Dunia malam,
panggung yang tak pernah sepenuhnya gelap, adalah rimba yang kejam sekaligus
memesona, dipandu oleh aturan tak tertulis tentang popularitas dan nilai
komersial. Aturan ini terwujud paling nyata di atas kertas-kertas mengkilap:
poster promosi. Ukuran foto di sana bukan sekadar estetika; ia adalah cermin
status, yang memengaruhi segalanya, termasuk cara para penampil saling
berinteraksi di belakang layar, bahkan keyakinan terdalam mereka. Dan di banyak
cermin kertas itu, satu wajah selalu paling dominan: Aini Zhafara. Ia adalah
bintang utama yang terbukti mampu memenuhi ruangan pertunjukan hingga padat, seperti
lautan manusia yang memenuhi area di depan panggung besar yang gemerlap cahaya,
semua mata tertuju pada pusat sorotan di mana Aini akan tampil, menerima
sorak-sorai dan saweran.
Di sebuah
tempat yang gemerlap, sebuah acara diselenggarakan. Posternya mencolok, dengan
Aini Zhafara di tengah, fotonya begitu besar seolah menyedot semua perhatian,
janji akan keramaian yang nyata. Di bawahnya, barisan foto-foto lain berukuran
jauh lebih kecil: Puput Butar, Sinta Farasya, Inung Lesiana, Vania Janesa, Devi
Petra, Afillia Fathia, Nia Christy. Di bagian terbawah, nama MC Black dan
Robbin Bara tercantum tanpa foto.
Ketika Aini
Zhafara tiba di ruang ganti—ruangannya sendiri, nyaman, dengan bunga segar dan
permintaan khusus terpenuhi—suasana di ruang ganti umum penampil lain seketika
berubah. Semua penampil perempuan yang sedang merapikan diri atau berbincang
langsung berdiri tegak, terdiam sesaat. Mereka berbaris rapi, ponsel sudah siap
merekam, siap menangkap momen berharga bersama sang bintang.
Aini Zhafara
melangkah masuk, Bayu, asisten pribadinya yang bertubuh tegap, melangkah sigap
di sebelah kirinya, membawakan tas dan beberapa barang penting. Aini merasakan
gelombang perhatian dan penghormatan yang selalu menyertainya. Ia melihat
ponsel-ponsel yang diarahkan kepadanya, senyum-senyum antusias, dan kilatan
mata yang penuh harap. "Beginilah rasanya di posisi ini," pikirnya
dalam hati Aini Zhafara, menerima penghormatan itu sebagai bagian dari paket
lengkap status bintangnya, yang memberinya fee besar—sering
kali lebih besar dari total honor semua penampil lain—durasi tampil singkat,
dan fasilitas mewah karena kemampuannya menarik lautan penonton dan jutaan viewer di media sosial (YouTube, TikTok, Instagram),
serta menarik atensi media online. Ia merasa puas, ini adalah buah dari kerja
kerasnya. Namun, ia juga merasakan beban dan kadang sedikit lelah karena
terus-menerus menjadi objek sorotan, bahkan di belakang panggung.
Puput Butar,
berdiri di barisan depan, mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Mbak Aini,
sehat? Lancar ya nanti penampilannya, pasti pecah kayak biasanya!" sapanya
dengan senyum paling manis, diiringi rasa hormat yang tulus di satu sisi, dan
kesadaran di sisi lain bahwa momen ini adalah emas untuk konten media
sosialnya. "Foto bareng ya, Mbak? Live bentar ya, Mbak?" pintanya
kemudian, sudah membayangkan judul "Sepanggung dengan Bintang" di live TikTok-nya, berharap sebagian viewer Aini akan mampir ke akunnya.
Sinta Farasya
juga menyalami Aini dengan takzim. "Semoga lancar ya, Mbak, kami banyak
belajar dari Mbak," ucapnya penuh harap dalam hati Sinta Farasya, ia tulus
mengagumi bakat Aini dan melihat ini sebagai ajang untuk belajar. Begitu salam
selesai, ia segera mendekat lagi sambil pura-pura merapikan baju atau ponsel,
diam-diam mengaktifkan live Instagram, mencoba masuk ke
dalam frame Aini, berharap mendapatkan sedikit kilauan
popularitas Aini yang terpancar dari foto besarnya di poster dan angka-angka
fantastis di media sosialnya.
Inung Lesiana
ikut berdiri dan menyalami. "Senang bisa sepanggung sama Mbak Aini, dapat
berkahnya," ujarnya, menggunakan kata "berkah" yang umum
diucapkan dalam industri ini, mencerminkan harapan akan ketularan rezeki,
popularitas, atau bahkan kekuatan magis dari sang bintang, yang value-nya begitu tinggi di mata penyelenggara. Ia pun
tak ketinggalan meminta foto bersama Aini, mengunggahnya dengan caption penuh puja-puji demi konten yang menarik banyak
perhatian.
Vania Janesa
menunjukkan rasa hormat yang jelas. "Permisi, Mbak, semoga sukses ya
penampilannya yang ditunggu banyak orang!" ujarnya pelan. Ia tahu, di
industri ini, penting untuk menjaga hubungan baik dengan mereka yang berada di
puncak, dan popularitas Aini membuatnya menjadi figur yang dihormati oleh semua
pihak, termasuk media. Meskipun terkadang ia merasa jengkel melihat perbedaan
perlakuan dan fee yang jomplang, ia tetap profesional, dan ya, ia pun
ikut mengantre untuk foto bersama Aini demi update di feed Instagram-nya, sadar itu adalah cara cepat
mendapatkan likes dan viewer.
Devi Petra,
setelah bersalaman dan memuji penampilan Aini di panggung-panggung sebelumnya,
dengan sedikit gugup mengajukan permohonan yang sudah lama dipikirkannya.
"Mbak Aini, kostum yang tadi Mbak pakai... yang motif macan itu... boleh
saya minta, Mbak?" bisiknya pelan, matanya memancarkan harapan dan sedikit
keyakinan magis yang terinspirasi dari kepercayaan umum akan "berkah"
bintang. "Mungkin ada berkahnya, Mbak. Siapa tahu ketularan lancar dan
laris seperti Mbak Aini," ia menambahkan, memuji-muji Aini setinggi
langit, berharap permohonannya dikabulkan.
Aini Zhafara
sedikit terkejut, lalu tersenyum. Permintaan seperti ini bukan yang pertama
kali diterimanya, permintaan akan barang bekas darinya sebagai
"berkah" sudah sering terjadi karena statusnya sebagai bintang yang
mendatangkan banyak value komersial. "Oh, yang
itu? Boleh saja," ujar Aini Zhafara dengan sukarela, merasa sedikit geli
tapi juga terbiasa dengan cara orang lain melihat kesuksesannya. "Tapi
masih basah lho ya, habis dipakai tadi," ia memperingatkan sambil tertawa
kecil, meminta asistennya mengambil kostum tersebut, sadar bahwa bagi sebagian
orang, keringatnya pun dianggap mengandung keberuntungan atau "berkah".
Afillia
Fathia, meskipun di dalam hati merasa sedikit iri melihat betapa mudahnya Aini
mendapatkan segalanya, fee tinggi, fasilitas mewah, dan
permintaan "berkah" pun datang kepadanya, tetap menunjukkan sikap
hormat. Ia menyalami Aini dengan sopan, meskipun kata-kata yang keluar sedikit
kaku. Di balik senyumnya, ada keinginan untuk bisa menyaingi Aini, tapi ia tahu
menghormati Aini adalah keharusan demi kelancaran di industri ini. Ia pun tak
ragu meminta foto bersama, meskipun ada sedikit rasa pahit melakukannya, karena
tahu itu adalah "harga" untuk mendapatkan sedikit sorotan di media
sosialnya yang bisa meningkatkan value komersialnya.
Nia Christy,
dengan tulus atau tidak, ikut dalam barisan penyambut. "Cantik sekali,
Mbak Aini malam ini, auranya beda! Pasti penonton histeris nanti!"
pujinya, tahu bahwa pujian adalah cara mudah untuk menciptakan kesan baik dan
membuka jalan untuk hal lain. Ia pun, seperti yang lain, mengambil foto bersama
Aini, mengunggahnya ke story WhatsApp dan Instagram,
berharap teman-teman dan followernya tahu ia
"sepanggung" dengan bintang besar dan mungkin mendapatkan followers baru, demi meningkatkan value dan branding dirinya.
MC Black dan
Robbin Bara, para pria di daftar nama bawah, menyambut Aini dengan sapaan
profesional yang lebih kasual, tanpa ritual baris-berbaris atau permintaan foto
ramai-ramai untuk konten media sosial, karena dinamika peran mereka di panggung
dan di mata audiens berbeda. Tugas mereka lebih fokus pada jalannya acara atau
musik, dan popularitas mereka tidak diukur dengan cara yang sama, meskipun
mereka sadar value Aini jauh di atas mereka karena daya tariknya
pada audiens, termasuk atensi dari penonton laki-laki yang memberikan saweran.
Setelah semua
keramaian backstage mereda, Aini Zhafara duduk di sofa di ruang gantinya. Bayu
berdiri patuh di dekat Aini, siap jika dijadikan pendengar curahan hati. Aini
menghela napas, memijat pelipisnya pelan. "Be," panggil Aini Zhafara.
Bayu segera mendekat, berdiri menunduk. "Lelah juga ya, Be. Semua orang
ingin sesuatu," bisiknya Aini Zhafara, bukan keluhan, lebih pada
pengamatan. "Ada yang ingin foto, ada yang live, ada yang minta kostum
bekas. Mereka pikir itu cara cepat dapat 'berkah'. Mungkin memang iya,
ya?" ia tersenyum kecil, senyum yang menyimpan kelelahan sekaligus pemahaman.
"Mereka melihat poster besar itu, mereka melihat keramaian di depan,
saweran itu... dan mereka ingin bagian dari itu."
Bayu hanya
mengangguk pelan, mendengarkan dengan setia. "Itu tandanya Mbak Aini
memang luar biasa, banyak yang ingin ketularan sukses," ujar Bayu pelan,
mencoba menghibur. Aini tersenyum lagi, senyum itu tidak sepenuhnya sampai ke
mata. "Mungkin, Be. Tapi kadang, rasanya cuma... komoditas,"
bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, sebuah bisik rahasia di antara gemerlap
panggung dan hiruk-pikuk popularitas. Bayu tetap terdiam, setia mendengarkan,
kehadirannya saja sudah cukup bagi Aini.
Di panggung
perayaan sebuah acara lain, poster berwarna gelap dan elegan kembali
menempatkan Aini Zhafara paling menonjol, mencerminkan value tingginya di mata penyelenggara dan pasar. Di
bawahnya, Kharisma Beva, Dewi Calista, Ayu Linda, Lytha Yolanda tampil dalam
foto-foto yang lebih kecil. MC Galaga di bagian bawah nama. Saat Aini tiba,
skenario penyambutan penuh hormat, meskipun bercampur motif dan strategi media
sosial, terulang.
Aini Zhafara
melangkah masuk, Bayu di sisinya, membawa barang-barang Aini. Ia disambut
pandangan hormat, senyum manis, dan ponsel-ponsel yang siap merekam.
"Mereka menghargaiku dan apa yang bisa kubawa, value
yang kuwakili, keramaian yang kujanjikan," pikirnya Aini Zhafara,
merasakan kepuasan atas pengakuan yang begitu terlihat, hasil dari fee besarnya yang jauh di atas total honor penampil
lain, durasi tampil singkat, dan fasilitas mewah karena popularitasnya yang
membuat posternya besar dan menarik penonton, viewer online, dan
atensi media. Ia membalas sapaan mereka, sudah terbiasa dengan permintaan foto
dan ponsel yang merekam untuk live streaming. Ia
tahu, ini adalah cara mereka menumpang popularitasnya, cara mereka mencoba
mengambil bagian dari "berkah" atau exposure yang
melingkupinya, dan baginya, itu adalah konsekuensi tak terhindarkan dari
statusnya sebagai bintang yang dicari banyak orang, yang bahkan mendapat saweran langsung dari penonton yang naik ke panggung.
Kharisma Beva,
dengan senyum profesional yang tulus di permukaan, menyalami Aini. "Apa
kabar, Mbak? Lancar rezekinya ya," tanyanya, diiringi rasa lelah di dalam
hati dengan ritual ini dan disparitas perlakuan. Ia tahu dirinya berbakat, tapi
value-nya diukur berbeda di era digital. Ia tetap
meminta foto bersama Aini, sadar itu cara efektif meningkatkan engagement dan menunjukkan kepada followersnya bahwa ia bergaul dengan bintang, bagian
dari strategi untuk meningkatkan value-nya sendiri.
Dewi Calista,
dengan mata berbinar, menyalami Aini. "Idolaku datang! Mau foto lagi ya,
Mbak! Live bentar ya, Mbak! Penonton di rumah sudah nunggu Mbak Aini!"
serunya, antusiasme bercampur dengan motif untuk membuat Aini terkesan dan
mudah diajak foto bersama untuk konten media sosial. Ia segera meminta selfie, berpose paling dekat dengan Aini, dan langsung
melakukan live TikTok, dengan judul "Bareng Mbak Aini
Zhafara di Backstage!", berharap ratusan viewer Aini akan
melihatnya dan ikut mengikutinya, menambah jumlah followersnya dan value digitalnya.
Ayu Linda juga
menghormati Aini. Ia menyalami dengan sopan. Di dalam hati, ia mengagumi value Aini yang begitu tinggi di mata penyelenggara,
yang berasal dari popularitasnya yang masif dan terukur dari angka. Ia pun tak
mau ketinggalan, segera meminta foto bersama, berpikir, "Ini modal buat
postingan besok," sadar bahwa foto dengan Aini adalah content berharga untuk meningkatkan eksposurnya di
media sosial, cermin dari usaha menaikkan value diri.
Lytha Yolanda,
meskipun mungkin ada sedikit rasa cemburu melihat fee besar Aini,
durasi tampil singkat, dan fasilitas mewahnya, tetap menunjukkan sikap manis.
Ia menyalami dengan ramah dan meminta foto bersama Aini, karena tahu followersnya akan senang melihat ia berinteraksi dengan
bintang populer, berharap sebagian popularitas Aini bisa menular padanya,
menambah "berkah" pada akun dan engagement-nya.
MC Galaga
menyambut Aini dengan sapaan host yang hangat dan
profesional, tanpa ritual formal seperti para penyanyi perempuan. Perannya
adalah memandu acara dan menjaga interaksi dengan penonton, bukan bersaing
popularitas visual di poster atau mencari "berkah" melalui foto
bersama, meskipun ia sadar ia hanya nama di poster sementara Aini adalah wajah
utama.
Setelah
selesai tampil dan kembali ke ruang ganti pribadinya, Aini duduk, Bayu berdiri
di dekatnya, diam, menunggu jika dibutuhkan. Aini meraih botol minum.
"Be," panggil Aini Zhafara, suaranya sedikit serak. "Setiap
acara begini ya, orang-orang itu... seperti mencari sesuatu," bisiknya
Aini Zhafara, memikirkan kembali kilatan ponsel dan senyum-senyum penuh harap
tadi. "Mereka ingin fotoku, mereka ingin live bersamaku. Mungkin memang
mereka dapat sesuatu ya? Dapat viewer baru, dapat perhatian."
Bayu
mengangguk pelan. "Iya, Mbak Aini. Nama Mbak Aini kan sudah besar
sekali," ujar Bayu, dengan nada hormat. Aini tersenyum kecil. "Besar
di poster, besar di angka media sosial," gumamnya, lebih pada diri sendiri.
"Kadang, rasanya seperti... aku ini jimat," bisiknya, sebuah
pengakuan yang hanya didengar oleh Bayu, asisten setianya yang selalu ada di
sisinya, membawa barangnya, berdiri dekat di belakang panggung, siap berlutut
jika diperintah, menyaksikan langsung perbedaan perlakuan yang diterima Aini.
Di sebuah
panggung dengan nuansa tertentu, poster acara menampilkan Aini Zhafara sebagai
titik pusat, gambar terbesar, mencerminkan value komersialnya
yang tinggi di mata penyelenggara yang tahu ia mampu menarik keramaian dan saweran. Di sekelilingnya foto-foto kecil penampil
lain, dengan nama musik pengiring dan nama-nama lain di bagian bawah. Saat Aini
tiba, kembali, para penampil perempuan berfoto kecil menunjukkan sikap hormat
yang serupa, berdiri menyambut dan berebut momen untuk berfoto atau merekam
untuk media sosial.
Aini Zhafara
memasuki ruang ganti, disambut pandangan hormat para penampil lain yang fotonya
lebih kecil. "Mereka menghargaiku dan apa yang kuwakili dalam industri
ini," pikirnya Aini Zhafara, menerima penghormatan itu sebagai validasi value-nya yang tinggi diukur dari angka viewer, atensi media, fee besarnya, dan
kemampuannya menarik penonton, termasuk perhatian penonton laki-laki yang
memberikan saweran. Ia membalas sapaan dan senyum mereka, sudah
terbiasa dengan ritual foto bersama dan ponsel yang tiba-tiba merekam untuk live media sosial. Ia melihat mereka merekam
penampilannya dari sudut panggung, tahu itu untuk konten mereka. Baginya, itu
adalah bagian tak terpisahkan dari statusnya, bukti bahwa popularitasnya
memberikan dampak nyata pada orang lain.
Salah satu
penampil wanita dengan foto kecil menyalami Aini dengan sopan. Di dalam hati,
ia berharap suatu saat gambarnya juga bisa sebesar Aini, mendapatkan fee tinggi, durasi tampil singkat, dan perhatian media.
Ia pun meminta foto bersama, berpikir, "Ini cara cepat dapat likes dan followers, modal
naikkin value," sadar bahwa menempel pada popularitas Aini
adalah strategi untuk meningkatkan branding dirinya dan
value komersialnya di mata penyelenggara, berharap
"berkah" popularitas Aini bisa menular.
Penampil
wanita lain dengan foto kecil juga menunjukkan sikap serupa. Hormat di
permukaan, namun di dalam hati ada keinginan kuat untuk bisa mencapai posisi
Aini, mendapatkan value yang tinggi yang tercermin
dari ukuran foto di poster, fee yang didapat,
dan perhatian media serta penonton yang berujung pada saweran. Mereka pun tak ragu meminta foto bersama Aini
demi konten media sosial mereka, bahkan merekam penampilannya untuk live streaming meskipun isinya hanya Aini, karena tahu viewer akan datang demi melihat Aini.
Para musisi
dari musik pengiring dan individu lain yang namanya tercantum di bagian bawah
fokus pada peran teknis atau musik mereka, menyambut Aini dengan sapaan profesional
yang lebih netral, karena fokus utama mereka bukan pada popularitas individu
atau konten media sosial seperti para penyanyi.
Setelah acara
usai, di dalam mobil yang melaju membelah malam, Aini bersandar lelah di
joknya. Bayu menyetir dengan tenang. "Be," Aini memulai, suaranya
pelan. "Tadi di belakang, mereka merekam terus ya?" tanya Aini
Zhafara, mengingat ponsel-ponsel yang tak henti mengarah padanya. "Bahkan
pas aku nyanyi di panggung, ada yang live dari pinggir."
Bayu melirik
dari kaca spion. "Iya, Mbak Aini. Mereka semua kan ingin dapat viewer dari Mbak Aini," jawab Bayu jujur, memahami
cara kerja media sosial di industri ini.
Aini menghela
napas. "Dikiranya gampang ya? Cuma nempelin muka di live streaming orang
langsung dapat banyak follower," bisiknya, ada
sedikit kejengkelan, namun lebih pada penerimaan. "Ya sudahlah. Mungkin
memang begitu caranya sekarang." Ia memejamkan mata. "Lelah juga ya,
Be. Jadi 'konten' terus begini." Bayu tetap fokus menyetir, memberikan
ruang privasi bagi Aini, hanya setia menemani kelelahan sang bintang.
Terakhir, di
sebuah lounge yang hidup, poster berwarna ungu mempromosikan
acara. Aini Zhafara paling atas, terbesar, mencerminkan value komersialnya yang tinggi dan kemampuannya menarik
keramaian dan saweran. Diikuti foto Zuci Hermosa yang lebih kecil,
dan daftar panjang nama di bawah. Saat Aini tiba, para penampil perempuan yang
hadir menunjukkan sikap hormat yang sama, berdiri menyambut kedatangan sang
bintang utama, ponsel siap merekam.
Aini Zhafara
memasuki lounge, disambut senyum dan sapaan hormat dari penampil
lain, terutama Zuci Hermosa. Bayu tetap di sisinya. "Di sini aku merasa
lebih santai, tapi tetap dihormati dan dicari," pikirnya Aini Zhafara,
menghargai suasana intim yang memungkinkan interaksi lebih dekat dengan
penonton, sementara tetap mendapatkan value tinggi, fee besar, dan fasilitas premium karena kemampuannya
menarik keramaian nyata dan virtual, serta atensi media. Ia tahu, sikap hormat
dan permintaan foto/rekaman dari penampil lain adalah cara mereka untuk
mendapatkan sorotan dari followers-nya yang
jutaan, dan ia menerima itu sebagai bagian dari 'harga' ketenarannya di era di
mana popularitas digital adalah mata uang utama yang diterjemahkan menjadi value komersial, bahkan sampai ada yang memberikan saweran di atas panggung.
Zuci Hermosa,
yang fotonya juga ditampilkan lebih kecil, menyalami Aini dengan ramah.
"Mbak Aini, akhirnya datang! Mau foto ya, Mbak! Live bentar ya, Mbak!
Penonton di rumah sudah nunggu Mbak Aini!" serunya, mungkin ada sedikit
ketulusan bercampur motif profesional dan keyakinan akan "berkah". Di
dalam hati, ia tahu Aini adalah magnet acara, mendapatkan fee jauh lebih tinggi, durasi tampil singkat, dan
fasilitas lebih baik karena popularitas digitalnya yang masif. Ia pun tak
melewatkan kesempatan berfoto bersama, langsung melakukan live Instagram, dengan judul "Di BM Lounge Bareng
Superstar Aini Zhafara!", berharap mendapatkan limpahan viewer dan follower dari Aini,
meningkatkan value dirinya.
Agus Surya,
sang DJ, dan MC Subo, serta nama-nama lain di daftar bawah menjalankan peran
mereka masing-masing, menyambut Aini dengan sapaan khas profesi mereka, fokus
pada peran mereka sebagai pendukung acara, tidak terlibat dalam ritual meminta
foto untuk konten media sosial seperti para penyanyi perempuan, meskipun mereka
sadar value Aini di mata audiens dan penyelenggara jauh di
atas mereka, terbukti dari keramaian dan saweran.
Setelah
penampilan malam itu usai, Aini kembali ke mobilnya. Bayu sudah menunggu di
depan pintu lounge. Saat mobil mulai berjalan, Aini menghela napas
panjang. "Be," panggilnya pelan. "Rasanya seperti... aku ini
barang pameran ya?" bisik Aini Zhafara, nada suaranya lelah namun
introspektif. "Semua orang ingin menempel, mengambil foto, live streaming.
Bukan karena interaksi, tapi cuma karena... aku ada di situ."
Bayu
mendengarkan dengan saksama. "Mereka kan ingin dapat untung juga dari
popularitas Mbak Aini," ujar Bayu, lugas.
"Ya, aku
tahu," Aini mengangguk. "Tapi kadang, lelah saja. Senyum terus, siap
difoto terus. Bahkan pas lagi minum atau pegang ponsel, tiba-tiba ada yang live
dari belakang," ia mengingat lagi kejadian-kejadian tadi. "Rasanya
seperti tidak punya ruang pribadi, ya?" Ia menatap ke luar jendela mobil
yang gelap. "Inikah harganya, Be? Harga dari foto besar di poster
itu?" Bayu tidak menjawab, hanya menggenggam erat kemudi, setia menemani
Aini dalam kesendiriannya di tengah keramaian popularitas.
Beberapa waktu
kemudian, di sebuah event yang berbeda, di kota lain,
di mana Aini Zhafara tidak dijadwalkan tampil, Devi Petra bersiap naik
panggung. Ia mematut diri di depan cermin ruang ganti yang sederhana. Di
tubuhnya, melekat pas kostum yang pernah dikenakan Aini Zhafara: atasan hitam
dan rok mini motif hewan. Kostum itu tidak wangi sabun, masih samar tercium
aroma keringat dari pemilik lamanya, aroma "berkah" yang ia yakini.
Devi Petra
tersenyum lebar melihat pantulan dirinya. Ia sengaja tidak mencuci kostum itu
sejak Aini memberikannya, karena percaya keringat bintang besar itu mengandung
kekuatan magis yang bisa menular, membawa keberuntungan dan popularitas.
"Ini berkahnya Mbak Aini," bisiknya gembira dalam hati Devi Petra. Ia
yakin, keringat bintang besar itu, sisa energinya di panggung, mengandung
semacam kekuatan magis yang bisa menular, membawa value dan
kemampuannya menarik perhatian seperti Aini yang mampu mengisi venue hingga
padat dan mendapat saweran.
Devi Petra
merasa percaya diri luar biasa malam itu, mengenakan kostum yang pernah
bersentuhan langsung dengan tubuh bintang paling terang di panggung-panggung
yang biasa ia jejaki, bintang yang mampu menarik ribuan penonton dan jutaan viewer. Ia naik ke panggung dengan senyum mengembang,
yakin "berkah" itu menyertainya, seolah sebagian dari aura bintang
Aini Zhafara kini melingkupinya, siap membantunya bersinar, meskipun hanya untuk
malam ini, di event yang tidak dihadiri sang bintang utama itu
sendiri. Ukuran fotonya di poster mungkin masih kecil, honornya standar, tapi
malam ini, ia merasa istimewa, berkat selembar kain penuh keringat dari seorang
superstar, simbol harapan akan "ketularan" popularitas dan value yang tinggi di industri ini.
Di balik
kertas mengkilap itu, terhampar kisah tentang sebuah industri di mana
popularitas visual dan digital, tercermin dalam ukuran foto di poster dan angka
di media sosial, sering kali menentukan harga, perlakuan, dan posisi. Poster
adalah manifestasi visualnya, dan interaksi di belakang panggung menunjukkan
betapa kuatnya pengaruh status dan keyakinan pada popularitas dalam membentuk
perilaku dan impian para seniman. Dari permintaan hormat dan foto demi konten
hingga harapan akan "berkah" dari sehelai kostum, semua adalah bagian
dari realita panggung yang gemerlap namun penuh perhitungan, di mana setiap
penampil, dalam porsi masing-masing, berjuang untuk bersinar di bawah lampu sorot
yang paling terang, seperti Aini Zhafara, sang bintang yang fotonya paling
besar, yang memegang berkah, sekaligus menanggung beban sendirian di puncak.