Rian Pratama menghela napas panjang, mencoba menyerap keriuhan festival
musik di sekelilingnya. Sebagai Kepala
Kepolisian Resor Subang yang terbiasa dengan rutinitas pengamanan dan rapat, malam seperti ini
adalah pelarian yang menyenangkan, sekaligus bagian dari tugas untuk
mendekatkan diri dengan masyarakat, terutama kaum millenial. Ia datang bersama
dua stafnya, Anton dan Budi, yang ia ajak untuk memantau situasi sekaligus
menikmati hiburan akhir pekan. Lapangan di halaman Mapolres penuh sesak, namun
mereka berhasil menemukan tempat yang cukup strategis di area VIP yang memang
diperuntukkan bagi tamu undangan dan pejabat.
Ia menenggak sisa air mineralnya, matanya mengamati panggung yang masih
kosong. Beberapa penampil sebelumnya cukup menghibur, namun belum ada yang
benar-benar meninggalkan kesan mendalam baginya. Rian lebih sering berbincang
santai dengan Anton dan Budi tentang jalannya acara dan keamanan, daripada
fokus penuh pada musik. Ia melirik jam tangannya, sudah hampir waktunya
penampil utama yang kabarnya sangat fenomenal.
Anton, salah satu staf Rian yang bertugas di bagian humas, tampak lebih
antusias. Ia beberapa kali memotret suasana dengan ponselnya, mencari sudut
pandang yang menarik untuk dokumentasi acara. Budi, yang merupakan anggota
intelijen, lebih sibuk mengamati interaksi penonton dan potensi kerawanan,
sesekali melontarkan komentar ringan tentang antusiasme warga. Rian tersenyum
simpul melihat tingkah kedua bawahannya itu.
“Kabarnya bintang tamu malam ini adalah penyanyi dangdut yang sedang
populer, bukan?” tanya Budi, dengan nada bicara yang lebih sopan dan formal.
“Benar, Bapak. Aini Zhafara. Kabarnya goyangannya cukup fenomenal dan
menjadi perbincangan,” jawab Anton, memberikan informasi yang ia ketahui dari
media sosial.
“Oh, ya? Saya kurang mengikuti perkembangan musik dangdut terkini,”
timpal Budi, sedikit meremehkan namun tetap menjaga kesopanan.
Rian sendiri, sebagai seorang pejabat kepolisian, berusaha menjaga
citranya. Ia tahu nama Aini Zhafara sekilas dari laporan stafnya tentang
potensi daya tarik massa acara ini, tapi belum pernah benar-benar memperhatikan
penampilannya. Baginya, festival ini lebih tentang memastikan keamanan acara
dan menjalin kedekatan dengan masyarakat. Ekspektasinya terhadap penampilan
Aini Zhafara tidak terlalu tinggi, meskipun ia mengakui ada rasa ingin tahu
yang tersembunyi.
Namun, ketika pembawa acara mulai memanggil nama Aini Zhafara, Rian
merasakan perubahan energi di kerumunan. Orang-orang di sekitarnya yang tadi
santai kini tampak lebih bersemangat, merangsek sedikit ke depan, bahkan
beberapa anggota kepolisian yang bertugas di area pengamanan terlihat antusias.
Teriakan histeris mulai terdengar, terutama dari penonton laki-laki di beberapa
barisan depan sana.
Suasana penantian terasa berbeda, lebih intens dibandingkan sebelumnya.
Rian jadi sedikit penasaran, sehebat apa sebenarnya penyanyi dangdut ini hingga
bisa memicu reaksi semasif itu, bahkan di kalangan anggota kepolisian. Ia
menegakkan sedikit badannya, mencoba mendapatkan pandangan yang lebih jelas ke
arah panggung. Lampu sorot mulai menari-nari liar.
Saat Aini Zhafara muncul di tengah panggung, Rian merasakan sedikit
kejutan. Sosok wanita itu tampak begitu tinggi dan mempesona dalam balutan gaun
panggungnya yang berkilauan, sebuah
kontras mencolok dengan seragam dinas yang biasa ia lihat di halaman ini. Senyumnya lebar dan tatapan matanya seolah
menyapu seluruh penonton, penuh percaya diri. Aura bintangnya terasa begitu
kuat dan nyata, bahkan mampu mengalihkan sejenak pikirannya dari protokoler
keamanan.
“Penampilannya cukup memukau,” gumam Rian tanpa sadar, matanya terpaku
pada sosok di panggung. Sebagai seorang pria, ia tidak bisa memungkiri daya
tarik visual Aini.
“Benar, Bapak. Ternyata beliau memiliki daya tarik yang luar biasa. Saya
kira hanya terkenal karena goyangannya saja,” komentar Anton, ponselnya
langsung terangkat untuk merekam, mengabadikan momen penampilan bintang tamu di
acara yang ia dokumentasikan.
“Memang cukup menarik perhatian,” timpal Budi, mengakui kekagumannya meskipun
dengan nada yang lebih terkontrol.
Rian memperhatikan setiap detail penampilan Aini Zhafara. Rambut hitam
panjangnya yang tergerai, kulit wajahnya yang tampak halus diterpa cahaya
lampu, lekuk tubuhnya yang terlihat jelas dalam balutan kostum yang memancarkan aura feminin yang kuat. Ada sesuatu pada diri Aini yang membuatnya
berbeda dari penyanyi dangdut lain yang pernah ia lihat sekilas di televisi. Ia
merasakan daya tarik yang sulit ia sangkal, meskipun ia seorang pejabat publik.
Ia bukan hanya sekadar penyanyi, tapi seorang penampil sejati yang tahu
bagaimana menguasai panggung. Bahkan sebelum musik dimulai, kehadirannya saja
sudah berhasil membius ribuan penonton, termasuk dirinya yang berusaha tetap
profesional. Rian mulai mengerti mengapa stafnya dan banyak orang begitu
mengantisipasi penampilan ini. Ada daya tarik yang sulit dijelaskan, sebuah daya pikat yang begitu kuat hingga mampu menarik perhatian seorang Kepala
Kepolisian Resor.
Musik "Goyang Heboh" mulai menghentak, dan saat itulah Rian benar-benar
terpana. Aini Zhafara mulai bergerak, menampilkan "Goyang Uleghh
Uleghh" yang menjadi ciri khasnya. Gerakan pinggulnya begitu energik,
dinamis, dan... terus terang, sangat sensual di mata Rian. Fokusnya langsung
terkunci pada bagian itu, membuatnya
sejenak melupakan jabatannya dan hanya menjadi seorang pria yang menikmati
pemandangan.
Ia belum pernah melihat goyangan seperti itu secara langsung. Ada
kombinasi antara kelincahan, kekuatan, dan sensualitas dalam setiap putaran dan
hentakan pinggul Aini. Gerakan itu sama sekali tidak terlihat kaku atau
dipaksakan, melainkan mengalir alami seiring irama musik. Rian sampai lupa
untuk memberikan instruksi kepada stafnya atau memantau keamanan sekeliling.
Bagian belakang tubuh Aini yang proporsional menjadi pusat atraksi utama
dalam goyangan itu. Cara Aini menggerakkannya dengan tempo cepat namun tetap
terkontrol benar-benar memukau Rian. Judul episode ini seakan bergema di
kepalanya: ia memang terpesona oleh pemandangan itu. Sesuatu yang belum pernah
ia rasakan sebelumnya di acara-acara resmi kepolisian.
“Luar biasa sekali goyangannya, Bapak!” seru Anton dengan nada kagum.
“Benar, Anton. Beliau memiliki keahlian yang patut diacungi jempol,”
jawab Rian, suaranya sedikit serak, matanya tak lepas dari panggung. Ia merasa
sedikit malu karena terbawa suasana, namun kekagumannya terlalu besar untuk
disembunyikan.
“Postur tubuhnya juga sangat ideal,” tambah Budi, akhirnya mengakui
kekagumannya, bahkan kepada atasannya.
Rian nyaris tidak memperhatikan ketika Aini tampak lupa lirik di bagian
reffrain lagu pertama. Ia terlalu fokus pada gerakan tarian Aini yang memikat
perhatiannya sepenuhnya. Bahkan ketika Aini mengarahkan mikrofon ke penonton,
Rian hanya menganggapnya sebagai bagian dari interaksi panggung yang cerdas. Ia
ikut bernyanyi tanpa menyadari ada jeda sebelumnya, terhanyut dalam pemujaan bersama ribuan penggemar lainnya.
Pada lagu kedua, "Liku-Liku", Rian mulai sedikit memperhatikan
vokal Aini. Suaranya memang merdu dan memiliki karakter yang kuat, cocok dengan
lagu balada dangdut. Namun, perhatiannya tetap mudah teralih setiap kali Aini
kembali bergerak atau berjalan melintasi panggung. Pesona visualnya terlalu
dominan bagi Rian saat itu, bahkan
lebih menarik daripada pesan-pesan keselamatan yang sempat ia sampaikan di awal
acara.
Ketika Aini kembali lupa lirik di lagu kedua dan ketiga, Anton sempat
menyeletuk pelan. Ia menyadari jeda sesaat sebelum Aini mengarahkan mikrofon ke
penonton lagi. Namun, Rian hanya mengangguk sekilas, perhatiannya tidak terlalu
terganggu oleh hal itu. Baginya, energi dan penampilan panggung Aini sudah
lebih dari cukup untuk menghibur masyarakat Subang malam ini.
“Beliau tampak lupa lirik beberapa kali, Bapak,” bisik Anton pada Rian.
“Kemungkinan itu bagian dari interaksi dengan penonton, Anton,” jawab
Rian, mencoba memberikan penjelasan yang positif.
“Namun sudah tiga kali, Bapak,” Anton sedikit ragu.
“Sudahlah, kita nikmati saja penampilannya. Goyangannya memang sangat
menghibur,” Rian tertawa kecil, kembali fokus pada penampilan Aini, merasa
sedikit bersalah karena sebagai Kapolres ia seharusnya lebih memperhatikan
jalannya acara secara keseluruhan.
Profesionalisme Aini dalam menutupi kekurangannya justru membuat Rian
semakin kagum. Ia tidak tampak panik atau kehilangan kendali panggung sedikit
pun. Senyumnya tetap mengembang, gerakannya tetap lincah, dan interaksinya
dengan penonton tetap hangat. Ia benar-benar tahu cara memegang kendali
situasi, bahkan
ketika ia melakukan kesalahan.
Puncak kekaguman Rian terjadi saat lagu "Tak Jujur". Ia
mendengar jelas Aini menyanyikan lirik yang salah. Namun, alih-alih merasa
kecewa, Rian justru terkesan dengan kepercayaan diri Aini yang luar biasa. Ia
tidak berhenti bernyanyi atau meminta maaf, malah semakin intens bergoyang, seolah menunjukkan bahwa kekuasaannya di atas
panggung tidak tergoyahkan oleh kesalahan kecil.
Cara Aini menggunakan goyangannya untuk mengalihkan perhatian dari
kesalahan lirik terasa sangat cerdik. Ia seolah berkata pada penonton,
"Lihat saja gerakanku, lupakan yang lain." Dan strategi itu berhasil,
setidaknya pada Rian dan mungkin ribuan penonton lainnya yang terhipnotis oleh
penampilannya. Rian merasa sedikit malu karena begitu terpengaruh, namun ia
tidak bisa memungkiri keefektifan kesintalan
badan Aini.
Rian juga memperhatikan bagaimana para pemain musik dengan cepat
beradaptasi dengan kesalahan Aini. Kekompakan mereka menunjukkan
profesionalisme tingkat tinggi. Semua elemen di panggung seolah bekerja sama
untuk memastikan pertunjukan tetap berjalan mulus dan menghibur. Ini bukan
sekadar penampilan biasa, ini adalah sebuah pertunjukan yang dikendalikan oleh
karisma sang bintang.
“Saya salut dengan profesionalisme beliau, Bapak. Meskipun ada
kesalahan, beliau tetap tampil percaya diri,” ujar Budi, kini benar-benar
terkesan dengan mental panggung Aini.
“Benar, Budi. Band pengiringnya juga sangat piawai dalam
berimprovisasi,” tambah Anton mengangguk setuju.
“Beliau memang seorang bintang yang luar biasa,” simpul Rian,
kekagumannya mencapai puncak. Ia merasa malam ini ia tidak hanya melihat
seorang penyanyi, tetapi juga seorang wanita yang memiliki daya tarik dan
kepercayaan diri yang luar biasa.
Seiring lagu terakhir berakhir, Rian menyadari kekagumannya pada Aini
Zhafara telah berubah. Bukan lagi sekadar ketertarikan fisik pada goyangannya
yang sensual. Ia kini melihat Aini sebagai seorang penampil yang berbakat,
karismatik, profesional, dan memiliki mental panggung yang kuat. Ia bahkan
merasa sedikit terinspirasi oleh semangat dan energinya.
Ia mengagumi cara Aini membawa diri di atas panggung, cara ia
berinteraksi dengan penonton, dan cara ia mengatasi masalah kecil dengan begitu
elegan. Ada kecerdasan dan ketangguhan di balik senyum manis dan goyangan
energiknya. Aini Zhafara lebih dari sekadar sensasi viral sesaat, ia adalah
seorang bintang yang mampu memikat hati ribuan orang, termasuk seorang Kepala
Kepolisian Resor.
Kekaguman pada bakat dan profesionalismenya kini mulai tumbuh dalam diri
Rian. Ia merasa menemukan sesuatu yang baru malam itu, sebuah kekaguman tulus
pada seorang seniman yang mampu menghibur dan memukau. Perasaan ini berbeda
dari sekadar menyukai lagu atau musik, ini lebih personal. Ia merasa sedikit
terhubung dengan energi yang dipancarkan Aini, sebuah energi pemikat yang kuat.
Saat Aini Zhafara membungkuk dan meninggalkan panggung, Rian ikut
bertepuk tangan dengan sangat antusias. Jauh lebih keras dari tepuk tangannya
untuk penampil sebelumnya. Ia merasakan sedikit keengganan saat lampu panggung
meredup dan sosok Aini menghilang di balik tirai. Pertunjukan penutup itu terasa terlalu singkat.
“Penampilan yang luar biasa!” seru Anton dengan nada kagum.
“Saya setuju. Acara ini mencapai puncaknya berkat kehadiran beliau,”
tambah Budi.
“Benar. Beliau memang seorang bintang,” ucap Rian mantap, menyadari bahwa
ia telah menjadi salah satu dari ribuan penggemar Aini Zhafara malam itu.
Rian masih berdiri terpaku beberapa saat setelah Aini menghilang,
mencoba memproses semua yang baru saja ia saksikan. Euforia penampilannya masih
terasa berbekas dalam dirinya. Ia merasakan dorongan kuat untuk mengetahui
lebih banyak tentang penyanyi dangdut yang berhasil mencuri perhatiannya itu.
Siapa sebenarnya Aini Zhafara di luar panggung? Apakah ia selalu memiliki aura
dominan seperti di atas panggung?
Energi di lapangan mulai sedikit menurun saat kru mulai membereskan
peralatan setelah penampilan
terakhir. Bagi Rian,
puncak acara malam itu sudah jelas. Tidak ada penampil lain yang bisa
menandingi kesan yang ditinggalkan Aini Zhafara. Ia merasa perlu mengabadikan
momen kekaguman ini, meskipun sebagai Kapolres ia harus tetap menjaga jarak dan
profesionalisme.
“Anton, coba kamu atur agar saya bisa bersalaman dengan Ibu Aini Zhafara
sebelum beliau meninggalkan lokasi,” ujar Rian kepada Anton. “Saya juga ingin
berfoto bersama beliau sebagai kenang-kenangan acara ini.”
“Siap, Bapak Kapolres. Akan segera saya usahakan,” jawab Anton dengan
sigap. Ia segera menghubungi panitia acara yang mengurus bintang tamu.
Beberapa saat kemudian, Anton kembali menghadap Rian. “Bapak, Ibu Aini
Zhafara sudah berada di ruang tunggu VIP. Beliau akan segera bersiap untuk
kembali. Kita bisa menemuinya di sana.”
Rian mengangguk. Ia merasa sedikit gugup, tidak menyangka akan memiliki
kesempatan untuk bertemu langsung dengan penyanyi yang baru saja memukaunya.
Bersama Anton dan Budi, Rian menuju ruang tunggu VIP.
Di dalam ruang tunggu, Aini Zhafara sedang berbincang dengan manajernya,
Bayu. Ketika Rian dan stafnya masuk, Aini menoleh. Ekspresinya sedikit canggung
ketika menyadari bahwa pria yang ingin bersalaman dengannya adalah Kapolres
Subang, sosok yang memiliki otoritas di wilayah ini. Ia berdiri dan tersenyum
sopan.
Namun, Rian justru menunjukkan sikap yang sangat rendah hati. Ia
membungkuk sedikit dan menyapa Aini dengan nada sopan, “Selamat malam, Ibu
Aini. Saya Rian Pratama, Kapolres Subang. Terima kasih banyak atas penampilan
yang luar biasa malam ini. Masyarakat kami sangat terhibur.”
Aini tampak sedikit terkejut dengan keramahan dan kesopanan Rian. Ia
membalas senyumnya dan berkata, “Selamat malam, Bapak Kapolres. Terima kasih
kembali atas undangannya. Saya senang bisa menjadi bagian dari acara ini.”
Rian kemudian melanjutkan, “Penampilan Ibu sangat memukau. Saya dan staf
saya sangat menikmati. Kalau tidak keberatan, saya ingin sekali berfoto bersama
Ibu sebagai kenang-kenangan.”
Aini tersenyum lebar. “Tentu saja, Bapak Kapolres. Dengan senang hati.”
Anton segera mengambil ponselnya dan mengabadikan momen tersebut. Rian
berdiri di samping Aini, tersenyum lebar. Meskipun ia seorang pejabat tinggi
kepolisian, malam itu ia hanyalah seorang penggemar yang merasa senang bisa
bertemu dengan idolanya. Aura pemujaan
kepada Aini terasa kuat
dalam ruangan tersebut, bahkan dari seorang Kapolres. Sikap Rian yang merendah
di hadapan Aini, seorang biduan dengan kesintalan
badan menawan, juga
memberikan sentuhan menundukkan
dalam interaksi tersebut.
Setelah sesi foto singkat, Rian kembali berbicara kepada Aini dengan
nada menawarkan bantuan. “Ibu Aini, karena acara sudah selesai dan Ibu mungkin
akan segera meninggalkan Subang, saya kebetulan juga akan segera kembali ke
kediaman. Jika Ibu berkenan, saya bisa sekalian mengawal perjalanan Ibu sampai
keluar dari wilayah Subang. Saya akan menyupir sendiri, jadi tidak akan
merepotkan.” Rian menambahkan dengan nada yang mencoba terdengar rasional, “Ini
juga bagian dari memastikan keamanan Ibu setelah tampil di acara yang dihadiri
banyak orang.”
Aini dan Bayu saling bertukar pandang sejenak. Tawaran dari seorang
Kapolres untuk mengawal dan menyetir sendiri tentu tidak terduga.
“Terima kasih banyak atas tawarannya, Bapak Kapolres,” jawab Aini dengan
sedikit canggung namun tetap sopan. “Itu akan sangat membantu kami.”
Bayu, sang manajer, juga mengangguk setuju dengan ekspresi terkejut
namun berterima kasih. Tawaran pengawalan langsung dari Kapolres adalah sesuatu
yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Saat Rian menyampaikan tawarannya, Anton dan Budi saling bertukar
pandang dengan ekspresi keheranan yang kentara. Sebagai bawahan, mereka tahu
betul bahwa seorang Kapolres memiliki protokoler yang ketat dan jarang sekali
melakukan tugas pengawalan secara pribadi, apalagi menyetir sendiri. Mereka
hanya bisa diam dan mengikuti perintah atasan mereka yang tampak begitu
antusias.
Aini dan Bayu, setelah menerima tawaran tak terduga tersebut, berjalan
bersama Rian menuju mobil dinas Kapolres yang sudah disiapkan. Sebelum masuk ke
dalam mobil, Aini menoleh ke arah Rian dengan senyum ramah. “Terima kasih
sekali lagi, Bapak Kapolres, atas keramahannya dan tawarannya ini. Semoga Bapak
selamat dalam perjalanan pulang.”
Rian membungkuk sedikit lagi dengan sopan. “Sama-sama, Ibu Aini.
Merupakan suatu kehormatan bagi kami bisa menjamu Ibu di Subang. Hati-hati di
jalan.” Ia kemudian membuka pintu mobil untuk Aini, menunjukkan sikap seorang
tuan rumah yang baik.
Aini dan Bayu masuk ke dalam mobil, diikuti oleh Rian di kursi
pengemudi. Anton dan Budi hanya bisa termangu melihat mobil dinas Kapolres
perlahan meninggalkan halaman Mapolres, membawa sang bintang dangdut yang baru
saja memukau mereka semua. Mereka berdua saling pandang lagi, masih tidak
percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Malam yang penuh kejutan ini akan
menjadi cerita yang menarik untuk dibagikan.
Saat mobil dinas Kapolres mulai melaju meninggalkan halaman Mapolres,
Aini menghela napas pelan di kursi belakang. Bayu yang duduk di sampingnya
menoleh dengan tatapan bertanya. Aini menatap keluar jendela sejenak, lalu
berujar lirih, “Alhamdulillah… acaranya berjalan lancar dan Bapak Kapolres
sangat baik. Tapi aku tetap merasa sedikit kecewa dengan penampilanku tadi,
banyak lupa lirik.”