Episode 3 — Ketika Aini Zhafara Bercerita

 

Malam itu, Jakarta Utara berdenyut dengan energi yang berbeda. Di sebuah studio yang terletak di sudut kota, lampu-lampu sorot menari-nari di atas panggung yang masih kosong, menunggu kedatangan seorang bintang. Tim produksi berlarian, melakukan pengecekan terakhir, memastikan semuanya siap untuk menyambut tamu istimewa.

"Sudah sampai mana Aini?" tanya seorang kru, suaranya sedikit meninggi di tengah kesibukan.

"Sebentar lagi. Macet katanya," jawab yang lain sambil melihat layar ponsel.

Di ruang tunggu, pembawa acara mondar-mandir dengan gelisah. Ia sudah tidak sabar untuk memulai acara.

"Malam ini pasti seru," gumamnya sambil tersenyum. "Aini Zhafara di sini, pasti banyak kejutan."

Sementara itu, di sebuah mobil yang melaju dari Yogyakarta menuju Jakarta Utara, Aini Zhafara terlihat serius menatap jalanan yang berkelok. Ia lelah, namun semangatnya tak padam.

"Semoga sampai tepat waktu," ucap Aini dalam hati.

Di sampingnya, Bayu, asisten pribadinya, terlihat khawatir. "Macet sekali, Mbak. Apa tidak apa-apa ini?"

Aini tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Be. Kita pasti sampai. Ini kesempatan bagus untuk promosi."

Aini teringat bagaimana ia memulai kariernya dari nol, bagaimana ia berjuang untuk mencapai titik ini. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

"Kita harus memberikan yang terbaik," ucap Aini dengan penuh semangat.

Akhirnya, mobil yang membawa Aini tiba di depan studio. Aini keluar dari mobil dengan percaya diri, disambut oleh tim produksi dan pembawa acara.

"Selamat datang, Aini!" sapa pembawa acara dengan antusias.

Aini tersenyum lebar. "Terima kasih. Siap untuk malam ini!"

Lampu sorot menari-nari di atas panggung kecil, membelai sosok Aini. Malam itu, bukan hanya goyangan maut yang menjadi daya tariknya, tetapi juga aura percaya diri dan keterusterangan yang terpancar dari matanya. Aini, seorang penyanyi dangdut yang namanya mulai meroket, hadir sebagai bintang tamu. Acara dimulai dengan obrolan ringan, namun segera memanas, menguji ketangguhan Aini.

"Katanya, Aini ini kalau joget, semua penonton langsung berdiri, ya?" goda pembawa acara, melontarkan kalimat yang biasa ia dengar.

Aini tertawa, namun kali ini ada sedikit sorot menantang di matanya. "Ah, bisa aja," jawabnya. Senyumnya mengembang, tetapi di balik itu, ada rasa lelah mendengar candaan yang itu-itu saja. Ia ingin lebih dari sekadar dikenal karena goyangan. Ia ingin dihargai sebagai seorang seniman, seorang wanita yang berjuang di industri yang keras.

Namun, suasana berubah ketika pembawa acara mulai melempar "roasting" yang menusuk. "Gua dapat info, Aini ini pernah ambil job private dua jam. Dua jam ngapain aja, ya?"

Aini menarik napas dalam. Di balik senyumnya yang mulai pudar, terlihat kilatan kesal. Ia berusaha membela diri, menjelaskan bahwa pekerjaannya tidak sesederhana yang dibayangkan orang. "Itu kan kerja, Mas," jawabnya dengan nada sedikit meninggi, berusaha meredam emosi yang mulai membara. Ia ingin menjelaskan detailnya, tentang bagaimana ia harus bekerja keras, bertemu berbagai macam orang, dan menjaga profesionalisme. Namun, ia tahu, penjelasannya mungkin tak akan didengar.

Namun, serangan terus berlanjut, semakin personal. Tarif manggungnya dipermasalahkan, seolah merendahkan kerja kerasnya. Bahkan, ada yang menyinggung soal "doyan" yang tidak senonoh, merusak citranya sebagai seorang wanita.

"Ini salah satu penyanyi yang doyan ini, ya?" sindir pembawa acara, disambut tawa penonton yang kadang terasa menyakitkan.

Aini hanya bisa geleng-geleng kepala, berusaha menahan emosi. Ia ingin rasanya berteriak, menjelaskan bahwa ia juga punya perasaan, bahwa ia juga berjuang untuk kariernya. "Ya ampun, Mas," ucapnya lirih, mencoba menyembunyikan luka yang mulai menganga. Ia merasa direndahkan, bukan hanya sebagai penyanyi, tetapi juga sebagai seorang perempuan. Namun, ia memilih diam, menunjukkan ketangguhannya di tengah cercaan.

Suasana semakin panas ketika pembawa acara menyinggung soal persaingan antar penyanyi dangdut di Jogja yang katanya sampai "nyantet".

"Emang di Jogja tuh kalau penyanyi dangdut gimana?" tanya pembawa acara, seolah memancing cerita-cerita sensasional.

"Ya, punten-punten terus," jawab Aini, menirukan logat sopan orang Jogja, namun kali ini dengan sedikit penekanan, seolah ingin mengingatkan bahwa kesopanan dan kesantunan tidak boleh dilupakan. Ia merasa miris dengan persaingan yang tidak sehat, dengan orang-orang yang tega melakukan hal-hal buruk demi popularitas. Ia ingin menunjukkan bahwa ia berbeda, bahwa ia bisa sukses dengan cara yang baik.

Obrolan kemudian beralih ke goyangan Aini, senjata andalannya di atas panggung. Pembawa acara penasaran dengan "goyangan maut" yang bisa membuat penonton "berdiri". Aini hanya tertawa, namun kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. Ia ingin rasanya menjelaskan bahwa goyangan itu bukan sekadar gerakan tubuh, tetapi juga ekspresi seni, cara ia berkomunikasi dengan penonton.

"Goyangan itu bagian dari penampilan saya," ujarnya, mencoba menjelaskan, "Saya ingin menghibur penonton, membuat mereka senang." Suaranya sedikit bergetar, menahan rasa tidak nyaman. Ia ingin orang-orang melihat lebih dalam, memahami bahwa ada kerja keras dan dedikasi di balik setiap gerakan.

Namun, malam itu tidak hanya diisi dengan roasting dan goyangan. Aini juga sempat menunjukkan suara merdunya, menyanyikan sedikit lagu dangdut. Di balik suara yang merdu, tersirat kerinduan akan pengakuan atas bakatnya, bukan hanya sensasi.

"Saya juga bisa nyanyi, Mas," ucapnya setelah menyelesaikan lagu, dengan nada penuh harap. Ia ingin membuktikan bahwa ia bukan hanya "goyang", tetapi juga punya suara yang indah.

Di sela-sela obrolan, Aini bercerita tentang pengalamannya manggung di acara anak-anak. "Sawernya banyak, tapi pada masukin ke BH," ujarnya, terbahak, namun kali ini dengan sedikit getir. Ia ingin rasanya mengingatkan bahwa ia adalah seorang penghibur, bukan objek seksual. "Kadang suka sedih, Mas," bisiknya, mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam. Ia merasa dilecehkan, diperlakukan tidak sopan, bahkan oleh anak-anak.

Aini juga mengaku pernah melempar mic ke penonton. "Itu karena megang itu terus," kilahnya, namun kali ini dengan nada menyesal. Ia ingin rasanya menjelaskan bahwa ia juga bisa khilaf, bahwa ia juga manusia biasa. "Saya minta maaf soal itu," ucapnya tulus, menunjukkan bahwa ia bertanggung jawab atas perbuatannya. Ia ingin belajar dari kesalahan, menjadi pribadi yang lebih baik.

Obrolan semakin liar ketika membahas soal kehidupan pribadi Aini. Ia mengaku lebih suka cowok yang bisa "muasin" dirinya dan tidak malu untuk menonton film dewasa. Aini bukan ingin terlihat vulgar, tetapi ia ingin jujur tentang dirinya, tentang apa yang ia suka. "Saya orangnya terbuka, Mas," ujarnya dengan nada berani, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan. Ia ingin diterima apa adanya, tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain.

"Aku suka yang ekstrim," aku Aini, membuat penonton terkejut. Namun, di balik pengakuan itu, tersirat keinginan untuk diterima apa adanya, tanpa harus berpura-pura. Ia ingin dicintai karena kepribadiannya, bukan hanya karena penampilan fisiknya.

Bahkan, Aini juga bercerita tentang pengalamannya interaksi intim dengan penggemar di kolam renang.

"Di kolam renang tuh gimana caranya?" tanya pembawa acara, penasaran.

"Ya berenang aja," jawab Aini, tertawa, namun kali ini dengan sedikit nada menantang. Ia ingin rasanya mengatakan bahwa kehidupannya tidak selalu tentang aturan dan norma, bahwa ia juga ingin bebas. "Hidup itu singkat, Mas," bisiknya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Ia ingin menikmati hidup, tanpa harus terikat oleh batasan-batasan yang ada.

Aini bukan ingin mencari sensasi, tetapi ia ingin menghargai pilihan orang lain, selama itu dilakukan dengan kesadaran. "Itu pilihan masing-masing," ucapnya singkat, ketika banyak membahas objektifikasi perempuan, mencoba mengakhiri pembahasan yang mulai tidak nyaman. Ia ingin menghormati privasi orang lain, dan ia juga ingin privasinya dihormati.

Pembawa acara kemudian menantang Aini untuk menunjukkan foto seksinya.

"Kita pengen tahu ada nggak lihat fotonya?" goda pembawa acara.

Aini hanya tersenyum misterius. Di balik senyum itu, tersirat harga diri dan keyakinan bahwa ia lebih dari sekadar tubuh. "Itu rahasia," bisiknya, menjaga jarak. Ia ingin orang-orang fokus pada bakatnya, bukan pada penampilannya.

Malam itu ditutup dengan permainan "Gocek Goyang Uleghh Uleghh" yang semakin menambah keseruan dan gelak tawa.

Aini berhasil menghibur penonton dengan goyangan, candaan, dan cerita-cerita "panas"nya. Namun, di balik itu semua, ada sisi lain Aini yang ingin ia tunjukkan: ketangguhan, kejujuran, dan keinginan untuk diterima apa adanya. Malam itu menjadi malam yang tak terlupakan, bukan hanya karena goyangan dan gelak tawa, tetapi juga karena sisi lain Aini yang mulai terungkap. Ia adalah seorang wanita yang kuat, jujur, dan berani menjadi dirinya sendiri, di tengah dunia yang seringkali menghakimi.