini; Muhammad Ainun Najib; Muhammad; Ainun; Najib; Emha Ainun Najib; Emha; Nun; Cak Nun; Mbah Nun; Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan; bahadur menghibur; melantan pengharapan;
Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan
Pak Soeharto, presiden keempat Republik Indonesia, pernah berungkap pada anak-anaknya, “Hati-hatilah kepada Cak Nun. Sebab, dia satu-satunya tokoh nasional yang tidak pernah minta cadong kepadaku,” sejenis demikian pesan Pak Harto. Lalu siapakah Cak Nun? Pakne Sabrang Mowo Damar Panuluh. Selain itu, Yo embuh.

Tak tahu menahu saya tentang Cak Nun. Hanya saja Jakob Oetama, pengemong Kompas, biasa salah nama saat menayapa Cak Nun dengan sapaan Emha Aimum. Tak paham juga saya dengan sosok yang menyapa Sri Teddy Rusdy, sahabatnya Dhani Ahmad Prasetyobelakangan menjadi Ahmad Dhani Prasetyodengan sapaan Mbak Sri ini. Hanya tahu bahwa Cak Nun – Ni Roro Sri – Dhani sama-sama menggandrungi Queen.

Pertanyaan tentang siapa Cak Nun ini memang sulit dijawab dengan tepat kalau hanya dilihat identitasnya. Apalagi kalau berdasarkan pandangan (cara, sudut, jarak, sisi, dan resolusi) kekinian nan kedisinian. Yang jelas personalitas Cak Nun adalah bernama lengkap Muhammad Ainun Najib yang lahir di Jombang, 27 Mei 1953. Uwis. Bubar barisan .... jalan.

Kini Muhammad Ainun Najib banyak dikenal suka berkelana bersama Kiai Kanjeng serta menjadi bagian dari komunitas yang disebut Maiyah. Kiai Kanjeng adalah nama seperangkat gamelan Jawa yang mengalami beberapa perubahan sehingga bisa menyesuaikan dengan alunan nada non-Jawa. Sebutan Kiai Kanjeng juga melekat kepada para nayogo-nya (Jawa: pemain alat musik).

Kiai Kanjeng inilah yang setia bersama menemani Cak Nun berkelana ke beragam tempat bermacam lingkungan menemui masyarakat (rakyat maupun goverment). Kiai Kanjeng tak salah disebut sebagai sahabat dekat Cak Nun, yang melanglang buana berkelana menerobos hutan, menghulu sungai, mengukur jalanan, sebagai upaya menjumpai masyarakat yang merindukan kehadirannya. Mereka saling membantu dan menguatkan dalam suasana susah maupun gembira.

Kelekatan keduanya melahirkan akronim CNKK (Cak Nun Kiai Kanjeng). Persahabatan cinta yang tulus antara Cak Nun dan Kiai Kanjeng berlangsung bagus. Kiai Kanjeng sanggup menamani Cak Nun dan rekan-rekan dalam membangun suasana menjadi gembira melalui gubahan nada yang dimainkan melaluinya.

Suasana gembira yang merasuk bagian terdalam sukma sebagai salah satu cara untuk menuju keadaan hening, saat sukma tak digelayuti rasa dhemen-sengit pada liyan. Kiai Kanjeng adalah wujud dari kerendahan hati yang abadi dan semangat belajar yang tak pernah pudar.

Gubahan karya Kiai Kanjeng, Pembuko I dan Pembuko II, sudah ikut serta memperkaya (bukan hanya meramaikan) museum musik klasik —conservatorio di Napoli— di kota Napoli, Italia. Kiai Kanjeng meninggalkan Demung-nya (Jawa: salah satu alat musik) di sana bersanding dengan karya Guiseppe Verdi, Robert Wagner, Guiseppe Tartini, dan Antonio Vivaldi. Kiai Kanjeng juga ikut serta melantunkan puisi Hati Emas sebagai ungkap rasa belasungkawa atas mangkatnya Paus Paulus II.

Tak hanya di Italia saja Kiai Kanjeng pernah singgah. Salju dingin di wilayah Skandinavia juga pernah dijelajah. Begitu juga hamparan rumput di Skotlandia nan megah. Menyapa sesama di negeri para Fir’aun di seberang laut Merah. Merasakan udara gurun di tanah ‘buangan’ Australia, mengunjungi belahan lain di Asia Tenggara, melintas batas Asia. Dengan rekam jejak yang wah, Kiai Kanjeng diserta bertahan pada muruah.
AdibRS; Kirana Azalea; Equinox; verquinox; 13; Syawal; 1414; 26; Maret; 1994; March; Sabtu Wage; Sabtu; Wage; Aries; Vernal Equinox; Vernal; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; Adib RS; Alobatnic; 1884; Poso; Ramadhan; 1372; 27; Mei; 1953; May; Rabu Legi; Rabu; Legi; Gemini; Muhammad Ainun Najib; Muhammad; Ainun; Najib; Emha Ainun Najib; Emha; Nun; Cak Nun; Mbah Nun; Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan; bahadur menghibur; melantan pengharapan;
Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan
Oleh nayogo-nya, Kiai Kanjeng diajak untuk senantiasa menanam tanpa pernah berharap memanen. Seperti ketika Kiai Kanjeng yang menghembuskan nuansa rasa sehingga shalawat menjadi tidak asing di telinga penghuni Indonesia serta Nusantara, walakin ketika lantunan shalawat menggeliat di beragam tempat, Kiai Kanjeng ‘undur diri’ tak serta merta mengikuti perubahan zaman saat shalawat menjadi bagian jajanan industri.

Kiai Kanjeng menyuntikkan riak pada sukma mereka yang sedang mengalami kuldesak. Riak yang ketika diterima terasa merisak menjadi pemantik nyala api untuk menuju Kirana, menjadi bagian tak terpisahkan dari Kirana. Ketika sukma sudah manunggal dengan Kirana, segala yang ada tak akan mudah membuatnya ‘berselingkuh’ dari-Nya. Bahkan iming-iming surga sekalipun tak sanggup membikin suka terpaling. Martabat, semat, pangkat, anggapan derajat, pun tak lagi menjadi perkara penting.

Cak Nun dan Kiai Kanjeng melibatkan dirinya sebagai bagian dari Jamaah Maiyah. Secara serampangan, Jamaah Maiyah adalah orang-orang yang menghadiri acara-acara Maiyah. Meski tak dimungkiri ada pula orang yang merasa sebagai Jamaah Maiyah tanpa pernah ikut serta terlibat dengan kegiatan Maiyah. Malah ada juga yang melibatkan dirinya tanpa pernah merasa menjadi bagian dari Jamaah Maiyah.

Cak Nun, Kiai Kanjeng, dan Jamaah Maiyah adalah satu ke-manunggal-an rasa. Ragam macam personalitas dan identitas tak harus disamakan lantaran mereka memiliki titik temu jitu: rasa. Manusia adalah makhluk berperasaan, sehingga rasa bagi manusia menjadi landasan yang kuat.

Segala perkara maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia pasti berguna bagi keberlangsungan keseharian ummat manusia. Hal inilah yang membikin Park Bom []pelantun utama 2NE1 [투애니원]lebih bahadur ketimbang Park Geun-hye [박근혜]presiden kesebelas Korea Selatan [대한민국]walau berasal dan tinggal di tanah yang sama.

Cak Nun, Kiai Kanjeng, serta Jamaah Maiyah senantiasa bersama menyelami ruang rasa. Ketiganya tampak banyak tapi tak salah disebut mereka itu satu sepertihalnya segitiga cinta Semesta Raya. Saling mengapresiasi kesamaan sekaligus menghormati ketaksamaan berpadu dengan semangat untuk saling memuliakan dan melantan muruah sesama.

Cikal bakal kumpul-kumpul yang kini disebut pengajian Maiyah bermula pada 1993. Saat itu Adil Amrullahadik Nunmenggagas pengajian yang dilaksanakan di rumah ibu di Jombang sebagai cara ber-silaturahim (bukan silaturrahmi). Selain itu juga sebagai tanggapan lingkaran Cak Nun terhadap keseharian masyarakat yang saat itu banyak mengalami ketakpuasan, keputusasaan, hingga memantik amarah terpendam.

Jiwa masyarakat sudah berada pada titik yang mudah dipantik untuk dihancurkan. Ada bagian di hati masyarakat yang tak sanggup diisi oleh lembaga-lembaga yang ada saat itu. Lembaga organisasi massa, komunitas pengajian, partai politik, dsb. dst.. Lubang inipula yang dirasa oleh Cak Nun dan karib serta kerabatnya sehingga mewujudkan gagasan menyelenggarakan pengajian dan pengkajian sebagai bagian dari upaya mengisi lubang menganga.

Karena kegiatan itu diselenggarakan secara rutin satu kali setiap bulan dengan mengambil waktu saat terjadinya bulan purnama, maka kegiatan inipun dinamakan Pengajian Padhangmbulan. Padhangmbulan merupakan istilah lidah Jawa dalam menggambarkan keadaan pada malam purnama. Niat Cak Dilsapaan mesra Adil Amrullahmengadakan kegiatan ini tak dimaksudkan akan menjadi apa pun.
AdibRS; Kirana Azalea; Equinox; verquinox; 13; Syawal; 1414; 26; Maret; 1994; March; Sabtu Wage; Sabtu; Wage; Aries; Vernal Equinox; Vernal; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; Adib RS; Alobatnic; 1884; Poso; Ramadhan; 1372; 27; Mei; 1953; May; Rabu Legi; Rabu; Legi; Gemini; Muhammad Ainun Najib; Muhammad; Ainun; Najib; Emha Ainun Najib; Emha; Nun; Cak Nun; Mbah Nun; Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan; bahadur menghibur; melantan pengharapan;
Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan
Wabakdu, kegiatan ini melebar dan meluber ke mana-mana. Setelah dimulai dari keluarga, meluas pada tetangga satu RT lalu satu desa, dan malar melintas batas kecamatan, kabupaten, provinsi, negara, hingga tanah air bangsa. Cak Dil tak pernah mendamba bahkan menduka akan terjadi seperti itu.

Cak Dil hanya yakin bahwa segala sesuatu akan ada manfaatnya ketika dilakukan dengan melibatkan Allah selalu. Tak peduli lagi dengan banyaknya tantangan, hambatan, rintangan, dan sumbatan yang dihadapi pada saat itu. Keadaan lingkungan saat itu memang memaksa mereka, para penyelenggara, untuk bekerja keras agar kegiatan itu bisa terselenggara.

Mengadakan perkumpulan dengan dihadiri banyak orang bukanlah hal mudah. Secara normal, hal seperti ini tak akan pernah mendapat izin dari goverment (pengelola lingkungan sosial) wilayah lokal. Saat itu memang untuk mengadakan acara harus mendapat izin setidaknya dari goverment lokal serta aparat kepolisian dan militer lokal.

Untuk mengakali (kata kerja untuk  ‘akal’ terlanjur lacur tapi hanya ada ini, pemuja Park Bom) keadaan yang dihadapi, Cak Dil menggunakan beragam pendekatan personal kepada pihak-pihak yang terkait dengan perizinan. Dengan demikian, kegiatan yang memadukan pengajian dan pengkajian inipun bisa diselenggarakan.

Sementara waktunya mengambil saat purnama, tempatnya menapak tilas masa jaya perhimpunan bangsa-bangsa di Nusantara. Pinggiran barat pusat negara Majapahit dipakai sebagai tempat pengajian ini dihelat, lebih tepatnya di sekitar patok tambatan kapal akses ke Keraton yang sekarang hanya sedikit di luar pekarangan rumah orangtua Cak Nun dan Cak Dil. Debut pengajian ini dihadiri oleh lebih-kurang 40 orang. Edisi berikutnya dihadiri 270 orang. Bulan ketiga hadirin mencapai 500-an orang. Malar berkembang hingga mencapai 35.000-an orang.

Aparat telisik negara sebenarnya mulai melakukan operasi rahasia semenjak bulan ketiga guna memantau Padhangmbulan. Mereka berpadu dengan menyaru sebagai jamaah yang hadir sebagai peserta kegiatan. Hingga pada satu ketika jumlah penyaru ini mencapai 80 orang. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari aparat telisik negara dari pusat, Jawa Timur, serta lokal.

Mengerti keadaan seperti ini, para penyelenggara segera melakukan upaya kontra. Para aparat telisik negara ini diundang oleh Cak Nun ke rumah orangtuanya sesudah kegiatan selesai dihelat bersama. Mereka diajak ngobrol dalam suasana hangat. Hingga akhirnya tak ada rasa curiga dari mereka bahwa Cak Nun sedang menggerakkan massa guna menggulingkan ‘penguasa’.

Para aparat negara yakin dengan Cak Nun yang bisa menahan diri meski sanggup menggerakkan massa hingga mereka yang mulanya menyaru justru berubah menjadi bagian jamaah itu. Mereka tak lagi hadir untuk memantau dan melaporkan pada goverment walakin ikut serta bersama sebagai aktor utama pengaman kegiatan.

Pada masa kekuasaan Soeharto masih meggeliat kuat, pertemuan massal hanya sedikit dihelat. Bahkan dari pertemuan sedikit itu, tak sedikit yang dibubarkan paksa. Hanya saja Padhangmbulan sanggup terbebas dari pembubaran paksa dari aparat negara. Mereka sedari mula tak hendak malakukan manuver alternatif untuk terus menerus melawan Soeharto.
AdibRS; Kirana Azalea; Equinox; verquinox; 13; Syawal; 1414; 26; Maret; 1994; March; Sabtu Wage; Sabtu; Wage; Aries; Vernal Equinox; Vernal; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; Adib RS; Alobatnic; 1884; Poso; Ramadhan; 1372; 27; Mei; 1953; May; Rabu Legi; Rabu; Legi; Gemini; Muhammad Ainun Najib; Muhammad; Ainun; Najib; Emha Ainun Najib; Emha; Nun; Cak Nun; Mbah Nun; Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan; bahadur menghibur; melantan pengharapan;
Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan
Tak ada niat menggulingkan ‘penguasa’ untuk diganti posisi dan perannya oleh mereka. Mereka memang bisa lebih kritis pada segala tindak-tanduk Soeharto sebagai kepala negara. Hal ini membuat mereka tak terjebak pada amarah yang menggelayuti sukma. Tak selalu menolak Soeharto juga tak selalu menerima. Segala yang ada diletakkan pada tempatnya, semadyana sejak dalam dalam jiwa.

Capaian fenonemal Padhangmbulan antara lain bisa terus menerus berlangsung dengan jumlah massa yang kian bertambah tanpa pernah dirasa hendak menggulingkan ‘penguasa’ negara. Padhangmbulan adalah salah satu cara mereka untuk berkumpul bersama berungkap rasa sembari mengisi satu sisi terlubangi di ruang rasa sekaligus menambah wawasan keilmuan dan berbagi pengalaman.

Mereka hanya berkumpul untuk mempertahankan muruah dengan terus menerus beserah pada Ilah serta menyayangi Rabbi. Walau begitu, tak semua orang suka. ‘Penguasa’ saat itu memang tak pernah membubarkan paksa dan tak ada rasa diganggu oleh mereka. Namun hal inilah menjadi pemicu kaum pandir untuk berungkap kata-kata yang nyinyir.

Mereka mempertanyakan alasan tak ‘tersentuh’-nya pengajian ini oleh ‘penguasa’ walau alasan untuk menghentikannya terpampang kentara. Cak Nun, sebagai sosok yang menjadi ikon kegiatan ini, pun serta merta dituduh sebagai ‘peliharaan’ Soeharto. Oleh kaum pandir, Cak Nun disebut sengaja di-‘pelihara’ Soeharto sebagai cara kepala negara hebat itu menyeimbangkan wacana.

Walau tak jarang dirisak dengan ungkapan nyinyir, toh pengajian ini serta Cak Nun seorang diri, tak pernah langsir. Padhanmbulan tetap bertahan dan terus berkembang walau Pak Harto tak lagi memegang langsung ‘kekuasaan’. Malah pengajian ini tak hanya dihelat di satu tempat. Mereka tegap melebarkan sayap yang bukan sayap-sayap patah.

Dengan memulai kegiatan serupa di rumah Cak Nun di Jogjakarta yang tak lagi istimewa, metamorfosis Padhangmbulan bermula. Hingga akhirnya pada tahun 2001 kegiatan ini disebut Maiyah. Tak hanya di Jombang (purnama) dan Jogja (tanggal 17 masehi), pengajian Maiyah juga dihelat di beragam tempat lainnya.

Mulai di Mandar dengan sebutan Papperandang, Gambang Syafaat di Semarang (tanggal 25 bulan miladiyyah), Kenduri Cinta di Jakarta (Jumu’ah pekan kedua setiap bulan), Obor Ilahi di Malang, serta Haflah Shalawat dan Pengajian Tombo Ati di Surabaya (tanggal 16 masehi).

Kegiatan Maiyah yang di Surabaya ini kemudian bermetamorfosis menjadi Bangbangwetan, sebutan gampang dari Abang Abang Soko Wetan. Abang Abang Soko Wetan ini maksudnya kirana merah dari timur. Sebutan ini dilandasi sikap untuk kembali ke timur bukan barat yang selalu ditunjuk saat barat sedang mengalami masa-masa segala hal dipandang sebagai barang dagangan. Manusia tak dilihat karena martabat melainkan manfaatnya sebagai barang.

Ada pula kegiatan yang terinspirasi dari Maiyyah dengan nama Idza Ja di Ende, Flores. Hadirin di kegiatan ini pun memberikan identitas diri mereka sebagai bagian Jamaah Maiyah. Kegiatan ini diselenggarakan mandiri tanpa campur tangan pihak goverment maupun sponsor. Pada setiap acara, biasanya berjalan sekitar 7 hingga 8 jam.
AdibRS; Kirana Azalea; Equinox; verquinox; 13; Syawal; 1414; 26; Maret; 1994; March; Sabtu Wage; Sabtu; Wage; Aries; Vernal Equinox; Vernal; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; Adib RS; Alobatnic; 1884; Poso; Ramadhan; 1372; 27; Mei; 1953; May; Rabu Legi; Rabu; Legi; Gemini; Muhammad Ainun Najib; Muhammad; Ainun; Najib; Emha Ainun Najib; Emha; Nun; Cak Nun; Mbah Nun; Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan; bahadur menghibur; melantan pengharapan;
Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan
Format kegiatan ini merupakan perpaduan obrolan bersama secara terbuka tentang apa saja, mulai pendidikan, seni, budaya, politik, ekonomi, sains, dsb dst. Siapapun diberi kesempatan untuk berbicara pada kegiatan ini. Panggung disusun setinggi mata kaki, sehingga interaksi terhadap hadirin terbangun dengan cepat dan spontan.

Dengan terbukanya kegiatan ini menjadikannya mudah memunculkan berbagai hal secara spontan dengan tema beragam, sehingga berbagai topik menjadi materi diskusi yang menggembirakan. Karya seni juga disuguhkan pada setiap kegiatan. Berbagai warna musik seperti jazz, seni tari, juga puisi yang dikemas sedemikian rupa hingga dapat mamadukan keindahan tanpa melupakan pesan utama yang hendak dibahas bersama.

Kebersamaan dalam keberagaman berbingkai rasa sama terpampang kentara dalam setiap da’wah yang disampaikan. Hal inilah yang kerap dilupakan orang sekarang. Pandangan sempit dalam memaknai da’wah dihindari sepertihalnya menghindari da’wah sebagai bagian dagangan industri sepertihalnya lembaga pendidikan dan pengajaran saat ini.

Jamaah Maiyah dihidupi oleh kegiatan Maiyah sebagai kekuatan jasmani. Sementara kekuatan jasman ini menghidupi diri dan mendapat kehidupannya dari kekuatan rohani berkah shalawat. Bershalawat adalah bagian utama dari kegiatan Maiyah. Sebagai bagian utama, bershalawat diiringi dengan bagian pengiring berupa diskusi multi-arah sebagai upaya memperluas dan memperdalam wawasan keilmuan sembari berbagi pengalaman.

Dengan capaian demikian, tak membikin Cak Nun menjadi orang penting. Keberadaan Cak Nun memang penting bahkan sudah menjadi ikon Maiyah. Walau demikian, dia selalu menolak dirinya diletakkan di suatu tempat berbeda dengan jamaah. Cak Nun tetap tegap larut berpadu bersama dengan jamaah tanpa merasa perlu mengeksiskan dirinya secara beda.

Pilihan tersebut didasari dari keberserahannya pada Pelantan semesta raya sehingga merasa tak pantas berada di antara Khaliq dan makhluq. Buat Cak Nun, setiap hamba memiliki hak privacy untuk berhadapan dengan Pencipta tanpa dicampuri, digurui, atau dirisak oleh siapa pun. Cak Nun tak berani meninggikan ‘suara’-nya melebihi ‘suara’ Muhammadsang Persembahan dari Surgaapalagi melebihi ‘suara’ Ilahi-Rabbi.

Cak Nun selalu berusaha untuk tidak boleh dikenal sehingga membikin orang lebih mengenalnya ketimbang mengenal dirinya, Muhammad, dan Allah. Hal ini pula yang membikin Cak Nun dengan segala daya dan upaya terus bersembunyi dari keriuhmeriahan lingkungan. Semua itu dilakukan oleh Cak Nun agar tak mendapatkan kemasyhuran yang membuatnya lebih diperhatikan oleh liyan melebihi kadar perhatian mereka pada Allah dan rasulullah.

Maiyah pun tidak pernah diproklamasikan sebagai revolusi agama. Bahkan revolusi teologi, mazhab, maupun thoriqot pun tak pernah dilakukannya. Apalagi diresmikan menjadi organisasi massa dan partai politik. Maiyah tidak ingin dirasa beda dengan sesama ciptaan-Nya. Mereka hanyalah satu kebersamaan yang nilainya mengadopsi nilai-nilai dalam persahabatan cinta.

Wajar kalau biasa didengar ungkapan bahwa maiyahan bukan solusi berbagai persoalan yang dihadapi, melainkan sekadar perkumpulan untuk berbagi rasa kepada sesama. Ketika ruang rasa tak lagi dipenuhi dhemet-sengit, segala kesan yang didapat bisa diterapkan sepanjang perjalanan dengan legit—se-legit pipinya Jessica Sooyoun Jung [제시카 ].
AdibRS; Kirana Azalea; Equinox; verquinox; 13; Syawal; 1414; 26; Maret; 1994; March; Sabtu Wage; Sabtu; Wage; Aries; Vernal Equinox; Vernal; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; Adib RS; Alobatnic; 1884; Poso; Ramadhan; 1372; 27; Mei; 1953; May; Rabu Legi; Rabu; Legi; Gemini; Muhammad Ainun Najib; Muhammad; Ainun; Najib; Emha Ainun Najib; Emha; Nun; Cak Nun; Mbah Nun; Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan; bahadur menghibur; melantan pengharapan;
Nun — bahadur menghibur melantan pengharapan