“I firmly believe that strength lies in the
decency and common sense of regular citizens. Such as the people who turned out
in the thousands after the tragedy in Orlando, supported by millions of
like-minded people around the world from every race and religion. Strength lies
in identifying how to address the very particular challenge from a small
minority of people who choose the path of violent extremism or who abuse a
religion, without stigmatizing and isolating millions of people who share in
that beautiful religion. There is nothing strong about denigrating anyone on
the basis of their religion, nationality, sexual orientation, gender, or on the
basis of any characteristic or difference, real or imagined. When we
discriminate, when we imply by our actions that some lives are worth more than
others, or when we denigrate the faith, traditions, and cultures of any group
of people, we weaken our strength as democratic societies.” — Angelina Jolie
Di pertengahan dekade 2020-an ini, umat manusia
dihadapkan pada sebuah paradoks yang menyesakkan. Teknologi telah menyatukan
kita dalam jaringan global yang belum pernah terjadi sebelumnya, memungkinkan
komunikasi instan melintasi benua. Namun, di balik fasad konektivitas itu,
retakan-retakan sosial terasa semakin dalam dan gema perpecahan justru
terdengar semakin nyaring. Janji akan sebuah "desa global" yang
harmonis terasa jauh, digantikan oleh realitas benteng-benteng digital dan
psikologis yang kita bangun untuk memisahkan "kita" dari
"mereka".
Kecenderungan untuk merendahkan, mengucilkan, dan
menyalahkan pihak lain berdasarkan identitasnya bukan lagi sekadar isu
pinggiran. Ia telah menjadi strategi politik, mesin pendulang keuntungan di
media sosial, dan pemicu konflik di berbagai belahan dunia. Fenomena ini
termanifestasi dalam serangkaian krisis yang mendefinisikan zaman kita.
Polarisasi politik ekstrem telah mencengkeram
negara-negara Barat, mengubah lanskap demokrasi menjadi medan pertempuran
ideologis. Akar masalahnya kompleks, bersumber dari ketimpangan ekonomi yang
melebar, kecemasan demografis, serta fragmentasi media yang menciptakan
"ruang gema" di mana keyakinan terus diperkuat tanpa sanggahan.
Pemimpin politik populis kemudian mengeksploitasi perpecahan ini untuk meraih
kekuasaan. Secara global, tanggapannya terbatas pada pengamatan prihatin,
sementara upaya dialog yang dipromosikan oleh badan-badan internasional sering
kali tidak berdaya menghadapi dinamika politik domestik yang sengit.
Pada saat yang sama, dunia berjuang melawan
pandemi perang disinformasi dan radikalisasi online. Jutaan individu setiap
hari terpapar pada propaganda yang dirancang untuk membangkitkan amarah dan
mendorong mereka ke ideologi ekstrem. Masalah ini berakar pada model bisnis
platform media sosial yang memprioritaskan "keterlibatan"
(engagement) di atas kebenaran, diperparah oleh operasi siber yang disponsori
negara tertentu. Sebagai tanggapan, Uni Eropa telah menerapkan regulasi seperti
Digital Services Act, sementara organisasi masyarakat sipil meluncurkan
inisiatif pengecekan fakta. Namun, respons global masih terfragmentasi dan
sering kali tertinggal satu langkah di belakang kecepatan mutasi hoaks.
Kebangkitan nasionalisme etnis dan agama secara
nyata mengancam perdamaian di berbagai kawasan. Gerakan politik yang
mendefinisikan kebangsaan berdasarkan satu etnis atau agama dominan telah
menyebabkan marginalisasi sistematis terhadap kelompok minoritas. Akar
masalahnya sering kali berupa krisis identitas pasca-kolonial, dendam sejarah
yang belum terselesaikan, dan penggunaan kambing hitam oleh rezim otoriter.
Tanggapan global datang dalam bentuk sanksi ekonomi, resolusi dari Dewan
Keamanan PBB, dan laporan investigatif oleh organisasi hak asasi manusia, namun
sering kali dikritik karena terlalu lambat dan tidak cukup tegas untuk
menghentikan kekejaman.
Krisis pengungsi global terus menjadi luka
kemanusiaan yang terbuka, di mana jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah
mereka akibat perang dan persekusi. Masalah ini diperburuk oleh retorika
dehumanisasi yang meluas di negara-negara tujuan, yang berakar pada ketakutan
ekonomi dan xenofobia. Para pengungsi sering digambarkan sebagai beban atau
ancaman, bukan sebagai manusia yang hak-haknya dilindungi oleh Konvensi
Pengungsi 1951. Meskipun lembaga seperti UNHCR bekerja tanpa lelah di garis
depan, tanggapan politik global sering kali tidak konsisten, dengan banyak
negara justru memperketat perbatasan mereka.
Konflik bersenjata yang dipicu oleh sentimen
identitas terus meletus dan berlarut-larut. Perang di Ukraina, konflik di Timur
Tengah, dan ketegangan di Afrika sering kali bukan hanya soal perebutan
wilayah, tetapi juga perang narasi yang melukiskan pihak lawan sebagai musuh
bebuyutan yang harus dimusnahkan. Akar masalahnya terletak pada sejarah
permusuhan yang dimanipulasi untuk tujuan politik modern. Upaya diplomasi
global melalui PBB dan perundingan regional terus dilakukan, namun sering kali
terhambat oleh hak veto dan kepentingan geopolitik negara-negara besar.
Di jalan-jalan kota di seluruh dunia, kejahatan
kebencian menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Serangan fisik dan
verbal yang menargetkan individu karena warna kulit, agama, atau orientasi
seksualnya adalah manifestasi paling brutal dari retorika perpecahan. Fenomena
ini berakar pada normalisasi ujaran kebencian di ruang publik dan politik.
Respons global mencakup penguatan legislasi anti-diskriminasi di tingkat
nasional dan kampanye kesadaran oleh kelompok-kelompok anti-rasisme, namun
penegakan hukum sering kali masih lemah dan keadilan bagi korban sulit didapat.
Hak-hak perempuan dan komunitas LGBTQ+ menghadapi
serangan balik yang terorganisir di berbagai negara. Gerakan regresif yang
berakar pada konservatisme agama dan sosial berusaha untuk membatalkan kemajuan
yang telah dicapai dalam kesetaraan gender dan hak-hak sipil. Kelompok-kelompok
ini sering menggunakan dalih "nilai-nilai tradisional" untuk
membenarkan diskriminasi. Di tingkat global, badan-badan PBB seperti UN Women
dan para Pelapor Khusus terus menyuarakan keprihatinan, namun mereka berhadapan
dengan perlawanan kuat dari negara-negara anggota yang menolak intervensi atas
nama kedaulatan.
"Perang budaya" telah menjadi ciri khas
lanskap sosial di banyak negara, memecah belah masyarakat dalam isu-isu seperti
kurikulum pendidikan, penghapusan monumen bersejarah, dan kebebasan
berekspresi. Konflik ini berakar pada perbedaan fundamental mengenai nilai dan
interpretasi sejarah, yang dieksploitasi oleh media dan politisi untuk
menciptakan polarisasi. Tanggapan global terhadap fenomena ini hampir tidak
ada, karena dianggap sebagai masalah internal yang sangat sensitif, meskipun
dampaknya terhadap kohesi sosial sangat nyata.
Di wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya
alam, konflik agraria sering kali memperuncing permusuhan etnis. Perebutan
tanah, air, dan mineral antara korporasi besar, negara, dan komunitas adat
sering kali dibingkai dalam narasi yang merendahkan masyarakat lokal. Akar
masalahnya adalah model pembangunan ekonomi yang tidak berkelanjutan dan sering
kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Organisasi lingkungan dan hak asasi
manusia di tingkat global mencoba melakukan advokasi, namun mereka berhadapan dengan
kekuatan ekonomi dan politik yang sangat besar.
Terakhir, fondasi kerja sama internasional itu
sendiri sedang terkikis oleh melemahnya multilateralisme. Ketidakpercayaan
terhadap institusi seperti PBB dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin
meningkat, seiring dengan negara-negara yang lebih memilih kebijakan luar
negeri yang unilateral dan proteksionis. Hal ini berakar pada kebangkitan
populisme nasionalis yang memandang kerja sama global sebagai ancaman terhadap
kedaulatan. Fenomena ini menciptakan lingkaran setan: masalah global semakin
kompleks, sementara kapasitas kolektif untuk menanganinya justru semakin
menurun.
Gema yang sama, meski dengan nada yang khas, juga
terdengar nyaring di Indonesia. Polarisasi tajam pasca-Pemilu 2024 masih
meninggalkan residu di masyarakat. Perpecahan ini berakar pada kampanye politik
yang secara intensif menggunakan "buzzer" dan influencer untuk
menyebarkan narasi yang memecah belah, menciptakan loyalitas buta pada satu
kubu dan antipati mendalam pada kubu lainnya. Pemerintah dan tokoh masyarakat
telah menyerukan rekonsiliasi, namun di tingkat akar rumput, ketidakpercayaan yang
ditanam selama masa kampanye terbukti sulit untuk dicabut.
Politik identitas terus menjadi alat yang ampuh
dalam kontestasi politik lokal maupun nasional. Penggunaan sentimen agama dan
etnis untuk mobilisasi massa dan mendiskreditkan lawan politik berakar pada
sejarah panjang politisasi identitas di Indonesia. Praktik ini mengancam
tenunan Bhinneka Tunggal Ika dengan mereduksi isu-isu kebijakan yang kompleks
menjadi sekadar pertarungan antar-kelompok. Respons dari masyarakat sipil
berupa gerakan literasi politik dan dialog antar-iman, namun sering kali kalah
bising dibandingkan hiruk pikuk politik praktis.
Kasus intoleransi dan diskriminasi terhadap
kelompok minoritas masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Komunitas
keagamaan seperti Ahmadiyah dan Syiah, serta penganut kepercayaan lokal, masih
menghadapi kesulitan dalam beribadah dan memperoleh hak sipil penuh. Akar
masalahnya adalah ambiguitas dalam regulasi negara dan adanya kelompok-kelompok
garis keras yang merasa mendapat impunitas. Meskipun organisasi seperti Komnas
HAM terus melakukan pemantauan dan advokasi, respons negara sering kali dianggap
lamban dan tidak memadai.
Indonesia juga tengah berjuang menghadapi banjir
hoaks dan ujaran kebencian. Sebagai salah satu negara dengan pengguna media
sosial terbanyak di dunia, ruang digital kita menjadi sangat rentan. Akar
masalahnya adalah rendahnya tingkat literasi digital yang dibarengi dengan
mudahnya produksi dan penyebaran konten provokatif. Pemerintah telah merespons
dengan Undang-Undang ITE dan patroli siber, namun langkah ini sering dikritik
karena berpotensi membungkam kebebasan berekspresi, sementara akar masalahnya
belum tertangani secara efektif.
Konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat menjadi cerminan dari ketegangan antara pembangunan dan keadilan. Sengketa lahan antara komunitas lokal dengan perusahaan perkebunan atau pertambangan sering kali berujung pada kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat. Masalah ini berakar pada tumpang tindih regulasi dan model pembangunan yang kurang berpihak pada hak-hak komunal. Para aktivis di tingkat nasional dan internasional terus mengadvokasi pengakuan hak atas tanah adat, namun kemajuannya berjalan lambat di hadapan kepentingan ekonomi yang kuat.
Melihat daftar panjang yang menyesakkan ini,
mudah untuk merasa pesimis. Dunia terasa seperti sebuah labirin kebencian yang
kompleks tanpa pintu keluar. Setiap solusi yang ditawarkan terasa parsial,
setiap seruan untuk damai terdengar klise dan tenggelam dalam kebisingan. Di
tengah kebisingan ini, adakah suara yang menawarkan kejernihan? Adakah kompas
yang bisa menunjukkan arah keluar dari labirin ini?
Dan karena saya sedang menonton film Salt yang
menghadirkan Angelina Jolie sebagai pemeran utama, di tengah lamunan tentang
carut-marut ini, saya teringat pada sebuah pidato lama. Sebuah suara yang
tenang namun tegas, bergema dari sebuah podium bertahun-tahun lalu. Suara
Angelina Jolie, yang dengan presisi luar biasa pernah mendiagnosis penyakit zaman
yang kini terasa semakin kronis.
Mendefinisikan Ulang Kekuatan di Tengah Badai
Kebencian
Di sebuah ruangan yang sarat dengan simbolisme
politik—diapit oleh bendera Amerika Serikat dan di bawah tatapan Menteri Luar
Negeri John Kerry—seorang wanita melangkah ke podium Departemen Luar Negeri AS.
Ia bukan seorang diplomat atau politisi, setidaknya tidak secara resmi. Ia
adalah Angelina Jolie, seorang figur yang eksistensinya berada di persimpangan
unik antara gemerlap Hollywood dan medan krisis kemanusiaan global. Pada hari
itu, di sebuah acara antar-agama di Virginia, ia tidak datang untuk berakting.
Ia datang untuk melakukan sebuah intervensi.
Saat itu adalah pertengahan tahun 2016. Udara
politik terasa berat, dipenuhi retorika perpecahan menjelang pemilihan presiden
AS. Baru saja, tragedi penembakan massal di kelab malam Pulse, Orlando, telah
merenggut puluhan nyawa dan memicu gelombang Islamofobia yang menyalahkan satu
miliar lebih pemeluk agama atas tindakan seorang ekstremis. Di tengah iklim
yang beracun inilah, Jolie menyampaikan sebuah pidato singkat yang, jika
didengarkan sekilas, terdengar seperti seruan moral yang lazim. Namun, jika dibedah
lebih dalam, pidato tersebut adalah sebuah manifesto yang cermat dan kuat
tentang di mana letak kekuatan sejati sebuah bangsa—sebuah argumen yang
relevansinya justru semakin tajam seiring berjalannya waktu.
Senjata Pertama: Melucuti Logika Kolektif Kebencian
Jolie tidak membuang waktu. Ia langsung menuju
jantung persoalan yang paling sensitif: hubungan antara ekstremisme kekerasan
dan agama. Alih-alih menghindar, ia menghadapinya secara langsung dengan
presisi seorang ahli bedah. Ia menegaskan bahwa kekuatan terletak pada
kemampuan untuk mengidentifikasi tantangan yang sangat spesifik.
"Strength lies in identifying how to address
the very particular challenge from a small minority of people who choose the
path of violent extremism or who abuse a religion, without stigmatizing and
isolating millions of people who share in that beautiful religion."
Setiap kata dalam kalimat ini dipilih dengan
cermat. Penggunaan frasa "a small minority" (minoritas yang
sangat kecil) secara matematis memisahkan pelaku dari komunitasnya. Kata "abuse
a religion" (menyalahgunakan agama) menyiratkan bahwa agama itu
sendiri adalah korban, bukan sumber masalah. Namun, pilihan kata yang paling
kuat adalah "that beautiful religion" (agama yang indah itu).
Ini bukan sekadar pernyataan netral; ini adalah sebuah afirmasi aktif di tengah
badai tuduhan. Di sebuah panggung resmi pemerintah AS, Jolie tidak hanya
menolak untuk menyalahkan Islam, ia justru memujinya—sebuah tindakan retoris
yang berani dan subversif pada saat itu.
Kekuatan Sejati Milik Rakyat, Bukan Penguasa
Setelah melucuti argumen kebencian, Jolie
membangun fondasi argumennya sendiri. Ia memulainya bukan dari atas—bukan dari
kebijakan pemerintah atau kekuatan militer—melainkan dari bawah.
"I firmly believe that strength lies in the
decency and common sense of regular citizens."
Ini adalah sebuah pemberdayaan. Di saat banyak
narasi politik mencoba memanipulasi ketakutan "warga biasa", Jolie
justru menempatkan kepercayaan pada moralitas dan akal sehat mereka. Ia
mengingatkan audiensnya pada bukti nyata dari tesis ini: "the people
who turned out in the thousands after the tragedy in Orlando." Ia
menggeser fokus dari pelaku kebencian ke para pahlawan empati—warga biasa yang
menunjukkan kekuatan sejati melalui solidaritas. Dengan melakukan ini, ia
menawarkan sebuah model kekuatan alternatif yang dapat diakses oleh semua
orang, bukan hanya mereka yang berkuasa.
Puncak Argumen: Diagnosis Kerentanan Demokrasi
Bagian paling tajam dari analisis Jolie datang di
akhir pidatonya. Ia mengikat semua utas argumennya menjadi sebuah kesimpulan
yang mengangkat isu diskriminasi dari sekadar masalah etika sosial menjadi
masalah keamanan dan kelangsungan hidup sebuah negara.
"When we discriminate, when we imply by our
actions that some lives are worth more than others, or when we denigrate the
faith, traditions, and cultures of any group of people, we weaken our strength
as democratic societies."
Ini adalah diagnosisnya. Diskriminasi, dalam
pandangannya, bukanlah sekadar tindakan tidak baik. Itu adalah penyakit korosif
yang menggerogoti pilar-pilar masyarakat demokratis. Dengan menyamakan
merendahkan orang lain dengan "melemahkan kekuatan kita", ia secara
efektif menyatakan bahwa tindakan rasisme, xenofobia, atau homofobia adalah
tindakan yang tidak patriotik. Ia membalikkan narasi kaum populis nasionalis:
bukan keberagaman yang melemahkan bangsa, melainkan penolakan terhadap
keberagaman itulah yang menghancurkannya dari dalam.
Argumen ini diperluas secara sadar untuk menjadi
universal. Dengan menderetkan "agama, kebangsaan, orientasi seksual, jenis
kelamin," ia memastikan pesannya melampaui konteks Islamofobia sesaat dan
menjadi pembelaan universal bagi semua kelompok yang terpinggirkan.
Sang Arsitek di Balik Kata-kata
Kekuatan pidato ini tidak hanya terletak pada
teksnya, tetapi juga pada penyampainya. Kredibilitas (ethos) Angelina Jolie
sebagai Utusan Khusus Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) memberinya
otoritas moral yang tidak dimiliki oleh banyak figur publik. Ia tidak berbicara
dari menara gading; ia berbicara dari pengalaman langsung di kamp-kamp
pengungsi dan zona konflik, tempat ia menyaksikan konsekuensi paling ekstrem
dari kebencian yang ia deskripsikan. Nada bicaranya yang tenang, terukur, dan tanpa
emosi yang berlebihan justru menambah bobot pada setiap kata, seolah-olah
setiap kalimat adalah sebuah kebenaran yang telah teruji, bukan opini sesaat.
Warisan Sebuah Pidato
Bertahun-tahun setelah disampaikan, pidato
Angelina Jolie ini tetap menjadi sebuah kompas moral yang relevan. Perpecahan
yang ia coba jembatani tidak menghilang; di banyak tempat, perpecahan itu
semakin dalam. Namun, analisisnya tetap tajam dan tawarannya tetap valid.
Pidato tersebut adalah pengingat bahwa dalam
pertarungan ide, narasi adalah segalanya. Jolie tidak hanya mengutuk kebencian;
ia menawarkan narasi tandingan yang lebih kuat, lebih inklusif, dan pada
akhirnya, lebih optimistis. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak
diukur dari seberapa tinggi tembok yang kita bangun atau seberapa keras suara
kita saat mencela, melainkan dari seberapa lebar kita membuka lengan kita dan
seberapa teguh kita mempertahankan keyakinan bahwa setiap manusia memiliki martabat
yang sama. Di dunia yang terus-menerus digoda oleh sirene perpecahan,
argumennya bukan hanya indah, tetapi juga esensial untuk bertahan hidup.
Sikap dan Pemikiran di Balik Sang Utusan
Untuk memahami kedalaman pidato ini, kita harus
melihatnya bukan sebagai sebuah peristiwa tunggal, melainkan sebagai
manifestasi dari filosofi yang telah diasah Angelina Jolie selama lebih dari
dua dekade. Sikap dan pemikirannya terbentuk bukan di ruang-ruang seminar yang
nyaman, melainkan di tengah panasnya kamp pengungsi di lebih dari 60 misi
lapangan sebagai Utusan Khusus UNHCR. Filosofi ini dapat diringkas sebagai humanisme
pragmatis—sebuah keyakinan pada kemanusiaan yang diiringi dengan pemahaman
tajam tentang realitas politik dan kebutuhan akan solusi konkret.
Pemikirannya bersifat strategis. Jolie secara
sadar menggunakan statusnya yang unik untuk menjembatani dunia yang jarang
bertemu: kredibilitasnya di mata para pembuat kebijakan, pengaruhnya terhadap
budaya populer, dan pengalamannya yang otentik dengan para penyintas konflik.
Ia tidak sekadar "menciptakan kesadaran"; ia secara aktif terlibat
dalam advokasi di level tertinggi, menuntut pertanggungjawaban dari Dewan
Keamanan PBB dan menyerukan reformasi sistemik. Dalam pidato-pidatonya yang
lain, ia secara konsisten menekankan bahwa bantuan kemanusiaan tidak dapat
menjadi pengganti diplomasi dan solusi politik. Ia mengerti bahwa selimut dan
makanan tidak akan menghentikan perang.
Sikapnya adalah sikap seorang internasionalis
yang patriotik. Ia sering menegaskan kebanggaannya sebagai warga negara
Amerika, namun mendefinisikan patriotisme bukan melalui nasionalisme sempit,
melainkan melalui komitmen terhadap nilai-nilai universal—sebuah keyakinan
bahwa negara yang kuat, seperti individu yang kuat, akan membantu orang lain
untuk bangkit. Ia secara konsisten menolak gagasan bahwa keamanan nasional dan
hak asasi manusia adalah dua hal yang bertentangan. Sebaliknya, ia berargumen
bahwa penegakan hukum internasional dan perlindungan terhadap mereka yang
paling rentan adalah fondasi esensial bagi keamanan jangka panjang.
Pada intinya, pidato ini adalah cerminan dari
seorang pemikir yang telah lama bergulat dengan pertanyaan paling sulit di
zaman kita: Bagaimana kita merespons penderitaan dalam skala massal?
Jawabannya, yang terus ia suarakan, menolak simplifikasi. Jawabannya menuntut
kita untuk melihat melampaui label, menolak ketakutan sebagai dasar kebijakan,
dan menemukan kekuatan kita, bukan pada kemampuan untuk memecah belah,
melainkan pada keberanian untuk bersatu.