Laila Fariha Zein (a.k.a. Uus atau Febi)


— penyuluh peluh, peluluh keluh, peluruh keruh

Sebelum hadir dengan brand Pelantan, saya tak pernah bicara dengan Laila Fariha Zein «ليلا فريحة زين». Maksudnya tak pernah sengaja menghubunginya melalui gawai saya untuk sekadar menyapa maupun mengeluarkan sampah dari ruang rasa. Kami memang telah beberapa bulan berkenalan sebelum nama Pelantan dihadirkan. Hanya saja saling tanggap saat bercakap  melalui gawai adalah perkara berlainan.


Satu waktu ketika sedang giat-giatnya pamer Pelantan, Uus—salah satu sapaannya—menghubungi saya menawari kerjasama dalam satu acara. Setelah meminta berkas perinciannya, saya merasa tertarik untuk ikutserta.

Sebenarnya keikutsertaan saat itu tak tampak niat. Pasalnya kala itu tawaran paling mudah yang dipilih, sehingga biar atas nama perkumpulan namun bisa saya lakukan seorangan. Walau begitu, kenangan akan hal terkesan remeh-temeh itu malah memahat kuat. Itulah satu-satunya tempat ketika saya bisa menggeliat memamerkan brand ‘lucu-lucuan’ bernama Pelantan.


Nyaris tak ada interaksi antara kami selepas acara tersebut. Apalagi secara pribadi saya mulai memasuki masa-masa berkabut. Tak pernah ada pertengkaran besar atau apapun perdebatan mengerikan dalam pergaulan saya yang bisa diraba oleh indra. Namun, kepekaan rasa yang terlanjur menumbuhkembangkan saya, membikin suasana tak biasa terasa dalam sukma.


Perubahan batin menjelma menjadi getaran aura yang membanting suasana. Senyum mulai terkulum. Rasa kasih yang pernah berpadu manis kian terkikis. Diri saya mulai dihantam pertanyaan-pertanyaan yang tak ada gairah menjawabnya. Ironisnya, pararel dengan gebukan mental yang mendera sejak beberapa waktu sebelumnya. Tak kunjung sembuh malah terus terkapar dalam masa keruh.


Puncaknya, saya memilih menepi untuk menyepi dari lingkungan. Berusaha sendiri kembali menata perjalanan. Tentu biar memiliki sisi individual, saya juga makhluk sosial yang tak begitu saja membiarkan interaksi menjadi tanggal. Dengan penuh kesadaran saya hubungi satu per satu beberapa orang yang dikenal.


Uus adalah salah satu orang yang saya hubungi saat itu. Beruntung dia tak mengabaikan ketika saya kontak. Lebih dari itu, tanpa disadari Uus turut memberi uluran tangan agar saya tetap tegak tak tergeletak dalam karam seperti itu. Pelan-pelan dia menuntun saya menenangkan gejolak marak meriak hingga membawa sukma pada rasa kuldesak.

Pada masa itu, ketika saya baru ingat kenal dengan dirinya, tak cuma sekali air mata tanpa disadari biasa membasahi pipi. Banjir air mata menjadi peristiwa biasa saat menjalani komunikasi penuh misteri dengan batin saya sendiri.


Saya yakin kalau Uus tak menyadari bahwa dirinya ikutserta terlibat dalam menguburkan luka sekaligus mengembalikan wajah ceria yang sempat sirna. Pasalnya pada paruh kedua 2016 itu, hal yang dilakukan olehnya adalah menjadi rekan bicara secara tertulis melalui pesan pendek. Hal ini sebenarnya biasa saja buatnya sampai tak merasa berjasa. Walakin terasa istimewa buat saya yang setiap bicara selalu diledek.


Pelan-pelan perjalanan saya mulai bisa ditata kembali. Memang tak mudah untuk terus tetap melangkah saat perasaan terluka parah dan sangat lelah. Walakin dari banyaknya sampah yang dikeluarkan dari ruang rasa, perlahan membuat saya melihat ada harapan lagi. Saya memang masih merasa tertekan nyaris tak sanggup berdegup menahan beban, namun juga merasa dituntun dengan cara anggun penuh gairah membuncah.


Itu adalah gambaran singkat—maunya tapi berkepanjangan jadinya—mengenai sejumput kapling permanen dalam hati saya yang terlanjur ditempati oleh Uus. Lha gimana ya, meski terbilang eceran, tetap saja sulit untuk diberangus.

Benar Salah Idolaku

Sulit untuk membayangkan bagaimana perjalanan saya saat ini andai masa-masa itu gagal dilewati. Kehadiran Uus sendiri memiliki perbedaan tersendiri dengan beberapa orang yang memiliki peran serupa, sehingga dirinya menjadi berarti.

Perbedaan dari Uus dengan beberapa orang lain—perempuan maupun lelaki—ialah dirinya menjadi satu-satunya orang yang siap menerima luapan sampah dari ruang rasa. Mungkin wajar kalau banyak perkara dipendam dalam ruang rasa, ada saatnya meluap juga.


Luapan yang sanggup diterima Uus namun tak bisa dilakukan oleh orang lain, adalah sex. Percakapan mengenai hal ini mungkin tampak jelek. Namun terus terang, ketika saya bisa meluapkannya, hal itu termasuk melegakan.

Dengan Uus, kami bisa bercakap dalam suasana biasa saja semisal bagian badan perempuan dengan daya pikat yang membuat lelaki merasa bahagia saat ditaklukkan. Uus merasa biasa saja meladeninya. Bahkan sesekali dirinya memberikan tambahan pandangan pada saya.


Tentu kami tak hanya bercakap mengenai hal yang pura-pura dianggap menjijikkan namun diam-diam banyak diinginkan. Bersama Uus juga saya mengalami perubahan pandangan yang hampir tak pernah saya perkirakan. Rasa antipati terhadap perempuan berbusana tertutup misalnya, adalah salah satu pandangan yang berubah drastis. Belum lagi penguat perkataan ‘perempuan tak pernah salah’ melalui kisah yang dipandang historis.


Dengan perkataan lain, Uus termasuk orang yang memberikan pengaruh pada saya. Tak sekadar peluruh keruh pada satu masa. Secara keseluruhan, Uus mengajari saya untuk melihat manusia—perempuan dan lelaki—dari sisi martabatnya sebagai orang ketimbang manfaatnya sebagai barang kosok bali dengan kecenderungan ‘homo prefabricated’ yang dianut oleh sebagian orang (Sylado, 2015).

Perempuan yang Suka Bercerita

Sejak perkenalan pertama kami pada 22 Januari 2015 silam, Uus terbilang orang yang suka bercerita. Memang Uus termasuk pelajar berprestasi, jika indikatornya merujuk pada sisi akademik. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) ketika lulus strata satu saja 3,5. Artinya kuliahnya dijalani secara maksimal. Walau demikian, Uus lebih gemar bercerita alih-alih mengulas persoalan secara akademis seperti menerbitkan jurnal.

Cerita merupakan cara berkomunikasi yang digunakan oleh para penggerak global untuk memulai sebuah perubahan besar (Denning, 2016). Hal ini dapat terjadi karena cerita tidak mengancam pikiran, sehingga bisa disampaikan secara akrab (Islands of Imagination, 2015).

Kekuatan cerita bukan pada efek tertentu yang diinginkan  penulisnya, tetapi pada caranya merasuk benak orang untuk dimaknai terus-menerus melewati ruang dan waktu penciptaan (Dewi Magazine, 2015). Cerita, baik pendek dan panjang, merupakan salah satu jenis karya sastra (Kuiper, 2011, hlm. 98 dan 134). Sastra sendiri merupakan tatatertib alam yang membedakan manusia dengan hewan (Sylado, 2007, hlm. 203).

Manusia Biasa yang Mempesona

Tak banyak yang saya ketahui—apalagi mengerti—dari Uus, sehingga penuturan tentang kesan terhadapnya rentan melesat. Yang jelas, saya merasa Uus dilantan dalam keluarga yang harmonis, romantis, santun, dan memegang teguh tradisi leluhur.

Manusia Biasa yang MempesonaKeadaan tersebut ini membuat Uus memiliki jiwa kuat. Jiwa kuat perempuan kelahiran 4 Februari 1992 ini membuatnya menjelma sebagai sosok pemberani dalam membaur tanpa perlu melacur. Karena tak melacur, Uus pun menjadi sosok terhormat. Rasanya tak berlebihan kalau Uus disebut sebagai sosok bahadur.


Uus memang hanya manusia biasa. Dia merupakan sosok berperasaan «الإنسان»  dengan penampilan menawan «البشر» yang mau membaur dalam lingkungan «الناس» (Siroj, 2006, hlm. 30-6). Sepanjang menjalani keseharian, Uus hanya ikutserta berbuat untuk menghibur ketika lara dan mengingatkan saat mapan (Sularto, 2011, hlm. 149-174).

Tak ada yang istimewa karena semua orang bisa melakukannya. Walau tak istimewa, tak salah kalau Uus menjadi sosok panutan yang patut dianut. Semangat perjuangannya layak diperjuangkan. Perjalanannya merupakan satu sisi megah tersendiri yang layak dikagumi.


Uus mentas tanpa mencari pencapaian namun tak lelah berjuang. Di-reken (Jawa: dianggap) sukses atau tidak dalam pencapaian bukan urusannya, yang merupakan kesuksannya hanyalah tak lelah mengayuh secara terus-menerus. Mengayuh... mengayuh... mengayuh perjalanan... saling mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan... “You say God give me a choice...” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race (Queen, 1978).

Uus tak lelah mengayuh perjalanan untuk mewujudkan lingkungan kebersamaan yang harmonis. Lingkungan yang membuat orang-orang merasa aman dan nyaman saat saling menyapa karena memiliki rasa sama sebagai manusia. Satu perjalanan yang patut diapresiasi, lantaran saling menyapa adalah satu cara jitu untuk merawat titik temu antar sesama.

Seperti diungkapkan oleh nama besar sebelum Uus, Muhammad shalla allahu ’alaihi wasallam «محمد صلى الله عليه وسلّم». Kirana Azalea Alam Raya tersebut bertutur bahwa menyapa adalah senjata manusia beriman «الدعاء سلاح المؤمن» (Rahmawan, 2017). Satu pernyataan yang diabadikan oleh Madonna melalui Like a Prayer (Madonna, 1989).

Saat waktu membentang, interaksi dengan Uus bisa jadi berkurang. Walau begitu, rekaman kebersamaan selalu memberi rasa senang. Bercengkerama dengan Uus adalah pengalaman istimwa, kenangan yang bisa member rasa gembira. Satu perjumpaan fenomenal, meski relasi di dalamnya mungkin tidak kekal.

Jilbab Sebagai Upaya untuk Menutupi Kecantikan

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kehadiran Uus memeberikan pengaruh terhadap pandangan saya. Pandangan tersebut antara lain mengenai penggunaan jilbab dan aspek kecantikan. Secara singkat, kalau tak salah menyimpulkan, Uus menganggap bahwa jilbab digunakan sebagai penutup kecantikan.

Uus adalah salah satu Muslimah yang mengenakan jilbab sebagai ekspresi kesadaran dan keyakinan. Cerita Uus terbiasa mengenakan jilbab berawal dari peraturan sekolah yang sedang menjalankan program pesantren Ramadhan (Zein, 2016).

Meski berawal dari peraturan, Uus tak terpaksa mengenakan, lantaran pasalnya dirinya juga termotivasi oleh gaya busana yang dikenakan oleh para pesohor tanah air. Buat Uus saat itu, perempuan bisa tetap cantik dengan busana tertutup seperti jilbab, apalagi lingkungan keluarganya sangat mendukung membuatnya mantap (Zein, 2016).

Terkait jilbab, Uus memiliki pandangan dinamis sepanjang mengenakan. Awalnya, dia hanya memahami bahwa berjilbab adalah kewajiban menaati aturan. Ketaatan yang juga menambah kecantikan. Namun lambat laun, dia menyadari bahwa jilbab bukan sebatas penggugur kewajiban, melainkan sebagai kebutuhan buat perempuan.

Perempuan tercipta sebagai seni hidup yang identik dengan kecantikan (Zein, 2012). Kecantikan yang terpancar dari perempuan kadang menjadi pemicu perselisihan. Karena itu, keduanya perlu sedikit ditutupi. Bukan semata sebagai wujud perilaku mawas diri, melainkan untuk mencagah gairah tak biasa dari lelaki.

Tak heran kalau Uus merasa terhentak dengan ungkapan, “berjilbab agar lebih cantik”. Justru dengan berjilbab, perempuan berupaya untuk menutupi kecantikan, agar tak diumbar, supaya tak memicu perselisihan. Uus tak salah menganggap demikian, bahkan justru memang seperti itulah tujuan jilbab dikenakan perempuan (Mahmada, 2016).

Cantik Itu Sebuah Keharusan

Kalau pandangan Uus terkait jilbab dikaitkan dengan kecantikkan, lalu bagaimana pandangannya terhadap kecantikan? Secara singkat, lagi-lagi kalau tak salah menyimpulkan, Uus berpendapat bahwa kecantikan sendiri menurutnya aspek penting yang dapat dimanfaatkan oleh perempuan.

Uus bahkan dengan tegas mengungkapkan kalau cantik itu sebuah keharusan. Cantik adalah satu esensi berbagai asumsi. Cantik adalah ketika pujian hati mengalahkan hinaan mata, penerimaan hati di atas penolakan mata.tuturnya dalam obrolan pada 31 Maret 2018.

Tak sekadar berungkap, dirinya pun pernah ikut serta dalam kontes kecantikan Sunsilk Hijab Hunt (Zein, 2016). Walau keikutsertaan dalam kontes kecantikan perempuan berhijab seakan meruntuhkan pandangannya, tetapi bukankah itu bisa jadi adalah jalan Uus untuk bisa menjadi pesohor untuk kemudian menggaungkan pandangannya? Bukankah dengan menjadi pesohor lebih mudah menarik perhatian banyak orang seperti ditegaskan oleh Uus melalui esai yang dipakai sebagai bahan seleksi Sunsilk Hijab Hunt (Zein, 2016)?.

Namun, pertanyaan pentingnya ialah, salahkah menjadi perempuan cantik? Sebagian orang mungkin akan menjawab iya. Naomi Wolf menuturkan bahwa kecantikan adalah mitos yang diciptakan industri untuk mengeksploitasi perempuan secara ekonomi melalui produk–produk kosmetik (Wolf, 2002, hlm. 9–19). Pandangan Naomi beserta pendukungnya boleh jadi tidak bisa disalahkan, namun kurang lengkap untuk menjadi genggaman. Pasalnya Naomi tak mementingkan paras cantik sebagai salah satu modal untuk perempuan.

Cantik adalah sebagian modal yang layak dimanfaatkan, sejenis demikian diungkapkan oleh
Catherine Hakim melalui gagasan erotic capital (Hakim, 2011, hlm. 14–20). Gagasan ini secara gamblang mengakui bahwa kecantikan, sebagai bagian dari erotic, satu bentuk modal tersendiri melengkapi bentuk modal ekonomi, budaya, dan sosial yang digagas oleh Pierre Bourdieu (Bourdieu, 1986, hlm. 241–58).

Erotic capital merupakan kombinasi dari daya tarik fisik, estetik, visual, sosial, dan seksual yang dimiliki seseorang untuk menarik orang lain. Ada enam bagian dalam erotic capital, kecantikan adalah salah satunya. Sepertihalnya jenis modal lain, erotic capital juga dapat diupayakan, kosok bali dengan pandangan yang cenderung menyangka bahwa kecantikan hanyalah ketetapan Tuhan (buat yang percaya Tuhan) atau suatu kebetulan alamiah (buat yang cuma percaya Hukum Alam).

Sayangnya banyak orang yang dicibir ketika memanfaatkan kecantikan. Cibiran terhadap orang yang turut memanfaatkan kecantikan, banyak berpijak dari pandangan yang menyebut bahwa pintar adalah hasil tekun belajar, sedangkan cantik adalah bawaan lahir. Cerdas dianggap sesuatu yang diperoleh lewat kerja keras, sedangkan kecantikan adalah anugerah yang didapat tanpa usaha.

Padahal posisinya bisa saja terbalik. Pasalnya faktor genetis pun, terutama dari ibu, berperan penting dalam menentukan kecerdasan seseorang. Sedangkan untuk tampil cantik, seseorang perlu banyak berusaha, mulai dari olah raga, menjaga pola konsumsi, merias wajah, hingga berpikir menentukan pakaian.

Tak perlu membutakan mata menyaksikan bahwa orang yang cantik memang kerap mendapat beragam kemudahan. Contoh paling bagus dalam hal ini ialah Maria Yuryevna Sharapova (Maria Sharapova), petenis yang melengkapi gelar grand slam-nya di Paris 2012 silam (Sharapova, 2017, hlm. 266). Pendapatan sebagai model jauh lebih banyak ketimbang menjadi petenis (Badenhausen, 2016). Maria bahkan masih tetap menambah kekayaan saat diskors gara–gara kasus obat–obatan terlarang (Badenhausen, 2016).

Erotic capital sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita tampak enggan mengapresiasi kecantikan perempuan sepertihalnya kecerdasan?

Ketika ada perempuan dandan, dibilang menghabiskan waktu tak berguna. Walakin ketika membaca buku, disangka waktu diisi dengan kegiatan bermanfaat. Perempuan yang berusaha menunjukkan kecantikan malahan tak jarang otomatis dianggap bodoh. Pekerjaan yang menjual badan perempuan, seperti modelling, diberi stigma sebagai pekerjaan hina.

Kecantikan dan upaya mempercantik diri dianggap sebagai tindakan tak baik. Para peserta kontes kecantikan, misalnya, mendapatkan banyak cibiran. Kecerdasan dan kecantikan dilihat sebagai dua hal bertentangan yang tak mungkin dipadukan oleh perempuan. Perempuan yang memiliki keduanya, tidak diizinkan untuk menggunakan semuanya, hanya boleh memaksimalkan kecerdasan saja. Mengapa oh Menyapa? Whyyy?


References

— Bibliography

Badenhausen, Kurt. (2016). How maria sharapova earned $285 million during her tennis career. Forbes, 8 Maret. [daring: lihat]

Bourdieu, Pierre. (1986). The forms of capital. Dalam Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, hlm. 241–58. New York City: Greenwood. [daring : lihat]

Catherine Hakim. (2011). Erotic capital: the power of attraction in the boardroom and the bedroom. New York City: Basic Books. [daring: lihat]

Denning, Tim. (2016). Why global influencers and entrepreneurs use stories to start movements. Addicted2Success.com, 5 Mei. [daring: lihat]

Dewi Magazine. (2015). Sastrawan as laksana tentang kekuatan cerita. Dewi Magazine. [daring: lihat]

Islands of Imagination. (2015). Wawancara dengan a.s. laksana. YouTube, 30 Mei. [daring: lihat]

Kuiper, Kathleen . (2011). Prose: literary terms and concepts. New York City: The Rosen Publishing Group. [daring: lihat98 lihat134]

Mahmada, Nong Darol. (2016). Jilbab, kewajiban atau bukan?. Deutsche Welle, 11 Juli. [daring: lihat]

Rahmawan, Rizky Dwi. (2017). Maiyah dan manajemen dakwah. CakNun.com, 11 November. [daring: lihat]

Sharapova, Maria. (2017). Unstoppable: My Life So Far. New York City: Sarah Crichton Books. [daring : lihat]

Siroj, Said Aqil. (2006). Tasawuf sebagai kritik sosial: mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Mizan Pustaka. [luring]

Sularto, St. (2011). Syukur tiada akhir: jejak langkah jakob oetama. Kompas Media Nusantara. [luring]

Sylado, Remy. (2007). Novel pangeran diponegoro: menggagas ratu adil. Solo: Tiga Serangkai. [daring: lihat]

Sylado, Remy. (2015). Transliterasi arab-gundul ke latin terjadi di indonesia bukan malaysia: bahasa indonesia dalam sastra, musik, teater. Seminar Nasional Sastra Indonesia, 28 Oktober. [daring: lihat]

Wolf, Naomi. (2002). The beauty myth: how images of beauty are used againts women. New York City: Morrow. [daring: lihat]

Zein, Laila Fariha. (2012). Menjadi muslimah idaman sepanjang zaman. Festival Muslimah Indonesia, 5 November. [luring: arsip]

Zein, Laila Fariha. (2016). Cerita pengalaman hijabku. Sunsilk Hijab Hunt 2016, 5 April. [daring: lihat]

Zein, Laila Fariha. (2017). Risalah Sampah. Facebook, 5 April. [daring: lihat]

— Discography

Madonna. (1989). Like a prayer. Dalam Like a Prayer. Warner Bros, 3 Maret. [daring: lihat]

Queen. (1978). Bicycle race. Dalam Jazz. London: Electric and Musical Industries, 13 Oktober. [daring: lihat]