Episode 4 — Bintang Dalam Bimbang Kelam

 

Euforia pasca-penampilannya di sebuah acara talk show di Jakarta Utara beberapa hari sebelumnya masih terasa, baik bagi Aini Zhafara maupun para penggemarnya. Kontroversi dan pujian yang ia terima justru semakin melambungkan namanya, bahkan sampai ke telinga jajaran kepolisian di Subang yang mengundangnya untuk memeriahkan acara Deklarasi Millenial Road Safety Festival.

Malam ini, di sebuah lapangan luas di Halaman Mapolres Subang, Jawa Barat, ribuan pasang mata berkilat penuh antisipasi, menantikan penampilan Aini sebagai puncak acara yang diharapkan dapat menarik perhatian kaum millenial pada pentingnya keselamatan berkendara. Udara dipenuhi dengung percakapan dan tawa, sesekali diselingi teriakan memanggil nama idola, seolah pesan keselamatan jalan raya terlupakan oleh daya tarik sang bintang. Energi kolektif terasa menggetarkan tanah lapang yang dipadati lautan manusia, mayoritas di antaranya adalah kaum muda yang lebih tertarik pada goyangan Aini daripada imbauan polisi.

Lampu sorot menari-nari di angkasa, membelah kegelapan dengan aneka warna ceria. Panggung megah berdiri gagah di tengah lapangan yang biasanya digunakan untuk apel dan upacara kepolisian, instrumen musik tertata rapi menunggu disentuh para ahlinya. Asap buatan mengepul tipis, menambah kesan magis pada atmosfer malam itu, mengubah halaman mapolres menjadi arena hiburan yang gemerlap. Semua elemen tampak sempurna untuk menyambut kehadiran sang bintang utama yang mampu menghipnotis ribuan pasang mata, bahkan mungkin mengalihkan perhatian beberapa petugas kepolisian yang berjaga.

Di antara kerumunan, spanduk-spanduk bertuliskan nama "Aini Zhafara" terangkat tinggi bagai lautan bendera yang menyembah seorang ratu. Wajah-wajah penuh harap menatap ke arah panggung, tak sabar menyaksikan penampilan idola mereka. Gaung musik dari penampil sebelumnya masih tersisa, namun kini tergantikan oleh penantian yang lebih intens. Malam ini adalah malam milik Aini Zhafara, sang primadona yang mampu membuat jantung para pria berdebar kencang hanya dengan tatapan mata, bahkan di tengah acara yang seharusnya bertema keselamatan.

Di balik panggung, suasana kontras terasa dengan hiruk pikuk di depan sana. Beberapa kru berlalu-lalang cepat, memastikan semua persiapan teknis berjalan lancar tanpa cela. Kabel-kabel tebal melintang di lantai, disinari cahaya lampu kerja yang redup. Beberapa petugas kepolisian juga terlihat berjaga, namun pandangan mereka sesekali tertuju pada area persiapan Aini, menunjukkan ketertarikan mereka pada sang bintang. Kesibukan terkendali menjadi pemandangan rutin sebelum sebuah pertunjukan besar dimulai, di mana seorang wanita dengan daya pikat luar biasa akan segera mengambil alih kendali, bahkan mungkin atas sebagian perhatian para aparat keamanan.

Aini Zhafara duduk tenang di depan cermin rias, membiarkan sentuhan terakhir menyempurnakan penampilannya. Gaun panggungnya yang berkilauan, berpotongan sedikit lebih sopan namun tetap memeluk lekuk tubuhnya yang jenjang dan proporsional, setiap jahitan dan payetnya seolah dirancang untuk memancarkan auranya yang mampu membuat para petugas polisi yang berjaga pun sesekali mencuri pandang. Ia menarik napas dalam, mencoba mengusir gugup yang selalu datang menjelang naik pentas. Fokus adalah kunci untuk memberikan yang terbaik malam ini, untuk memuaskan dahaga para penggemar yang telah menunggunya, dan mungkin juga sedikit mengalihkan perhatian dari pentingnya keselamatan berkendara.

Bayu, sang manajer merangkap asisten pribadi, mendekat dengan langkah hati-hati. Ia membawa sebotol air mineral yang sudah terbuka tutupnya, menyodorkannya dengan penuh hormat. Gerak-geriknya selalu terukur, menunjukkan kesantunan yang tak pernah luntur meski sudah lama bekerja bersama. Ia memastikan tidak ada gangguan sekecil apa pun, selalu siap siaga memenuhi kebutuhan sang bintang yang baginya adalah prioritas utama, bahkan lebih dari protokol acara kepolisian.

“Sudah siap, Mbak Aini? Lima menit lagi,” ujar Bayu lembut, suaranya nyaris berbisik, seolah tidak ingin mengganggu konsentrasi dewinya yang sedang mempersiapkan diri untuk menerima pujian dari ribuan pemujanya.

“Siap, Be. Pastikan sound system aman,” jawab Aini singkat, matanya masih menatap pantulan dirinya di cermin. Sorot matanya tajam, penuh keyakinan, seolah siap menaklukkan ribuan hati di bawah sana, termasuk mungkin beberapa anggota kepolisian yang hadir.

Suara pembawa acara menggema dari pengeras suara, memecah penantian penonton. Nama Aini Zhafara disebut dengan nada penuh semangat, disambut gemuruh sorak sorai yang membahana, mengalahkan pengumuman-pengumuman tentang keselamatan berkendara yang disampaikan sebelumnya. Lampu panggung meredup sejenak, menciptakan momen dramatis sebelum kemunculan sang biduanita. Detik-detik terasa berjalan begitu lambat bagi para penggemar yang sudah tidak sabar melihat ratu mereka beraksi, bahkan mungkin lebih antusias daripada mengikuti sesi sosialisasi keselamatan jalan raya.

Ketika lampu kembali menyala terang, sosok Aini Zhafara sudah berdiri di tengah panggung, memancarkan aura bintang yang tak terbantahkan. Senyum manis tersungging di bibirnya yang dipoles warna merah muda lembut, menyapa lautan manusia di hadapannya. Tinggi badannya yang mencapai 178 cm membuatnya tampak menjulang, siluet jam pasirnya terlihat jelas dalam balutan kostum panggung yang memukau, sebuah pemandangan yang kontras dengan seragam polisi yang mendominasi area tersebut sebelumnya.

Rambut hitam legamnya yang panjang tergerai indah, membingkai wajah ovalnya yang imut namun menarik. Tepuk tangan dan teriakan histeris semakin menjadi, memanggil namanya berulang kali, sebuah simfoni pemujaan yang hanya diperuntukkan baginya. Beberapa petugas kepolisian yang berjaga di dekat panggung terlihat sedikit terkejut dengan antusiasme yang begitu besar. Aini mengangkat sebelah tangannya, membalas sapaan hangat itu dengan lambaian anggun penuh pesona, seolah memberikan berkat kepada umatnya. Kharismanya langsung terasa mengisi seluruh area festival, menundukkan setiap pasang mata yang memandangnya, bahkan mungkin mengalihkan perhatian dari logo kepolisian di latar belakang panggung.

Intro lagu "Goyang Heboh" menghentak, disambut koor massal dari penonton yang hafal betul iramanya, sebuah ritual penyambutan yang sudah mereka kuasai di luar kepala. Aini langsung bergerak lincah, menampilkan "Goyang Uleghh Uleghh" andalannya yang viral. Gerakan pinggulnya yang dinamis dan sensual memaku pandangan, menjadi pusat perhatian utama di atas panggung megah itu, sebuah tarian yang membangkitkan hasrat dan kekaguman, membuat pesan keselamatan jalan raya terasa jauh dan tidak relevan.

Energinya seolah tak terbatas, mengalir deras bersama musik yang membakar semangat. Ia menyanyikan bait pertama dengan suara merdunya yang khas, membuat penonton semakin terhanyut dalam pesonanya. Beberapa penggemar di barisan depan terlihat merekam setiap gerakannya dengan ponsel mereka, mengabaikan imbauan untuk tidak menggunakan ponsel saat berkendara yang mungkin disampaikan sebelumnya. Namun, saat memasuki bagian reffrain, sekejap ia tampak kehilangan kata-kata. Bibirnya terkatup sepersekian detik sebelum senyumnya melebar, seolah ia sengaja memberikan kesempatan kepada para penggemarnya untuk menunjukkan seberapa besar mereka mengaguminya.

Dengan sigap dan tanpa kehilangan irama, Aini mengarahkan mikrofonnya ke arah penonton. Ribuan suara sontak menyambutnya, menyanyikan bagian reffrain yang terlupa itu dengan kompak dan lantang, sebuah bukti nyata dari pemujaan yang mendalam. Beberapa petugas kepolisian yang berjaga di dekat penonton terlihat tersenyum maklum melihat antusiasme yang begitu besar. Aini tertawa kecil, melanjutkan goyangannya seolah itu bagian dari pertunjukan yang direncanakan, menunjukkan kontrolnya atas situasi dan bagaimana ia bisa mengubah "kesalahan" menjadi momen kebersamaan yang intim dengan penggemarnya. Penonton sama sekali tidak menyadari adanya kesalahan kecil itu, mereka terlalu terpesona oleh kehadirannya.

Lagu pertama usai disambut tepuk tangan meriah, tanpa jeda musik beralih ke lagu kedua, "Liku-Liku". Tempo yang sedikit lebih lambat memberi kesempatan Aini menampilkan sisi melankolis dalam vokalnya. Ia berjalan perlahan ke sisi panggung, berinteraksi lebih dekat dengan penonton di barisan depan. Tatapan matanya seolah mampu menyihir siapa saja, membuat para pria di sana merasa menjadi satu-satunya orang yang dilihatnya, bahkan mungkin membuat mereka melupakan pasangan mereka yang datang bersama.

Alunan musik terus mengalir syahdu, membawa suasana penuh perasaan ke tengah keramaian festival. Aini kembali memejamkan mata, meresapi lirik yang dinyanyikannya dengan penuh penjiwaan. Namun, lagi-lagi, pada sebuah baris penting, memorinya seolah menguap begitu saja. Kepanikan sesaat melintas di matanya sebelum tertutupi profesionalisme, namun di balik itu, ia mungkin sedang menguji seberapa besar perhatian para penggemarnya, atau mungkin ini hanyalah efek samping dari jadwalnya yang padat.

Seperti sebelumnya, mikrofon kembali diarahkan ke lautan manusia di hadapannya. Dan sekali lagi, koor massal penggemar mengambil alih bagian yang kosong itu dengan sempurna, membuktikan bahwa mereka adalah pengikut setia yang hafal setiap detail tentang idolanya. Beberapa petugas kepolisian yang menyaksikan terlihat menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, mungkin merasa terhibur dengan interaksi spontan tersebut. Aini tersenyum penuh terima kasih, menganggukkan kepala seiring irama musik terus berjalan. Kemampuannya mengendalikan panggung memang patut diacungi jempol, bahkan "kesalahannya" pun terasa seperti bagian dari kelebihannyanya.

Lagu ketiga, "Wakuncar", membawa kembali tempo ceria ke atas panggung. Aini mengajak penonton bertepuk tangan mengikuti irama yang rancak dan menggoda. Kakinya yang jenjang melangkah lincah ke berbagai sudut panggung, memastikan semua penonton merasa terlibat dalam energinya yang membara. Goyangannya kembali enerjik, memancarkan aura bintang yang tak terbantahkan, sebuah tampilan kesintalan badan yang memukau, membuat para penonton semakin hanyut dalam pesonanya.

Di sisi panggung, Bayu mengamati penampilan Mbak Aini-nya dengan saksama. Ia menyadari pola lupa lirik yang terjadi, namun juga melihat bagaimana penonton tetap terpesona, bahkan semakin histeris setiap kali Aini mengarahkan mikrofon kepada mereka. Kekuatan Aini bukan hanya pada suara, tapi pada keseluruhan paket penampilan dan pesonanya, bagaimana ia mampu memanipulasi emosi dan perhatian ribuan orang, termasuk mungkin beberapa anggota panitia dari kepolisian. Bayu menarik napas lega melihat situasi masih terkendali, meskipun ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan performa Aini malam ini.

Saat bagian bridge lagu "Wakuncar", insiden serupa terulang untuk ketiga kalinya. Aini sedikit mengerutkan dahi, namun dengan cepat mengubahnya menjadi senyuman lebar yang membuat para penggemar pria di barisan depan kembali terpesona. Mikrofon kembali menjadi jembatan antara dirinya dan para penggemar setia yang hafal setiap kata, sebuah ritual yang semakin mempererat ikatan antara idola dan pengikutnya. Interaksi tak terduga ini justru membuat suasana semakin hidup, seolah Aini sedang bermain-main dengan para penggemarnya, menguji kesetiaan mereka.

Sebagai penutup rangkaian lagu malam itu, Aini memilih "Tak Jujur". Musik mengalun dengan beat dangdut klasik yang kental, mengajak tubuh untuk bergoyang tanpa henti. Aini mengerahkan sisa energinya, memberikan penampilan total kepada ribuan penggemarnya. Cahaya lampu menyorot setiap gerakannya yang penuh percaya diri, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang menjadi objek pemujaan. Beberapa petugas kepolisian yang berjaga di dekat panggung terlihat ikut bergoyang mengikuti irama, menunjukkan bahwa pesona Aini mampu menembus batas formalitas acara.

Kali ini berbeda, Aini tidak lupa lirik, namun ia menyanyikan baris yang salah. Kesalahan itu terdengar jelas, namun Aini tidak menunjukkan tanda-tanda panik atau ragu sedikit pun. Ia justru semakin mempertegas "Goyang Uleghh Uleghh"-nya, mengalihkan perhatian dengan gerakan tubuhnya yang memikat, seolah kesalahan itu adalah bagian dari improvisasi yang menambah keseksian penampilannya. Matanya mengerling jenaka ke arah penonton, seolah menggoda mereka dengan ketidaksempurnaannya yang justru terasa semakin menarik.

Para pemain musik di belakangnya saling berpandangan sejenak, namun dengan cepat menangkap isyarat dari Aini. Mereka adalah musisi profesional yang terbiasa dengan improvisasi panggung. Dalam hitungan detik, aransemen musik disesuaikan sedikit untuk mengiringi lirik yang salah tersebut, membuatnya terdengar seolah memang begitu seharusnya, sebuah bukti keprofesionalan yang menutupi kesalahan. Penonton tetap bersorak, terbuai oleh pesona sang biduan yang mampu memanipulasi persepsi mereka, bahkan membuat kesalahan pun tampak seperti bagian dari pertunjukan yang direncanakan.

Lagu berakhir dengan pose pamungkas Aini yang disambut tepuk tangan paling gemuruh malam itu, sebuah luapan emosi dari ribuan orang yang merasa terpuaskan oleh penampilan idolanya. Keringat membasahi dahi dan leher jenjangnya, namun senyum puas terlukis di wajahnya, senyum seorang ratu yang baru saja menaklukkan kerajaannya. Ia membungkuk dalam, mengucapkan terima kasih kepada penonton dan para pemain musik pengiringnya, sebuah gestur yang semakin membuat para penggemar merasa dekat dengannya. Cahaya panggung perlahan meredup mengiringi langkahnya ke belakang, meninggalkan kerumunan yang masih riuh meneriakkan namanya, bahkan saat pembawa acara kembali mengingatkan tentang pentingnya keselamatan berkendara.

Riuh tepuk tangan masih terdengar membahana saat Aini melangkah turun dari tangga panggung. Energi tinggi yang tadi membungkusnya perlahan memudar, digantikan kelelahan yang mulai terasa. Senyum profesional yang tadi terpasang kini sedikit mengendur, memperlihatkan ekspresi yang lebih netral. Ia meraih handuk kecil yang disodorkan seorang kru, menyeka keringat di dahinya dengan gerakan malas. Beberapa petugas kepolisian yang berjaga di dekat area belakang panggung terlihat mengawasi kerumunan penggemar yang mencoba mendekat.

Di belakang panggung, suasana kembali pada kesibukan yang lebih teratur namun tetap tegang. Beberapa orang memberikan selamat atas penampilannya yang memukau penonton. Aini hanya mengangguk singkat, langkahnya cepat menuju ruang ganti yang telah disiapkan khusus untuknya. Ia butuh waktu sejenak untuk mengembalikan energinya, menjauh dari sorotan dan hiruk pikuk penyembahan, serta mungkin merenungkan kenapa ia bisa melakukan begitu banyak kesalahan lirik malam ini.

Bayu sudah menunggu di depan pintu ruang ganti, siap sedia dengan apa pun yang mungkin dibutuhkan Aini. Ia membukakan pintu dengan sigap saat Aini mendekat, mempersilakannya masuk terlebih dahulu. Sikap hormatnya tak pernah berubah, selalu menempatkan Aini sebagai prioritas utama dalam pekerjaannya. Ia tahu betul batasannya, dan ia sadar betul siapa yang memegang kendali di antara mereka, bahkan di lingkungan yang dipenuhi oleh aparat kepolisian.

Begitu pintu tertutup, Aini langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan. Ia memijat pelipisnya pelan, ekspresi lelah dan sedikit frustrasi tergambar jelas di wajahnya. Tekanan untuk selalu tampil sempurna dan mempertahankan popularitas terasa begitu berat di pundaknya malam ini. Kesalahan lirik tadi masih mengganjal pikirannya, meskipun ia berhasil menutupinya dengan baik di depan ribuan penggemar yang mungkin tidak menyadarinya karena terlalu terpukau oleh penampilannya.

Ia menatap Bayu yang berdiri diam menunggu instruksi, sorot matanya kini berbeda dari saat di panggung. Bukan lagi tatapan ramah sang idola, melainkan tatapan seorang wanita muda yang merasakan beban berat industri hiburan. Amarah yang ditahan selama di panggung kini mencari pelampiasan, dan Bayu sudah siap menjadi sasaran empuknya. Suasana ruangan menjadi sedikit tegang, aura Aini terasa semakin kuat di ruang tertutup ini, kontras dengan citra ramah yang ia tampilkan di depan publik.

Bayu tetap tenang, sudah terbiasa menghadapi luapan emosi Aini setelah manggung. Ia tahu ini adalah bagian dari tekanan yang harus dihadapi sang bintang. Ia hanya perlu mendengarkan dengan sabar dan memastikan semua kebutuhan Aini terpenuhi setelahnya. Kesabarannya adalah salah satu alasan Aini masih mempertahankannya, karena ia tahu Bayu tidak akan pernah mempertanyakan kekuasaannya, bahkan ketika ia sedang dalam suasana hati yang buruk.

“Kenapa tadi sound-nya agak aneh di lagu terakhir, Be?!” sentak Aini tiba-tiba, nada suaranya meninggi, mencari kambing hitam atas kegelisahannya sendiri.

“Mohon maaf, Mbak Aini. Akan segera saya cek dan pastikan tidak terulang lagi di penampilan berikutnya,” jawab Bayu dengan suara datar dan sopan, menerima omelan itu tanpa membantah sedikit pun, menunjukkan posisinya yang selalu di bawah dominasi Aini, bahkan di tengah acara yang diadakan oleh pihak berwajib.