— Mengingat René Descartes, Mengenang
Muḥammad al-Ghazālī
Perjalanan
mengajar matematika yang sampai pada topik geometri membuatku menyadari bahwa terdapat
dua pendekatan yang digunakan: sistesis dan analitis. Terus terang, andai tak berminat pada
fisika, astronomi, ekonomi, dan akuntansi, mungkin aku tak akan meluangkan
waktu untuk menengok matematika. Karena itulah aku belajar matematika secara pragmatis,
hanya mengambil bagian yang diperlukan untuk ranah yang kuminati aja.
Dampak
perilaku pragmatis tersebut ialah aku masih kesulitan memetakan topik
matematika sepertihalnya kulakukan terhadap fisika. Bahkan sampai saat catatan
ini kubuat! Walakin karena keadaan praktis, aku terpaksa meluangkan waktu tidak
sejenak buat matematika. Takdir memang kejam, dan uraian pembuka yang tak
berguna ini sebagai penegas bahwa
matematika dipelajari karena faktor lain.
Pendekatan
analitis, yang biasa disebut analytic geometry, ialah pengkajian geometri
menggunakan sistem koordinat. Temuan pendekatan ini mengubah peta kajian
geometri sehingga memaksa pendekatan lama yang menggunakan metode aksiomatik
dinamai sistesis atau disebut shyntetic geometry. Biar tampak sepasang, ada analytic,
ada juga shyntetic.
Analytic
geometry menjadi
lahan yang dikembangkan oleh René Descartes, sebagai jalan melestarikan namanya
dalam peta kajian keilmuan, khususnya matematika. Sumbangan René Descartes
antara lain ialah penggunaan x, y, dan z dalam persamaan untuk mewakili hal
yang belum diketahui.
Sumbangan
tersebut diberikan melalui La Géométrie, esai yang diterbitkan sebagai
lampiran bukunya, Discours de la Méthode : Pour bien conduire sa raison, et
chercher la vérité dans les sciences. Melalui buku yang terbit pertama kali
pada 1637 ini, René Descartes mengenalkan caranya untuk menjelaskan sesuatu
secara meyakinkan.
La
Géométrie ditulis
sebagai salah satu contoh penerapan cara yang diperkenalkannya tersebut. Contoh
lain ditunjukkan melalui La Dioptrique dan Les Météores, dua esai
yang sama-sama diterbitkan sebagai lampiran Discours de la Méthode. Cara
ini pula yang digunakan oleh Tan Malaka kemudian ketika memperkenalkan Madilog,
dengan menyertakan tiga tinjauan Madilog terhadap Yahūdi, Nashrānī,
dan Islām.
René
Descartes dilahirkan di Le Haye de Touranie, Kerajaan Prancis, pada 31 Maret
1596, tepat 382 tahun sebelum Judhistira Aria Utama dilahirkan. Lelaki yang menghabiskan sekitar 20
tahun (1629-49) perjalanannya di Republik Belanda ini mendapat julukan sebagai
Bapak Filsafat Barat Modern (The Father of Modern Western Philosophy).
Discoure
de la Méthode
sendiri merupakan karya agung tanpa mendung dari lekaki yang wafat di Stockholm,
Kerajaan Swedia, pada 11 Februari 1650, saat umurnya belum utuh 54 tahun.
Melalui buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa Prancis inilah René
Descartes menuliskan kutipan,
“Je pense,
donc je suis” (English:
“I think, therefore I am”; Bahasa Indonesia: “Aku berpikir, maka aku ada”). Kutipan ini lebih dikenal versi
bahasa latinnya, ialah, “Cogito
ergo sum”.
Kutipan
tersebut merupakan ajakan dari René Descartes untuk bersikap skeptis. Ajakan yang nantinya memantik perkembangan
filsafat modern. Sikap seperti ini dikenal sebagai filsafat skeptisisme. Sikap skeptis René Descartes dimulai
dari diri sendiri dengan meragukan panca inderanya. Dia beralasan bahwa indera
terkadang menipu, sehingga tidak bisa memastikan sesuatu itu tepat atau keliru.
Karena itu, sebelum mengungkapkan pemikiran diperlukan proses penalaran yang diawali dari perasaan
ragu.
Filsafat
skeptisisme sendiri merupakan pemikiran yang diperkenalkan oleh Abū Ḥāmid Muḥammad
al-Ghazālī (أبو حامد محمد
الغزالي). Muḥammad al-Ghazālī dilahirkan Tus, Khurasan, Kekaisaran
Seljuq, pada 1056—tanggal tidak diketahui. Lelaki ini mendapat julukan Guru
Agung Islām (حجة
الإسلام), sebagai apresiasi terhadap khidmah ilmiah (خدمة العلمية) yang dilakukan sepanjang perjalanannya dengan buah berupa
banyak dan bermacam karya berbentuk risalah.
Muḥammad
al-Ghazālī mengenalkan filsafat skeptisisme melalui bukunya al-Munqidh min
al-Dholāl wa al-Maushul ilā dzi al-‘Izzati wa al-Jalāl (المنقذ من الضلال والموصل إلى ذي العزة والجلال). Melalui buku
yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab ini ajakan untuk meragukan
pengetahuan diungkapkan olehnya. Seperti
belakangan ditunjukkan oleh
René Descartes, Muḥammad al-Ghazālī memulai sikap skeptis dari diri sendiri,
dengan meneliti pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya.
Dari
proses yang dilakukan, Muḥammad al-Ghazālī menemukan bahwa pengetahuan yang
didapatkan cenderung kurang meyakinkan. Dari sini dirinya melakukan
penelusuran mendalam, yang berbuah pandangan bahwa panca indera bukan sebagai sumber
ilmu yang meyakinkan. Muḥammad al-Ghazālī tidak menolak penuh panca indera,
walakin perlu didukung oleh beberapa hal lainnya.
Kalau
mau meluangkan waktu sejenak untuk membaca dua karya tersebut, ialah al-Munqidh
min al-Dholāl dan Discoure de la Méthode, dapat ditemukan keserupaan
isi dan alur. Keserupaan cukup identik pada kasus filsafat skeptisisme tersebut
nyaris seperti yang terjadi pada kasus kalkulus. Bedanya kasus kalkulus terjadi
pada masa yang sama, sehingga memunculkan pertikaian menggelikan antara Isaac
Newton dan Gottfried Wilhem Leibniz. Sedangkan kasus filsafat skeptisisme
terjadi pada masa yang berebda, keduanya terpisah jarak sepanjang setengah millennium.
Lumayan.
Melalui
keserupaan ini, apakah bisa menggambarkan bahwa René Descartes mengagumi Muḥammad
al-Ghazālī? Kekaguman tak jarang mewujud sebagai peniruan, termasuk dalam
berkarya, seperti
pernah ditegaskan oleh Stephen William Hawking. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu dibutuhkan
data meyakinkan yang menunjukkan bahwa René Descartes mengetahui Muḥammad
al-Ghazālī, minimal mengetahui al-Munqidh min al-Dholāl. Bisa juga
ditelusuri melalui rantai kajian filsafat, secara lisan dan tulisan, dari era
Muḥammad al-Ghazālī hingga René Descartes.
Atau
keserupaan ini hanya kebetulan semata, yang menunjukkan bahwa terdapat
kecenderugan merasa ragu dalam hati setiap insān? Bedanya Muḥammad
al-Ghazālī dan René Descartes menulis kecenderungan ini, sedangkan selainnya
hanya memendam dalam diam, sehingga nama keduanya lebih sanggam teranyam?
Dengan
tetap terus memperhatikan keserupaan tersebut, kurasa tak ada yang salah kalau
kita tetap mengagumi Muḥammad al-Ghazālī dan René Descartes. Dari René
Descartes, aku pat belajar bahwa ilmu yang tampak mapan dalam waktu lama, masih
menyediakan ruang untuk ikutserta memperkaya, seperti dilakukan René Descartes
terhadap geometri.
Muḥammad
al-Ghazālī sendiri merupakan sosok penting buatku. Cerita yang menyebutkan
bahwa semangat belajar Muḥammad al-Ghazālī ialah untuk mendapat uang, menjadi
peganganku untuk mengambil kesempatan beasiswa kulah S1. Belakangan, seperti
diungkapkan oleh Muḥammad al-Ghazālī, kusadari bahwa belajar adalah sarana
untuk mendapat ridhā Allāh, bukan sekadar mencari uang.
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ
لِّأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ الَّذِي
بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
« القرآن الكريم سورة يوسف آية ١١١»
“Indeed,
in the stories of these men there is a lesson for those who are endowed with
insight. [As for this revelation,] it could not possibly be a discourse
invented [by man]: nay indeed, it is [a divine writ] confirming the truth of
whatever there still remains [of earlier revelations], clearly spelling out
everything, and [offering] guidance and grace unto people who will believe.”
(al-Qurʾān
al-Karīm sūrah Yūsuf āyah 111
—
alihbahasa dan penafsiran oleh Muhammad Asad)
K.Km.Wg.230539.080818.01:43/K.
Jm.Kl.230539.090818.15:06
Referensi
E. R. Hedrick dan C. A. Noble. (1932). Elementary mathematics from an
advanced standpoint (translated from the 3rd german edition 'elementarmathematik
vom höheren stand- punkte aus. teil i: arithmetik, algebra, analysis' by felix
klein), hlm. 146-162. London: Macmillan and Co. [lihat]
Edwin E. Moise. (1990). Elementary geometry from an
advanced standpoint – 3rd ed,
hlm. 43-47. Massachusetts: Addison-Wesley
Publishing Company. [lihat]
Muḥammad al-Ghazālī. (2005). Iḥyā` ‘ulūmu al-dīni,
hlm. 20. Beirut: Dār ibn Ḥazim.
Muḥammad al-Ghazālī. (2010). Al-munqidh min al-dholāl
wa al-maushul ilā dzi al-‘izzati wa al-jalāl, hlm. 1-3. Riyadh: Islamicbook. [lihat]
Muhammad al-Khudlorī Bik. (2007). Tārikh at-tasyrī'
al-islām, hlm. 225.
Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Muhammad Asad. (1980). The message of the qur'an,
hlm. 487-488.
Dar al-Andalus Limited: Dar al-Andalus. [lihat]
René Descartes. (1894). Discours de la méthode : pour
bien conduire sa raison, et chercher la vérité dans les sciences, hlm. 53-67. Paris: Prés le Palais-Royal.
Roger L. Cooke. (2013). The history of mathematics :
a brief course – 3rd ed, hlm. 359-362. New
York City: John Wiley & Sons. [lihat]
Stephen William Hawking & Leonard Mlodinow. (2010). The
grand design, hlm. 27-31. New York City: Bantam Books. [lihat]
Stephen William Hawking. (1988). A brief history of time, hlm.
96. New York City:
Bantam Books. [lihat]
Tan Malaka. (1951). Islam dalam tinjauan madilog.
Jakarta: Widjaya. [lihat]
Tan Malaka. (1951). Madilog. Jakarta: Widjaya.
[lihat]