Episode 10 — Konsekuensi Hasil Investigasi Kecil

 

Panas backstage konser tadi malam masih terasa membekas di benak Aini, bukan karena suhu, melainkan karena percakapannya dengan Mbak Rita dan Mbak Santi. Di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah, Aini duduk diam, menatap kosong ke luar jendela yang buram. Bayu mengemudi di depan, tampak fokus pada jalan, tanpa menyadari badai yang akan datang.

Di kursi belakang, Aini mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi X, sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. Ia mengetik "@AiniZhafara" di kolom pencarian. Segera muncul akun bercentang yang disebutkan teman-temannya. Jantung Aini berdebar kencang. Ia menelusuri feed akun itu. Ada cuitan-cuitan singkat, interaksi dengan beberapa akun penggemar, dan unggahan foto.

Dan di sanalah, di antara cuitan-cuitan itu, Aini melihatnya. Beberapa foto dirinya yang tampak diambil secara candid, saat ia sedang santai, bahkan mungkin tertidur di sofa dengan pakaian yang cukup terbuka—momen-momen yang hanya ia alami saat berada dalam lingkungan pribadi, di rumah lama yang kini ditempati Bayu, atau di kamar rumah saat beristirahat setelah manggung. Angle pengambilan foto itu... hanya Bayu yang seringkali berada di posisi itu saat ia sedang santai atau lelah.

Kepalanya mulai berdenyut. Selain foto-foto yang mengganggu itu, ada juga cuitan atau balasan yang menggunakan bahasa yang tidak biasa, agak kasar, atau merujuk pada hal-hal aneh — "Siap laksanakan perintah, Mbak Aini! Termasuk yang itu?", balasan pendek "Tolol!", cuitan-cuitan aneh tentang "paket" atau "air suci" dalam konteks yang membingungkan. Meskipun ia tidak melihat isi pesan langsung (DM) yang paling ekstrem, bukti publik di feed akun X itu saja sudah cukup meresahkan. Ini jelas bukan gayanya, bukan bahasa yang ia gunakan, dan foto-foto itu... siapa yang mengambil dan mengunggahnya? Hanya satu nama yang terlintas di benaknya, dan itu membuatnya ngeri.

Aini menahan napas sejenak, berusaha menenangkan diri. Ia tidak bisa langsung meledak. Ia perlu berpikir jernih. Memarahi Bayu sekarang di mobil tanpa bukti lebih kuat atau rencana jelas mungkin bukan langkah terbaik. Ia memutuskan untuk mengambil langkah pertama yang paling mendesak: membersihkan namanya di mata publik dan memperingatkan penggemar.

Setibanya di rumah, tanpa berbicara banyak dengan Bayu, Aini langsung masuk ke kamarnya. Ia membuka aplikasi Instagram dan TikTok. Tangannya sedikit gemetar saat mengetik.

Di Instagram @aini_zhafaratoktil dan TikTok @ainizhafaratoktilaja, ia membuat postingan "PEMBERITAHUAN PENTING! Untuk para penggemarku tercinta. Mohon berhati-hati! Saya ingin memberitahukan bahwa akun X/X dengan username @AiniZhafara BUKAN akun resmi saya. Saya tidak memiliki dan tidak mengelola akun tersebut. Segala bentuk interaksi, permintaan, atau tawaran apa pun dari akun itu tidak berasal dari saya. Mohon jangan percaya dan berinteraksi dengan akun tersebut demi keamanan kalian. Akun resmi saya hanya Instagram @aini_zhafaratoktil dan TikTok @ainizhafaratoktilaja. Terima kasih atas perhatian dan cinta kalian!"

Aini membaca ulang postingan itu, memastikan pesannya jelas dan tegas. Dengan hati yang masih gelisah dan pikiran tertuju pada Bayu dan foto-fotonya, ia menekan tombol 'unggah'. Klarifikasi publik telah disebar. Langkah pertama telah diambil. Sekarang tinggal menunggu reaksi dan merencanakan langkah berikutnya untuk mengungkap kebenaran penuh.

Postingan klarifikasi Aini di Instagram dan TikTok yang menegaskan bahwa akun X @AiniZhafara bukanlah miliknya segera menyebar bak api liar di jagat maya. Dalam hitungan menit, notifikasi dan komentar membanjiri akun resminya. Di bawah postingan klarifikasi itu, ratusan komentar muncul, sebagian besar menyatakan kebingungan luar biasa. Penggemar beramai-ramai bertanya-tanya bagaimana mungkin akun bercentang biru dengan ratusan ribu pengikut bisa palsu tanpa sepengetahuan idola mereka. Nada-nada was-was dan keprihatinan muncul, disusul seruan agar Aini berhati-hati terhadap orang jahat yang berniat menjatuhkannya. "Siapa pelakunya? Harus dicari sampai ketemu!" adalah sentimen yang dominan di kalangan penggemar umum yang hanya mengetahui keberadaan akun X tetapi tidak terlibat interaksi ekstremnya.

Di platform X sendiri, terutama di lingkaran penggemar yang sudah mengikuti dan berinteraksi langsung dengan akun @AiniZhafara, klarifikasi ini menciptakan kekacauan emosional. Mereka yang selama ini merasa istimewa karena mendapat respons atau perintah dari akun tersebut kini dihadapkan pada kenyataan pahit. Di grup-grup chat tertutup, diskusi panas meletus. Penggemar yang telah menginvestasikan waktu, emosi, dan terutama uang (dalam praktik findom) merasa sangat terpukul dan dikhianati. Kemarahan dan kekecewaan mendidih di antara mereka. Beberapa terang-terangan menyatakan merasa bodoh karena mudah percaya dan kini uang mereka entah ke mana. "Uang transferanku gimana?!" menjadi pertanyaan berulang yang penuh keputusasaan. Di sisi lain, ada segelintir penggemar yang saking fanatiknya menolak untuk percaya pada klarifikasi Aini, berpegang teguh pada keyakinan bahwa itu adalah akun asli Aini yang sengaja disangkal demi alasan tertentu, atau bahwa klarifikasi itu sendiri adalah bentuk manipulasi dari pihak lain yang ingin menjatuhkan idola mereka. Mereka yang telah menerima "foto eksklusif" atau terlibat dalam interaksi paling menjijikkan merasa malu dan terpukul di saat yang sama, berusaha mati-matian mencari penjelasan atau pembenaran.

Berita klarifikasi ini juga menyebar cepat di kalangan internal industri dangdut. Di grup-grup chat sesama penyanyi, Mbak Rita dan Mbak Santi yang telah memicu pengungkapan ini, berbagi detail dengan rekan-rekan mereka. Para penyanyi lain menyatakan keterkejutan mereka terhadap keanehan akun X yang ternyata bukan milik Aini, mengakui bahwa mereka juga sempat mendengar rumor aneh atau melihat cuitan/foto provokatif dari akun tersebut namun mengira itu memang gaya Aini yang baru. Diskusi beralih ke potensi skandal besar yang bisa menimpa Aini jika isu ini meledak ke media, menimbang dampak negatif terhadap citra publik dan karier Aini. Ada nada simpati terhadap Aini yang menjadi korban ulah orang tak bertanggung jawab, terutama karena pelaku tampaknya adalah orang yang sangat dekat (mengingat foto-foto pribadi yang beredar). Namun, ada juga bisikan-bisikan atau pandangan pragmatis tentang betapa berbahayanya mengabaikan media sosial atau tidak memiliki tim manajemen yang ketat di era digital seperti sekarang.

Semua reaksi ini, baik yang muncul ke permukaan publik maupun yang bergejolak di ruang privat, menunjukkan betapa besar dampak klarifikasi Aini. Dunia maya Aini Zhafara, yang sebelumnya tampak bersatu dalam pemujaan yang kental dengan nuansa erotic capital dan dominasi (yang ternyata dimanipulasi), kini terbelah oleh keraguan, kemarahan, dan kebingungan, menciptakan lanskap digital yang kacau dan siap untuk diguncang oleh pengungkapan kebenaran yang lebih besar mengenai siapa di balik akun tersebut dan mengapa ia melakukan praktik findom yang menjijikkan itu.

Dua hari berikutnya terasa menyiksa bagi Bayu. Suasana di sekitar Aini Zhafara terasa berbeda. Aini tidak meledak marah seperti yang Bayu kadang takutkan; tidak ada teriakan atau tuduhan langsung. Sebaliknya, ada keheningan yang dingin dan menusuk dari sisi Aini setiap kali Bayu berada di dekatnya. Interaksi mereka terbatas hanya pada instruksi kerja yang esensial: "Siapkan mobil, Be," "Jadwal selanjutnya di mana?", "Minta panitia siapkan ini itu." Nada bicara Aini datar, matanya nyaris tidak bertemu pandang dengan Bayu lebih dari sedetik. Senyumnya yang biasa ia tunjukkan di depan tim dan penggemar menghilang sepenuhnya saat berinteraksi dengannya.

Bayu merasakan perubahan sikap ini dengan jelas. Ia merasa diawasi, meskipun tidak ada kata-kata tuduhan yang keluar dari Aini. Keheningan itu lebih buruk daripada kemarahan, membuat Bayu gelisah dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Apakah Aini mendengar sesuatu? Apakah ia melakukan kesalahan kerja tanpa disadari? Bayu mencoba bersikap normal, menjalankan tugasnya dengan ekstra teliti, berharap ketegangan ini akan mereda dengan sendirinya.

Pada hari ketiga, ketegangan itu sedikit berubah wujud. Aini tiba-tiba memanggil Bayu saat mereka berada di kamar rumah, ketika istirahat usai rangkaian jadwal padat. Nada suaranya berbeda, tidak lagi dingin, tapi terdengar lelah dan penuh kekhawatiran—sebuah nada yang jarang Aini tunjukkan di luar momen-momen pribadi. Bayu masuk, merasa sedikit lega karena keheningan berakhir, namun tetap waspada.

"Be... ada sesuatu yang bikin aku kepikiran banget," ujar Aini, menatap layar ponselnya dengan kening berkerut dalam. Ia duduk di sofa, mengisyaratkan Bayu untuk duduk di kursi terdekat.

Bayu berdiri di samping sambil membungkuk, "Ada apa, Mbak Aini? Ada masalah jadwal?"

Aini menggeleng pelan. "Bukan. Ini... soal media sosial." Ia menunjukkan layar ponselnya pada Bayu. Akun Instagramnya terbuka, menampilkan postingan klarifikasi yang ia buat dua hari lalu. "Kamu tahu kan aku kemarin posting ini di Instagram sama TikTok?"

Bayu mengangguk, "Iya, Mbak. Saya lihat." Wajahnya berusaha terlihat datar, namun dalam hati ia mulai merasa tidak nyaman. Topik ini.

"Nah, setelah aku posting ini, banyak banget yang ramai. Ternyata... di X itu memang ada akun atas nama aku, @AiniZhafara, yang centang biru juga. Dan... interaksinya aneh-aneh, Be. Sampai ada yang bilang dimintain uang, dikasih foto-foto yang... aku bahkan nggak tahu kapan diambilnya, atau lagi pakai baju apa..." Suara Aini merendah, ada nada kengerian yang tulus dalam penjelasannya, sulit dibedakan dari rasa sakit hati yang sebenarnya.

Aini menghela napas panjang, berpura-pura putus asa. "Aku tuh nggak tahu apa-apa soal akun itu, Be. Aku nggak punya X. Tapi kok bisa ada akun centang biru pakai nama aku dan melakukan hal separah itu? Ini kan bisa ngerusak nama baikku, Be. Aku ngeri banget dengarnya." Ia menatap Bayu dengan mata yang penuh kekhawatiran palsu, namun di balik itu ada ketajaman yang mengamati. "Kamu kan yang paling ngerti soal internet, soal media sosial, Be. Yang paling melek teknologi."

Aini meraih tangan Bayu pelan, dengan gestur memohon yang tidak biasa ia tunjukkan kepada asistennya. "Tolong aku ya, Be. Tolong kamu telusuri, Be. Cari tahu siapa yang bikin akun itu, siapa yang pakai. Kenapa dia lakuin ini. Bahaya banget ada orang yang bisa pakai nama aku begini."

Bayu merasa terpojok. Permintaan ini... datang dari Aini sendiri. Ia tidak bisa menolak. Wajah Bayu menunjukkan campuran simpati yang ia tunjukkan dan kecemasan tersembunyi. "I-iya, Mbak Aini. Tentu. Saya akan coba telusuri. Saya akan cari tahu siapa di balik akun itu."

"Makasih banyak, Be," ujar Aini, senyum tipis muncul di bibirnya, kali ini senyum yang bukan karena lega, melainkan karena rencana berjalan. "Coba kamu cek sekarang deh. Aku temani di sini. Kita cari tahu bareng-bareng." Aini beringsut mendekat, matanya tertuju pada ponsel Bayu yang sudah dipegangnya, siap untuk "menelusuri", siap untuk mengamati setiap gerakan dan reaksi Bayu.

Suasana di kamar rumah Aini terasa dingin, tegang. Aini dan Bayu duduk berhadapan. Ponsel Aini tergeletak di meja di antara mereka, layarnya menampilkan beberapa tangkapan layar: cuitan aneh dari akun X @AiniZhafara, beberapa foto Aini yang provokatif dari akun itu, dan satu tangkapan layar detail transfer bank ke rekening atas nama Bayu Raditya yang ia dapatkan dari seorang penggemar korban melalui koneksi temannya.

Setelah "penelusuran" yang mereka lakukan bersama tadi, di mana Aini dengan cermat mengamati setiap gelagat Bayu saat mencoba "mencari tahu" siapa di balik akun X dan melihat jelas bagaimana Bayu berusaha mengaburkan jejaknya atau menghindari area sensitif, keyakinan Aini telah bulat. Ia tahu. Ia yakin.

" Be," suara Aini rendah, tanpa nada emosi yang meledak, justru itu yang membuatnya terdengar mengancam secara halus. "Aku mau bicara jujur sama kamu. Aku sudah tahu soal akun X itu."

Bayu menatap Aini, ekspresinya menunjukkan campuran kecemasan dan kebingungan yang dipalsukan. "Akun... X? Yang Mbak Aini posting klarifikasi itu?"

Aini mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari wajah Bayu. "Iya. Yang itu. Mbak Rita sama Mbak Santi kasih lihat aku beberapa tangkapan layar. Cuitannya aneh-aneh. Ada foto-foto aku juga... yang aku nggak pernah posting di mana pun." Ia mendorong ponsel sedikit. "Dan ini, Be... Ada penggemar yang nunjukkin tangkapan layar transfer uang ke rekening... atas nama kamu!"

Wajah Bayu memucat. Namun, ia menarik napas, berusaha mengumpulkan ketenangan yang tersisa. Ia telah memikirkan skenario terburuk. "Mbak Aini... saya... saya bisa jelaskan soal ini." Suaranya agak bergetar. "Akun X itu... itu memang akun yang pernah saya buat lama, pakai nama Mbak Aini buat... buat iseng aja awalnya, bikin konten dari video-video Mbak Aini. Tapi itu sudah lama nggak saya pakai aktif." Ia mencoba terdengar meyakinkan. "Saya yakin akun itu... di-hack, Mbak Aini."

Aini mendengarkan dengan tenang, ekspresinya tidak menunjukkan percaya maupun tidak percaya. "Di-hack? Kapan? Kamu tahu?"

"Nggak tahu kapan pastinya, Mbak," kilah Bayu cepat. "Tapi logikanya begitu, kan? Kalau bukan di-hack, kenapa bisa ada cuitan aneh, minta uang, dan pakai foto-foto itu?"

Aini meraih ponselnya kembali, menatap foto-foto dirinya di layar. Foto-foto yang diambil secara diam-diam. "Foto-foto ini, Be... ini foto yang nggak ada di mana-mana. Bukan dari feed Instagram atau TikTok. Ini foto pas aku lagi santai... pas aku lagi tidur... Cuma orang yang sangat dekat dan sering ada di sekitar aku yang bisa ambil foto seperti ini." Matanya kembali tertuju pada Bayu, tatapannya lembut tapi menuntut jawaban. "Foto-foto ini... kamu punya?"

Bayu merasakan tenggorokannya tercekat. Jebakan. Ia lupa Aini tahu hanya dia yang punya akses ke momen-momen itu. "S-saya... saya memang punya beberapa foto Mbak Aini yang nggak dipublikasikan. Buat... buat arsip kerja. Saya simpan di... di Google Drive saya." Ia mencoba mengaitkannya dengan alibi peretasan. "Mungkin... mungkin hacker itu yang nge-hack akun Google Drive saya juga... terus ambil foto-foto itu..."

Aini mengangguk pelan, seolah mempertimbangkan, tetapi di matanya terpancar keraguan yang jelas. "Hmm. Begitu ya? Google Drive kamu di-hack. Akun X di-hack. Kebetulan sekali dua-duanya di-hack, dan semuanya pakai nama saya, merugikan saya, dan bahkan ada uang yang ditransfer ke rekening kamu... karena alasan 'asisten yang ngurus'." Nadanya tetap lembut, tetapi setiap kata seperti paku yang ditancapkan dengan presisi. "Logika kamu bagus, Be. Tapi... kok rasanya... ada yang kurang pas ya?"

Bayu terdiam. Ia tidak bisa lagi menyusun kilahan yang masuk akal. Wajahnya kembali memucat, keringat dingin mulai muncul di dahinya. Ia melihat di mata Aini bahwa kebohongannya tidak berhasil. Interogasi lembut Aini terasa lebih menghancurkan daripada bentakan keras. Itu menunjukkan bahwa Aini sudah tahu, hanya memberinya kesempatan untuk jujur (atau berbohong dan memperburuk keadaan).

Aini menatapnya dengan tatapan yang sedikit melunak, seolah memberinya satu kesempatan terakhir. "Be... Jujur sama aku. Siapa yang melakukan ini?"

Bayu menunduk, tidak sanggup lagi menatap mata Aini. Semua kilahannya runtuh. Rasa malu dan terpojok membanjirinya. Ia tahu, tidak ada jalan keluar lain selain pengakuan.

"...Saya, Mbak Aini."

Pengakuan itu menggantung di udara. Singkat, tetapi menghancurkan. Aini menutup mata sejenak, menghela napas berat. Ia sudah menduganya, tapi mendengarnya langsung dari mulut Bayu tetap terasa seperti pukulan. Di hadapannya, Bayu Raditya, lulusan S2 yang patuh dan dianggapnya melek teknologi, kini duduk sebagai pengkhianat yang telah memanipulasi citranya dan mengeksploitasi penggemarnya. Momen kebenaran telah tiba.

Bayu masih menunduk setelah pengakuannya yang singkat. Aini menatapnya, amarahnya bercampur dengan kebingungan dan kengerian atas apa yang baru saja ia dengar dan lihat buktinya. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, berat dan penuh makna.

"Kenapa, Be?" Suara Aini terdengar lelah, namun di dalamnya ada tuntutan yang jelas. "Kenapa kamu melakukan ini? Pakai nama saya? Pakai foto-foto saya? Minta uang dari penggemar saya?"

Bayu mengangkat kepalanya perlahan, matanya masih merah, menatap lantai. "Mbak Aini... saya... saya tahu ini salah. Saya tidak mencari pembenaran." Suaranya serak, penuh penyesalan, yang tulus atau dipalsukan, hanya Bayu yang tahu sepenuhnya. "Tapi saya... saya punya alasan."

Ia berhenti sejenak, menghela napas berat. Lalu, ia mulai berbicara, menguraikan beban yang selama ini ia pikul dalam diam.

"Saya lulusan S2, Mbak Aini. Magister Pendidikan Agama Islam." Ia memulainya, seolah latar belakang pendidikannya adalah kunci untuk memahami segalanya. "Dulu saya guru honorer. Gaji saya... Mbak Aini tidak akan percaya berapa kecilnya. Jauh dari cukup untuk hidup layak di Yogya ini."

Ia menatap Aini, sedikit keberanian muncul di matanya. "Ketika Mbak Aini menawarkan pekerjaan ini... gajinya jauh lebih besar. Fasilitasnya... rumah ini, mobil itu... itu sesuatu yang tidak pernah saya mimpikan saat jadi guru. Dan... dan saya ngefans sama Mbak Aini. Itu juga jujur."

Bayu menunduk lagi, suaranya kembali merendah. "Saya tahu kontraknya... berat. Saya tahu saya harus siap sedia 24 jam. Saya tahu saya harus patuh, bahkan kadang direndahkan atau jadi sasaran marah. SPK itu... Pasal 8 Ayat 1... bersedia menerima semua perintah, ucapan, kehendak, dan kemauan Mbak Aini tanpa terkecuali... Itu bukan sekadar kata-kata di kertas, Mbak. Itu... itu kenyataan saya setiap hari."

Ia berhenti lagi, mencari kata yang tepat. "Ada rasa... terjebak. Rasa harga diri terluka. Saya lulus S2, tapi pekerjaan saya... seperti ini. Melayani, patuh tanpa syarat. Di luar sana, banyak teman saya yang lulusan S2 atau S3 juga kesulitan cari kerja, Mbak. Lulusan tinggi, tapi pilihan sedikit. Keahlian saya di komunikasi... seolah tidak berarti di pasar kerja yang krisis ini, dibandingkan dengan... dengan popularitas dan bakat panggung Mbak Aini."

Ia mengangkat kepala lagi, kali ini menatap Aini dengan tatapan yang menunjukkan rasa frustrasi dan putus asa. "Lalu... saya melihat lelang itu, Mbak Aini. Lelang barang bekas. Celana dalam... laku puluhan juta. Saya melihat betapa besar nilainya... betapa jauh penggemar rela pergi. Dan saya punya akses ke... ke sisa-sisa kesintalan badan Mbak Aini itu. Foto-foto yang saya ambil... bukan awalnya untuk niat jahat, sumpah. Awalnya untuk arsip, atau sekadar... dokumentasi pribadi penggemar yang punya akses."

"Tapi... ketika saya lihat di X, interaksi penggemar begitu gila, begitu rela direndahkan... dan ketika Dimas menawarkan uang begitu saja... saya melihat celah, Mbak Aini. Peluang. Di sini, di balik layar ini, saya bisa mendapatkan sesuatu yang tidak saya dapatkan dari kerja fisik saya untuk Mbak Aini. Saya bisa punya kuasa. Saya bisa memerintah. Dan saya bisa dapat uang. Uang tambahan di luar gaji SPK yang, meskipun besar, tidak sepadan dengan... dengan perasaan saya."

Suara Bayu semakin kuat, ada nada keputusasaan dan sedikit pembenaran diri yang terselip. "Saya mulai mencoba. Memberi perintah aneh, melihat respons mereka. Lalu saya coba minta uang, menawarkan foto sebagai imbalan. Dan berhasil, Mbak Aini. Uang itu masuk ke rekening saya. Memberi saya rasa... rasa merdeka kecil. Rasa punya kendali atas hidup saya sendiri, meskipun cuma di dunia maya, menggunakan nama Mbak Aini."

"Itu seperti... kecanduan, Mbak Aini. Kecanduan pada kuasa itu. Kecanduan pada uang tambahan itu. Saya tahu itu salah, saya tahu saya memanfaatkan nama Mbak Aini dan penggemar itu... tapi rasanya... rasanya enak bisa punya kendali, bisa dapat sesuatu untuk diri sendiri, setelah sekian lama merasa tidak berdaya." Ia menunduk kembali, suaranya kembali lemah. "Saya khilaf, Mbak Aini. Saya... saya sangat membutuhkan itu."

Bayu terdiam. Nafasnya terengah. Semua alasannya telah ia sampaikan, tumpukan frustrasi, keterpojokan, godaan, dan kecanduan yang mendorongnya melangkah terlalu jauh, membangun "kerajaan" gelap kecil di balik nama besar Aini Zhafara. Ia menanti reaksi Aini, sang majikan yang kini tahu betapa dalam pengkhianatan yang dilakukan oleh asistennya sendiri.

Setelah semua alasan dan penjelasan terlontar dari mulut Bayu, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Bayu, yang baru saja menumpahkan beban frustrasi dan pengkhianatannya, tak sanggup lagi menatap wajah Aini. Perlahan, bahunya mulai bergetar, isakan tertahan keluar dari dadanya. Ia beringsut dari kursi, menjatuhkan diri di lantai di depan Aini, berlutut. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, membasahi kemejanya, membasahi lantai di bawahnya. Dalam posisi ini, dengan wajah tertunduk dan bahu terguncang, Bayu terlihat seperti citra sempurna dari penjilat patuh yang selama ini ia mainkan di hadapan Aini—namun kali ini, ketakutan, penyesalan, dan rasa terpojok itu nyata dan brutal.

Dalam benak Bayu, ironi itu menghantamnya dengan kejam. Kilasan-kilasan muncul: momen kelulusan S2-nya, toga yang dikenakannya, sorak sorai keluarga, harapan masa depan yang cerah sebagai akademisi atau profesional. Ia belajar teori komunikasi, analisis media, strategi pemasaran. Dan kini? Semua itu berakhir di sini. Ia bersujud, berlutut, menangis, memohon belas kasihan kepada biduan yang ia khianati. "Menyelamatkan hidupku," bisiknya lirih di antara isakan, merujuk pada pekerjaan, pada keamanan finansial, pada pelarian dari realita pasar kerja yang kejam. Untuk apa semua gelar S2 ini, jika ujungnya hanya berlutut seperti ini di hadapan majikan yang berpendidikan jauh di bawahku, hanya karena aku ketahuan mengkhianatinya demi sedikit uang dan kuasa palsu? Pikiran itu menghancurkannya, menambah deras air matanya yang jatuh ke lantai, menjadi saksi bisu kejatuhan harga dirinya.

Aini Zhafara tetap duduk di kursinya, tenang. Ketenangannya bukan karena ia tidak merasakan apa-apa; amarah, kengerian, dan rasa dikhianati bergejolak di dalam dirinya. Namun, ketenangan itu berasal dari kesadaran penuh bahwa ia berada di pihak yang benar dan memegang penuh kuasa atas situasi ini dan nasib Bayu. Ia telah mendapatkan pengakuan, bukti ada di tangannya, dan kini ia memegang penuh kendali atas momen ini. Ketenangan itu memberinya kekuatan. Ia bisa saja meledak, tetapi ia memilih untuk memproses, perlahan, setahap demi setahap, membiarkan Bayu merasakan beratnya posisinya.

Perlahan, Aini meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Dengan gerakan yang nyaris tak terlihat oleh Bayu yang tertunduk, ia mengaktifkan fungsi video dan mengarahkannya ke Bayu yang berlutut. Ia tidak berniat mempublikasikan video ini—setidaknya tidak sekarang—tetapi ini adalah bukti. Bukti visual pengakuan dan keputusasaan Bayu. Alat tawar di masa depan. Tindakan ini dilakukan pelan-pelan, tenang, tanpa emosi yang jelas, menunjukkan betapa berkuasanya ia dalam situasi ini, mampu mengobjekkan bahkan momen kerentanan Bayu, sama seperti Bayu mengobjekkan citra dan foto-fotonya.

Aini mengamati Bayu yang bersujud di hadapannya melalui layar ponselnya. Ia memproses kata-kata Bayu sebelumnya—tentang SPK yang mengikat, pasar kerja yang sulit, frustrasi lulusan S2. Ada sedikit, hanya secuil, pengakuan bahwa ia memang menyusun kontrak yang sangat keras, bahwa ia tahu Bayu cerdas tapi terjebak ekonomi. Mungkin memang berat untuk dia, pikirnya sekilas.

Namun, pikiran itu segera ditelan oleh gelombang emosi yang lebih besar. Marah. Marah karena dikhianati oleh orang kepercayaannya. Ngeri dan jijik membayangkan praktik findom itu, permintaan-permintaan menjijikkan itu, dan fakta bahwa citra dan bahkan foto pribadinya yang rentan digunakan sebagai umpan. Ia melihat Bayu yang berlutut, tetapi yang terbayang adalah foto dirinya saat tidur diunggah, penggemar rela memakan feses atau membayar untuk urine atas namanya. Itu adalah pengkhianatan yang melampaui sekadar uang atau nama baik; itu adalah pelecehan maruah dirinya, digunakan untuk tujuan tergelap celebrity worship.

Aini menarik napas dalam-dalam lagi, mengumpulkan seluruh ketenangannya yang tersisa. Gelombang emosi itu mereda, meninggalkan hanya tekad yang dingin dan keras. Ia adalah korban. Ia benar. Dan ia harus bertindak. Ketenangannya kini berubah menjadi keteguhan baja. Matanya yang menatap Bayu melalui layar ponselnya tidak lagi menunjukkan kebingungan, hanya keputusan. Momen pengakuan telah selesai, kini saatnya konsekuensi dijatuhkan. Ponselnya terus merekam, mendokumentasikan kejatuhan Bayu.

Isakan Bayu perlahan mereda, menyisakan keheningan berat yang menggantung di udara. Ia masih berlutut di lantai, menunduk, menunggu putusan dari Aini yang duduk di hadapannya. Ponsel Aini telah berhenti merekam, tetapi kehadirannya di meja tetap menjadi pengingat momen pengakuan yang terekam.

Aini menatap Bayu. Kengerian dan amarah masih ada di dalam dirinya, tetapi di permukaan, ia memproyeksikan otoritas yang tenang dan absolut. Ia adalah majikan, ia adalah korban, dan ia yang memegang kendali penuh atas situasi ini dan nasib Bayu.

"Be," suara Aini tenang, namun dingin dan penuh bobot. "Saya sudah dengar semua penjelasan kamu. Dan saya sudah memikirkan apa yang harus kamu lakukan."

Aini meletakkan ponselnya di meja, gerakan yang deliberate. Ia kemudian berbicara, setiap kata diucapkan dengan jelas, tanpa tergesa-gesa.

"Saya paham... kamu punya masalah. Soal pekerjaan kamu sebelumnya, soal gaji, soal kontrak ini." Aini berhenti sejenak, tatapannya mengarah pada ponsel di mana tangkapan layar SPK juga tersimpan. "Saya yang buat kontrak itu, dan saya tahu itu ketat. Saya juga tahu kamu lulusan tinggi. Tapi... itu tidak pernah, tidak pernah, membenarkan apa yang kamu lakukan."

Nada suara Aini sedikit mengeras, menunjuk pada bukti-bukti digital. "Menggunakan nama saya. Mengambil foto-foto saya secara diam-diam... Foto-foto yang seharusnya pribadi, yang rentan. Mengunggahnya. Meminta uang dari penggemar saya atas nama saya. Melakukan praktik yang... menjijikkan itu. Memanfaatkan pemujaan dan... kelemahan mereka demi keuntungan kamu. Kamu mengkhianati kepercayaan saya."

Aini menarik napas, matanya menatap langsung ke Bayu yang masih berlutut. "Ini bukan cuma soal melampiaskan frustrasi, Bayu. Ini penipuan. Ini pencemaran nama baik. Ini eksploitasi. Ini kejahatan."

Ia berhenti, memberikan jeda yang panjang, membiarkan kata-katanya meresap. Bayu tidak mengangkat kepala, hanya bisa mendengar.

Aini berdiri dari kursinya, posisinya kini lebih tinggi dan mendominasi di atas Bayu yang masih di lantai. Ini adalah pembalikan total dari dinamika yang sering Bayu rasakan. Ia berjalan mengitari meja, berhenti di depan Bayu.

"Kamu pikir dengan menangis dan berlutut begini semuanya selesai?" Suaranya rendah, nyaris berbisik, namun sarat kuasa. "Tidak, Bayu. Konsekuensinya jauh lebih besar dari sekadar dipecat begitu saja."

Aini berjongkok sedikit, tatapannya sejajar dengan Bayu yang tertunduk.

"Ini yang harus kamu lakukan," ujar Aini, menjatuhkan setiap permintaan dengan suara yang datar namun tegas, bagai batu yang jatuh satu per satu.

"Pertama. Ambil ponsel kamu."

Bayu mengangkat kepala, matanya berkaca-kaca, ragu-ragu.

"Ambil," ulang Aini. Bayu patuh, mengambil ponselnya dengan tangan gemetar.

"Rekam diri kamu sekarang," perintah Aini. "Buat video pernyataan. Akui kamu bersalah. Akui kamu menipu penggemar saya. Akui kamu mencemarkan nama baik saya dengan menggunakan akun itu dan melakukan hal-hal menjijikkan di baliknya. Video ini akan jadi bukti."

Bayu tersentak, matanya melebar. Membuat pengakuan yang terekam?

"Kedua," lanjut Aini tanpa menunggu respons Bayu. "Semua uang yang kamu ambil dari penggemar... kembalikan semuanya. Saya mau bukti transfer pengembaliannya. Dalam waktu 2x24 jam."

Bayu menelan ludah. Mengembalikan semua uang findom itu begitu cepat?

"Ketiga," Aini berdiri kembali, menatap Bayu dari atas. "Kamu akan temui penggemar yang paling... terdampak. Yang kamu mintain uang, yang kamu kasih foto, yang kamu suruh melakukan hal aneh. Kamu akan minta maaf langsung kepada mereka. Bertatap muka. Terutama yang ada di Jogja dan sekitarnya, kamu temui langsung. Jelaskan bahwa kamu yang salah, bukan saya. Jangan pernah berani sebut nama saya lagi dalam konteks itu di depan mereka."

Wajah Bayu semakin pucat pasi. Bertemu muka dengan korban-korbannya? Ini adalah pukulan telak pada harga dirinya yang rapuh.

"Keempat," Aini berjalan kembali ke kursinya. "Akun X @AiniZhafara itu... bersihkan. Hapus semua cuitan dan pesan yang aneh, yang berhubungan dengan praktik bodoh kamu itu. Foto-foto yang kamu unggah... pastikan tidak ada lagi. Akun itu... akan saya ambil alih. Saya akan pakai secara resmi."

Bayu menatap Aini dengan tidak percaya. Akun yang memberinya kuasa dan uang itu akan diambil alih Aini?

"Kamu akan lakukan semua ini," kata Aini, suaranya final. "Dalam dua minggu ke depan. Kamu akan tetap jadi asisten saya selama proses ini. Kamu akan bertanggung jawab membersihkan kekacauan yang kamu buat di bawah pengawasan saya. Setelah semuanya beres... baru kita bicara lagi soal nasib kamu selanjutnya."

Ancaman mengenai nasib selanjutnya itu menggantung di udara. Bayu hanya bisa mengangguk pelan, terlalu terkejut dan terpojok untuk membalas. Aini duduk kembali, menatap Bayu yang masih di lantai, sekarang tidak lagi menangis hebat, hanya terlihat hancur dan putus asa. Tugas berat menantinya. Konsekuensi versi Aini jauh lebih rumit dan menghinakan daripada pemecatan sederhana.

Setelah konfrontasi yang menguras tenaga di kamar rumah, Aini Zhafara tidak membiarkan masalah ini berlarut. Mengabaikan kelelahan fisik dan gejolak emosi, ia mengambil langkah krusial untuk membersihkan namanya, memulai proses pertanggungjawungan, dan yang penting, menata ulang struktur pendukungnya. Malam itu juga, atau keesokan paginya, melalui akun Instagram @aini_zhafaratoktil (akun resminya yang bercentang biru dan terpercaya), Aini membuat sebuah pengumuman penting berupa postingan teks yang serius di feed Instagram @aini_zhafaratoktil:

Dengan berat hati, saya sampaikan bahwa akun X/X @AiniZhafara bukan milik saya dan dikelola oleh pihak yang tidak bertanggung jawab tanpa sepengetahuan saya. Saya sangat menyesal atas ketidaknyamanan dan kerugian yang mungkin timbul akibat interaksi dari akun tersebut. Jika Anda merasa dirugikan, ditipu, atau mengalami interaksi tidak pantas dari akun @AiniZhafara, mohon sampaikan detailnya kepada saya melalui DM Instagram ini. Semua laporan akan saya tindak lanjuti secara serius: akan ada permintaan maaf, pengembalian uang jika ada kerugian finansial, dan bagi yang berada di Jogja dan sekitarnya serta bersedia, akan ada kesempatan untuk bertemu langsung untuk permintaan maaf secara personal. Selain itu, sehubungan dengan kejadian ini dan untuk meningkatkan profesionalitas manajemen saya ke depan, saya membuka lowongan untuk dua orang Asisten Pribadi baru. Untuk Anda yang berminat dan serius ingin bergabung, silakan pelajari detail ruang lingkup kerja dan kualifikasi yang dibutuhkan pada Instagram Story saya hari ini, yang saya ambil dari referensi kontrak kerja sebelumnya. Kirimkan lamaran Anda melalui email ainizhafaramanagement@gmail.com. Saya mencari tim yang bisa saya percaya sepenuhnya.

Terima kasih atas pengertian dan dukungan Anda. Untuk sementara, saya akan mengambil jeda dari jadwal manggung selama dua pekan ke depan untuk menyelesaikan masalah ini dan mempersiapkan tim baru. Saya akan kembali ke panggung dengan lebih kuat.

Pengumuman Aini segera mendapat perhatian luas, menyebar cepat di kalangan penggemar dan media sosial. Ini bukan hanya tentang skandal akun palsu; ini juga tentang lowongan pekerjaan dari seorang Aini Zhafara. Dalam hitungan jam, pesan masuk ke akun Instagram dan email Aini mulai menumpuk—bukan hanya laporan dari para korban akun X, tetapi juga ratusan, bahkan ribuan, lamaran pekerjaan dari berbagai kalangan yang tergiur menjadi asisten pribadi Aini, apalagi dengan detail kontrak (SPK Bayu) yang dibagikan di story yang menunjukkan potensi penghasilan yang signifikan.

Sementara hiruk pikuk respon publik dan pelamar membanjiri kanal komunikasi Aini, kembali ke rumah lama yang kini terasa asing dan dingin, Bayu Raditya duduk sendirian. Ia telah diperintahkan oleh Aini untuk memantau email dan DM yang masuk terkait pengumuman ini—untuk mengumpulkan laporan korban yang akan ia hadapi dan juga menyaring lamaran kerja. Di tangannya, ia memegang ponsel. Layar ponselnya kini menampilkan kotak masuk email atau DM Instagram yang penuh dengan laporan dari para korban findom-nya DAN juga tumpukan lamaran kerja yang ironisnya masuk karena publikasi kontrak yang aslinya ia tandatangani sebagai referensi. Bayu harus membaca semuanya. Setiap pesan laporan adalah bukti nyata dari dampak tindakannya, disampaikan langsung oleh orang-orang yang ia tipu daya. Ini adalah realita pahit, jauh berbeda dari sekadar melihat nominal transfer atau menghapus cuitan. Dan melihat tumpukan lamaran yang masuk karena pekerjaan yang baru saja ia rusak... itu adalah ironi yang menusuk.

Di sinilah awal mula "penebusan dosa" Bayu yang sesungguhnya. Bukan sekadar menjalankan tugas, melainkan menghadapi konsekuensi yang datang langsung dari korban yang melapor atas panggilan Aini, sambil melihat orang lain berebut mendapatkan posisi yang baru saja ia nodai. Beban di dadanya terasa bertambah berat saat ia menyadari skala dampak perbuatannya, betapa langsungnya proses yang harus ia jalani ini, dan ironi nasibnya sendiri. Tugas-tugas Aini—merekam video pengakuan, mengembalikan uang, membersihkan akun X—kini terasa terkait langsung dengan laporan-laporan korban yang masuk ini. Dan yang paling menghantui, yang membuatnya mual hanya dengan memikirkannya, adalah tugas meminta maaf tatap muka. Berhadapan langsung dengan mereka yang kini telah diidentifikasi oleh Aini, yang melaporkan kepadanya, yang bersedia bertemu di Jogja.

Bayu tahu ia harus memulai. Ia harus melaksanakan perintah Aini. Ia harus menghadapi para korban itu. Tetapi rasa takut, malu, dan kehinaan mendalam membanjirinya, terutama saat ia memikirkan momen harus duduk berhadapan dengan seseorang yang ia perintahkan untuk melakukan hal-hal menjijikkan atau yang uangnya ia ambil, sambil sadar bahwa posisinya kini diincar oleh ratusan orang. Ini adalah pukulan telak pada harga dirinya sebagai lulusan S2 yang ambisinya berujung pada kehinaan ini. Proses penebusan dosa telah dimulai, dan itu akan jauh lebih menyakitkan daripada yang pernah ia bayangkan.

Dua pekan jeda manggung terasa aneh bagi Aini Zhafara. Biasanya, periode ini akan diisi dengan persiapan tur berikutnya, latihan intensif, atau mungkin sedikit liburan singkat. Namun kali ini, keheningan jadwal panggung diisi dengan proses pemulihan psikis dan penataan ulang timnya. Aini menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah barunya, jauh dari sorotan lampu dan keramaian penggemar. Meskipun fisiknya beristirahat, pikirannya bekerja keras.

Setiap kali ia memikirkan insiden Bayu, gelombang kengerian dan kemarahan kembali muncul. Pengkhianatan dari orang yang ia percaya penuh, yang ia gaji besar dan berikan fasilitas nyaman. Menggunakan namanya, mengambil foto-foto rentannya, dan melakukan praktik findom yang menjijikkan itu. Aini masih merasa mual membayangkan betapa jauhnya obsesi penggemar bisa pergi, dan betapa kejamnya Bayu memanfaatkan itu. Kejadian ini menggores luka dalam pada kepercayaan dan rasa amannya.

Namun, di tengah rasa sakit itu, Aini juga melakukan refleksi yang jujur. Ia kembali melihat SPK yang ia susun sendiri. Ya, itu memberinya kuasa penuh, tetapi ia menyadari bahwa terlalu percaya pada satu orang, seketat apa pun kontraknya, adalah kelemahan fatal. Ia terlalu mengabaikan detail, terutama di ranah online yang kini terbukti menjadi titik rapuhnya. Ia fokus pada panggung dan bisnis offline, menyerahkan kendali digital penuh kepada asisten tanpa pengawasan yang memadai. Insiden ini adalah tamparan keras yang menyadarkannya.

Selama jeda ini, Aini tidak hanya merenung. Ia bertindak. Ponselnya bukan lagi hanya alat untuk menerima notifikasi atau membalas pesan penting; kini menjadi pusat aktivitas rekrutmen. Aini menghabiskan waktu berjam-jam membaca ribuan lamaran yang masuk setelah ia membagikan detail SPK Bayu di Instagram Story. Ia terkejut melihat antusiasme dan beragamnya latar belakang pelamar. Ia menyeleksi mereka berdasarkan kualifikasi, pengalaman, dan yang terpenting, firasatnya tentang kejujuran dan kepercayaan.

Aini mulai melakukan wawancara. Ia tidak hanya bertanya tentang pengalaman kerja atau keahlian, tetapi juga tentang integritas, pemahaman tentang privasi artis, dan sikap mereka terhadap media sosial. Ia belajar bagaimana seharusnya membangun sebuah tim manajemen yang solid—dua asisten pribadi dengan pembagian tugas yang jelas, mungkin koordinator media sosial, atau bahkan penasihat hukum yang siaga. Ini adalah proses pembelajaran yang cepat dan intensif baginya.

Setelah melalui proses seleksi yang ketat, Aini membuat keputusannya. Ia tidak lagi mencari asisten yang hanya patuh buta dan serba bisa seperti Bayu, melainkan individu dengan keahlian spesifik dan latar belakang yang berbeda, membawa perspektif baru ke dalam timnya.

Ia memilih Eka Yunita Sari, lulusan S1 Pendidikan Seni Tari kelahiran 27 September 1993 yang pernah menjadi ASN tingkat rendah di Dinas Kebudayaan, Kundha Kabudayan Yogyakarta. Latar belakang Eka di bidang seni dan pengalamannya di birokrasi memberinya pemahaman unik tentang dunia Aini dan struktur kerja yang terorganisir, serta kedewasaan yang sedikit lebih matang.

Asisten keduanya adalah Arya Zakaria, seorang lulusan S2 Akuntansi kelahiran 10 April 1994 yang sebelumnya bekerja secara freelance. Keahlian Arya dalam angka dan manajemen keuangan akan menjadi aset berharga, sangat kontras dengan kualifikasi Bayu yang lebih umum. Aini melihat potensi profesionalisme yang tinggi pada Arya, dan ia tertarik dengan kejujuran Arya saat melamar.

Di sela-sela proses rekrutmen, Aini juga mulai secara aktif mengambil alih akun X @AiniZhafara setelah Bayu membersihkannya. Ia login, melihat feed kosong yang telah dibersihkan oleh Bayu. Ada rasa aneh menggunakan akun yang dulunya adalah sumber kegelapan dan pengkhianatan atas namanya. Perlahan, Aini mulai mencoba memahami platform ini. Ia mulai memposting cuitan-cuitan singkat yang tulus, berinteraksi dengan penggemar secara positif, mencoba membangun kembali citra akun tersebut menjadi representasi dirinya yang sebenarnya. Akun yang tadinya merupakan alat manipulasi kini ia ubah menjadi kanal komunikasi otentik antara dirinya dan penggemar.

Di akhir dua pekan jeda, Aini Zhafara memang belum sepenuhnya pulih dari luka psikisnya. Bayangan pengkhianatan Bayu dan kengerian praktik findom itu akan membekas lama. Namun, ia tidak lagi merasa tidak berdaya. Ia telah mengambil langkah konkret. Dua asisten pribadi baru, Eka dan Arya, telah terpilih, siap bergabung dengan timnya yang akan datang. Fondasi manajemen yang lebih profesional dan terstruktur mulai terbentuk. Aini telah belajar dari insiden pahit ini. Ia kembali ke panggung bukan hanya sebagai biduan dengan bakat luar biasa, tetapi juga sebagai profesional yang lebih cerdas, lebih waspada, dan lebih memegang kendali penuh atas setiap aspek kariernya, termasuk dunia digitalnya.