— Pidato
Grace Natalie Louisa Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Festival
11 Yogyakarta, Senin 11 Februari 2019.
Assalamualaikum, Shalom,
Om swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Damai
Salam Solidaritas!
Apa kabar Jogja?
Kangen saya sama kota
ini
Selamat datang di Festival
11 Jogjakarta, kepada seluruh pengurus, kader, dan simpatisan Partai Solidaritas
Indonesia!
Izinkan saya menyampaikan
pidato politik yang saya beri judul “Musuh Utama Persatuan Indonesia”
Banyak yang bertanya
kepada saya: “Kenapa PSI selalu bicara tentang isu-isu sensitif?”
“Kenapa PSI menolak Perda
Injil dan Perda Syari’ah yang diskriminatif?”
“Tidakkah sebaiknya PSI
hanya bicara tawaran kebijakan saja, ketimbang masuk ke isu-isu sensitif?”
Bro and Sis yang saya
cintai,
Ada baiknya kita menyegarkan
kembali ingatan tentang dasar-dasar perjuangan PSI, tentang alasan kenapa partai
ini harus berdiri.
Lebih dari empat tahun
lalu, PSI didirikan atas kecemasan terkait MELUASNYA INTOLERANSI di negeri ini.
Itulah alasan kenapa salah satu PERJUANGAN POKOK PSI adalah melawan intoleransi.
Pembiaran penyerangan
atas kelompok yang berbeda keyakinan, penutupan tempat ibadah, meluasnya ceramah
kebencian, lama-lama menjadi sesuatu yang kita anggap biasa. Inilah fenomena berbahaya
yang disebut aktivis peneliti perempuan Sandra Hamid sebagai “NORMALISASI INTOLERANSI”.
Gejala dimana masyarakat
semakin menganggap intoleransi sebagai sesuatu yang normal akibat meluasnya kampanye
kultural yang mengajak orang hanya berpikir secara biner: hitam – putih. Kaum kita
– musuh kita.
Dan menghadapi gelombang
yang semakin besar itu, kaum Nasionalis-Moderat di partai politik, lebih memilih
cara aman, agar lolos dari stigma anti umat, demi kepentingan elektoral semata.
Tidak ada protes dari
satu partai politikpun — kecuali PSI — ketika ada perayaan keagamaan diserang, ketika
ada tempat ibadah ditutup paksa, ketika massa membakar rumah di mana Ibu Meliana
sedang berada di dalamnya. Ke mana mereka ketika Ibu Meliana dimasukkan ke penjara?
Tidak cukup suara menentang
itu semua, karena kita mulai menganggapnya sebagai hal biasa. Inilah NORMALISASI
INTOLERANSI!
Apakah kita akan diam
saja melihat ini semua terjadi?
Bro and Sis yang saya
cintai,
Prioritas pertama yang
harus kita selesaikan hari ini — menurut PSI — adalah melawan segala bentuk ancaman
bagi persatuan kita.
Ancaman itu datang dalam
beragam bentuk: ada yang ingin mengganti NKRI, ada yang ingin mengganti keberagaman
dengan fahamnya sendiri dengan menyelundupkan regulasi diskriminatif.
PSI percaya bahwa untuk
menyelesaikan persoalan ini harus ada pengakuan diri bahwa ada masalah besar yang
sedang mengancam PERSATUAN INDONESIA.
Konsep kewarganegaraan
— citizenship — mengandaikan semua warga negara setara. Tidak ada dikotomi MAYORITAS
dan MINORITAS. Tidak ada PRIBUMI dan NON-PRI. Tidak ada warga negara KELAS SATU
dan KELAS DUA. Semua sama dan setara sebagai WARGA NEGARA INDONESIA.
Salah satu hak dasar,
dijamin Pasal 28 E: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”
Hak beragama dan beribadat
menurut keyakinan dijamin oleh konstitusi kita!
Tapi ironisnya, laporan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2017 justru mengungkapkan, salah satu persoalan
hak asasi paling menonjol selama lima tahun terakhir — adalah terkait tindakan melarang,
merusak, atau menghalangi pendirian rumah ibadah.
Peraturan Bersama Menteri
mengenai Pendirian Rumah Ibadah — menurut Komnas HAM — pada praktiknya membatasi
prinsip kebebasan beragama. Aturan itu justru dipakai untuk MEMBATASI bahkan MENCABUT
hak konstitusional dalam hal KEBEBASAN BERIBADAH.
SETARA Institute mencatat,
selama sebelas tahun terakhir terjadi TIGARATUS TUJUHPULUH DELAPAN gangguan terhadap
rumah ibadah di seluruh Indonesia.
Situasi semakin memburuk
karena pejabat, birokrat, dan politisi daerah, memanfaatkan menguatnya sentimen
SARA dengan cara “meng-entertain” sikap intoleran masyarakat, dengan cara mengeluarkan
kebijakan yang dianggap bisa MENYENANGKAN UMAT TERTENTU SAJA. Mereka juga cari aman
ketika berhadapan dengan kelompok intoleran yang mengerahkan massa untuk menolak
pendirian rumah ibadah.
Saya ingin menegaskan
kembali, bila partai ini diberi amanah, maka PSI akan berjuang agar TIDAK ADA LAGI
PENUTUPAN RUMAH IBADAH SECARA PAKSA!
PSI bertindak dan berbicara
atas dasar Konstitusi. Kami ingin hak-hak dasar ini dipenuhi dan dijalankan secara
penuh — tanpa syarat!
Bro and Sis yang akan
memperjuangkan Konstitusi,
Jogja ini selalu bikin
kita kangen. Itu mungkin yang membuat penyair Joko Pinurbo bilang “Jogja terbuat
dari rindu, pulang, dan angkringan”.
Kita selalu ingin kembali
ke kota ini karena ia menyimpan identitas kita — identitas Indonesia yang hidup
dalam diri kita — dalam bentuk kesenian, tradisi, dan kuliner Nusantara. Itulah
yang selalu mendorong kita untuk kembali “Pulang” ke Jogjakarta, seperti lagu KLA
Project.
Tapi sebagaimana terjadi
di kota-kota lain, kelompok intoleran juga mencoba merusak ketenangan Jogja.
Intoleransi tidak hanya
mengancam kita yang masih hidup, bahkan yang sudah matipun menjadi sasaran.
Pertengahan Desember
lalu, sebuah nisan kayu salib dipotong di Kotagede Jogjakarta, dan prosesi doa kematian
gagal dilakukan karena mendapat penolakan massa.
Kelompok Intoleran juga
menyasar upacara adat. Oktober tahun lalu, upacara “Sedekah Laut” sebagai ekspresi
rasa syukur — yang dilaksanakan nelayan Pantai Baron dan Kukup di Tanjungsari, Gunungkidul,
DISERANG dan DITEROR oleh sekelompok orang yang menganggap upacara adat itu sesat.
Kelompok adat, penganut
kepercayaan yang ribuan tahun hidup dalam damai di bumi Nusantara, kini menjadi
sasaran kebencian. Dituduh sesat, dipersekusi, dan mengalami diskriminasi sosial.
Hari ini, tepat setahun
yang lalu, Gereja Santo Lidwina Bedog di Sleman, diteror. Seorang pemuda dengan
samurai menghancurkan isi gereja, melukai pastor, dan jamaat yang sedang khusyuk
beribadah.
Inilah cermin persoalan
besar kita hari ini.
Bro and Sis yang akan
berjuang melawan intoleransi,
Partai Solidaritas Indonesia
akan menjadi sayap politik kaum Nasionalis, kaum Moderat, yang ingin mengembalikan
toleransi di negeri ini.
Kami percaya, kampanye
toleransi harus diwujudkan dalam bentuk gerakan politik parlementer.
Di tingkat nasional,
PSI akan mendorong “DEREGULASI Aturan mengenai Pendirian Rumah Ibadah”. PSI akan
mendorong PENGHAPUSAN Peraturan Bersama Menteri Mengenai Pendirian Rumah Ibadah.
Aturan terkait masalah
ini harus dikembalikan kepada konstitusi — dalam hal ini Pasal 28 E, yang menjamin
kebebasan beragama dan beribadah.
Kedua, PSI akan mencegah
lahirnya undang-undang atau peraturan daerah diskriminatif.
Ketiga, kami akan mendorong
aparat keamanan serta birokrasi agar lebih tegas dalam menghadapi kasus intoleransi.
Itulah tawaran PSI untuk
mengatasi persoalan intoleransi.
Siapkah kita — PSI —
berjuang menegakkan hak kebebasan beribadah?
Bro and Sis yang ada
di Jogja dan di seluruh Nusantara,
Persatuan dan ide Nasionalisme
Indonesia hari ini tidak cukup hanya dibangun dengan melap-lap warisan lama.
Nasionalisme PSI tidak
akan dibangun dengan cara mewajibkan orang menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sebelum
menonton film di bioskop.
Nasionalisme, bagi PSI
harus didirikan diatas politik yang bersih. Karena kami percaya persatuan nasional
harus dibangun atas dasar “TRUST”.
Kepercayaan tidak akan
pernah tumbuh di atas politik yang korup. Selama anggota DPR masih korup, selama
itu pula rakyat akan sulit percaya kepada politik.
Bagaimana mungkin orang
akan bersatu jika ia merasa dikhianti — kalau uang pajaknya secara sistematis dicuri,
dikorupsi oleh orang yang mengaku sebagai wakilnya?
Nasionalisme kita harus
didirikan atas dasar perlawanan terhadap kaum intoleran.
Bro and Sis yang akan
bersama merawat negeri.
Ancaman terbesar bagi
Persatuan Indonesia hari ini, datang dari dua arah:
Pertama dari KAUM INTOLERAN,
yang setiap hari menjajakan kebebencian, menghalang-halangi bahkan menyerang orang
untuk menjalankan keyakinannya.
Kedua adalah para KORUPTOR
yang melemahkan gerakan persatuan, membuat kita: Kaum Nasionalis-Moderat tidak percaya
satu sama lain.
Jadi kalau ada orang
menyebut dirinya Nasionalis, tapi di belakang masih mencuri uang rakyat. Mereka
lebih pantas kita sebut: NASIONALIS GADUNGAN!
NASIONALIS GADUNGAN adalah
orang-orang yang mengaku nasionalis tapi ikut meloloskan perda-perda agama yang
diskriminatif. NASIONALIS GADUNGAN ADALAH kekuatan politik tengah yang bungkam,
diam seribu bahasa ketika Ibu Meliana dipersekusi. NASIONALIS GADUNGAN tidak bersuara
ketika rumah-rumah ibadah ditutup. NASIONALIS GADUNGAN adalah partai-partai yang
mengaku nasionalis tapi rutin mengirim kader-kader mereka ke KPK karena mengkorupsi
uang rakyat.
Apakah kita akan menjadi
nasionalis gadungan?
Apakah kita akan menjadi
nasionalis gadungan?
Apakah kita akan menjadi
nasionalis gadungan?
Bro and Sis di Jogja,
dan yang menyaksikan pidato ini melalui televisi nasional dan sosial media
Belakangan banyak kampanye
negatif yang ditujukan kepada PSI. Mengatakan bahwa memilih PSI sama saja buang-buang
suara — jika partai ini tidak lolos ke parlemen.
Sebagai jawaban saya
ingin balik bertanya:
Apakah kita puas dengan
partai politik yang ada sekarang?
Apakah partai politik
yang ada sekarang telah bekerja keras menjamin kebebasan beribadah?
Apakah mereka turun tangan
membela, ketika ada orang yang dipersekusi karena keyakinannya?
Atas dasar itulah, kita
harus mulai berpikir bahwa mempertahankan “Politik Status Quo” justru SEBUAH BENTUK
PENGHAMBUR-HAMBURAN SUARA!
Berbagai survei terakhir
memperlihatkan bahwa elektabilitas PSI terus bergerak naik. Para Caleg, kader, dan
simpatisan kami terus bergerak di darat. Mengetuk dari pintu ke pintu, meyakinkan
bahwa Indonesia perlu sebuah perbaikan politik.
Bahwa kaum Nasionalis-Moderat
perlu suntikan darah segar. Sebuah fraksi baru di parlemen, untuk menemani kelompok
Nasionalis-Moderat yang sudah ada, agar lebih berani dan tegas dalam menegakkan
persatuan.
Terakhir saya ingin menyitir
kutipan puisi yang disukai Sutan Sjahrir “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak
akan pernah dimenangkan”.
Kata-kata yang mengajak
orang untuk berani mengambil sebuah langkah baru. Meninggalkan zona nyaman, yang
sebetulnya merupakan sebuah jebakan jalan buntu.
Tak akan ada yang sia-sia.
Satu suara anda akan sangat berharga: menentukan arah masa depan kita semua.
Siap pasang badan melindungi
rumah ibadah?
Siap membendung normalisasi
intoleransi?
Siap menyingkirkan Nasionalis
Gadungan?
PSI untuk Persatuan Indonesia!
PSI untuk melawan musuh-musuh
Persatuan Indonesia.
Mana Solidaritasmu?
Mana Solidaritasmu?
Mana Solidaritasmu?
Salam Solidaritas!