Episode 5 — Pantat Pemikat Menggeliat Kuat

 

Rian Pratama menghela napas panjang, mencoba menyerap keriuhan festival musik di sekelilingnya. Sebagai Kepala Kepolisian Resor Subang yang terbiasa dengan rutinitas pengamanan dan rapat, malam seperti ini adalah pelarian yang menyenangkan, sekaligus bagian dari tugas untuk mendekatkan diri dengan masyarakat, terutama kaum millenial. Ia datang bersama dua stafnya, Anton dan Budi, yang ia ajak untuk memantau situasi sekaligus menikmati hiburan akhir pekan. Lapangan di halaman Mapolres penuh sesak, namun mereka berhasil menemukan tempat yang cukup strategis di area VIP yang memang diperuntukkan bagi tamu undangan dan pejabat.

Ia menenggak sisa air mineralnya, matanya mengamati panggung yang masih kosong. Beberapa penampil sebelumnya cukup menghibur, namun belum ada yang benar-benar meninggalkan kesan mendalam baginya. Rian lebih sering berbincang santai dengan Anton dan Budi tentang jalannya acara dan keamanan, daripada fokus penuh pada musik. Ia melirik jam tangannya, sudah hampir waktunya penampil utama yang kabarnya sangat fenomenal.

Anton, salah satu staf Rian yang bertugas di bagian humas, tampak lebih antusias. Ia beberapa kali memotret suasana dengan ponselnya, mencari sudut pandang yang menarik untuk dokumentasi acara. Budi, yang merupakan anggota intelijen, lebih sibuk mengamati interaksi penonton dan potensi kerawanan, sesekali melontarkan komentar ringan tentang antusiasme warga. Rian tersenyum simpul melihat tingkah kedua bawahannya itu.

“Kabarnya bintang tamu malam ini adalah penyanyi dangdut yang sedang populer, bukan?” tanya Budi, dengan nada bicara yang lebih sopan dan formal.

“Benar, Bapak. Aini Zhafara. Kabarnya goyangannya cukup fenomenal dan menjadi perbincangan,” jawab Anton, memberikan informasi yang ia ketahui dari media sosial.

“Oh, ya? Saya kurang mengikuti perkembangan musik dangdut terkini,” timpal Budi, sedikit meremehkan namun tetap menjaga kesopanan.

Rian sendiri, sebagai seorang pejabat kepolisian, berusaha menjaga citranya. Ia tahu nama Aini Zhafara sekilas dari laporan stafnya tentang potensi daya tarik massa acara ini, tapi belum pernah benar-benar memperhatikan penampilannya. Baginya, festival ini lebih tentang memastikan keamanan acara dan menjalin kedekatan dengan masyarakat. Ekspektasinya terhadap penampilan Aini Zhafara tidak terlalu tinggi, meskipun ia mengakui ada rasa ingin tahu yang tersembunyi.

Namun, ketika pembawa acara mulai memanggil nama Aini Zhafara, Rian merasakan perubahan energi di kerumunan. Orang-orang di sekitarnya yang tadi santai kini tampak lebih bersemangat, merangsek sedikit ke depan, bahkan beberapa anggota kepolisian yang bertugas di area pengamanan terlihat antusias. Teriakan histeris mulai terdengar, terutama dari penonton laki-laki di beberapa barisan depan sana.

Suasana penantian terasa berbeda, lebih intens dibandingkan sebelumnya. Rian jadi sedikit penasaran, sehebat apa sebenarnya penyanyi dangdut ini hingga bisa memicu reaksi semasif itu, bahkan di kalangan anggota kepolisian. Ia menegakkan sedikit badannya, mencoba mendapatkan pandangan yang lebih jelas ke arah panggung. Lampu sorot mulai menari-nari liar.

Saat Aini Zhafara muncul di tengah panggung, Rian merasakan sedikit kejutan. Sosok wanita itu tampak begitu tinggi dan mempesona dalam balutan gaun panggungnya yang berkilauan, sebuah kontras mencolok dengan seragam dinas yang biasa ia lihat di halaman ini. Senyumnya lebar dan tatapan matanya seolah menyapu seluruh penonton, penuh percaya diri. Aura bintangnya terasa begitu kuat dan nyata, bahkan mampu mengalihkan sejenak pikirannya dari protokoler keamanan.

“Penampilannya cukup memukau,” gumam Rian tanpa sadar, matanya terpaku pada sosok di panggung. Sebagai seorang pria, ia tidak bisa memungkiri daya tarik visual Aini.

“Benar, Bapak. Ternyata beliau memiliki daya tarik yang luar biasa. Saya kira hanya terkenal karena goyangannya saja,” komentar Anton, ponselnya langsung terangkat untuk merekam, mengabadikan momen penampilan bintang tamu di acara yang ia dokumentasikan.

“Memang cukup menarik perhatian,” timpal Budi, mengakui kekagumannya meskipun dengan nada yang lebih terkontrol.

Rian memperhatikan setiap detail penampilan Aini Zhafara. Rambut hitam panjangnya yang tergerai, kulit wajahnya yang tampak halus diterpa cahaya lampu, lekuk tubuhnya yang terlihat jelas dalam balutan kostum yang memancarkan aura feminin yang kuat. Ada sesuatu pada diri Aini yang membuatnya berbeda dari penyanyi dangdut lain yang pernah ia lihat sekilas di televisi. Ia merasakan daya tarik yang sulit ia sangkal, meskipun ia seorang pejabat publik.

Ia bukan hanya sekadar penyanyi, tapi seorang penampil sejati yang tahu bagaimana menguasai panggung. Bahkan sebelum musik dimulai, kehadirannya saja sudah berhasil membius ribuan penonton, termasuk dirinya yang berusaha tetap profesional. Rian mulai mengerti mengapa stafnya dan banyak orang begitu mengantisipasi penampilan ini. Ada daya tarik yang sulit dijelaskan, sebuah daya pikat yang begitu kuat hingga mampu menarik perhatian seorang Kepala Kepolisian Resor.

Musik "Goyang Heboh" mulai menghentak, dan saat itulah Rian benar-benar terpana. Aini Zhafara mulai bergerak, menampilkan "Goyang Uleghh Uleghh" yang menjadi ciri khasnya. Gerakan pinggulnya begitu energik, dinamis, dan... terus terang, sangat sensual di mata Rian. Fokusnya langsung terkunci pada bagian itu, membuatnya sejenak melupakan jabatannya dan hanya menjadi seorang pria yang menikmati pemandangan.

Ia belum pernah melihat goyangan seperti itu secara langsung. Ada kombinasi antara kelincahan, kekuatan, dan sensualitas dalam setiap putaran dan hentakan pinggul Aini. Gerakan itu sama sekali tidak terlihat kaku atau dipaksakan, melainkan mengalir alami seiring irama musik. Rian sampai lupa untuk memberikan instruksi kepada stafnya atau memantau keamanan sekeliling.

Bagian belakang tubuh Aini yang proporsional menjadi pusat atraksi utama dalam goyangan itu. Cara Aini menggerakkannya dengan tempo cepat namun tetap terkontrol benar-benar memukau Rian. Judul episode ini seakan bergema di kepalanya: ia memang terpesona oleh pemandangan itu. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya di acara-acara resmi kepolisian.

“Luar biasa sekali goyangannya, Bapak!” seru Anton dengan nada kagum.

“Benar, Anton. Beliau memiliki keahlian yang patut diacungi jempol,” jawab Rian, suaranya sedikit serak, matanya tak lepas dari panggung. Ia merasa sedikit malu karena terbawa suasana, namun kekagumannya terlalu besar untuk disembunyikan.

“Postur tubuhnya juga sangat ideal,” tambah Budi, akhirnya mengakui kekagumannya, bahkan kepada atasannya.

Rian nyaris tidak memperhatikan ketika Aini tampak lupa lirik di bagian reffrain lagu pertama. Ia terlalu fokus pada gerakan tarian Aini yang memikat perhatiannya sepenuhnya. Bahkan ketika Aini mengarahkan mikrofon ke penonton, Rian hanya menganggapnya sebagai bagian dari interaksi panggung yang cerdas. Ia ikut bernyanyi tanpa menyadari ada jeda sebelumnya, terhanyut dalam pemujaan bersama ribuan penggemar lainnya.

Pada lagu kedua, "Liku-Liku", Rian mulai sedikit memperhatikan vokal Aini. Suaranya memang merdu dan memiliki karakter yang kuat, cocok dengan lagu balada dangdut. Namun, perhatiannya tetap mudah teralih setiap kali Aini kembali bergerak atau berjalan melintasi panggung. Pesona visualnya terlalu dominan bagi Rian saat itu, bahkan lebih menarik daripada pesan-pesan keselamatan yang sempat ia sampaikan di awal acara.

Ketika Aini kembali lupa lirik di lagu kedua dan ketiga, Anton sempat menyeletuk pelan. Ia menyadari jeda sesaat sebelum Aini mengarahkan mikrofon ke penonton lagi. Namun, Rian hanya mengangguk sekilas, perhatiannya tidak terlalu terganggu oleh hal itu. Baginya, energi dan penampilan panggung Aini sudah lebih dari cukup untuk menghibur masyarakat Subang malam ini.

“Beliau tampak lupa lirik beberapa kali, Bapak,” bisik Anton pada Rian.

“Kemungkinan itu bagian dari interaksi dengan penonton, Anton,” jawab Rian, mencoba memberikan penjelasan yang positif.

“Namun sudah tiga kali, Bapak,” Anton sedikit ragu.

“Sudahlah, kita nikmati saja penampilannya. Goyangannya memang sangat menghibur,” Rian tertawa kecil, kembali fokus pada penampilan Aini, merasa sedikit bersalah karena sebagai Kapolres ia seharusnya lebih memperhatikan jalannya acara secara keseluruhan.

Profesionalisme Aini dalam menutupi kekurangannya justru membuat Rian semakin kagum. Ia tidak tampak panik atau kehilangan kendali panggung sedikit pun. Senyumnya tetap mengembang, gerakannya tetap lincah, dan interaksinya dengan penonton tetap hangat. Ia benar-benar tahu cara memegang kendali situasi, bahkan ketika ia melakukan kesalahan.

Puncak kekaguman Rian terjadi saat lagu "Tak Jujur". Ia mendengar jelas Aini menyanyikan lirik yang salah. Namun, alih-alih merasa kecewa, Rian justru terkesan dengan kepercayaan diri Aini yang luar biasa. Ia tidak berhenti bernyanyi atau meminta maaf, malah semakin intens bergoyang, seolah menunjukkan bahwa kekuasaannya di atas panggung tidak tergoyahkan oleh kesalahan kecil.

Cara Aini menggunakan goyangannya untuk mengalihkan perhatian dari kesalahan lirik terasa sangat cerdik. Ia seolah berkata pada penonton, "Lihat saja gerakanku, lupakan yang lain." Dan strategi itu berhasil, setidaknya pada Rian dan mungkin ribuan penonton lainnya yang terhipnotis oleh penampilannya. Rian merasa sedikit malu karena begitu terpengaruh, namun ia tidak bisa memungkiri keefektifan kesintalan badan Aini.

Rian juga memperhatikan bagaimana para pemain musik dengan cepat beradaptasi dengan kesalahan Aini. Kekompakan mereka menunjukkan profesionalisme tingkat tinggi. Semua elemen di panggung seolah bekerja sama untuk memastikan pertunjukan tetap berjalan mulus dan menghibur. Ini bukan sekadar penampilan biasa, ini adalah sebuah pertunjukan yang dikendalikan oleh karisma sang bintang.

“Saya salut dengan profesionalisme beliau, Bapak. Meskipun ada kesalahan, beliau tetap tampil percaya diri,” ujar Budi, kini benar-benar terkesan dengan mental panggung Aini.

“Benar, Budi. Band pengiringnya juga sangat piawai dalam berimprovisasi,” tambah Anton mengangguk setuju.

“Beliau memang seorang bintang yang luar biasa,” simpul Rian, kekagumannya mencapai puncak. Ia merasa malam ini ia tidak hanya melihat seorang penyanyi, tetapi juga seorang wanita yang memiliki daya tarik dan kepercayaan diri yang luar biasa.

Seiring lagu terakhir berakhir, Rian menyadari kekagumannya pada Aini Zhafara telah berubah. Bukan lagi sekadar ketertarikan fisik pada goyangannya yang sensual. Ia kini melihat Aini sebagai seorang penampil yang berbakat, karismatik, profesional, dan memiliki mental panggung yang kuat. Ia bahkan merasa sedikit terinspirasi oleh semangat dan energinya.

Ia mengagumi cara Aini membawa diri di atas panggung, cara ia berinteraksi dengan penonton, dan cara ia mengatasi masalah kecil dengan begitu elegan. Ada kecerdasan dan ketangguhan di balik senyum manis dan goyangan energiknya. Aini Zhafara lebih dari sekadar sensasi viral sesaat, ia adalah seorang bintang yang mampu memikat hati ribuan orang, termasuk seorang Kepala Kepolisian Resor.

Kekaguman pada bakat dan profesionalismenya kini mulai tumbuh dalam diri Rian. Ia merasa menemukan sesuatu yang baru malam itu, sebuah kekaguman tulus pada seorang seniman yang mampu menghibur dan memukau. Perasaan ini berbeda dari sekadar menyukai lagu atau musik, ini lebih personal. Ia merasa sedikit terhubung dengan energi yang dipancarkan Aini, sebuah energi pemikat yang kuat.

Saat Aini Zhafara membungkuk dan meninggalkan panggung, Rian ikut bertepuk tangan dengan sangat antusias. Jauh lebih keras dari tepuk tangannya untuk penampil sebelumnya. Ia merasakan sedikit keengganan saat lampu panggung meredup dan sosok Aini menghilang di balik tirai. Pertunjukan penutup itu terasa terlalu singkat.

“Penampilan yang luar biasa!” seru Anton dengan nada kagum.

“Saya setuju. Acara ini mencapai puncaknya berkat kehadiran beliau,” tambah Budi.

“Benar. Beliau memang seorang bintang,” ucap Rian mantap, menyadari bahwa ia telah menjadi salah satu dari ribuan penggemar Aini Zhafara malam itu.

Rian masih berdiri terpaku beberapa saat setelah Aini menghilang, mencoba memproses semua yang baru saja ia saksikan. Euforia penampilannya masih terasa berbekas dalam dirinya. Ia merasakan dorongan kuat untuk mengetahui lebih banyak tentang penyanyi dangdut yang berhasil mencuri perhatiannya itu. Siapa sebenarnya Aini Zhafara di luar panggung? Apakah ia selalu memiliki aura dominan seperti di atas panggung?

Energi di lapangan mulai sedikit menurun saat kru mulai membereskan peralatan setelah penampilan terakhir. Bagi Rian, puncak acara malam itu sudah jelas. Tidak ada penampil lain yang bisa menandingi kesan yang ditinggalkan Aini Zhafara. Ia merasa perlu mengabadikan momen kekaguman ini, meskipun sebagai Kapolres ia harus tetap menjaga jarak dan profesionalisme.

“Anton, coba kamu atur agar saya bisa bersalaman dengan Ibu Aini Zhafara sebelum beliau meninggalkan lokasi,” ujar Rian kepada Anton. “Saya juga ingin berfoto bersama beliau sebagai kenang-kenangan acara ini.”

“Siap, Bapak Kapolres. Akan segera saya usahakan,” jawab Anton dengan sigap. Ia segera menghubungi panitia acara yang mengurus bintang tamu.

Beberapa saat kemudian, Anton kembali menghadap Rian. “Bapak, Ibu Aini Zhafara sudah berada di ruang tunggu VIP. Beliau akan segera bersiap untuk kembali. Kita bisa menemuinya di sana.”

Rian mengangguk. Ia merasa sedikit gugup, tidak menyangka akan memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan penyanyi yang baru saja memukaunya. Bersama Anton dan Budi, Rian menuju ruang tunggu VIP.

Di dalam ruang tunggu, Aini Zhafara sedang berbincang dengan manajernya, Bayu. Ketika Rian dan stafnya masuk, Aini menoleh. Ekspresinya sedikit canggung ketika menyadari bahwa pria yang ingin bersalaman dengannya adalah Kapolres Subang, sosok yang memiliki otoritas di wilayah ini. Ia berdiri dan tersenyum sopan.

Namun, Rian justru menunjukkan sikap yang sangat rendah hati. Ia membungkuk sedikit dan menyapa Aini dengan nada sopan, “Selamat malam, Ibu Aini. Saya Rian Pratama, Kapolres Subang. Terima kasih banyak atas penampilan yang luar biasa malam ini. Masyarakat kami sangat terhibur.”

Aini tampak sedikit terkejut dengan keramahan dan kesopanan Rian. Ia membalas senyumnya dan berkata, “Selamat malam, Bapak Kapolres. Terima kasih kembali atas undangannya. Saya senang bisa menjadi bagian dari acara ini.”

Rian kemudian melanjutkan, “Penampilan Ibu sangat memukau. Saya dan staf saya sangat menikmati. Kalau tidak keberatan, saya ingin sekali berfoto bersama Ibu sebagai kenang-kenangan.”

Aini tersenyum lebar. “Tentu saja, Bapak Kapolres. Dengan senang hati.”

Anton segera mengambil ponselnya dan mengabadikan momen tersebut. Rian berdiri di samping Aini, tersenyum lebar. Meskipun ia seorang pejabat tinggi kepolisian, malam itu ia hanyalah seorang penggemar yang merasa senang bisa bertemu dengan idolanya. Aura pemujaan kepada Aini terasa kuat dalam ruangan tersebut, bahkan dari seorang Kapolres. Sikap Rian yang merendah di hadapan Aini, seorang biduan dengan kesintalan badan menawan, juga memberikan sentuhan menundukkan dalam interaksi tersebut.

Setelah sesi foto singkat, Rian kembali berbicara kepada Aini dengan nada menawarkan bantuan. “Ibu Aini, karena acara sudah selesai dan Ibu mungkin akan segera meninggalkan Subang, saya kebetulan juga akan segera kembali ke kediaman. Jika Ibu berkenan, saya bisa sekalian mengawal perjalanan Ibu sampai keluar dari wilayah Subang. Saya akan menyupir sendiri, jadi tidak akan merepotkan.” Rian menambahkan dengan nada yang mencoba terdengar rasional, “Ini juga bagian dari memastikan keamanan Ibu setelah tampil di acara yang dihadiri banyak orang.”

Aini dan Bayu saling bertukar pandang sejenak. Tawaran dari seorang Kapolres untuk mengawal dan menyetir sendiri tentu tidak terduga.

“Terima kasih banyak atas tawarannya, Bapak Kapolres,” jawab Aini dengan sedikit canggung namun tetap sopan. “Itu akan sangat membantu kami.”

Bayu, sang manajer, juga mengangguk setuju dengan ekspresi terkejut namun berterima kasih. Tawaran pengawalan langsung dari Kapolres adalah sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Saat Rian menyampaikan tawarannya, Anton dan Budi saling bertukar pandang dengan ekspresi keheranan yang kentara. Sebagai bawahan, mereka tahu betul bahwa seorang Kapolres memiliki protokoler yang ketat dan jarang sekali melakukan tugas pengawalan secara pribadi, apalagi menyetir sendiri. Mereka hanya bisa diam dan mengikuti perintah atasan mereka yang tampak begitu antusias.

Aini dan Bayu, setelah menerima tawaran tak terduga tersebut, berjalan bersama Rian menuju mobil dinas Kapolres yang sudah disiapkan. Sebelum masuk ke dalam mobil, Aini menoleh ke arah Rian dengan senyum ramah. “Terima kasih sekali lagi, Bapak Kapolres, atas keramahannya dan tawarannya ini. Semoga Bapak selamat dalam perjalanan pulang.”

Rian membungkuk sedikit lagi dengan sopan. “Sama-sama, Ibu Aini. Merupakan suatu kehormatan bagi kami bisa menjamu Ibu di Subang. Hati-hati di jalan.” Ia kemudian membuka pintu mobil untuk Aini, menunjukkan sikap seorang tuan rumah yang baik.

Aini dan Bayu masuk ke dalam mobil, diikuti oleh Rian di kursi pengemudi. Anton dan Budi hanya bisa termangu melihat mobil dinas Kapolres perlahan meninggalkan halaman Mapolres, membawa sang bintang dangdut yang baru saja memukau mereka semua. Mereka berdua saling pandang lagi, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Malam yang penuh kejutan ini akan menjadi cerita yang menarik untuk dibagikan.

Saat mobil dinas Kapolres mulai melaju meninggalkan halaman Mapolres, Aini menghela napas pelan di kursi belakang. Bayu yang duduk di sampingnya menoleh dengan tatapan bertanya. Aini menatap keluar jendela sejenak, lalu berujar lirih, “Alhamdulillah… acaranya berjalan lancar dan Bapak Kapolres sangat baik. Tapi aku tetap merasa sedikit kecewa dengan penampilanku tadi, banyak lupa lirik.”