Cahaya biru dari layar laptop menerangi wajah Edo,
memantulkan kilatan di matanya yang penuh kekaguman. Baru semalam ia menonton
penampilan Aini Zhafara di YouTube, video yang merekam konser di sebuah
lapangan yang dipadati ribuan penonton di bawah terik matahari. Goyangan
"Uleghh Uleghh" yang dinamis, suara Aini yang serak basah memikat,
dan sorak sorai histeris penonton dalam video itu meninggalkan kesan mendalam.
Edo sudah lama tahu Aini, tapi entah mengapa, penampilan semalam terasa
berbeda. Ada daya tarik yang kuat, sesuatu yang lebih dari sekadar musik dan
goyangan.
"Rasanya... pengen kenal lebih dekat," gumam
Edo pada dirinya sendiri. Di benaknya terbayang betapa serunya jika bisa
berinteraksi langsung dengan Aini, sekadar mengirim pesan dan mendapat balasan.
Di era digital ini, sekat antara idola dan penggemar terasa semakin tipis. Ia
melihat teman-temannya bisa berinteraksi dengan selebriti lain melalui media
sosial. Mengapa ia tidak mencoba dengan Aini?
Dengan tekad yang baru muncul, Edo membuka browser. Tangannya mengetikkan nama Aini Zhafara di
kolom pencarian. Jantungnya berdebar sedikit. Ia siap untuk memulai petualangan
mencari jejak digital sang idola.
Jari Edo menari di atas keyboard,
mengetikkan "Aini Zhafara" diikuti nama-nama platform media sosial:
"Aini Zhafara Instagram", "Aini Zhafara TikTok", "Aini
Zhafara Facebook", "Aini Zhafara X", "Aini Zhafara
YouTube". Hasil pencarian segera membanjiri layar. Daftarnya panjang dan
membingungkan. Muncul akun-akun dengan nama Aini Zhafara dalam berbagai
variasi, akun-akun fanbase yang dibuat oleh penggemar,
dan beberapa yang sekilas tampak seperti akun pribadi tapi tanpa verifikasi
jelas.
Di Instagram, ada beberapa akun dengan nama Aini
Zhafara. Salah satunya, @aini_zhafaratoktil, memiliki jumlah pengikut paling
banyak dan postingan yang terlihat profesional: foto-foto panggung berkualitas
tinggi, endorsement produk, dan sesekali video pendek. Ada juga
akun lain dengan nama mirip tapi pengikutnya sedikit, jelas bukan akun asli.
TikTok juga serupa. Ada akun @ainizhafaratoktilaja
yang menampilkan video-video goyangan pendek Aini dari berbagai acara,
seringkali viral dan ramai komentar. Banyak juga akun re-upload atau kompilasi
goyangan Aini yang dibuat penggemar.
Di Facebook, Edo menemukan Fanpage resmi dengan ribuan
likes dan grup-grup penggemar. Akun profil pribadi
dengan nama Aini Zhafara juga ada, tapi sulit dipastikan keasliannya.
Ketika mencari di X, muncul beberapa akun juga. Salah
satunya, @AiniZhafara, memiliki bio yang simpel tapi jumlah pengikutnya cukup
banyak, meski tidak sebanyak akun Instagram atau TikTok. Kontennya lebih banyak
berupa cuitan singkat, interaksi dengan beberapa akun lain, dan unggahan foto
atau video sederhana. Akun-akun X lain tampak jelas sebagai akun fanbase atau parodi.
YouTube menampilkan banyak video konser Aini (termasuk
yang baru saja ditonton Edo), rekaman live streaming, dan video klip,
banyak diunggah oleh kanal berbeda, baik resmi maupun tidak. Kanal Aini di
YouTube tampaknya tak ada yang memberi indikasi kanal resmi.
Edo merasa sedikit kewalahan. Begitu banyak jejak
digital Aini, tapi mana yang benar-benar tempat ia bisa terhubung dan
berkomunikasi secara pribadi? Fokus pencariannya kini beralih dari sekadar
menemukan, menjadi mencoba berinteraksi.
Mata Edo menyaring hasil pencarian. Ia mengklik satu
per satu akun yang muncul, membandingkan jumlah pengikut, jenis konten, dan
aktivitas terbaru. Sebagian besar ternyata hanyalah akun penggemar yang dibuat
untuk berbagi konten Aini atau bahkan akun palsu yang berusaha meniru.
Setelah menelusuri beberapa saat, Edo mempersempit
pilihannya. Tiga akun tampak paling menjanjikan sebagai akun yang mungkin
dikelola langsung atau berafiliasi erat dengan Aini, dan yang memberinya
keyakinan ekstra adalah tanda verifikasi yang menyertainya:
Pertama, akun Instagram @aini_zhafaratoktil.
Pengikutnya jutaan, fotonya selalu terlihat profesional, dan ada banyak story yang menampilkan aktivitas harian Aini di balik
panggung. Kontennya terasa personal sekaligus terkurasi dengan baik. Di samping nama akun, ada ikon centang biru kecil yang menjadi
penanda bahwa akun ini diverifikasi keasliannya oleh pihak Instagram.
Kedua, akun TikTok @ainizhafaratoktilaja.
Nama penggunanya yang unik menarik perhatian, dan kontennya sebagian besar
adalah video pendek goyangan Aini dari berbagai acara. Video-videonya sering
viral, dan kualitasnya bervariasi, terasa lebih spontan dibanding Instagram.
Jutaan orang mengikuti akun ini. Akun ini juga memiliki tanda
verifikasi, berupa centang biru, menegaskan bahwa ini adalah akun resmi.
Ketiga, akun X @AiniZhafara.
Pengikutnya tidak sebanyak dua akun lainnya, tetapi cukup signifikan, ratusan ribu lebih. Cuitannya lebih singkat, kadang respons
terhadap topik trending, dan ada beberapa unggahan foto atau video sederhana
yang tidak muncul di platform lain. Beberapa postingannya tampak
pribadi nan provokatif, seperti foto Aini yang sedang santai di rumah dengan
pakaian minim. Rasanya lebih raw dan pribadi. Akun X ini memiliki centang berwarna, entah biru atau kuning, yang
menandakan bahwa akun ini juga telah diverifikasi oleh platform X.
Edo juga melihat kanal YouTube resmi Aini yang fokus
pada musik dan video klip, serta Fanpage Facebook, tapi ketiga akun
berverifikasi di Instagram, TikTok, dan X itulah yang terasa paling potensial
untuk interaksi langsung dan personal yang ia cari. Status verifikasi ini menghilangkan
keraguan Edo; ia yakin ini adalah kanal komunikasi resmi Aini. Tekadnya bulat:
ia akan mencoba menghubungi Aini melalui ketiga akun ini.
Dengan hati berdebar antusias, Edo membuka aplikasi
Instagram. Ia masuk ke profil @aini_zhafaratoktil yang bercentang biru itu. Di
bawah foto terbaru Aini yang sedang tersenyum anggun di backstage, ia mengetikkan komentar.
"Mbak Aini cantik banget malam ini! Sukses terus
konsernya di Subang kemarin ya! Saya nonton di YouTube, keren abis!"
Setelah mengirim komentar, ia membuka fitur pesan
langsung. Ia ragu sejenget, mencari kata-kata yang pas agar pesannya menonjol
di antara ribuan pesan yang mungkin masuk. Akhirnya, ia memutuskan untuk
menulis pesan yang lebih pribadi.
"Halo, Mbak Aini. Nama saya Edo. Saya ngefans
banget sama Mbak Aini. Seneng banget bisa nemu akun Instagram resminya. Kalau
ada waktu luang, bales ya Mbak. Makasih banyak!"
Ia mengirim pesan itu dengan harapan besar. Lalu, ia
beralih ke TikTok @ainizhafaratoktilaja. Di salah satu video goyangan Aini yang
paling viral, ia meninggalkan komentar singkat.
"Goyangan uleghh uleghh paling the best! Bikin
semangat!"
Tak lupa, ia membuka aplikasi X dan masuk ke akun
@AiniZhafara. Ia me-mention akun tersebut dalam sebuah
cuitan.
"Baru tahu Mbak Aini punya X! Langsung follow!
Semoga bisa disapa ya Mbak Aini @AiniZhafara! Penggemar dari jauh nih!"
Selain itu, ia juga mengirim pesan langsung di X,
serupa dengan yang ia kirimkan di Instagram, tapi sedikit lebih ringkas.
"Mbak Aini, saya Edo. Seneng bisa follow akun X
resminya. Semoga bisa balas DM ya Mbak."
Setelah selesai, Edo menutup semua aplikasi. Ia
bersandar di kursi, menatap langit-langit kamar. Perasaan harap-harap cemas
menyelimutinya. Akankah pesannya dibaca? Akankah ia mendapatkan balasan dari Aini
Zhafara, idola yang selama ini hanya bisa ia saksikan dari layar? Ia tahu
kemungkinan dibalas sangat kecil, mengingat popularitas Aini. Tapi tetap saja,
secercah harapan itu ada.
Jam demi jam berlalu, lalu berubah menjadi hari. Edo
berulang kali membuka aplikasi Instagram, TikTok, dan X. Di Instagram, komentar
yang ia tulis di foto Aini tenggelam di antara ratusan komentar lain, tidak
mendapat balasan maupun like dari akun
@aini_zhafaratoktil. Pesan langsung yang ia kirim juga tetap centang satu,
tidak menunjukkan tanda-tanda dibaca. Begitu juga di TikTok, komentarnya di
video goyangan Aini hanya menjadi satu dari ribuan komentar lainnya yang ramai,
tanpa respons dari akun @ainizhafaratoktilaja.
Ia mencoba lagi, mengirim pesan lain di Instagram,
meninggalkan komentar di postingan TikTok terbaru. Hasilnya tetap sama: hening.
Akun-akun itu aktif mengunggah konten baru—foto endorsement di
Instagram, video goyangan di TikTok—namun tidak pernah berinteraksi langsung
dengan pengikut mereka di kolom komentar atau pesan. Edo mulai merasa sedikit
kecewa, harapannya untuk bisa terhubung pribadi dengan Aini melalui
platform-platform ini perlahan memudar. "Mungkin memang terlalu banyak
fans ya," pikirnya pasrah. Ia sadar Aini pasti sangat sibuk. Ia pikir,
mungkin memang hanya bisa mengagumi dari jauh. Hanya satu platform yang belum
menunjukkan hasil apa pun, baik itu keheningan total maupun respons. Akun X
@AiniZhafara.
Saat Edo sudah mulai melupakan pesan-pesan yang ia
kirim, perhatiannya tiba-tiba tersentak. Layar ponselnya berkedip, menunjukkan
notifikasi baru. Dari aplikasi X.
"Eh?" gumamnya tak percaya.
Notifikasi itu datang dari akun @AiniZhafara. Sebuah
balasan.
Cepat-cepat Edo membuka aplikasi X. Ia langsung menuju
kotak masuk pesannya dengan akun @AiniZhafara. Benar saja, ada pesan balasan!
Jantungnya berdebar kencang, rasa kecewa karena diabaikan di platform lain
seketika terlupakan. Ia akan mendapatkan balasan dari Aini Zhafara!
Dibukanya pesan tersebut. Balasannya singkat, hanya
beberapa kata.
@AiniZhafara: "Oke, sudah lihat. Mau apa?"
Edo membaca ulang. Alisnya sedikit terangkat. Nada
pesannya terasa... agak dingin? Atau mungkin blak-blakan? Agak
berbeda dari bayangan Edo tentang Aini yang murah senyum di panggung. Tapi itu
balasan! Itu balasan langsung dari akun terverifikasi Aini Zhafara!
Rasa aneh itu cepat tertutup oleh kegembiraan yang
meluap. Ia tidak diabaikan! Ia mendapat respons! Mungkin ini memang gaya Aini
di media sosial yang lebih santai dan apa adanya. Rasa penasaran baru muncul:
mau apa? Apakah Aini akan memberikan tugas, atau sekadar bertanya kabar? Apapun
itu, Edo siap. Ia membalas dengan cepat, mengungkapkan kekaguman dan kesiapan
untuk melakukan apa pun. Ia tidak menyadari bahwa di balik layar, pesan singkat
itu diketik oleh jari-jari yang berbeda, dengan motivasi yang jauh dari sekadar
interaksi idola-penggemar biasa.
Jauh dari keramaian panggung dan kilatan lampu sorot,
di sebuah kamar sederhana di rumah lama Aini yang kini ia tempati, Bayu Raditya
duduk bersila di lantai, punggung bersandar pada dinding. Ponselnya berada
dalam genggaman, cahaya layarnya memantulkan kelelahan di matanya. Aplikasi X
terbuka. Profil yang terpampang di layar adalah @AiniZhafara.
Bayu membaca pesan masuk terbaru. Pesan dari Edo, yang
meluapkan kegembiraan dan kesiapan untuk melakukan apa pun setelah mendapat
balasan singkat "Oke, sudah lihat. Mau apa?". Bibir Bayu membentuk
senyum tipis yang sulit diartikan—campuran rasa lelah, sedikit geli, dan
mungkin secuil rasa kuasa yang kontras dengan posisinya sehari-hari. Ia
menggeser layar, melihat pesan-pesan lain yang menumpuk. Permintaan aneh,
pujian berlebihan, hingga tawaran yang menjijikkan.
Tangannya bergerak lincah di atas keyboard virtual. Ia tidak mengetik dengan kecepatan
bersemangat seorang idola yang membalas penggemar, melainkan dengan efisiensi
seseorang yang menjalankan "tugas" atau, lebih tepatnya, "proyek
pribadi". Setiap ketikan terasa disengaja, dipilih untuk memancing respons
tertentu, untuk menguji seberapa jauh penggemar ini rela melangkah. Dalam keheningan
kamar, suara ketukan jari Bayu di layar ponsel adalah satu-satunya suara. Di
sinilah, di balik nama besar Aini Zhafara, Bayu menemukan ruang untuk bernapas
dari himpitan kontrak dan tuntutan Aini. Di sinilah, untuk sesaat, ia merasa
memiliki kendali.
Kisah belanjut dengan interaksi seorang penggemar bernama Jaka kepada
Aini Zhafara. Jaka mengantisipasi sebuah peran yang telah disepakati. Respons
dari akun X @AiniZhafara terasa merendahkan, memanggil Jaka dengan sebutan
"tolol". Meskipun demikian, Jaka justru semakin terobsesi, terpicu
hanya dengan melihat unggahan akun X @AiniZhafara. Fantasi-fantasi tentang
dominasi dan pelayanan yang ekstrem mulai terungkap. Jaka menatap foto profil
akun X @AiniZhafara, merasa terhina namun juga bergairah.
"Hai, Mbak Aini," tulis Jaka dengan nada hati-hati.
"Tolol!" balas akun X @AiniZhafara singkat.
Jaka membalas dengan emoji tersenyum dan hati, merasa diperhatikan oleh
idolanya.
Kemudian, penggemar lain bernama Bambang terhanyut dalam mimpi tentang
Aini Zhafara. Sebuah mimpi di mana sang idola memegang kendali penuh. Terbangun
dari tidur, penyesalan menggelayuti hati karena pengalaman itu hanya terjadi di
alam bawah sadar. Kerinduan untuk merasakan dominasi itu dalam dunia nyata
semakin membara. Bambang menghela napas panjang, membayangkan kembali mimpinya
yang terasa begitu nyata.
Interaksi dengan Aini Zhafara berlanjut dalam percakapan yang tampaknya
lebih langsung. Perintah-perintah verbal dilontarkan, dan Bambang dengan patuh
menuruti. Bahasa yang merendahkan dari akun X @AiniZhafara justru terasa
sebagai validasi baginya.
"Kirimkan fotomu sekarang!" perintah akun X @AiniZhafara
melalui pesan singkat.
"Baik, Mbak Aini," balas Bambang cepat, segera mencari pose
terbaik untuk dikirimkan. Ia merasa gugup namun juga senang mendapatkan
perintah langsung dari idolanya.
Dalam interaksi lain dengan akun X @AiniZhafara, perintah-perintah
sederhana seperti menirukan suara binatang dan gerakan fisik diberikan kepada
penggemar bernama Cakra. Tanpa ragu, Cakra melaksanakannya, menunjukkan
kepatuhan yang nyaris tanpa batas. Cakra terkekeh geli namun tetap menuruti
setiap perkataan akun X @AiniZhafara.
"Coba tirukan suara ayam!" perintah akun X @AiniZhafara
melalui panggilan telepon.
"Kukuruyuk!" jawab Cakra dengan penuh semangat, tak peduli
dengan pandangan orang di sekitarnya.
Obsesi semakin mendalam ketika Bambang berinteraksi dengan akun X
@AiniZhafara lagi. Permintaan untuk melakukan video call diajukan, namun harus ditebus dengan "bukti" berupa foto.
Perasaan malu bercampur gairah saat berinteraksi dengan sang idola. Bahkan, bau
kaos kaki Aini Zhafara pun dipuja dengan kata-kata yang ekstrem.
Di dunia maya, jauh dari gemerlap panggung, keanehan
mulai merajalela di akun X @AiniZhafara. Akun yang diam-diam dikelola Bayu ini
menjadi pusat interaksi yang melampaui batas normal idola dan penggemar,
terutama dengan penggemar pria yang paling fanatik dan rentan. Pesan-pesan aneh
dan memohon dari ratusan penggemar membanjiri kotak masuk. Bayu, di balik layar
ponselnya, membaca semua itu dengan campuran lelah, jijik, dan rasa kuasa yang
aneh. Permohonan untuk direndahkan, perintah aneh, hingga tawaran
"sumbangan"—semua mengalir deras.
Bayu mulai mencoba pendekatan yang lebih langsung dan
sistematis kepada beberapa penggemar yang paling fanatik dan putus asa untuk
mendapatkan sesuatu yang "lebih". Kepada mereka, ia mengirim pesan
yang berbeda, memancing kesediaan mereka untuk "berinvestasi" dalam
pemujaan ini. Pengalaman lelang barang bekas Aini dan pesan dari Dimas yang
menawarkan "sumbangan" mengkristalkan ide ini di benak Bayu. Mengapa
tidak menggabungkan keduanya? Mengapa tidak mengkomodifikasi hasrat kuasa dan
pemujaan ekstrem ini secara langsung?
@AiniZhafara (oleh Bayu): "Kamu serius
mau buktiin kamu fans sejati? Ada level yang lebih tinggi untuk fans
khusus."
Respons datang dengan cepat, penuh antusiasme.
Penggemar: "Iya Mbak Aini! Apa aja! Perintah aja! Saya
siap!"
@AiniZhafara (oleh Bayu): "Kalau gitu...
transfer sejumlah uang ke rekening ini." (Bayu mengetikkan nomor rekening
di ponselnya). Ia berhenti sejenak. Ini rekening pribadinya, atas nama Bayu Raditya. Sedikit riskan, ini melibatkan dirinya secara
langsung, keluar dari bayangan Aini. Tapi ini paling mudah. Ia mengetikkan
detail rekening tersebut.
Permintaan uang secara langsung ini mengejutkan
beberapa penggemar, namun tidak menghentikan mereka yang paling fanatik.
Justifikasi muncul dari sisi penggemar: ini adalah bentuk sedekah, dukungan finansial
langsung kepada idola, atau "pembayaran" untuk mendapatkan perhatian
dan perlakuan eksklusif.
Namun, ada juga penggemar yang sempat bertanya,
sedikit bingung: "Mbak Aini, ini rekening kok atas nama Bayu Raditya ya?
Asistennya Mbak Aini?"
Bayu tidak gentar. Ia sudah menyiapkan
"rasionalisasi" yang terdengar meyakinkan, memanfaatkan fakta bahwa
Bayu memang dikenal publik sebagai asisten Aini. Ia mengetik balasan yang
datar.
@AiniZhafara (oleh Bayu): "Oh iya. Itu
rekening asistenku, Bayu. Aku nggak pegang uang receh begitu. Transfer saja ke
dia. Nanti dia yang urus. Aku cuma mau laporan beres."
Kilahan tipis ini cukup bagi penggemar yang sudah
dibutakan oleh hasrat dan pemujaan. Mereka menerima penjelasan itu dan kembali
fokus pada keinginan mereka untuk mendapatkan sesuatu yang "lebih"
dari Aini.
Dan "sesuatu yang lebih" itu, Bayu tahu,
harus sangat eksklusif. Pikirannya melayang pada Aini yang seringkali lelah
setelah manggung atau perjalanan panjang. Terkadang, di kamar hotel, di mobil,
atau di rumah lama yang ia tempati, Aini akan tertidur pulas dalam posisi
santai, seringkali hanya mengenakan pakaian tidur yang minim atau bahkan
pakaian dalam, tanpa menyadari sekelilingnya. Bayu telah mengambil beberapa
foto Aini dalam momen-momen pribadi yang rentan seperti itu—saat Aini tidur di
sofa dengan pakaian sangat terbuka, atau saat ia meregangkan badan di pagi
hari. Foto-foto itu disimpan di ponselnya.
Sekarang, foto-foto itu memiliki tujuan baru. Ia mulai
menawarkan "imbalan" kepada penggemar yang mentransfer sejumlah uang
dengan nominal yang ia tetapkan.
@AiniZhafara (oleh Bayu): "Kalau sudah
transfer sejumlah XXX... nanti aku kasih foto eksklusif yang nggak ada di
mana-mana. Foto cuma buat kamu. Foto pas aku lagi... santai banget di rumah.
Rahasia kita. Jangan bocor."
Kata-kata "santai banget di rumah" adalah
kode Bayu untuk foto-foto Aini dalam keadaan paling pribadi dan terbuka, yang
ia ambil tanpa izin. Penggemar yang menerima tawaran findom
ini merespons dengan antusiasme yang bahkan lebih besar dari permintaan aneh
sebelumnya. Memiliki foto Aini dalam momen pribadi, yang tidak dibagikan kepada
publik, adalah bentuk validasi dan kedekatan yang paling didambakan, dan mereka
rela membayar mahal untuk itu.
Praktik findom ini perlahan
berubah menjadi kecanduan; pada uang dan pada rasa kuasa. Setiap notifikasi
transfer uang, setiap pesan dari penggemar yang menyatakan patuh atau rela
direndahkan, memberinya dorongan ego yang tidak pernah ia rasakan saat menjadi
asisten Aini. Ini adalah bentuk findom yang ia
lakukan, di mana ia menggunakan dominasinya yang (palsu) atas nama Aini untuk
mendapatkan keuntungan finansial dari penggemar yang tunduk dan bersedia
membayar untuk direndahkan atau diperintah. Uang masuk ke rekening pribadinya,
atas nama Bayu Raditya, memberinya rasa kuasa dan kemandirian finansial kecil
yang tidak ia dapatkan dari gaji tetapnya.
Situasi di akun X semakin lepas kendali. Permintaan
dari Erik untuk menjadi "toilet manusia" dan mengonsumsi "paket
poop" dan "air suci" (urine) adalah puncak dari kegilaan ini.
Bayu, meskipun merasa jijik, tetap melayani permintaan paling ekstrem
sekalipun, sadar betapa besar kontrol yang ia miliki di sini, dan betapa jauh
penggemar ini rela pergi. Melihat konfirmasi dari Erik dan Cakra bahwa mereka
telah menerima dan "menikmati" hal-hal menjijikkan itu, membuat Bayu
ngeri sekaligus tergelitik. Ia menutup aplikasi X sejenak, matanya perih,
tangannya terasa dingin. Kepuasan yang didapatnya terasa kotor dan melelahkan, tetapi
uangnya masuk, dan di sini, dia yang memegang kendali penuh.
Di tengah semua praktik findom dan interaksi
yang semakin lepas kendali di akun X @AiniZhafara itu, Aini Zhafara sendiri
tetap menjalani kehidupannya yang padat. Ia fokus pada panggung, latihan, dan aspek
lain dari kariernya yang membutuhkan perhatian langsung. Ia melihat notifikasi
umum, membalas pesan penting, tetapi kotak masuk pesan langsung dari penggemar
seringkali dibiarkan tak tersentuh, termasuk di X yang bahkan ia tidak tahu
keberadaannya.
Beberapa hari kemudian, di backstage
sebuah konser di luar kota, aroma make-up dan wangi
parfum berbagai penyanyi bercampur di udara. Aini sedang duduk di depan meja
rias, bercermin sambil merapikan rambutnya, berbincang santai dengan sesama
penyanyi dangdut yang sudah dikenalnya baik, Mbak Rita dan Mbak Santi. Mereka
berbagi cerita tentang pengalaman di panggung, tantangan perjalanan, dan gosip
terbaru industri.
"Wah, Mbak Aini, aku tuh denger-denger ya, di X
lagi ramai banget lho bahas kamu," ujar Mbak Rita, sambil mencomot keripik
dari toples di meja.
Aini mengernyitkan dahi, menyemprotkan sedikit hairspray. "X? Aku nggak punya X, Mbak. Akunku
cuma Instagram sama TikTok yang aktif."
Mbak Santi melebarkan mata sedikit. "Lho, masa
sih? Itu akun @AiniZhafara yang centang itu bukan akun kamu? Yang ramai banget
diberitain itu?"
Aini berbalik, menatap Mbak Santi dan Mbak Rita dengan
bingung. "Centang? Akun @AiniZhafara? Aku sumpah nggak tahu ada akun X
atas nama aku yang seperti itu. Siapa yang bikin?"
Mbak Rita dan Mbak Santi saling pandang, ekspresi
mereka berubah dari santai menjadi agak serius, bahkan sedikit ngeri.
"Lho, katanya itu akunmu, Mbak Ai? Ramai banget
lho, interaksinya sama fans... Ekstrem banget katanya," Mbak Rita
menurunkan tangannya dari toples keripik. "Sampai ada yang bahas... anu...
'paket' sama 'air suci' segala. Jijik banget dengarnya, tapi katanya itu
permintaan dari akun Mbak Aini sendiri?"
"Iya, Mbak Ai. Aku lihat screenshot-nya di grup sebelah," tambah Mbak
Santi, raut wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Ada juga lho fans yang
cerita dimintain transfer uang, dikasih imbalan foto-foto aneh Mbak Aini pas
lagi... tidur-tiduran gitu. Kamu beneran bagiin foto kayak gitu, Mbak Ai?"
Kata-kata Mbak Santi bagai palu godam yang menghantam
Aini. Wajah Aini Zhafara berubah pias seketika. Tangannya yang memegang sisir
berhenti bergerak. Matanya melebar, tatapannya kosong, dipenuhi kebingungan dan
kengerian yang nyata. Ia menatap kedua rekannya dengan tak percaya.
"Akun? Akun apa? Foto? Foto tidur? Aku sumpah
nggak tahu ada akun X atas nama aku yang seperti itu. Apalagi sampai minta
uang, ngasih foto... foto pas aku lagi santai di rumah... aku nggak pernah
melakukan itu!" Suara Aini bergetar hebat, ada nada kejutan, kemarahan,
dan ketakutan yang bercampur aduk. Pikirannya berputar liar. “Foto? Pas lagi
santai di rumah? Ia teringat saat-saat ia tertidur pulas di sofa di rumah lama,
atau saat ia bersantai di dekat Bayu di kamar hotel. Mungkinkah...? Tidak.
Siapa yang akan melakukan itu?”
Mbak Rita dan Mbak Santi bertukar pandang lagi, kali
ini dengan rasa bersalah karena telah menyampaikan berita buruk ini. Aini
menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, namun jantungnya berdebar
kencang. Pikirannya dipenuhi kengerian dan ketidakpercayaan. Siapa? Siapa yang
menggunakan namanya untuk melakukan hal-hal menjijikkan itu? Siapa yang
mengambil fotonya secara diam-diam dalam momen rentan? Dan mengapa? Ia harus
mencari tahu. Ia harus tahu siapa yang telah menciptakan kegilaan ini di balik
namanya, tanpa sepengetahuannya, menggunakan citra dan bahkan momen pribadinya
untuk keuntungan gelap.