Di balik meja kerjanya yang penuh tumpukan proposal penelitian mahasiswa
dan dokumen akreditasi program studi, Dr. Satrio Aji Nugroho, S.Sn., M.Sn., memijat pelipisnya pelan. Menjabat sebagai Ketua Jurusan
sekaligus Koordinator Program Studi Musik di Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta pada usia tiga
puluh enam tahun adalah
sebuah pencapaian luar biasa sekaligus beban tanggung jawab yang tak ringan.
Sebagai seorang suami dan ayah, Satrio terbiasa menyeimbangkan tuntutan karier
akademis yang padat dengan kehidupan pribadinya, sebuah disiplin yang kini
semakin teruji dengan hadirnya 'proyek' barunya ini. Ruang kerjanya yang tenang
di gedung jurusan musik, dipenuhi rak buku berisi partitur klasik dan literatur
musikologi tebal, seolah menjadi benteng pertahanan intelektualnya. Namun,
akhir-akhir ini, ada 'gangguan' halus yang kerap menyusup ke dalam benteng itu:
sebuah tab peramban yang disembunyikan di balik jendela aplikasi kerjanya,
memutar tanpa suara video penampilan Aini Zhafara di salah satu panggung Jogja.
Pertemuan pertama Satrio dengan fenomena Aini Zhafara terjadi di ranah
akademis. Ia sedang mengumpulkan materi untuk kuliah tamu tentang 'Estetika
Musik Populer Kontemporer Indonesia' saat beberapa mahasiswanya dengan antusias
membahas viralitas pemilik
goyang uleghh uleghh yang ikonik, lengkap dengan perdebatan sengit tentang kualitas musikalitasnya.
Sebagai seorang doktor musik lulusan ISI yang juga sempat mendalami
studi lanjutan di luar negeri, reaksi awal Satrio adalah skeptisisme akademis
yang dingin. Ia menonton beberapa video Aini dengan kacamata seorang analis musik
yang kritis, mencatat dengan presisi setiap kelemahan teknis vokal yang ia
temukan. Dalam catatan mentalnya, diagnosis Satrio begitu detail dan klinis:
kontrol pitch Aini sering goyah terutama pada interval lompatan nada yang jauh,
dukungan pernapasan dari diafragma sangat minim mengakibatkan suara yang sering
terengah atau 'tercekik' di akhir frasa panjang, resonansi suara cenderung
tipis dan kurang bulat karena penempatan vokal yang belum optimal, serta
vibrato yang kadang muncul tanpa kontrol jelas. Analisisnya setajam pisau bedah
seorang ahli patologi vokal. Ia bahkan bisa memetakan kebiasaan-kebiasaan buruk
Aini dalam membentuk artikulasi saat menyanyikan lirik berbahasa Indonesia,
sebuah detail yang mungkin luput dari perhatian pendengar awam.
Namun, di sinilah letak anomali yang mulai mengusik Satrio. Setelah
menguliti habis semua kekurangan teknis itu, ia tidak bisa memungkiri adanya
faktor 'X' yang membuat penampilan Aini begitu memukau jutaan orang. Ada energi
primal, kehadiran panggung yang magnetis, kemampuan membangun narasi emosional
dalam lagu (meskipun secara teknis tidak sempurna), dan terutama, koneksi luar
biasa yang ia bangun dengan audiensnya. Aini Zhafara, dari sudut pandang studi
pertunjukan (performance studies) yang juga Satrio kuasai, adalah sebuah kasus
yang sangat menarik—seorang performer yang berhasil mencapai tingkat komunikasi
massa efektif meskipun dengan 'instrumen' vokal yang belum terkalibrasi dengan
baik. Kekaguman Satrio mulai tumbuh, bukan dalam bentuk fanatisme buta,
melainkan sebagai apresiasi seorang akademisi pada sebuah fenomena unik yang
kompleks. Ia mulai melihat Aini bukan hanya sebagai objek studi, tetapi sebagai
potensi besar yang belum tergarap maksimal.
"Potensi kinetik panggungnya luar biasa, kemampuan interpretasi
liriknya sebenarnya punya dasar kuat, hanya saja instrumen vokalnya belum
mendukung secara optimal," pikir Satrio suatu sore, sambil menonton live
streaming Aini dari Kafe Angin Malam di ponselnya. "Jika saja teknik
vokalnya bisa diperbaiki, didisiplinkan, Aini bisa menjadi kekuatan yang jauh
lebih dahsyat lagi di industri ini."
Pikiran itu berkembang menjadi sebuah ide yang semakin hari semakin
kuat: ia, Dr.
Satrio Aji Nugroho, Kajur
Musik ISI Yogyakarta, merasa terpanggil untuk turun tangan. Ini bukan lagi
sekadar rasa penasaran akademis; ini adalah dorongan profesional seorang
pendidik musik papan atas yang melihat talenta mentah menunggu untuk diasah. Ia
merasa memiliki pengetahuan, metode, dan kesabaran yang dibutuhkan untuk
membantu Aini membuka potensi vokal sesungguhnya. Ini akan menjadi sebuah
'proyek pengabdian masyarakat' yang paling menantang sekaligus paling personal
dalam karier akademisnya sejauh ini, meskipun ia juga harus mempertimbangkan
waktu dan komitmennya sebagai kepala keluarga.
Maka, dengan kehati-hatian seorang akademisi yang terbiasa menyusun
proposal riset, Satrio mulai merancang 'proposal' kerja sama kepada Aini
Zhafara. Ia membuka laptopnya, bukan untuk mengerjakan tugas administratif
jurusan, melainkan untuk mengetik draf email yang ditujukan ke kontak manajemen
Aini. Kalimat-kalimatnya ia susun dengan formalitas dan tata krama
('unggah-ungguh') Jawa yang halus, sesuai dengan budaya Jogjakarta tempat ia
dibesarkan dan kini mengabdi. Ia memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama,
gelar akademis, serta jabatannya di ISI Yogyakarta, bukan untuk menyombongkan
diri, tetapi sebagai bentuk penjaminan kredibilitas profesional. Dalam email
itu, Satrio mengungkapkan apresiasinya yang tulus terhadap semangat, kerja
keras, dan dampak positif Aini Zhafara pada industri musik dangdut, sebelum
dengan hati-hati mengutarakan observasinya tentang potensi pengembangan vokal
Aini. Ia kemudian menawarkan diri untuk memberikan bimbingan vokal privat
secara intensif, menggunakan metode pengajaran berbasis riset yang ia
kembangkan di ISI, dan—ini bagian terpentingnya—semua itu akan ia berikan tanpa
biaya sama sekali ('gratis', 'tanpa imbalan apapun'). Sebagai penutup, ia
menambahkan kalimat kunci yang menunjukkan fleksibilitas dan rasa hormatnya, "Untuk
jadwal latihan, saya sepenuhnya siap mengikuti ketersediaan waktu dari Mbak
Aini Zhafara."
Setelah mengirimkan email itu dengan perasaan campur aduk antara harapan
dan kecemasan, Satrio tidak bisa diam menunggu. Jiwa akademisnya yang
terstruktur dan antusiasmenya yang meluap mendorongnya untuk segera memulai
persiapan. Akhir pekan (Sabtu dan Ahad) yang biasanya ia gunakan untuk
menyelesaikan pekerjaan jurusan atau riset pribadi, kini ia dedikasikan
sepenuhnya untuk 'Proyek Aini', tak lupa menyisihkan waktu untuk istri dan
anaknya. Di ruang kerjanya di rumah, yang juga berfungsi sebagai studio mini,
ia tenggelam dalam analisis rekaman-rekaman Aini, menggunakan perangkat lunak
analisis spektrum suara untuk memvisualisasikan frekuensi dan formant vokal Aini,
mencoba mendiagnosis akar masalah teknisnya secara lebih akurat. Ia mulai
menyusun kurikulum latihan vokal yang sangat personal untuk Aini, membaginya ke
dalam modul-modul progresif: Modul 1: Fondasi Pernapasan dan Postur; Modul 2:
Intonasi dan Ear Training Dasar; Modul 3: Penempatan Suara dan Resonansi; Modul
4: Artikulasi dan Diksi dalam Lirik Dangdut; Modul 5: Ekspresi dan Interpretasi
Lagu. Setiap modul ia isi dengan latihan-latihan spesifik, mulai dari senam
vokal klasik (seperti metode Vaccai) yang ia adaptasi, hingga latihan
improvisasi melodi dangdut sederhana untuk melatih kelincahan vokal.
Persiapannya begitu detail dan mendalam, setara dengan persiapan mengajar mata
kuliah baru di kampusnya. Dalam semua proses ini, sikap Satrio terhadap Aini selalu
dilandasi rasa hormat yang mendalam, meskipun secara status pendidikan dan
jabatan formal, ia jauh di atas Aini. Ia selalu menyebut Aini sebagai
"Mbak Aini" dalam benaknya maupun dalam draf materi latihannya. Ia
membayangkan dirinya akan bersikap sangat sopan, mungkin sedikit canggung, saat
pertama kali bertemu nanti. Ia sadar betul posisinya sebagai 'pihak yang
menawarkan bantuan', meskipun bantuan itu datang dari seorang doktor dan ketua jurusan yang juga seorang suami dan ayah. Baginya, Aini
adalah sang bintang, sang fenomena, sementara ia hanyalah seorang abdi dalem
seni yang ingin mempersembahkan keahliannya.
Satrio juga sudah mulai memikirkan konsekuensi logistik jika Aini
menerima tawarannya dan meminta jadwal di hari kerja. Sebagai Kajur dan Kaprodi,
jadwalnya sangat padat dengan rapat, mengajar, membimbing mahasiswa, dan urusan
administratif lainnya, belum lagi waktu untuk keluarga. Namun, ia sudah
bertekad bulat. Jika Aini hanya bisa di hari Senin seharian penuh, misalnya,
maka ia akan mengatur ulang seluruh jadwalnya di ISI, dan juga memastikan waktu
untuk keluarganya tetap terjaga. Ia akan mendelegasikan beberapa tugas,
menggeser jadwal rapat, mungkin mengganti jadwal kuliahnya ke hari lain.
Baginya, kesempatan emas untuk 'membentuk' suara Aini Zhafara ini jauh lebih
prioritas daripada rutinitas birokrasi kampus; sebuah pengorbanan yang ia
anggap sepadan demi sebuah misi artistik yang mulia yang juga bisa ia
seimbangkan dengan perannya dalam keluarga.
Email itu telah terkirim. Persiapan awal telah dimulai dengan antusiasme
seorang ilmuwan yang menemukan objek penelitian baru yang menarik. Dr. Satrio Aji Nugroho, sang akademisi musik yang cemerlang, kini
menunggu dengan sabar namun penuh harap. Ia siap mengerahkan seluruh kapasitas
intelektual, pedagogis, dan waktunya yang berharga, sembari tetap menjalankan
tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Ia siap merendahkan egonya sebagai
pejabat kampus demi melayani Aini. Pengabdian total sang guru les privat—yang
kebetulan seorang doktor dan ketua jurusan, sekaligus seorang suami
dan ayah—kini tinggal menunggu lampu hijau dari Aini.
Senin pagi di kediaman pribadi Aini Zhafara di salah satu sudut
perumahan elit Jogjakarta terasa berbeda dari hari-hari lainnya. Jika biasanya
rumah bergaya modern minimalis itu relatif sepi atau hanya diramaikan oleh
asisten rumah tangga dan sepupu yang merangkap manajer tak resminya, maka
setiap hari Senin, ruang tamu luasnya bertransformasi menjadi studio vokal
dadakan. Sofa-sofa mahal digeser sedikit, sebuah keyboard portabel berkualitas
bagus—lengkap dengan stand dan kursi—berdiri di dekat jendela besar, dan di
atas meja kopi tergeletak beberapa lembar kertas berisi notasi musik sederhana
serta sebuah botol air mineral khusus. Aini sendiri biasanya baru muncul
beberapa saat setelah tamu istimewanya tiba, seringkali masih mengenakan piyama
sutra atau daster rumah sambil menyelesaikan sarapan atau membalas komentar di
Instagramnya.
Aini masih ingat betul saat pertama kali membaca email dari Dr. Satrio Aji Nugroho beberapa pekan lalu. Alisnya terangkat
membaca deretan gelar akademis dan jabatan mentereng di ISI Yogyakarta yang
tercantum di bawah nama pengirim. "Doktor? Ketua
Jurusan Musik ISI? Nggak salah nih?" gumamnya saat itu, sedikit terkejut
ada akademisi setinggi itu yang 'memperhatikannya'. Namun, kejutan itu segera
berubah menjadi apresiasi mendalam saat membaca nada surat yang begitu sopan,
penuh pujian, dan puncaknya, menawarkan les vokal privat intensif secara
cuma-cuma. Sebagai perempuan cerdas yang selalu melihat peluang, Aini langsung
menyadari ini adalah kesempatan emas yang datang dari seorang ahli yang tak
perlu diragukan lagi kredibilitasnya—solusi gratis untuk memperbaiki salah satu
kelemahan terbesarnya demi memberikan yang terbaik bagi karier dan
penggemarnya.
Balasan email Aini singkat, lugas, dan langsung ke pokok persoalan. Ia
menerima tawaran itu dengan 'ucapan terima kasih' standar, lalu tanpa basa-basi
langsung menetapkan jadwal yang paling nyaman untuknya: setiap hari Senin, dari
pagi hingga sore, di rumahnya sendiri. Ia sengaja memilih hari Senin sebagai
komitmen penuhnya untuk fokus pada peningkatan diri. Ketika Satrio membalas
dengan cepat, menyatakan kesiapannya tanpa keberatan sedikit pun ("Nggih,
Mbak Aini, siap laksanakan. Saya akan menyesuaikan jadwal di kampus."),
Aini tersenyum, senang mendapatkan dukungan dari seorang profesional
berdedikasi.
Sesi latihan vokal mereka pun dimulai. Setiap Senin pagi, tepat pukul
sembilan, Dr.
Satrio Aji Nugroho akan
tiba di depan gerbang rumah Aini, seringkali datang dengan mobilnya sendiri,
membawa tas berisi materi latihan dan kadang peralatan tambahan. Ia selalu
menyapa satpam dan asisten rumah tangga Aini dengan sopan santun khas Jogja
('monggo', 'nuwun sewu'), lalu menunggu dengan sabar di ruang tamu hingga Aini
siap memulai.
"Sugeng enjang, Mbak Aini. Sampun siap untuk latihan hari
ini?" sapanya dengan nada hormat saat Aini akhirnya muncul, mungkin
sepuluh atau lima belas menit setelah jadwal seharusnya. Aini yang perhatian
dengan komunikasinya, menjawab santai, "Eh, Mas Satrio, udah datang toh?
Ayo lah mulai, tapi bentar ya, aku balas WA penting dulu," sambil
menyelesaikan pesannya, menghargai waktu Satrio namun juga memastikan semua
urusannya tertata.
Awalnya, sesi latihan berjalan alot. Satrio, dengan semangat seorang
pendidik idealis, mencoba menjelaskan konsep-konsep dasar teknik vokal
menggunakan terminologi akademis yang ia kuasai. "Jadi, Mbak Aini, untuk
menghasilkan suara yang bulat dan tidak 'maksa' di nada tinggi, kita perlu
mengoptimalkan penggunaan resonator kepala atau 'head voice', sambil tetap
menjaga koneksi dengan napas diafragma," jelasnya sambil mencoba
mencontohkan. Aini hanya menatapnya dengan dahi berkerut, ekspresi wajahnya
jelas menunjukkan ketidakpahaman total. "Resonator? Head voice? Opo kuwi,
Mas? Aku nggak ngerti istilah ngono kuwi!" sergah Aini, jujur dengan
kesulitannya.
Satrio tampak sedikit kaget dengan reaksi Aini, namun segera mencoba
lagi dengan pendekatan berbeda. "Nggih, Mbak, maksud saya, coba bayangkan
suaranya diarahkan ke langit-langit mulut bagian belakang, terus rasakan ada
getaran halus di sekitar hidung dan dahi," ia mencoba menyederhanakan.
Aini mencoba mengikuti instruksi itu dengan ragu, namun hasilnya masih jauh
dari harapan. Kesenjangan antara latar belakang pendidikan Aini yang hanya SMA
dan pengetahuan teknis Satrio yang setingkat doktor menciptakan tembok komunikasi yang tebal di antara mereka.
Puncaknya terjadi di pekan ketiga latihan. Satrio sedang mencoba
menjelaskan pentingnya 'support' dari otot-otot abdominal untuk menjaga
stabilitas nada panjang. Aini, yang mungkin sedang lelah atau fokus pada detail
lain, gagal paham dan suaranya terus bergetar saat mencoba menahan nada.
"Aduh, susah banget sih, Mas! Nggak bisa aku!" keluh Aini, merasa
frustrasi. "Dari tadi ngomongnya 'support abdominal', 'koneksi napas',
puyeng aku! Udah ah, males! Ganti latihan lain aja!" Suaranya meninggi,
jelas menunjukkan kejujuran perasaannya.
Melihat Aini 'bad mood', Satrio seketika memaklumi. Rasa cemas
muncul—cemas jika Aini kehilangan semangat, takut kehilangan kesempatan
berharga ini untuk membantunya, yang sudah ia perjuangkan di tengah kesibukan
profesional dan pribadi. "Oh, nggih, Mbak Aini, ngapunten sanget, maaf,
maaf," ucapnya tergagap, nada bicaranya semakin merendah penuh pengertian.
"Nggih, leres, mungkin penjelasan saya yang terlalu rumit. Kita ganti
latihan saja, Mbak. Mbak Aini maunya latihan lagu apa hari ini? Monggo..."
Ia langsung mengalah, membuang rencana latihan yang sudah ia siapkan semalaman,
sepenuhnya mengikuti kemauan Aini demi menjaga semangat belajar Aini.
Sejak insiden itu, Satrio berusaha mati-matian untuk menyesuaikan gaya
komunikasinya. Ia hampir sepenuhnya membuang istilah-istilah teknis vokal dari
kosakata mengajarnya. Ia mulai menggunakan analogi-analogi yang sangat
sederhana, kadang terasa kekanak-kanakan, untuk menjelaskan konsep yang rumit.
"Tarik napasnya pakai perut ya, Mbak, kayak lagi niup balon besar,"
atau "Buka mulutnya pas nyanyi nada tinggi, bayangin lagi mangap mau makan
bakso," atau "Suaranya jangan didorong dari leher, Mbak, lemesin aja,
bayangin air ngalir." Aini bisa melihat perjuangan di wajah Satrio saat
mencari padanan kata yang paling mudah ia mengerti, sebuah pemandangan yang
menunjukkan dedikasi sang doktor meskipun ia juga memiliki kesibukan lain.
Selain mengorbankan integritas akademis bahasanya, Satrio juga tak segan
merogoh kocek pribadinya untuk menyediakan peralatan pendukung latihan Aini di
rumah. Keyboard portabel itu adalah miliknya yang ia 'pinjamkan' tanpa batas
waktu. Ia juga membelikan Aini sebuah metronom digital, beberapa buku metode
vokal populer (yang bahasanya lebih awam), bahkan sebuah humidifier kecil untuk
menjaga kelembaban udara di ruang latihan demi kesehatan pita suara Aini. Semua
ia lakukan tanpa diminta, sebagai bagian dari pengabdian totalnya, memastikan
Aini memiliki fasilitas terbaik untuk berlatih kapan pun ia mau demi
meningkatkan kualitas penampilannya bagi penggemar.
Dan ada satu ritual lagi yang selalu terjadi di akhir setiap sesi
latihan hari Senin yang panjang dan melelahkan itu. Saat Satrio bersiap-siap
membereskan peralatannya untuk pulang, Aini dengan tulus berkata, "Mas
Satrio, foto dulu." Satrio, yang mungkin masih merasa sedikit tegang atau
lelah karena harus terus-menerus menyederhanakan penjelasannya, akan seketika
cerah wajahnya. Ia akan buru-buru mengeluarkan ponselnya, mengatur posisi, lalu
berdiri canggung di samping Aini yang memasang senyum standar ke arah kamera.
Bagi Aini, ini adalah cara sederhana menunjukkan apresiasinya dan membagikan
momen belajarnya dengan penggemar setianya. Ia cerdas memanfaatkan platform
media sosial untuk transparansi dan kedekatan dengan mereka yang mendukung
kariernya. Namun bagi Satrio, setiap foto bersama Aini adalah trofi berharga,
bukti nyata kedekatannya dengan Aini, sebuah 'souvenir' yang akan ia pandangi
berulang kali dengan rasa syukur dan bangga, meskipun ia harus menjelaskan
kepada istri dan anaknya mengapa ada foto bersama Aini di ponselnya.
Aini sendiri memandang sesi latihan vokal ini sebagai investasi jangka
panjang yang menguntungkan bagi kariernya dan penggemarnya. Ia mengakui,
meskipun cara menjelaskannya kadang berbelit-belit karena harus disederhanakan,
Satrio memang memiliki ilmu yang tinggi. Perlahan tapi pasti, Aini mulai
merasakan sedikit perubahan pada kontrol napas dan jangkauan nadanya, meskipun
ia fokus pada peningkatan diri daripada sekadar memuji. Ia menahan rasa bosan saat
latihan teknik dasar karena ia tahu, vokal yang lebih baik akan menjadi senjata
ampuh untuk Zhafara Musik nanti, memungkinkan ia memberikan penampilan yang
semakin memukau. Ia memanfaatkan keahlian Dr. Satrio Aji Nugroho semaksimal mungkin, sebagaimana ia
memanfaatkan analisis Arya dan sumber daya Bima, semua demi membangun fondasi
kariernya sendiri dan membahagiakan penggemar. Aini sedang belajar mengasah
salah satu mahkotanya, dengan bantuan seorang abdi dalem yang paling
terpelajar.
Dr. Satrio Aji Nugroho tersenyum puas menatap layar laptopnya di ruang kerjanya yang sunyi di
ISI Yogyakarta. Bukan laporan akreditasi prodi atau draf publikasi jurnal
ilmiah yang membuatnya tersenyum, melainkan sebuah file audio pendek yang baru
saja selesai ia analisis: rekaman latihan vokal Aini Zhafara dari sesi hari
Senin kemarin. Di tengah banyak nada yang masih perlu diperbaiki, ada satu
frasa lagu dangdut melankolis yang dinyanyikan Aini dengan kontrol napas yang
jauh lebih baik dari pekan-pekan sebelumnya, bahkan dengan sentuhan dinamika
lembut yang berhasil ia selipkan. Progres kecil ini, yang mungkin tak akan
terdengar oleh telinga awam, terasa seperti kemenangan besar bagi Satrio,
memvalidasi semua usaha dan keyakinannya dalam membimbing Aini. Ia membuka file
lain, sebuah lembar lajur digital tempat ia secara meticulous mencatat
perkembangan Aini setiap pekannya: parameter intonasi, durasi menahan nada,
kemajuan dalam latihan artikulasi, hingga catatan subjektif tentang tingkat
fokus dan 'mood' Aini selama latihan. Grafik kemajuan vokal Aini mungkin tidak
menanjak secara eksponensial, lebih mirip tanjakan landai yang kadang diselingi
dataran atau bahkan sedikit turunan saat Aini sedang tidak fokus, namun bagi
Satrio, setiap kenaikan kecil adalah bukti nyata potensi luar biasa yang sedang
ia bantu buka demi kesuksesan Aini dan kepuasan penggemarnya. Ia memperlakukan
data perkembangan Aini ini dengan keseriusan seorang peneliti yang sedang
mengamati subjek langka, sebuah dedikasi akademis yang kini sepenuhnya tercurah
untuk Aini.
Tentu saja, prosesnya tidak selalu mulus. Satrio mengingat kembali sesi
latihan hari Senin lalu. Di pertengahan latihan teknik pernapasan diafragma
yang menurut Satrio sangat krusial, Aini tiba-tiba mengungkapkan kejujurannya
akan rasa bosan. "Aduh, Mas, kok latihan napas terus sih? Bosen
banget!" rengek Aini sambil meraih ponselnya yang tergeletak di meja,
mulai asyik menggulir linimasa media sosial. "Aku mau latihan lagu baru
aja deh. Kemarin aku dengar lagu ini enak, coba cariin minus one-nya dong,
Mas."
Satrio menarik napas dalam-dalam, menahan gejolak rasa frustrasi
profesional yang sempat muncul. Ia tahu betul pentingnya latihan dasar yang
repetitif, tetapi ia juga tahu memahami suasana hati Aini akan membuat proses
belajar lebih efektif. "Nggih, Mbak Aini," jawabnya dengan senyum
sabar yang selalu ia usahakan hadir. "Latihan napasnya memang agak
monoton, tapi ini penting sekali lho buat stamina nyanyi Mbak nanti. Tapi
baiklah, kita coba selingi dengan lagu baru ya, biar Mbak Aini semangat lagi.
Judulnya apa, Mbak?" Ia dengan sigap mengalihkan fokus, mengutamakan
kenyamanan dan kemauan Aini demi kelancaran proses belajar yang hasilnya akan
dinikmati penggemar, sambil dalam hati berpikir bagaimana menjelaskan
penggunaan waktunya ini kepada istrinya. Kesabarannya adalah salah satu bentuk
pengabdiannya.
Di akhir sesi latihan hari Senin itu, setelah ritual foto bersama yang
selalu ditunggu-tunggu Satrio, terjadi sesuatu yang baru. Saat Satrio menyimpan
ponselnya setelah memotret, Aini berkata dengan nada santai namun jelas,
"Mas Satrio, fotonya bagus lho yang ini. Nanti tolong di-upload ya di
status WA sama Instagram-nya Mas Satrio." Satrio sedikit terkejut,
mengangkat alisnya. "Oh, nggih, Mbak? Diunggah di medsos saya?" tanyanya
memastikan. Aini mengangguk. "Iya. Biar fansku pada tahu kalau idolanya
ini nggak main-main, serius latihan vokal demi ngasih penampilan terbaik buat
mereka," jelas Aini, membingkai permintaannya dalam narasi apresiasi pada
penggemar dan usahanya untuk mereka.
Jantung Satrio berdegup sedikit lebih kencang. Di satu sisi, ada sedikit
keraguan tentang kepantasan seorang Ketua Jurusan ISI memajang foto (dalam
persepsinya) bersama seorang biduan dangdut di media sosial pribadinya, dan
bagaimana reaksinya di rumah. Namun, di sisi lain, permintaan langsung dari
Aini terasa seperti sebuah kehormatan, sebuah tanda kepercayaan, sekaligus
kesempatan untuk secara terbuka menunjukkan dukungannya pada upaya Aini.
Keraguan itu lenyap seketika, digantikan oleh semangat pelayanan. "Oh,
siap, Mbak Aini! Ide bagus sekali! Pasti nanti saya unggah. Wah, ini bisa jadi
motivasi tambahan juga buat Mbak Aini dan para penggemar," jawabnya
antusias, otaknya sudah mulai memikirkan kalimat caption yang tepat yang
menyoroti dedikasi Aini, dan bagaimana ia akan menjelaskan foto ini kepada
istrinya.
Malamnya, setelah memastikan semua urusan kampus hari itu selesai dan
memastikan anak-istri sudah terurus, Satrio duduk di depan laptopnya, memilih
foto terbaik dari sesi hari Senin itu. Ia menatap foto itu lama: Aini tersenyum
manis ke kamera, sementara dirinya berdiri sedikit kaku di sampingnya dengan
senyum bangga yang sulit disembunyikan. Setelah menimbang beberapa pilihan
kata, ia akhirnya mengetik caption: "Sebuah kehormatan bisa mendampingi
proses belajar Mbak Aini Zhafara @aini_zhafaratoktil yang penuh semangat demi
memberikan yang terbaik bagi penggemar. Dedikasi yang patut diapresiasi. Terus
berkarya! #pengabdianmasyarakat #ISIJogja #vocalcoach
#dangdutberkualitas". Ia menyisipkan tagar institusional dan profesional
untuk memberikan konteks 'aman', lalu menekan tombol 'Bagikan' di Instagram dan
menyalinnya ke status WhatsApp, siap menghadapi pertanyaan di rumah nanti.
Tak butuh waktu lama hingga unggahan itu menimbulkan riak-riak di
lingkungan akademis ISI Yogyakarta. Keesokan harinya, beberapa mahasiswa
bimbingannya bertanya dengan nada penasaran saat sesi konsultasi skripsi.
"Pak Satrio, kemarin lihat postingan Bapak sama Mbak Aini Zhafara. Bapak
sekarang jadi pelatih vokalnya ya, Pak? Keren banget!" ujar salah satu
mahasiswa. Di ruang dosen, seorang kolega senior menghampirinya saat istirahat
makan siang. "Mas Satrio," sapanya ramah namun dengan sorot mata
penuh selidik, "Saya lihat di Instagram kok sekarang akrab sekali dengan
Mbak Aini Zhafara? Ada kolaborasi riset atau program khusus dari jurusan, Mas?
Bagaimana dengan di rumah, Mas?"
Satrio sudah mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan ini dan telah
menyiapkan jawabannya dengan rapi. Kepada mahasiswanya ia menjawab sambil
tersenyum, "Iya, kebetulan saya diminta membantu beliau sedikit-sedikit
dalam upaya beliau meningkatkan kualitas vokal demi kepuasan penggemar. Anggap
saja ini bagian dari pengabdian dosen kepada masyarakat seniman di Jogja."
Kepada kolega seniornya, jawabannya lebih formal dan berlapis argumen akademis,
"Betul, Prof. Ini semacam studi kasus pribadi saya tentang penerapan
teknik vokal klasik pada genre dangdut populer. Sekaligus juga menjajaki
potensi kerja sama pengabdian masyarakat antara Prodi Musik ISI dengan
seniman-seniman lokal potensial seperti Aini di masa depan, yang memiliki
dedikasi tinggi pada penggemarnya." Mengenai pertanyaan pribadi, ia
menjawab singkat namun meyakinkan, "Sejauh ini lancar kok, Prof. Istri dan
anak mendukung kegiatan positif ini." Ia menyampaikan semua itu dengan
tenang dan meyakinkan, menggunakan jargon Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai
tameng rasionalitasnya, sembari menekankan aspek dedikasi Aini pada penggemar
dan dukungannya dari keluarga.
Meskipun ia berhasil meredam keingintahuan di lingkungan kampusnya
dengan argumen logis, dalam hati Satrio tahu bahwa motivasi utamanya jauh lebih
personal—kekaguman pada dedikasi Aini dan keinginannya untuk berkontribusi pada
peningkatan kualitas seniman, yang ia perjuangkan di tengah perannya sebagai
kepala keluarga. Setiap jam yang ia habiskan bersama Aini, setiap kemajuan
kecil yang Aini tunjukkan, setiap foto bersama yang kini rutin ia unggah setiap
pekan untuk mendukung Aini, adalah bagian dari dedikasi totalnya pada Aini dan
misinya membantu Aini memberikan yang terbaik bagi penggemar. Ia bahkan rela
menghabiskan waktu ekstra di akhir pekan tidak hanya untuk menyiapkan materi
latihan berikutnya, tetapi juga untuk membuat catatan-catatan ringkas berisi
tips menjaga kesehatan pita suara atau latihan pemanasan sederhana yang bisa
Aini lakukan sendiri, membagi waktunya dengan hati-hati agar tanggung jawab
pada keluarga tidak terabaikan. Catatan-catatan itu ia ketik rapi, kadang
disertai ilustrasi sederhana, lalu ia kirimkan ke Aini via WhatsApp dengan
pesan sopan, "Sekadar pengingat dan materi tambahan untuk latihan mandiri
ya, Mbak Aini. Semoga bermanfaat. Saya selalu mendukung upaya Mbak Aini
memberikan yang terbaik bagi semua." Balasan dari Aini seringkali singkat
("Oke makasih Mas") atau bahkan hanya centang biru tanda dibaca,
namun Satrio memahami bahwa Aini memiliki cara komunikasinya sendiri dan fokus
pada pesannya. Hal itu tidak pernah menyurutkan semangat Satrio, karena
baginya, proses memberi dan melayani ini, yang berkontribusi pada peningkatan
kualitas Aini demi penggemar, sudah merupakan kebahagiaan tersendiri, sebuah
kebahagiaan yang ia bagi juga dengan keluarganya.
Keyakinannya pada potensi Aini Zhafara tak tergoyahkan. Ia melihat
melampaui sikap Aini yang kadang tampak santai; ia melihat kilau bintang yang
hanya perlu diasah lagi agar bersinar lebih terang dan memberikan kebahagiaan
lebih besar bagi penggemar setianya. Ia percaya, suatu hari nanti, Aini akan
membuktikan kepada dunia (dan mungkin kepada para koleganya yang skeptis) bahwa
ia bukan hanya pemilik goyang uleghh uleghh yang ikonik, tetapi juga memiliki
vokal yang mumpuni, dan Satrio bangga menjadi bagian penting di balik
transformasi itu, didukung oleh keluarga di sisinya.
Satrio menatap kembali foto Aini di ponselnya sebelum mematikan lampu
ruang kerjanya malam itu. Ia merasa lelah setelah seharian penuh mengajar dan
mengurus administrasi jurusan, namun hatinya dipenuhi rasa puas dan tujuan yang
jelas. Ia adalah seorang abdi dalem seni di era modern, seorang pengabdi total
yang menggunakan seluruh ilmu dan jabatannya demi kejayaan Aini dan kebahagiaan
penggemarnya, tanpa melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah.
Setiap tantangan, setiap pengorbanan, setiap keraguan dari luar, hanya akan
semakin memperkuat tekadnya. Dedikasinya tak terbatas, selama Aini masih
membutuhkan dukungannya dalam berkarya untuk penggemar dan selama ia mampu
menyeimbangkan perannya dalam hidup.