Episode 12 — Di Balik Senyum Penghormatan

 

Dunia malam, panggung yang tak pernah sepenuhnya gelap, adalah rimba yang kejam sekaligus memesona, dipandu oleh aturan tak tertulis tentang popularitas dan nilai komersial. Aturan ini terwujud paling nyata di atas kertas-kertas mengkilap: poster promosi. Ukuran foto di sana bukan sekadar estetika; ia adalah cermin status, yang memengaruhi segalanya, termasuk cara para penampil saling berinteraksi di belakang layar, bahkan keyakinan terdalam mereka. Dan di banyak cermin kertas itu, satu wajah selalu paling dominan: Aini Zhafara. Ia adalah bintang utama yang terbukti mampu memenuhi ruangan pertunjukan hingga padat, seperti lautan manusia yang memenuhi area di depan panggung besar yang gemerlap cahaya, semua mata tertuju pada pusat sorotan di mana Aini akan tampil, menerima sorak-sorai dan saweran.

Di sebuah tempat yang gemerlap, sebuah acara diselenggarakan. Posternya mencolok, dengan Aini Zhafara di tengah, fotonya begitu besar seolah menyedot semua perhatian, janji akan keramaian yang nyata. Di bawahnya, barisan foto-foto lain berukuran jauh lebih kecil: Puput Butar, Sinta Farasya, Inung Lesiana, Vania Janesa, Devi Petra, Afillia Fathia, Nia Christy. Di bagian terbawah, nama MC Black dan Robbin Bara tercantum tanpa foto.

Ketika Aini Zhafara tiba di ruang ganti—ruangannya sendiri, nyaman, dengan bunga segar dan permintaan khusus terpenuhi—suasana di ruang ganti umum penampil lain seketika berubah. Semua penampil perempuan yang sedang merapikan diri atau berbincang langsung berdiri tegak, terdiam sesaat. Mereka berbaris rapi, ponsel sudah siap merekam, siap menangkap momen berharga bersama sang bintang.

Aini Zhafara melangkah masuk, Bayu, asisten pribadinya yang bertubuh tegap, melangkah sigap di sebelah kirinya, membawakan tas dan beberapa barang penting. Aini merasakan gelombang perhatian dan penghormatan yang selalu menyertainya. Ia melihat ponsel-ponsel yang diarahkan kepadanya, senyum-senyum antusias, dan kilatan mata yang penuh harap. "Beginilah rasanya di posisi ini," pikirnya dalam hati Aini Zhafara, menerima penghormatan itu sebagai bagian dari paket lengkap status bintangnya, yang memberinya fee besar—sering kali lebih besar dari total honor semua penampil lain—durasi tampil singkat, dan fasilitas mewah karena kemampuannya menarik lautan penonton dan jutaan viewer di media sosial (YouTube, TikTok, Instagram), serta menarik atensi media online. Ia merasa puas, ini adalah buah dari kerja kerasnya. Namun, ia juga merasakan beban dan kadang sedikit lelah karena terus-menerus menjadi objek sorotan, bahkan di belakang panggung.

Puput Butar, berdiri di barisan depan, mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Mbak Aini, sehat? Lancar ya nanti penampilannya, pasti pecah kayak biasanya!" sapanya dengan senyum paling manis, diiringi rasa hormat yang tulus di satu sisi, dan kesadaran di sisi lain bahwa momen ini adalah emas untuk konten media sosialnya. "Foto bareng ya, Mbak? Live bentar ya, Mbak?" pintanya kemudian, sudah membayangkan judul "Sepanggung dengan Bintang" di live TikTok-nya, berharap sebagian viewer Aini akan mampir ke akunnya.

Sinta Farasya juga menyalami Aini dengan takzim. "Semoga lancar ya, Mbak, kami banyak belajar dari Mbak," ucapnya penuh harap dalam hati Sinta Farasya, ia tulus mengagumi bakat Aini dan melihat ini sebagai ajang untuk belajar. Begitu salam selesai, ia segera mendekat lagi sambil pura-pura merapikan baju atau ponsel, diam-diam mengaktifkan live Instagram, mencoba masuk ke dalam frame Aini, berharap mendapatkan sedikit kilauan popularitas Aini yang terpancar dari foto besarnya di poster dan angka-angka fantastis di media sosialnya.

Inung Lesiana ikut berdiri dan menyalami. "Senang bisa sepanggung sama Mbak Aini, dapat berkahnya," ujarnya, menggunakan kata "berkah" yang umum diucapkan dalam industri ini, mencerminkan harapan akan ketularan rezeki, popularitas, atau bahkan kekuatan magis dari sang bintang, yang value-nya begitu tinggi di mata penyelenggara. Ia pun tak ketinggalan meminta foto bersama Aini, mengunggahnya dengan caption penuh puja-puji demi konten yang menarik banyak perhatian.

Vania Janesa menunjukkan rasa hormat yang jelas. "Permisi, Mbak, semoga sukses ya penampilannya yang ditunggu banyak orang!" ujarnya pelan. Ia tahu, di industri ini, penting untuk menjaga hubungan baik dengan mereka yang berada di puncak, dan popularitas Aini membuatnya menjadi figur yang dihormati oleh semua pihak, termasuk media. Meskipun terkadang ia merasa jengkel melihat perbedaan perlakuan dan fee yang jomplang, ia tetap profesional, dan ya, ia pun ikut mengantre untuk foto bersama Aini demi update di feed Instagram-nya, sadar itu adalah cara cepat mendapatkan likes dan viewer.

Devi Petra, setelah bersalaman dan memuji penampilan Aini di panggung-panggung sebelumnya, dengan sedikit gugup mengajukan permohonan yang sudah lama dipikirkannya. "Mbak Aini, kostum yang tadi Mbak pakai... yang motif macan itu... boleh saya minta, Mbak?" bisiknya pelan, matanya memancarkan harapan dan sedikit keyakinan magis yang terinspirasi dari kepercayaan umum akan "berkah" bintang. "Mungkin ada berkahnya, Mbak. Siapa tahu ketularan lancar dan laris seperti Mbak Aini," ia menambahkan, memuji-muji Aini setinggi langit, berharap permohonannya dikabulkan.

Aini Zhafara sedikit terkejut, lalu tersenyum. Permintaan seperti ini bukan yang pertama kali diterimanya, permintaan akan barang bekas darinya sebagai "berkah" sudah sering terjadi karena statusnya sebagai bintang yang mendatangkan banyak value komersial. "Oh, yang itu? Boleh saja," ujar Aini Zhafara dengan sukarela, merasa sedikit geli tapi juga terbiasa dengan cara orang lain melihat kesuksesannya. "Tapi masih basah lho ya, habis dipakai tadi," ia memperingatkan sambil tertawa kecil, meminta asistennya mengambil kostum tersebut, sadar bahwa bagi sebagian orang, keringatnya pun dianggap mengandung keberuntungan atau "berkah".

Afillia Fathia, meskipun di dalam hati merasa sedikit iri melihat betapa mudahnya Aini mendapatkan segalanya, fee tinggi, fasilitas mewah, dan permintaan "berkah" pun datang kepadanya, tetap menunjukkan sikap hormat. Ia menyalami Aini dengan sopan, meskipun kata-kata yang keluar sedikit kaku. Di balik senyumnya, ada keinginan untuk bisa menyaingi Aini, tapi ia tahu menghormati Aini adalah keharusan demi kelancaran di industri ini. Ia pun tak ragu meminta foto bersama, meskipun ada sedikit rasa pahit melakukannya, karena tahu itu adalah "harga" untuk mendapatkan sedikit sorotan di media sosialnya yang bisa meningkatkan value komersialnya.

Nia Christy, dengan tulus atau tidak, ikut dalam barisan penyambut. "Cantik sekali, Mbak Aini malam ini, auranya beda! Pasti penonton histeris nanti!" pujinya, tahu bahwa pujian adalah cara mudah untuk menciptakan kesan baik dan membuka jalan untuk hal lain. Ia pun, seperti yang lain, mengambil foto bersama Aini, mengunggahnya ke story WhatsApp dan Instagram, berharap teman-teman dan followernya tahu ia "sepanggung" dengan bintang besar dan mungkin mendapatkan followers baru, demi meningkatkan value dan branding dirinya.

MC Black dan Robbin Bara, para pria di daftar nama bawah, menyambut Aini dengan sapaan profesional yang lebih kasual, tanpa ritual baris-berbaris atau permintaan foto ramai-ramai untuk konten media sosial, karena dinamika peran mereka di panggung dan di mata audiens berbeda. Tugas mereka lebih fokus pada jalannya acara atau musik, dan popularitas mereka tidak diukur dengan cara yang sama, meskipun mereka sadar value Aini jauh di atas mereka karena daya tariknya pada audiens, termasuk atensi dari penonton laki-laki yang memberikan saweran.

Setelah semua keramaian backstage mereda, Aini Zhafara duduk di sofa di ruang gantinya. Bayu berdiri patuh di dekat Aini, siap jika dijadikan pendengar curahan hati. Aini menghela napas, memijat pelipisnya pelan. "Be," panggil Aini Zhafara. Bayu segera mendekat, berdiri menunduk. "Lelah juga ya, Be. Semua orang ingin sesuatu," bisiknya Aini Zhafara, bukan keluhan, lebih pada pengamatan. "Ada yang ingin foto, ada yang live, ada yang minta kostum bekas. Mereka pikir itu cara cepat dapat 'berkah'. Mungkin memang iya, ya?" ia tersenyum kecil, senyum yang menyimpan kelelahan sekaligus pemahaman. "Mereka melihat poster besar itu, mereka melihat keramaian di depan, saweran itu... dan mereka ingin bagian dari itu."

Bayu hanya mengangguk pelan, mendengarkan dengan setia. "Itu tandanya Mbak Aini memang luar biasa, banyak yang ingin ketularan sukses," ujar Bayu pelan, mencoba menghibur. Aini tersenyum lagi, senyum itu tidak sepenuhnya sampai ke mata. "Mungkin, Be. Tapi kadang, rasanya cuma... komoditas," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, sebuah bisik rahasia di antara gemerlap panggung dan hiruk-pikuk popularitas. Bayu tetap terdiam, setia mendengarkan, kehadirannya saja sudah cukup bagi Aini.

Di panggung perayaan sebuah acara lain, poster berwarna gelap dan elegan kembali menempatkan Aini Zhafara paling menonjol, mencerminkan value tingginya di mata penyelenggara dan pasar. Di bawahnya, Kharisma Beva, Dewi Calista, Ayu Linda, Lytha Yolanda tampil dalam foto-foto yang lebih kecil. MC Galaga di bagian bawah nama. Saat Aini tiba, skenario penyambutan penuh hormat, meskipun bercampur motif dan strategi media sosial, terulang.

Aini Zhafara melangkah masuk, Bayu di sisinya, membawa barang-barang Aini. Ia disambut pandangan hormat, senyum manis, dan ponsel-ponsel yang siap merekam. "Mereka menghargaiku dan apa yang bisa kubawa, value yang kuwakili, keramaian yang kujanjikan," pikirnya Aini Zhafara, merasakan kepuasan atas pengakuan yang begitu terlihat, hasil dari fee besarnya yang jauh di atas total honor penampil lain, durasi tampil singkat, dan fasilitas mewah karena popularitasnya yang membuat posternya besar dan menarik penonton, viewer online, dan atensi media. Ia membalas sapaan mereka, sudah terbiasa dengan permintaan foto dan ponsel yang merekam untuk live streaming. Ia tahu, ini adalah cara mereka menumpang popularitasnya, cara mereka mencoba mengambil bagian dari "berkah" atau exposure yang melingkupinya, dan baginya, itu adalah konsekuensi tak terhindarkan dari statusnya sebagai bintang yang dicari banyak orang, yang bahkan mendapat saweran langsung dari penonton yang naik ke panggung.

Kharisma Beva, dengan senyum profesional yang tulus di permukaan, menyalami Aini. "Apa kabar, Mbak? Lancar rezekinya ya," tanyanya, diiringi rasa lelah di dalam hati dengan ritual ini dan disparitas perlakuan. Ia tahu dirinya berbakat, tapi value-nya diukur berbeda di era digital. Ia tetap meminta foto bersama Aini, sadar itu cara efektif meningkatkan engagement dan menunjukkan kepada followersnya bahwa ia bergaul dengan bintang, bagian dari strategi untuk meningkatkan value-nya sendiri.

Dewi Calista, dengan mata berbinar, menyalami Aini. "Idolaku datang! Mau foto lagi ya, Mbak! Live bentar ya, Mbak! Penonton di rumah sudah nunggu Mbak Aini!" serunya, antusiasme bercampur dengan motif untuk membuat Aini terkesan dan mudah diajak foto bersama untuk konten media sosial. Ia segera meminta selfie, berpose paling dekat dengan Aini, dan langsung melakukan live TikTok, dengan judul "Bareng Mbak Aini Zhafara di Backstage!", berharap ratusan viewer Aini akan melihatnya dan ikut mengikutinya, menambah jumlah followersnya dan value digitalnya.

Ayu Linda juga menghormati Aini. Ia menyalami dengan sopan. Di dalam hati, ia mengagumi value Aini yang begitu tinggi di mata penyelenggara, yang berasal dari popularitasnya yang masif dan terukur dari angka. Ia pun tak mau ketinggalan, segera meminta foto bersama, berpikir, "Ini modal buat postingan besok," sadar bahwa foto dengan Aini adalah content berharga untuk meningkatkan eksposurnya di media sosial, cermin dari usaha menaikkan value diri.

Lytha Yolanda, meskipun mungkin ada sedikit rasa cemburu melihat fee besar Aini, durasi tampil singkat, dan fasilitas mewahnya, tetap menunjukkan sikap manis. Ia menyalami dengan ramah dan meminta foto bersama Aini, karena tahu followersnya akan senang melihat ia berinteraksi dengan bintang populer, berharap sebagian popularitas Aini bisa menular padanya, menambah "berkah" pada akun dan engagement-nya.

MC Galaga menyambut Aini dengan sapaan host yang hangat dan profesional, tanpa ritual formal seperti para penyanyi perempuan. Perannya adalah memandu acara dan menjaga interaksi dengan penonton, bukan bersaing popularitas visual di poster atau mencari "berkah" melalui foto bersama, meskipun ia sadar ia hanya nama di poster sementara Aini adalah wajah utama.

Setelah selesai tampil dan kembali ke ruang ganti pribadinya, Aini duduk, Bayu berdiri di dekatnya, diam, menunggu jika dibutuhkan. Aini meraih botol minum. "Be," panggil Aini Zhafara, suaranya sedikit serak. "Setiap acara begini ya, orang-orang itu... seperti mencari sesuatu," bisiknya Aini Zhafara, memikirkan kembali kilatan ponsel dan senyum-senyum penuh harap tadi. "Mereka ingin fotoku, mereka ingin live bersamaku. Mungkin memang mereka dapat sesuatu ya? Dapat viewer baru, dapat perhatian."

Bayu mengangguk pelan. "Iya, Mbak Aini. Nama Mbak Aini kan sudah besar sekali," ujar Bayu, dengan nada hormat. Aini tersenyum kecil. "Besar di poster, besar di angka media sosial," gumamnya, lebih pada diri sendiri. "Kadang, rasanya seperti... aku ini jimat," bisiknya, sebuah pengakuan yang hanya didengar oleh Bayu, asisten setianya yang selalu ada di sisinya, membawa barangnya, berdiri dekat di belakang panggung, siap berlutut jika diperintah, menyaksikan langsung perbedaan perlakuan yang diterima Aini.

Di sebuah panggung dengan nuansa tertentu, poster acara menampilkan Aini Zhafara sebagai titik pusat, gambar terbesar, mencerminkan value komersialnya yang tinggi di mata penyelenggara yang tahu ia mampu menarik keramaian dan saweran. Di sekelilingnya foto-foto kecil penampil lain, dengan nama musik pengiring dan nama-nama lain di bagian bawah. Saat Aini tiba, kembali, para penampil perempuan berfoto kecil menunjukkan sikap hormat yang serupa, berdiri menyambut dan berebut momen untuk berfoto atau merekam untuk media sosial.

Aini Zhafara memasuki ruang ganti, disambut pandangan hormat para penampil lain yang fotonya lebih kecil. "Mereka menghargaiku dan apa yang kuwakili dalam industri ini," pikirnya Aini Zhafara, menerima penghormatan itu sebagai validasi value-nya yang tinggi diukur dari angka viewer, atensi media, fee besarnya, dan kemampuannya menarik penonton, termasuk perhatian penonton laki-laki yang memberikan saweran. Ia membalas sapaan dan senyum mereka, sudah terbiasa dengan ritual foto bersama dan ponsel yang tiba-tiba merekam untuk live media sosial. Ia melihat mereka merekam penampilannya dari sudut panggung, tahu itu untuk konten mereka. Baginya, itu adalah bagian tak terpisahkan dari statusnya, bukti bahwa popularitasnya memberikan dampak nyata pada orang lain.

Salah satu penampil wanita dengan foto kecil menyalami Aini dengan sopan. Di dalam hati, ia berharap suatu saat gambarnya juga bisa sebesar Aini, mendapatkan fee tinggi, durasi tampil singkat, dan perhatian media. Ia pun meminta foto bersama, berpikir, "Ini cara cepat dapat likes dan followers, modal naikkin value," sadar bahwa menempel pada popularitas Aini adalah strategi untuk meningkatkan branding dirinya dan value komersialnya di mata penyelenggara, berharap "berkah" popularitas Aini bisa menular.

Penampil wanita lain dengan foto kecil juga menunjukkan sikap serupa. Hormat di permukaan, namun di dalam hati ada keinginan kuat untuk bisa mencapai posisi Aini, mendapatkan value yang tinggi yang tercermin dari ukuran foto di poster, fee yang didapat, dan perhatian media serta penonton yang berujung pada saweran. Mereka pun tak ragu meminta foto bersama Aini demi konten media sosial mereka, bahkan merekam penampilannya untuk live streaming meskipun isinya hanya Aini, karena tahu viewer akan datang demi melihat Aini.

Para musisi dari musik pengiring dan individu lain yang namanya tercantum di bagian bawah fokus pada peran teknis atau musik mereka, menyambut Aini dengan sapaan profesional yang lebih netral, karena fokus utama mereka bukan pada popularitas individu atau konten media sosial seperti para penyanyi.

Setelah acara usai, di dalam mobil yang melaju membelah malam, Aini bersandar lelah di joknya. Bayu menyetir dengan tenang. "Be," Aini memulai, suaranya pelan. "Tadi di belakang, mereka merekam terus ya?" tanya Aini Zhafara, mengingat ponsel-ponsel yang tak henti mengarah padanya. "Bahkan pas aku nyanyi di panggung, ada yang live dari pinggir."

Bayu melirik dari kaca spion. "Iya, Mbak Aini. Mereka semua kan ingin dapat viewer dari Mbak Aini," jawab Bayu jujur, memahami cara kerja media sosial di industri ini.

Aini menghela napas. "Dikiranya gampang ya? Cuma nempelin muka di live streaming orang langsung dapat banyak follower," bisiknya, ada sedikit kejengkelan, namun lebih pada penerimaan. "Ya sudahlah. Mungkin memang begitu caranya sekarang." Ia memejamkan mata. "Lelah juga ya, Be. Jadi 'konten' terus begini." Bayu tetap fokus menyetir, memberikan ruang privasi bagi Aini, hanya setia menemani kelelahan sang bintang.

Terakhir, di sebuah lounge yang hidup, poster berwarna ungu mempromosikan acara. Aini Zhafara paling atas, terbesar, mencerminkan value komersialnya yang tinggi dan kemampuannya menarik keramaian dan saweran. Diikuti foto Zuci Hermosa yang lebih kecil, dan daftar panjang nama di bawah. Saat Aini tiba, para penampil perempuan yang hadir menunjukkan sikap hormat yang sama, berdiri menyambut kedatangan sang bintang utama, ponsel siap merekam.

Aini Zhafara memasuki lounge, disambut senyum dan sapaan hormat dari penampil lain, terutama Zuci Hermosa. Bayu tetap di sisinya. "Di sini aku merasa lebih santai, tapi tetap dihormati dan dicari," pikirnya Aini Zhafara, menghargai suasana intim yang memungkinkan interaksi lebih dekat dengan penonton, sementara tetap mendapatkan value tinggi, fee besar, dan fasilitas premium karena kemampuannya menarik keramaian nyata dan virtual, serta atensi media. Ia tahu, sikap hormat dan permintaan foto/rekaman dari penampil lain adalah cara mereka untuk mendapatkan sorotan dari followers-nya yang jutaan, dan ia menerima itu sebagai bagian dari 'harga' ketenarannya di era di mana popularitas digital adalah mata uang utama yang diterjemahkan menjadi value komersial, bahkan sampai ada yang memberikan saweran di atas panggung.

Zuci Hermosa, yang fotonya juga ditampilkan lebih kecil, menyalami Aini dengan ramah. "Mbak Aini, akhirnya datang! Mau foto ya, Mbak! Live bentar ya, Mbak! Penonton di rumah sudah nunggu Mbak Aini!" serunya, mungkin ada sedikit ketulusan bercampur motif profesional dan keyakinan akan "berkah". Di dalam hati, ia tahu Aini adalah magnet acara, mendapatkan fee jauh lebih tinggi, durasi tampil singkat, dan fasilitas lebih baik karena popularitas digitalnya yang masif. Ia pun tak melewatkan kesempatan berfoto bersama, langsung melakukan live Instagram, dengan judul "Di BM Lounge Bareng Superstar Aini Zhafara!", berharap mendapatkan limpahan viewer dan follower dari Aini, meningkatkan value dirinya.

Agus Surya, sang DJ, dan MC Subo, serta nama-nama lain di daftar bawah menjalankan peran mereka masing-masing, menyambut Aini dengan sapaan khas profesi mereka, fokus pada peran mereka sebagai pendukung acara, tidak terlibat dalam ritual meminta foto untuk konten media sosial seperti para penyanyi perempuan, meskipun mereka sadar value Aini di mata audiens dan penyelenggara jauh di atas mereka, terbukti dari keramaian dan saweran.

Setelah penampilan malam itu usai, Aini kembali ke mobilnya. Bayu sudah menunggu di depan pintu lounge. Saat mobil mulai berjalan, Aini menghela napas panjang. "Be," panggilnya pelan. "Rasanya seperti... aku ini barang pameran ya?" bisik Aini Zhafara, nada suaranya lelah namun introspektif. "Semua orang ingin menempel, mengambil foto, live streaming. Bukan karena interaksi, tapi cuma karena... aku ada di situ."

Bayu mendengarkan dengan saksama. "Mereka kan ingin dapat untung juga dari popularitas Mbak Aini," ujar Bayu, lugas.

"Ya, aku tahu," Aini mengangguk. "Tapi kadang, lelah saja. Senyum terus, siap difoto terus. Bahkan pas lagi minum atau pegang ponsel, tiba-tiba ada yang live dari belakang," ia mengingat lagi kejadian-kejadian tadi. "Rasanya seperti tidak punya ruang pribadi, ya?" Ia menatap ke luar jendela mobil yang gelap. "Inikah harganya, Be? Harga dari foto besar di poster itu?" Bayu tidak menjawab, hanya menggenggam erat kemudi, setia menemani Aini dalam kesendiriannya di tengah keramaian popularitas.

Beberapa waktu kemudian, di sebuah event yang berbeda, di kota lain, di mana Aini Zhafara tidak dijadwalkan tampil, Devi Petra bersiap naik panggung. Ia mematut diri di depan cermin ruang ganti yang sederhana. Di tubuhnya, melekat pas kostum yang pernah dikenakan Aini Zhafara: atasan hitam dan rok mini motif hewan. Kostum itu tidak wangi sabun, masih samar tercium aroma keringat dari pemilik lamanya, aroma "berkah" yang ia yakini.

Devi Petra tersenyum lebar melihat pantulan dirinya. Ia sengaja tidak mencuci kostum itu sejak Aini memberikannya, karena percaya keringat bintang besar itu mengandung kekuatan magis yang bisa menular, membawa keberuntungan dan popularitas. "Ini berkahnya Mbak Aini," bisiknya gembira dalam hati Devi Petra. Ia yakin, keringat bintang besar itu, sisa energinya di panggung, mengandung semacam kekuatan magis yang bisa menular, membawa value dan kemampuannya menarik perhatian seperti Aini yang mampu mengisi venue hingga padat dan mendapat saweran.

Devi Petra merasa percaya diri luar biasa malam itu, mengenakan kostum yang pernah bersentuhan langsung dengan tubuh bintang paling terang di panggung-panggung yang biasa ia jejaki, bintang yang mampu menarik ribuan penonton dan jutaan viewer. Ia naik ke panggung dengan senyum mengembang, yakin "berkah" itu menyertainya, seolah sebagian dari aura bintang Aini Zhafara kini melingkupinya, siap membantunya bersinar, meskipun hanya untuk malam ini, di event yang tidak dihadiri sang bintang utama itu sendiri. Ukuran fotonya di poster mungkin masih kecil, honornya standar, tapi malam ini, ia merasa istimewa, berkat selembar kain penuh keringat dari seorang superstar, simbol harapan akan "ketularan" popularitas dan value yang tinggi di industri ini.

Di balik kertas mengkilap itu, terhampar kisah tentang sebuah industri di mana popularitas visual dan digital, tercermin dalam ukuran foto di poster dan angka di media sosial, sering kali menentukan harga, perlakuan, dan posisi. Poster adalah manifestasi visualnya, dan interaksi di belakang panggung menunjukkan betapa kuatnya pengaruh status dan keyakinan pada popularitas dalam membentuk perilaku dan impian para seniman. Dari permintaan hormat dan foto demi konten hingga harapan akan "berkah" dari sehelai kostum, semua adalah bagian dari realita panggung yang gemerlap namun penuh perhitungan, di mana setiap penampil, dalam porsi masing-masing, berjuang untuk bersinar di bawah lampu sorot yang paling terang, seperti Aini Zhafara, sang bintang yang fotonya paling besar, yang memegang berkah, sekaligus menanggung beban sendirian di puncak.