Malam itu, Jakarta Utara berdenyut dengan energi yang
berbeda. Di sebuah studio yang terletak di sudut kota, lampu-lampu sorot
menari-nari di atas panggung yang masih kosong, menunggu kedatangan seorang
bintang. Tim produksi berlarian, melakukan pengecekan terakhir, memastikan
semuanya siap untuk menyambut tamu istimewa.
"Sudah sampai mana Aini?" tanya seorang kru,
suaranya sedikit meninggi di tengah kesibukan.
"Sebentar lagi. Macet katanya," jawab yang
lain sambil melihat layar ponsel.
Di ruang tunggu, pembawa acara mondar-mandir dengan
gelisah. Ia sudah tidak sabar untuk memulai acara.
"Malam ini pasti seru," gumamnya sambil
tersenyum. "Aini Zhafara di sini, pasti banyak kejutan."
Sementara itu, di sebuah mobil yang melaju dari
Yogyakarta menuju Jakarta Utara, Aini Zhafara terlihat serius menatap jalanan
yang berkelok. Ia lelah, namun semangatnya tak padam.
"Semoga sampai tepat waktu," ucap Aini dalam
hati.
Di sampingnya, Bayu, asisten pribadinya, terlihat
khawatir. "Macet sekali, Mbak. Apa tidak apa-apa ini?"
Aini tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Be. Kita
pasti sampai. Ini kesempatan bagus untuk promosi."
Aini teringat bagaimana ia memulai kariernya dari nol,
bagaimana ia berjuang untuk mencapai titik ini. Ia tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan yang ada.
"Kita harus memberikan yang terbaik," ucap
Aini dengan penuh semangat.
Akhirnya, mobil yang membawa Aini tiba di depan
studio. Aini keluar dari mobil dengan percaya diri, disambut oleh tim produksi
dan pembawa acara.
"Selamat datang, Aini!" sapa pembawa acara
dengan antusias.
Aini tersenyum lebar. "Terima kasih. Siap untuk
malam ini!"
Lampu sorot menari-nari di atas panggung kecil,
membelai sosok Aini. Malam itu, bukan hanya goyangan maut yang menjadi daya
tariknya, tetapi juga aura percaya diri dan keterusterangan yang terpancar dari
matanya. Aini, seorang penyanyi dangdut yang namanya mulai meroket, hadir
sebagai bintang tamu. Acara dimulai dengan obrolan ringan, namun segera memanas,
menguji ketangguhan Aini.
"Katanya, Aini ini kalau joget, semua penonton
langsung berdiri, ya?" goda pembawa acara, melontarkan kalimat yang biasa
ia dengar.
Aini tertawa, namun kali ini ada sedikit sorot
menantang di matanya. "Ah, bisa aja," jawabnya. Senyumnya mengembang,
tetapi di balik itu, ada rasa lelah mendengar candaan yang itu-itu saja. Ia
ingin lebih dari sekadar dikenal karena goyangan. Ia ingin dihargai sebagai
seorang seniman, seorang wanita yang berjuang di industri yang keras.
Namun, suasana berubah ketika pembawa acara mulai
melempar "roasting" yang menusuk. "Gua dapat info, Aini ini
pernah ambil job private dua jam. Dua jam ngapain aja, ya?"
Aini menarik napas dalam. Di balik senyumnya yang
mulai pudar, terlihat kilatan kesal. Ia berusaha membela diri, menjelaskan
bahwa pekerjaannya tidak sesederhana yang dibayangkan orang. "Itu kan
kerja, Mas," jawabnya dengan nada sedikit meninggi, berusaha meredam emosi
yang mulai membara. Ia ingin menjelaskan detailnya, tentang bagaimana ia harus
bekerja keras, bertemu berbagai macam orang, dan menjaga profesionalisme.
Namun, ia tahu, penjelasannya mungkin tak akan didengar.
Namun, serangan terus berlanjut, semakin personal.
Tarif manggungnya dipermasalahkan, seolah merendahkan kerja kerasnya. Bahkan,
ada yang menyinggung soal "doyan" yang tidak senonoh, merusak
citranya sebagai seorang wanita.
"Ini salah satu penyanyi yang doyan ini,
ya?" sindir pembawa acara, disambut tawa penonton yang kadang terasa
menyakitkan.
Aini hanya bisa geleng-geleng kepala, berusaha menahan
emosi. Ia ingin rasanya berteriak, menjelaskan bahwa ia juga punya perasaan,
bahwa ia juga berjuang untuk kariernya. "Ya ampun, Mas," ucapnya
lirih, mencoba menyembunyikan luka yang mulai menganga. Ia merasa direndahkan,
bukan hanya sebagai penyanyi, tetapi juga sebagai seorang perempuan. Namun, ia
memilih diam, menunjukkan ketangguhannya di tengah cercaan.
Suasana semakin panas ketika pembawa acara menyinggung
soal persaingan antar penyanyi dangdut di Jogja yang katanya sampai "nyantet".
"Emang di Jogja tuh kalau penyanyi dangdut
gimana?" tanya pembawa acara, seolah memancing cerita-cerita sensasional.
"Ya, punten-punten terus," jawab Aini,
menirukan logat sopan orang Jogja, namun kali ini dengan sedikit penekanan,
seolah ingin mengingatkan bahwa kesopanan dan kesantunan tidak boleh dilupakan.
Ia merasa miris dengan persaingan yang tidak sehat, dengan orang-orang yang
tega melakukan hal-hal buruk demi popularitas. Ia ingin menunjukkan bahwa ia
berbeda, bahwa ia bisa sukses dengan cara yang baik.
Obrolan kemudian beralih ke goyangan Aini, senjata
andalannya di atas panggung. Pembawa acara penasaran dengan "goyangan
maut" yang bisa membuat penonton "berdiri". Aini hanya tertawa,
namun kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. Ia ingin rasanya menjelaskan
bahwa goyangan itu bukan sekadar gerakan tubuh, tetapi juga ekspresi seni, cara
ia berkomunikasi dengan penonton.
"Goyangan itu bagian dari penampilan saya,"
ujarnya, mencoba menjelaskan, "Saya ingin menghibur penonton, membuat
mereka senang." Suaranya sedikit bergetar, menahan rasa tidak nyaman. Ia
ingin orang-orang melihat lebih dalam, memahami bahwa ada kerja keras dan
dedikasi di balik setiap gerakan.
Namun, malam itu tidak hanya diisi dengan roasting dan
goyangan. Aini juga sempat menunjukkan suara merdunya, menyanyikan sedikit lagu
dangdut. Di balik suara yang merdu, tersirat kerinduan akan pengakuan atas
bakatnya, bukan hanya sensasi.
"Saya juga bisa nyanyi, Mas," ucapnya
setelah menyelesaikan lagu, dengan nada penuh harap. Ia ingin membuktikan bahwa
ia bukan hanya "goyang", tetapi juga punya suara yang indah.
Di sela-sela obrolan, Aini bercerita tentang
pengalamannya manggung di acara anak-anak. "Sawernya banyak, tapi pada
masukin ke BH," ujarnya, terbahak, namun kali ini dengan sedikit getir. Ia
ingin rasanya mengingatkan bahwa ia adalah seorang penghibur, bukan objek
seksual. "Kadang suka sedih, Mas," bisiknya, mengungkapkan perasaan
yang selama ini ia pendam. Ia merasa dilecehkan, diperlakukan tidak sopan,
bahkan oleh anak-anak.
Aini juga mengaku pernah melempar mic ke penonton.
"Itu karena megang itu terus," kilahnya, namun kali ini dengan nada
menyesal. Ia ingin rasanya menjelaskan bahwa ia juga bisa khilaf, bahwa ia juga
manusia biasa. "Saya minta maaf soal itu," ucapnya tulus, menunjukkan
bahwa ia bertanggung jawab atas perbuatannya. Ia ingin belajar dari kesalahan,
menjadi pribadi yang lebih baik.
Obrolan semakin liar ketika membahas soal kehidupan
pribadi Aini. Ia mengaku lebih suka cowok yang bisa "muasin" dirinya
dan tidak malu untuk menonton film dewasa. Aini bukan ingin terlihat vulgar,
tetapi ia ingin jujur tentang dirinya, tentang apa yang ia suka. "Saya
orangnya terbuka, Mas," ujarnya dengan nada berani, meskipun dalam hatinya
ada sedikit keraguan. Ia ingin diterima apa adanya, tanpa harus berpura-pura
menjadi orang lain.
"Aku suka yang ekstrim," aku Aini, membuat
penonton terkejut. Namun, di balik pengakuan itu, tersirat keinginan untuk
diterima apa adanya, tanpa harus berpura-pura. Ia ingin dicintai karena
kepribadiannya, bukan hanya karena penampilan fisiknya.
Bahkan, Aini juga bercerita tentang pengalamannya
interaksi intim dengan penggemar di kolam renang.
"Di kolam renang tuh gimana caranya?" tanya
pembawa acara, penasaran.
"Ya berenang aja," jawab Aini, tertawa,
namun kali ini dengan sedikit nada menantang. Ia ingin rasanya mengatakan bahwa
kehidupannya tidak selalu tentang aturan dan norma, bahwa ia juga ingin bebas.
"Hidup itu singkat, Mas," bisiknya, seolah berbicara pada dirinya
sendiri. Ia ingin menikmati hidup, tanpa harus terikat oleh batasan-batasan
yang ada.
Aini bukan ingin mencari sensasi, tetapi ia ingin
menghargai pilihan orang lain, selama itu dilakukan dengan kesadaran. "Itu
pilihan masing-masing," ucapnya singkat, ketika banyak membahas objektifikasi
perempuan, mencoba mengakhiri pembahasan yang mulai tidak nyaman. Ia ingin
menghormati privasi orang lain, dan ia juga ingin privasinya dihormati.
Pembawa acara kemudian menantang Aini untuk
menunjukkan foto seksinya.
"Kita pengen tahu ada nggak lihat fotonya?"
goda pembawa acara.
Aini hanya tersenyum misterius. Di balik senyum itu,
tersirat harga diri dan keyakinan bahwa ia lebih dari sekadar tubuh. "Itu
rahasia," bisiknya, menjaga jarak. Ia ingin orang-orang fokus pada
bakatnya, bukan pada penampilannya.
Malam itu ditutup dengan permainan "Gocek Goyang
Uleghh Uleghh" yang semakin menambah keseruan dan gelak tawa.
Aini berhasil menghibur penonton dengan goyangan,
candaan, dan cerita-cerita "panas"nya. Namun, di balik itu semua, ada
sisi lain Aini yang ingin ia tunjukkan: ketangguhan, kejujuran, dan keinginan
untuk diterima apa adanya. Malam itu menjadi malam yang tak terlupakan, bukan
hanya karena goyangan dan gelak tawa, tetapi juga karena sisi lain Aini yang
mulai terungkap. Ia adalah seorang wanita yang kuat, jujur, dan berani menjadi
dirinya sendiri, di tengah dunia yang seringkali menghakimi.