Episode 9 — Pengkhianatan Tangan Kanan Kepercayaan

 

Cahaya biru dari layar laptop menerangi wajah Edo, memantulkan kilatan di matanya yang penuh kekaguman. Baru semalam ia menonton penampilan Aini Zhafara di YouTube, video yang merekam konser di sebuah lapangan yang dipadati ribuan penonton di bawah terik matahari. Goyangan "Uleghh Uleghh" yang dinamis, suara Aini yang serak basah memikat, dan sorak sorai histeris penonton dalam video itu meninggalkan kesan mendalam. Edo sudah lama tahu Aini, tapi entah mengapa, penampilan semalam terasa berbeda. Ada daya tarik yang kuat, sesuatu yang lebih dari sekadar musik dan goyangan.

"Rasanya... pengen kenal lebih dekat," gumam Edo pada dirinya sendiri. Di benaknya terbayang betapa serunya jika bisa berinteraksi langsung dengan Aini, sekadar mengirim pesan dan mendapat balasan. Di era digital ini, sekat antara idola dan penggemar terasa semakin tipis. Ia melihat teman-temannya bisa berinteraksi dengan selebriti lain melalui media sosial. Mengapa ia tidak mencoba dengan Aini?

Dengan tekad yang baru muncul, Edo membuka browser. Tangannya mengetikkan nama Aini Zhafara di kolom pencarian. Jantungnya berdebar sedikit. Ia siap untuk memulai petualangan mencari jejak digital sang idola.

Jari Edo menari di atas keyboard, mengetikkan "Aini Zhafara" diikuti nama-nama platform media sosial: "Aini Zhafara Instagram", "Aini Zhafara TikTok", "Aini Zhafara Facebook", "Aini Zhafara X", "Aini Zhafara YouTube". Hasil pencarian segera membanjiri layar. Daftarnya panjang dan membingungkan. Muncul akun-akun dengan nama Aini Zhafara dalam berbagai variasi, akun-akun fanbase yang dibuat oleh penggemar, dan beberapa yang sekilas tampak seperti akun pribadi tapi tanpa verifikasi jelas.

Di Instagram, ada beberapa akun dengan nama Aini Zhafara. Salah satunya, @aini_zhafaratoktil, memiliki jumlah pengikut paling banyak dan postingan yang terlihat profesional: foto-foto panggung berkualitas tinggi, endorsement produk, dan sesekali video pendek. Ada juga akun lain dengan nama mirip tapi pengikutnya sedikit, jelas bukan akun asli.

TikTok juga serupa. Ada akun @ainizhafaratoktilaja yang menampilkan video-video goyangan pendek Aini dari berbagai acara, seringkali viral dan ramai komentar. Banyak juga akun re-upload atau kompilasi goyangan Aini yang dibuat penggemar.

Di Facebook, Edo menemukan Fanpage resmi dengan ribuan likes dan grup-grup penggemar. Akun profil pribadi dengan nama Aini Zhafara juga ada, tapi sulit dipastikan keasliannya.

Ketika mencari di X, muncul beberapa akun juga. Salah satunya, @AiniZhafara, memiliki bio yang simpel tapi jumlah pengikutnya cukup banyak, meski tidak sebanyak akun Instagram atau TikTok. Kontennya lebih banyak berupa cuitan singkat, interaksi dengan beberapa akun lain, dan unggahan foto atau video sederhana. Akun-akun X lain tampak jelas sebagai akun fanbase atau parodi.

YouTube menampilkan banyak video konser Aini (termasuk yang baru saja ditonton Edo), rekaman live streaming, dan video klip, banyak diunggah oleh kanal berbeda, baik resmi maupun tidak. Kanal Aini di YouTube tampaknya tak ada yang memberi indikasi kanal resmi.

Edo merasa sedikit kewalahan. Begitu banyak jejak digital Aini, tapi mana yang benar-benar tempat ia bisa terhubung dan berkomunikasi secara pribadi? Fokus pencariannya kini beralih dari sekadar menemukan, menjadi mencoba berinteraksi.

Mata Edo menyaring hasil pencarian. Ia mengklik satu per satu akun yang muncul, membandingkan jumlah pengikut, jenis konten, dan aktivitas terbaru. Sebagian besar ternyata hanyalah akun penggemar yang dibuat untuk berbagi konten Aini atau bahkan akun palsu yang berusaha meniru.

Setelah menelusuri beberapa saat, Edo mempersempit pilihannya. Tiga akun tampak paling menjanjikan sebagai akun yang mungkin dikelola langsung atau berafiliasi erat dengan Aini, dan yang memberinya keyakinan ekstra adalah tanda verifikasi yang menyertainya:

Pertama, akun Instagram @aini_zhafaratoktil. Pengikutnya jutaan, fotonya selalu terlihat profesional, dan ada banyak story yang menampilkan aktivitas harian Aini di balik panggung. Kontennya terasa personal sekaligus terkurasi dengan baik. Di samping nama akun, ada ikon centang biru kecil yang menjadi penanda bahwa akun ini diverifikasi keasliannya oleh pihak Instagram.

Kedua, akun TikTok @ainizhafaratoktilaja. Nama penggunanya yang unik menarik perhatian, dan kontennya sebagian besar adalah video pendek goyangan Aini dari berbagai acara. Video-videonya sering viral, dan kualitasnya bervariasi, terasa lebih spontan dibanding Instagram. Jutaan orang mengikuti akun ini. Akun ini juga memiliki tanda verifikasi, berupa centang biru, menegaskan bahwa ini adalah akun resmi.

Ketiga, akun X @AiniZhafara. Pengikutnya tidak sebanyak dua akun lainnya, tetapi cukup signifikan, ratusan ribu lebih. Cuitannya lebih singkat, kadang respons terhadap topik trending, dan ada beberapa unggahan foto atau video sederhana yang tidak muncul di platform lain. Beberapa postingannya tampak pribadi nan provokatif, seperti foto Aini yang sedang santai di rumah dengan pakaian minim. Rasanya lebih raw dan pribadi. Akun X ini memiliki centang berwarna, entah biru atau kuning, yang menandakan bahwa akun ini juga telah diverifikasi oleh platform X.

Edo juga melihat kanal YouTube resmi Aini yang fokus pada musik dan video klip, serta Fanpage Facebook, tapi ketiga akun berverifikasi di Instagram, TikTok, dan X itulah yang terasa paling potensial untuk interaksi langsung dan personal yang ia cari. Status verifikasi ini menghilangkan keraguan Edo; ia yakin ini adalah kanal komunikasi resmi Aini. Tekadnya bulat: ia akan mencoba menghubungi Aini melalui ketiga akun ini.

Dengan hati berdebar antusias, Edo membuka aplikasi Instagram. Ia masuk ke profil @aini_zhafaratoktil yang bercentang biru itu. Di bawah foto terbaru Aini yang sedang tersenyum anggun di backstage, ia mengetikkan komentar.

"Mbak Aini cantik banget malam ini! Sukses terus konsernya di Subang kemarin ya! Saya nonton di YouTube, keren abis!"

Setelah mengirim komentar, ia membuka fitur pesan langsung. Ia ragu sejenget, mencari kata-kata yang pas agar pesannya menonjol di antara ribuan pesan yang mungkin masuk. Akhirnya, ia memutuskan untuk menulis pesan yang lebih pribadi.

"Halo, Mbak Aini. Nama saya Edo. Saya ngefans banget sama Mbak Aini. Seneng banget bisa nemu akun Instagram resminya. Kalau ada waktu luang, bales ya Mbak. Makasih banyak!"

Ia mengirim pesan itu dengan harapan besar. Lalu, ia beralih ke TikTok @ainizhafaratoktilaja. Di salah satu video goyangan Aini yang paling viral, ia meninggalkan komentar singkat.

"Goyangan uleghh uleghh paling the best! Bikin semangat!"

Tak lupa, ia membuka aplikasi X dan masuk ke akun @AiniZhafara. Ia me-mention akun tersebut dalam sebuah cuitan.

"Baru tahu Mbak Aini punya X! Langsung follow! Semoga bisa disapa ya Mbak Aini @AiniZhafara! Penggemar dari jauh nih!"

Selain itu, ia juga mengirim pesan langsung di X, serupa dengan yang ia kirimkan di Instagram, tapi sedikit lebih ringkas.

"Mbak Aini, saya Edo. Seneng bisa follow akun X resminya. Semoga bisa balas DM ya Mbak."

Setelah selesai, Edo menutup semua aplikasi. Ia bersandar di kursi, menatap langit-langit kamar. Perasaan harap-harap cemas menyelimutinya. Akankah pesannya dibaca? Akankah ia mendapatkan balasan dari Aini Zhafara, idola yang selama ini hanya bisa ia saksikan dari layar? Ia tahu kemungkinan dibalas sangat kecil, mengingat popularitas Aini. Tapi tetap saja, secercah harapan itu ada.

Jam demi jam berlalu, lalu berubah menjadi hari. Edo berulang kali membuka aplikasi Instagram, TikTok, dan X. Di Instagram, komentar yang ia tulis di foto Aini tenggelam di antara ratusan komentar lain, tidak mendapat balasan maupun like dari akun @aini_zhafaratoktil. Pesan langsung yang ia kirim juga tetap centang satu, tidak menunjukkan tanda-tanda dibaca. Begitu juga di TikTok, komentarnya di video goyangan Aini hanya menjadi satu dari ribuan komentar lainnya yang ramai, tanpa respons dari akun @ainizhafaratoktilaja.

Ia mencoba lagi, mengirim pesan lain di Instagram, meninggalkan komentar di postingan TikTok terbaru. Hasilnya tetap sama: hening. Akun-akun itu aktif mengunggah konten baru—foto endorsement di Instagram, video goyangan di TikTok—namun tidak pernah berinteraksi langsung dengan pengikut mereka di kolom komentar atau pesan. Edo mulai merasa sedikit kecewa, harapannya untuk bisa terhubung pribadi dengan Aini melalui platform-platform ini perlahan memudar. "Mungkin memang terlalu banyak fans ya," pikirnya pasrah. Ia sadar Aini pasti sangat sibuk. Ia pikir, mungkin memang hanya bisa mengagumi dari jauh. Hanya satu platform yang belum menunjukkan hasil apa pun, baik itu keheningan total maupun respons. Akun X @AiniZhafara.

Saat Edo sudah mulai melupakan pesan-pesan yang ia kirim, perhatiannya tiba-tiba tersentak. Layar ponselnya berkedip, menunjukkan notifikasi baru. Dari aplikasi X.

"Eh?" gumamnya tak percaya.

Notifikasi itu datang dari akun @AiniZhafara. Sebuah balasan.

Cepat-cepat Edo membuka aplikasi X. Ia langsung menuju kotak masuk pesannya dengan akun @AiniZhafara. Benar saja, ada pesan balasan! Jantungnya berdebar kencang, rasa kecewa karena diabaikan di platform lain seketika terlupakan. Ia akan mendapatkan balasan dari Aini Zhafara!

Dibukanya pesan tersebut. Balasannya singkat, hanya beberapa kata.

@AiniZhafara: "Oke, sudah lihat. Mau apa?"

Edo membaca ulang. Alisnya sedikit terangkat. Nada pesannya terasa... agak dingin? Atau mungkin blak-blakan? Agak berbeda dari bayangan Edo tentang Aini yang murah senyum di panggung. Tapi itu balasan! Itu balasan langsung dari akun terverifikasi Aini Zhafara!

Rasa aneh itu cepat tertutup oleh kegembiraan yang meluap. Ia tidak diabaikan! Ia mendapat respons! Mungkin ini memang gaya Aini di media sosial yang lebih santai dan apa adanya. Rasa penasaran baru muncul: mau apa? Apakah Aini akan memberikan tugas, atau sekadar bertanya kabar? Apapun itu, Edo siap. Ia membalas dengan cepat, mengungkapkan kekaguman dan kesiapan untuk melakukan apa pun. Ia tidak menyadari bahwa di balik layar, pesan singkat itu diketik oleh jari-jari yang berbeda, dengan motivasi yang jauh dari sekadar interaksi idola-penggemar biasa.

Jauh dari keramaian panggung dan kilatan lampu sorot, di sebuah kamar sederhana di rumah lama Aini yang kini ia tempati, Bayu Raditya duduk bersila di lantai, punggung bersandar pada dinding. Ponselnya berada dalam genggaman, cahaya layarnya memantulkan kelelahan di matanya. Aplikasi X terbuka. Profil yang terpampang di layar adalah @AiniZhafara.

Bayu membaca pesan masuk terbaru. Pesan dari Edo, yang meluapkan kegembiraan dan kesiapan untuk melakukan apa pun setelah mendapat balasan singkat "Oke, sudah lihat. Mau apa?". Bibir Bayu membentuk senyum tipis yang sulit diartikan—campuran rasa lelah, sedikit geli, dan mungkin secuil rasa kuasa yang kontras dengan posisinya sehari-hari. Ia menggeser layar, melihat pesan-pesan lain yang menumpuk. Permintaan aneh, pujian berlebihan, hingga tawaran yang menjijikkan.

Tangannya bergerak lincah di atas keyboard virtual. Ia tidak mengetik dengan kecepatan bersemangat seorang idola yang membalas penggemar, melainkan dengan efisiensi seseorang yang menjalankan "tugas" atau, lebih tepatnya, "proyek pribadi". Setiap ketikan terasa disengaja, dipilih untuk memancing respons tertentu, untuk menguji seberapa jauh penggemar ini rela melangkah. Dalam keheningan kamar, suara ketukan jari Bayu di layar ponsel adalah satu-satunya suara. Di sinilah, di balik nama besar Aini Zhafara, Bayu menemukan ruang untuk bernapas dari himpitan kontrak dan tuntutan Aini. Di sinilah, untuk sesaat, ia merasa memiliki kendali.

Kisah belanjut dengan interaksi seorang penggemar bernama Jaka kepada Aini Zhafara. Jaka mengantisipasi sebuah peran yang telah disepakati. Respons dari akun X @AiniZhafara terasa merendahkan, memanggil Jaka dengan sebutan "tolol". Meskipun demikian, Jaka justru semakin terobsesi, terpicu hanya dengan melihat unggahan akun X @AiniZhafara. Fantasi-fantasi tentang dominasi dan pelayanan yang ekstrem mulai terungkap. Jaka menatap foto profil akun X @AiniZhafara, merasa terhina namun juga bergairah.

"Hai, Mbak Aini," tulis Jaka dengan nada hati-hati.

"Tolol!" balas akun X @AiniZhafara singkat.

Jaka membalas dengan emoji tersenyum dan hati, merasa diperhatikan oleh idolanya.

Kemudian, penggemar lain bernama Bambang terhanyut dalam mimpi tentang Aini Zhafara. Sebuah mimpi di mana sang idola memegang kendali penuh. Terbangun dari tidur, penyesalan menggelayuti hati karena pengalaman itu hanya terjadi di alam bawah sadar. Kerinduan untuk merasakan dominasi itu dalam dunia nyata semakin membara. Bambang menghela napas panjang, membayangkan kembali mimpinya yang terasa begitu nyata.

Interaksi dengan Aini Zhafara berlanjut dalam percakapan yang tampaknya lebih langsung. Perintah-perintah verbal dilontarkan, dan Bambang dengan patuh menuruti. Bahasa yang merendahkan dari akun X @AiniZhafara justru terasa sebagai validasi baginya.

"Kirimkan fotomu sekarang!" perintah akun X @AiniZhafara melalui pesan singkat.

"Baik, Mbak Aini," balas Bambang cepat, segera mencari pose terbaik untuk dikirimkan. Ia merasa gugup namun juga senang mendapatkan perintah langsung dari idolanya.

Dalam interaksi lain dengan akun X @AiniZhafara, perintah-perintah sederhana seperti menirukan suara binatang dan gerakan fisik diberikan kepada penggemar bernama Cakra. Tanpa ragu, Cakra melaksanakannya, menunjukkan kepatuhan yang nyaris tanpa batas. Cakra terkekeh geli namun tetap menuruti setiap perkataan akun X @AiniZhafara.

"Coba tirukan suara ayam!" perintah akun X @AiniZhafara melalui panggilan telepon.

"Kukuruyuk!" jawab Cakra dengan penuh semangat, tak peduli dengan pandangan orang di sekitarnya.

Obsesi semakin mendalam ketika Bambang berinteraksi dengan akun X @AiniZhafara lagi. Permintaan untuk melakukan video call diajukan, namun harus ditebus dengan "bukti" berupa foto. Perasaan malu bercampur gairah saat berinteraksi dengan sang idola. Bahkan, bau kaos kaki Aini Zhafara pun dipuja dengan kata-kata yang ekstrem.

Di dunia maya, jauh dari gemerlap panggung, keanehan mulai merajalela di akun X @AiniZhafara. Akun yang diam-diam dikelola Bayu ini menjadi pusat interaksi yang melampaui batas normal idola dan penggemar, terutama dengan penggemar pria yang paling fanatik dan rentan. Pesan-pesan aneh dan memohon dari ratusan penggemar membanjiri kotak masuk. Bayu, di balik layar ponselnya, membaca semua itu dengan campuran lelah, jijik, dan rasa kuasa yang aneh. Permohonan untuk direndahkan, perintah aneh, hingga tawaran "sumbangan"—semua mengalir deras.

Bayu mulai mencoba pendekatan yang lebih langsung dan sistematis kepada beberapa penggemar yang paling fanatik dan putus asa untuk mendapatkan sesuatu yang "lebih". Kepada mereka, ia mengirim pesan yang berbeda, memancing kesediaan mereka untuk "berinvestasi" dalam pemujaan ini. Pengalaman lelang barang bekas Aini dan pesan dari Dimas yang menawarkan "sumbangan" mengkristalkan ide ini di benak Bayu. Mengapa tidak menggabungkan keduanya? Mengapa tidak mengkomodifikasi hasrat kuasa dan pemujaan ekstrem ini secara langsung?

@AiniZhafara (oleh Bayu): "Kamu serius mau buktiin kamu fans sejati? Ada level yang lebih tinggi untuk fans khusus."

Respons datang dengan cepat, penuh antusiasme.

Penggemar: "Iya Mbak Aini! Apa aja! Perintah aja! Saya siap!"

@AiniZhafara (oleh Bayu): "Kalau gitu... transfer sejumlah uang ke rekening ini." (Bayu mengetikkan nomor rekening di ponselnya). Ia berhenti sejenak. Ini rekening pribadinya, atas nama Bayu Raditya. Sedikit riskan, ini melibatkan dirinya secara langsung, keluar dari bayangan Aini. Tapi ini paling mudah. Ia mengetikkan detail rekening tersebut.

Permintaan uang secara langsung ini mengejutkan beberapa penggemar, namun tidak menghentikan mereka yang paling fanatik. Justifikasi muncul dari sisi penggemar: ini adalah bentuk sedekah, dukungan finansial langsung kepada idola, atau "pembayaran" untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan eksklusif.

Namun, ada juga penggemar yang sempat bertanya, sedikit bingung: "Mbak Aini, ini rekening kok atas nama Bayu Raditya ya? Asistennya Mbak Aini?"

Bayu tidak gentar. Ia sudah menyiapkan "rasionalisasi" yang terdengar meyakinkan, memanfaatkan fakta bahwa Bayu memang dikenal publik sebagai asisten Aini. Ia mengetik balasan yang datar.

@AiniZhafara (oleh Bayu): "Oh iya. Itu rekening asistenku, Bayu. Aku nggak pegang uang receh begitu. Transfer saja ke dia. Nanti dia yang urus. Aku cuma mau laporan beres."

Kilahan tipis ini cukup bagi penggemar yang sudah dibutakan oleh hasrat dan pemujaan. Mereka menerima penjelasan itu dan kembali fokus pada keinginan mereka untuk mendapatkan sesuatu yang "lebih" dari Aini.

Dan "sesuatu yang lebih" itu, Bayu tahu, harus sangat eksklusif. Pikirannya melayang pada Aini yang seringkali lelah setelah manggung atau perjalanan panjang. Terkadang, di kamar hotel, di mobil, atau di rumah lama yang ia tempati, Aini akan tertidur pulas dalam posisi santai, seringkali hanya mengenakan pakaian tidur yang minim atau bahkan pakaian dalam, tanpa menyadari sekelilingnya. Bayu telah mengambil beberapa foto Aini dalam momen-momen pribadi yang rentan seperti itu—saat Aini tidur di sofa dengan pakaian sangat terbuka, atau saat ia meregangkan badan di pagi hari. Foto-foto itu disimpan di ponselnya.

Sekarang, foto-foto itu memiliki tujuan baru. Ia mulai menawarkan "imbalan" kepada penggemar yang mentransfer sejumlah uang dengan nominal yang ia tetapkan.

@AiniZhafara (oleh Bayu): "Kalau sudah transfer sejumlah XXX... nanti aku kasih foto eksklusif yang nggak ada di mana-mana. Foto cuma buat kamu. Foto pas aku lagi... santai banget di rumah. Rahasia kita. Jangan bocor."

Kata-kata "santai banget di rumah" adalah kode Bayu untuk foto-foto Aini dalam keadaan paling pribadi dan terbuka, yang ia ambil tanpa izin. Penggemar yang menerima tawaran findom ini merespons dengan antusiasme yang bahkan lebih besar dari permintaan aneh sebelumnya. Memiliki foto Aini dalam momen pribadi, yang tidak dibagikan kepada publik, adalah bentuk validasi dan kedekatan yang paling didambakan, dan mereka rela membayar mahal untuk itu.

Praktik findom ini perlahan berubah menjadi kecanduan; pada uang dan pada rasa kuasa. Setiap notifikasi transfer uang, setiap pesan dari penggemar yang menyatakan patuh atau rela direndahkan, memberinya dorongan ego yang tidak pernah ia rasakan saat menjadi asisten Aini. Ini adalah bentuk findom yang ia lakukan, di mana ia menggunakan dominasinya yang (palsu) atas nama Aini untuk mendapatkan keuntungan finansial dari penggemar yang tunduk dan bersedia membayar untuk direndahkan atau diperintah. Uang masuk ke rekening pribadinya, atas nama Bayu Raditya, memberinya rasa kuasa dan kemandirian finansial kecil yang tidak ia dapatkan dari gaji tetapnya.

Situasi di akun X semakin lepas kendali. Permintaan dari Erik untuk menjadi "toilet manusia" dan mengonsumsi "paket poop" dan "air suci" (urine) adalah puncak dari kegilaan ini. Bayu, meskipun merasa jijik, tetap melayani permintaan paling ekstrem sekalipun, sadar betapa besar kontrol yang ia miliki di sini, dan betapa jauh penggemar ini rela pergi. Melihat konfirmasi dari Erik dan Cakra bahwa mereka telah menerima dan "menikmati" hal-hal menjijikkan itu, membuat Bayu ngeri sekaligus tergelitik. Ia menutup aplikasi X sejenak, matanya perih, tangannya terasa dingin. Kepuasan yang didapatnya terasa kotor dan melelahkan, tetapi uangnya masuk, dan di sini, dia yang memegang kendali penuh.

Di tengah semua praktik findom dan interaksi yang semakin lepas kendali di akun X @AiniZhafara itu, Aini Zhafara sendiri tetap menjalani kehidupannya yang padat. Ia fokus pada panggung, latihan, dan aspek lain dari kariernya yang membutuhkan perhatian langsung. Ia melihat notifikasi umum, membalas pesan penting, tetapi kotak masuk pesan langsung dari penggemar seringkali dibiarkan tak tersentuh, termasuk di X yang bahkan ia tidak tahu keberadaannya.

Beberapa hari kemudian, di backstage sebuah konser di luar kota, aroma make-up dan wangi parfum berbagai penyanyi bercampur di udara. Aini sedang duduk di depan meja rias, bercermin sambil merapikan rambutnya, berbincang santai dengan sesama penyanyi dangdut yang sudah dikenalnya baik, Mbak Rita dan Mbak Santi. Mereka berbagi cerita tentang pengalaman di panggung, tantangan perjalanan, dan gosip terbaru industri.

"Wah, Mbak Aini, aku tuh denger-denger ya, di X lagi ramai banget lho bahas kamu," ujar Mbak Rita, sambil mencomot keripik dari toples di meja.

Aini mengernyitkan dahi, menyemprotkan sedikit hairspray. "X? Aku nggak punya X, Mbak. Akunku cuma Instagram sama TikTok yang aktif."

Mbak Santi melebarkan mata sedikit. "Lho, masa sih? Itu akun @AiniZhafara yang centang itu bukan akun kamu? Yang ramai banget diberitain itu?"

Aini berbalik, menatap Mbak Santi dan Mbak Rita dengan bingung. "Centang? Akun @AiniZhafara? Aku sumpah nggak tahu ada akun X atas nama aku yang seperti itu. Siapa yang bikin?"

Mbak Rita dan Mbak Santi saling pandang, ekspresi mereka berubah dari santai menjadi agak serius, bahkan sedikit ngeri.

"Lho, katanya itu akunmu, Mbak Ai? Ramai banget lho, interaksinya sama fans... Ekstrem banget katanya," Mbak Rita menurunkan tangannya dari toples keripik. "Sampai ada yang bahas... anu... 'paket' sama 'air suci' segala. Jijik banget dengarnya, tapi katanya itu permintaan dari akun Mbak Aini sendiri?"

"Iya, Mbak Ai. Aku lihat screenshot-nya di grup sebelah," tambah Mbak Santi, raut wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Ada juga lho fans yang cerita dimintain transfer uang, dikasih imbalan foto-foto aneh Mbak Aini pas lagi... tidur-tiduran gitu. Kamu beneran bagiin foto kayak gitu, Mbak Ai?"

Kata-kata Mbak Santi bagai palu godam yang menghantam Aini. Wajah Aini Zhafara berubah pias seketika. Tangannya yang memegang sisir berhenti bergerak. Matanya melebar, tatapannya kosong, dipenuhi kebingungan dan kengerian yang nyata. Ia menatap kedua rekannya dengan tak percaya.

"Akun? Akun apa? Foto? Foto tidur? Aku sumpah nggak tahu ada akun X atas nama aku yang seperti itu. Apalagi sampai minta uang, ngasih foto... foto pas aku lagi santai di rumah... aku nggak pernah melakukan itu!" Suara Aini bergetar hebat, ada nada kejutan, kemarahan, dan ketakutan yang bercampur aduk. Pikirannya berputar liar. “Foto? Pas lagi santai di rumah? Ia teringat saat-saat ia tertidur pulas di sofa di rumah lama, atau saat ia bersantai di dekat Bayu di kamar hotel. Mungkinkah...? Tidak. Siapa yang akan melakukan itu?”

Mbak Rita dan Mbak Santi bertukar pandang lagi, kali ini dengan rasa bersalah karena telah menyampaikan berita buruk ini. Aini menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, namun jantungnya berdebar kencang. Pikirannya dipenuhi kengerian dan ketidakpercayaan. Siapa? Siapa yang menggunakan namanya untuk melakukan hal-hal menjijikkan itu? Siapa yang mengambil fotonya secara diam-diam dalam momen rentan? Dan mengapa? Ia harus mencari tahu. Ia harus tahu siapa yang telah menciptakan kegilaan ini di balik namanya, tanpa sepengetahuannya, menggunakan citra dan bahkan momen pribadinya untuk keuntungan gelap.