Euforia pasca-penampilannya di sebuah acara talk show
di Jakarta Utara beberapa hari sebelumnya masih terasa, baik bagi Aini Zhafara
maupun para penggemarnya. Kontroversi dan pujian yang ia terima justru semakin
melambungkan namanya, bahkan sampai ke telinga jajaran kepolisian di Subang
yang mengundangnya untuk memeriahkan acara Deklarasi Millenial Road Safety
Festival.
Malam ini, di sebuah lapangan luas di Halaman Mapolres
Subang, Jawa Barat, ribuan pasang mata berkilat penuh antisipasi, menantikan
penampilan Aini sebagai puncak acara yang diharapkan dapat menarik perhatian
kaum millenial pada pentingnya keselamatan berkendara. Udara dipenuhi dengung
percakapan dan tawa, sesekali diselingi teriakan memanggil nama idola, seolah
pesan keselamatan jalan raya terlupakan oleh daya tarik sang bintang. Energi
kolektif terasa menggetarkan tanah lapang yang dipadati lautan manusia,
mayoritas di antaranya adalah kaum muda yang lebih tertarik pada goyangan Aini
daripada imbauan polisi.
Lampu sorot menari-nari di angkasa, membelah kegelapan
dengan aneka warna ceria. Panggung megah berdiri gagah di tengah lapangan yang
biasanya digunakan untuk apel dan upacara kepolisian, instrumen musik tertata
rapi menunggu disentuh para ahlinya. Asap buatan mengepul tipis, menambah kesan
magis pada atmosfer malam itu, mengubah halaman mapolres menjadi arena hiburan
yang gemerlap. Semua elemen tampak sempurna untuk menyambut kehadiran sang
bintang utama yang mampu menghipnotis ribuan pasang mata, bahkan mungkin
mengalihkan perhatian beberapa petugas kepolisian yang berjaga.
Di antara kerumunan, spanduk-spanduk bertuliskan nama
"Aini Zhafara" terangkat tinggi bagai lautan bendera yang menyembah
seorang ratu. Wajah-wajah penuh harap menatap ke arah panggung, tak sabar
menyaksikan penampilan idola mereka. Gaung musik dari penampil sebelumnya masih
tersisa, namun kini tergantikan oleh penantian yang lebih intens. Malam ini
adalah malam milik Aini Zhafara, sang primadona yang mampu membuat jantung para
pria berdebar kencang hanya dengan tatapan mata, bahkan di tengah acara yang
seharusnya bertema keselamatan.
Di balik panggung, suasana kontras terasa dengan hiruk
pikuk di depan sana. Beberapa kru berlalu-lalang cepat, memastikan semua
persiapan teknis berjalan lancar tanpa cela. Kabel-kabel tebal melintang di
lantai, disinari cahaya lampu kerja yang redup. Beberapa petugas kepolisian
juga terlihat berjaga, namun pandangan mereka sesekali tertuju pada area
persiapan Aini, menunjukkan ketertarikan mereka pada sang bintang. Kesibukan
terkendali menjadi pemandangan rutin sebelum sebuah pertunjukan besar dimulai,
di mana seorang wanita dengan daya pikat luar biasa akan segera mengambil alih
kendali, bahkan mungkin atas sebagian perhatian para aparat keamanan.
Aini Zhafara duduk tenang di depan cermin rias,
membiarkan sentuhan terakhir menyempurnakan penampilannya. Gaun panggungnya
yang berkilauan, berpotongan sedikit lebih sopan namun tetap memeluk lekuk tubuhnya
yang jenjang dan proporsional, setiap jahitan dan payetnya seolah
dirancang untuk memancarkan auranya yang mampu membuat para petugas
polisi yang berjaga pun sesekali mencuri pandang. Ia menarik napas
dalam, mencoba mengusir gugup yang selalu datang menjelang naik pentas. Fokus
adalah kunci untuk memberikan yang terbaik malam ini, untuk memuaskan dahaga
para penggemar yang telah menunggunya, dan mungkin juga sedikit
mengalihkan perhatian dari pentingnya keselamatan berkendara.
Bayu, sang manajer merangkap asisten pribadi, mendekat
dengan langkah hati-hati. Ia membawa sebotol air mineral yang sudah terbuka
tutupnya, menyodorkannya dengan penuh hormat. Gerak-geriknya selalu terukur,
menunjukkan kesantunan yang tak pernah luntur meski sudah lama bekerja bersama.
Ia memastikan tidak ada gangguan sekecil apa pun, selalu siap siaga memenuhi
kebutuhan sang bintang yang baginya adalah prioritas utama, bahkan lebih dari
protokol acara kepolisian.
“Sudah siap, Mbak Aini? Lima menit lagi,” ujar Bayu
lembut, suaranya nyaris berbisik, seolah tidak ingin mengganggu konsentrasi
dewinya yang sedang mempersiapkan diri untuk menerima pujian dari ribuan
pemujanya.
“Siap, Be. Pastikan sound system aman,” jawab Aini singkat,
matanya masih menatap pantulan dirinya di cermin. Sorot matanya tajam, penuh
keyakinan, seolah siap menaklukkan ribuan hati di bawah sana, termasuk mungkin
beberapa anggota kepolisian yang hadir.
Suara pembawa acara menggema dari pengeras suara, memecah
penantian penonton. Nama Aini Zhafara disebut dengan nada penuh semangat,
disambut gemuruh sorak sorai yang membahana, mengalahkan pengumuman-pengumuman
tentang keselamatan berkendara yang disampaikan sebelumnya. Lampu panggung
meredup sejenak, menciptakan momen dramatis sebelum kemunculan sang biduanita.
Detik-detik terasa berjalan begitu lambat bagi para penggemar yang sudah tidak
sabar melihat ratu mereka beraksi, bahkan mungkin lebih antusias daripada
mengikuti sesi sosialisasi keselamatan jalan raya.
Ketika lampu kembali menyala terang, sosok Aini
Zhafara sudah berdiri di tengah panggung, memancarkan aura bintang yang tak
terbantahkan. Senyum manis tersungging di bibirnya yang dipoles warna merah
muda lembut, menyapa lautan manusia di hadapannya. Tinggi badannya yang
mencapai 178 cm membuatnya tampak menjulang, siluet jam pasirnya terlihat jelas
dalam balutan kostum panggung yang memukau, sebuah pemandangan yang kontras
dengan seragam polisi yang mendominasi area tersebut sebelumnya.
Rambut hitam legamnya yang panjang tergerai indah,
membingkai wajah ovalnya yang imut namun menarik. Tepuk tangan dan teriakan
histeris semakin menjadi, memanggil namanya berulang kali, sebuah simfoni
pemujaan yang hanya diperuntukkan baginya. Beberapa petugas kepolisian yang
berjaga di dekat panggung terlihat sedikit terkejut dengan antusiasme yang
begitu besar. Aini mengangkat sebelah tangannya, membalas sapaan hangat itu
dengan lambaian anggun penuh pesona, seolah memberikan berkat kepada umatnya.
Kharismanya langsung terasa mengisi seluruh area festival, menundukkan setiap
pasang mata yang memandangnya, bahkan mungkin mengalihkan perhatian dari logo
kepolisian di latar belakang panggung.
Intro lagu "Goyang Heboh" menghentak,
disambut koor massal dari penonton yang hafal betul iramanya, sebuah ritual
penyambutan yang sudah mereka kuasai di luar kepala. Aini langsung bergerak
lincah, menampilkan "Goyang Uleghh Uleghh" andalannya yang viral.
Gerakan pinggulnya yang dinamis dan sensual memaku pandangan, menjadi pusat
perhatian utama di atas panggung megah itu, sebuah tarian yang membangkitkan
hasrat dan kekaguman, membuat pesan keselamatan jalan raya terasa jauh dan
tidak relevan.
Energinya seolah tak terbatas, mengalir deras bersama
musik yang membakar semangat. Ia menyanyikan bait pertama dengan suara merdunya
yang khas, membuat penonton semakin terhanyut dalam pesonanya. Beberapa
penggemar di barisan depan terlihat merekam setiap gerakannya dengan ponsel
mereka, mengabaikan imbauan untuk tidak menggunakan ponsel saat berkendara yang
mungkin disampaikan sebelumnya. Namun, saat memasuki bagian reffrain, sekejap
ia tampak kehilangan kata-kata. Bibirnya terkatup sepersekian detik sebelum
senyumnya melebar, seolah ia sengaja memberikan kesempatan kepada para
penggemarnya untuk menunjukkan seberapa besar mereka mengaguminya.
Dengan sigap dan tanpa kehilangan irama, Aini
mengarahkan mikrofonnya ke arah penonton. Ribuan suara sontak menyambutnya,
menyanyikan bagian reffrain yang terlupa itu dengan kompak dan lantang, sebuah
bukti nyata dari pemujaan yang mendalam. Beberapa petugas kepolisian yang
berjaga di dekat penonton terlihat tersenyum maklum melihat antusiasme yang
begitu besar. Aini tertawa kecil, melanjutkan goyangannya seolah itu bagian
dari pertunjukan yang direncanakan, menunjukkan kontrolnya atas situasi dan
bagaimana ia bisa mengubah "kesalahan" menjadi momen kebersamaan yang
intim dengan penggemarnya. Penonton sama sekali tidak menyadari adanya
kesalahan kecil itu, mereka terlalu terpesona oleh kehadirannya.
Lagu pertama usai disambut tepuk tangan meriah, tanpa
jeda musik beralih ke lagu kedua, "Liku-Liku". Tempo yang sedikit
lebih lambat memberi kesempatan Aini menampilkan sisi melankolis dalam
vokalnya. Ia berjalan perlahan ke sisi panggung, berinteraksi lebih dekat dengan
penonton di barisan depan. Tatapan matanya seolah mampu menyihir siapa saja,
membuat para pria di sana merasa menjadi satu-satunya orang yang dilihatnya,
bahkan mungkin membuat mereka melupakan pasangan mereka yang datang bersama.
Alunan musik terus mengalir syahdu, membawa suasana
penuh perasaan ke tengah keramaian festival. Aini kembali memejamkan mata,
meresapi lirik yang dinyanyikannya dengan penuh penjiwaan. Namun, lagi-lagi,
pada sebuah baris penting, memorinya seolah menguap begitu saja. Kepanikan
sesaat melintas di matanya sebelum tertutupi profesionalisme, namun di balik
itu, ia mungkin sedang menguji seberapa besar perhatian para penggemarnya, atau
mungkin ini hanyalah efek samping dari jadwalnya yang padat.
Seperti sebelumnya, mikrofon kembali diarahkan ke
lautan manusia di hadapannya. Dan sekali lagi, koor massal penggemar mengambil
alih bagian yang kosong itu dengan sempurna, membuktikan bahwa mereka adalah
pengikut setia yang hafal setiap detail tentang idolanya. Beberapa petugas
kepolisian yang menyaksikan terlihat menggeleng-gelengkan kepala sambil
tersenyum, mungkin merasa terhibur dengan interaksi spontan tersebut. Aini
tersenyum penuh terima kasih, menganggukkan kepala seiring irama musik terus
berjalan. Kemampuannya mengendalikan panggung memang patut diacungi jempol,
bahkan "kesalahannya" pun terasa seperti bagian dari kelebihannyanya.
Lagu ketiga, "Wakuncar", membawa kembali
tempo ceria ke atas panggung. Aini mengajak penonton bertepuk tangan mengikuti
irama yang rancak dan menggoda. Kakinya yang jenjang melangkah lincah ke
berbagai sudut panggung, memastikan semua penonton merasa terlibat dalam
energinya yang membara. Goyangannya kembali enerjik, memancarkan aura bintang
yang tak terbantahkan, sebuah tampilan kesintalan badan yang
memukau, membuat para penonton semakin hanyut dalam pesonanya.
Di sisi panggung, Bayu mengamati penampilan Mbak
Aini-nya dengan saksama. Ia menyadari pola lupa lirik yang terjadi, namun juga
melihat bagaimana penonton tetap terpesona, bahkan semakin histeris setiap kali
Aini mengarahkan mikrofon kepada mereka. Kekuatan Aini bukan hanya pada suara,
tapi pada keseluruhan paket penampilan dan pesonanya, bagaimana ia mampu
memanipulasi emosi dan perhatian ribuan orang, termasuk mungkin beberapa
anggota panitia dari kepolisian. Bayu menarik napas lega melihat situasi masih
terkendali, meskipun ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan performa Aini malam
ini.
Saat bagian bridge lagu
"Wakuncar", insiden serupa terulang untuk ketiga kalinya. Aini
sedikit mengerutkan dahi, namun dengan cepat mengubahnya menjadi senyuman lebar
yang membuat para penggemar pria di barisan depan kembali terpesona. Mikrofon
kembali menjadi jembatan antara dirinya dan para penggemar setia yang hafal
setiap kata, sebuah ritual yang semakin mempererat ikatan antara idola dan
pengikutnya. Interaksi tak terduga ini justru membuat suasana semakin hidup,
seolah Aini sedang bermain-main dengan para penggemarnya, menguji kesetiaan
mereka.
Sebagai penutup rangkaian lagu malam itu, Aini memilih
"Tak Jujur". Musik mengalun dengan beat dangdut klasik
yang kental, mengajak tubuh untuk bergoyang tanpa henti. Aini mengerahkan sisa
energinya, memberikan penampilan total kepada ribuan penggemarnya. Cahaya lampu
menyorot setiap gerakannya yang penuh percaya diri, menonjolkan setiap lekuk
tubuhnya yang menjadi objek pemujaan. Beberapa petugas kepolisian yang berjaga
di dekat panggung terlihat ikut bergoyang mengikuti irama, menunjukkan bahwa
pesona Aini mampu menembus batas formalitas acara.
Kali ini berbeda, Aini tidak lupa lirik, namun ia
menyanyikan baris yang salah. Kesalahan itu terdengar jelas, namun Aini tidak
menunjukkan tanda-tanda panik atau ragu sedikit pun. Ia justru semakin
mempertegas "Goyang Uleghh Uleghh"-nya, mengalihkan perhatian dengan
gerakan tubuhnya yang memikat, seolah kesalahan itu adalah bagian dari
improvisasi yang menambah keseksian penampilannya. Matanya mengerling jenaka ke
arah penonton, seolah menggoda mereka dengan ketidaksempurnaannya yang justru
terasa semakin menarik.
Para pemain musik di belakangnya saling berpandangan
sejenak, namun dengan cepat menangkap isyarat dari Aini. Mereka adalah musisi
profesional yang terbiasa dengan improvisasi panggung. Dalam hitungan detik,
aransemen musik disesuaikan sedikit untuk mengiringi lirik yang salah tersebut,
membuatnya terdengar seolah memang begitu seharusnya, sebuah bukti
keprofesionalan yang menutupi kesalahan. Penonton tetap bersorak, terbuai oleh
pesona sang biduan yang mampu memanipulasi persepsi mereka, bahkan membuat
kesalahan pun tampak seperti bagian dari pertunjukan yang direncanakan.
Lagu berakhir dengan pose pamungkas Aini yang disambut
tepuk tangan paling gemuruh malam itu, sebuah luapan emosi dari ribuan orang
yang merasa terpuaskan oleh penampilan idolanya. Keringat membasahi dahi dan
leher jenjangnya, namun senyum puas terlukis di wajahnya, senyum seorang ratu
yang baru saja menaklukkan kerajaannya. Ia membungkuk dalam, mengucapkan terima
kasih kepada penonton dan para pemain musik pengiringnya, sebuah gestur yang
semakin membuat para penggemar merasa dekat dengannya. Cahaya panggung perlahan
meredup mengiringi langkahnya ke belakang, meninggalkan kerumunan yang masih
riuh meneriakkan namanya, bahkan saat pembawa acara kembali mengingatkan
tentang pentingnya keselamatan berkendara.
Riuh tepuk tangan masih terdengar membahana saat Aini
melangkah turun dari tangga panggung. Energi tinggi yang tadi membungkusnya
perlahan memudar, digantikan kelelahan yang mulai terasa. Senyum profesional
yang tadi terpasang kini sedikit mengendur, memperlihatkan ekspresi yang lebih
netral. Ia meraih handuk kecil yang disodorkan seorang kru, menyeka keringat di
dahinya dengan gerakan malas. Beberapa petugas kepolisian yang berjaga di dekat
area belakang panggung terlihat mengawasi kerumunan penggemar yang mencoba
mendekat.
Di belakang panggung, suasana kembali pada kesibukan
yang lebih teratur namun tetap tegang. Beberapa orang memberikan selamat atas
penampilannya yang memukau penonton. Aini hanya mengangguk singkat, langkahnya
cepat menuju ruang ganti yang telah disiapkan khusus untuknya. Ia butuh waktu
sejenak untuk mengembalikan energinya, menjauh dari sorotan dan hiruk pikuk
penyembahan, serta mungkin merenungkan kenapa ia bisa melakukan begitu banyak
kesalahan lirik malam ini.
Bayu sudah menunggu di depan pintu ruang ganti, siap
sedia dengan apa pun yang mungkin dibutuhkan Aini. Ia membukakan pintu dengan
sigap saat Aini mendekat, mempersilakannya masuk terlebih dahulu. Sikap
hormatnya tak pernah berubah, selalu menempatkan Aini sebagai prioritas utama
dalam pekerjaannya. Ia tahu betul batasannya, dan ia sadar betul siapa yang
memegang kendali di antara mereka, bahkan di lingkungan yang dipenuhi oleh
aparat kepolisian.
Begitu pintu tertutup, Aini langsung menghempaskan
tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan. Ia memijat pelipisnya pelan, ekspresi
lelah dan sedikit frustrasi tergambar jelas di wajahnya. Tekanan untuk selalu
tampil sempurna dan mempertahankan popularitas terasa begitu berat di pundaknya
malam ini. Kesalahan lirik tadi masih mengganjal pikirannya, meskipun ia
berhasil menutupinya dengan baik di depan ribuan penggemar yang mungkin tidak
menyadarinya karena terlalu terpukau oleh penampilannya.
Ia menatap Bayu yang berdiri diam menunggu instruksi,
sorot matanya kini berbeda dari saat di panggung. Bukan lagi tatapan ramah sang
idola, melainkan tatapan seorang wanita muda yang merasakan beban berat
industri hiburan. Amarah yang ditahan selama di panggung kini mencari
pelampiasan, dan Bayu sudah siap menjadi sasaran empuknya. Suasana ruangan
menjadi sedikit tegang, aura Aini terasa semakin kuat di ruang tertutup ini,
kontras dengan citra ramah yang ia tampilkan di depan publik.
Bayu tetap tenang, sudah terbiasa menghadapi luapan
emosi Aini setelah manggung. Ia tahu ini adalah bagian dari tekanan yang harus
dihadapi sang bintang. Ia hanya perlu mendengarkan dengan sabar dan memastikan
semua kebutuhan Aini terpenuhi setelahnya. Kesabarannya adalah salah satu
alasan Aini masih mempertahankannya, karena ia tahu Bayu tidak akan pernah
mempertanyakan kekuasaannya, bahkan ketika ia sedang dalam suasana hati yang
buruk.
“Kenapa tadi sound-nya agak aneh di lagu terakhir,
Be?!” sentak Aini tiba-tiba, nada suaranya meninggi, mencari kambing hitam atas
kegelisahannya sendiri.
“Mohon maaf, Mbak Aini. Akan segera saya cek dan
pastikan tidak terulang lagi di penampilan berikutnya,” jawab Bayu dengan suara
datar dan sopan, menerima omelan itu tanpa membantah sedikit pun, menunjukkan
posisinya yang selalu di bawah dominasi Aini, bahkan di tengah acara yang
diadakan oleh pihak berwajib.