Episode 2 — Sisi Sisi Pribadi Manusiawi

 

Matahari siang itu memancarkan sinarnya dengan begitu terik, bahkan menembus kaca film mobil MPV berwarna hitam yang melaju di jalanan Jogjakarta yang padat. Jam di dashboard menunjukkan pukul 13:20. Di dalam mobil, di kursi belakang, Aini Zhafara tertidur pulas setelah penampilannya yang memukau di konser tadi. Bayu Raditya, manajer, asisten pribadi, sekaligus sopir Aini, sesekali melirik ke arah spion. Ia membayangkan betapa enaknya menjadi Aini. Popularitas, uang, dan sorot lampu panggung seolah menjadi candu yang memabukkan.

Tiba-tiba, Aini menggeliat kecil dan menguap lebar. "Be," panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur. "Siapkan air hangat untuk berendam nanti, ya. Badan rasanya remuk semua." Aini kembali memejamkan matanya dan terlelap.

Bayu, seorang pria berusia 26 tahun dengan rambut hitam lurus dan kulit sawo matang, kembali fokus pada jalanan. Pikirannya melayang pada gelar akademiknya, S.Pd. dan M.Pd., yang terasa begitu jauh dari kenyataan pekerjaannya saat ini. Ia melirik spion lagi, membandingkan dirinya dengan Aini yang hanya lulusan SMA tetapi kini menjadi idola banyak orang. Sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya: "Apakah gelar sarjana dan magisternya hanya selembar kertas tak berguna, Mbak?" gumamnya lirih, merendah.

Kemudian, ingatan Bayu melompat lebih jauh ke masa lalu. Kilas balik itu membawanya ke sebuah ruang kelas SMA yang sederhana. Bayu muda, dengan kemeja batik yang sedikit lusuh, berdiri di depan kelas, menjelaskan materi pelajaran dengan penuh semangat. Ia adalah seorang guru honorer, berdedikasi tinggi, tetapi dengan gaji yang jauh dari kata layak. Setiap bulan, ia harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan seringkali harus mencari pekerjaan tambahan.

"Selamat pagi anak-anak," ucap Bayu muda dengan senyum ramah kepada murid-muridnya. "Hari ini kita akan belajar tentang..."

Namun, semangatnya seringkali terbentur dengan kenyataan pahit. Ia ingat betul bagaimana ia harus menahan diri ketika mendengar kabar teman-temannya yang lulus S1 langsung mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang jauh lebih besar. Rasa iri dan putus asa terkadang menghantuinya.

Suatu hari, kesempatan itu datang. Ia bertemu dengan Aini Zhafara, seorang penyanyi dangdut yang sedang naik daun. Awalnya, Bayu hanya seorang penggemar yang sesekali menonton penampilan Aini dari layar ponselnya. Namun, takdir berkata lain. Saat mewawancarai Aini untuk keperluan tugas mata kuliah Budaya Visual, Ia ditawari untuk menjadi asisten pribadi Aini.

Pertimbangan finansial yang jauh lebih baik dan kesempatan untuk lebih dekat dengan idolanya menjadi alasan utama Bayu menerima tawaran tersebut. Ia berpikir, mungkin dengan menjadi asisten Aini, ia bisa merasakan sedikit gemerlap dunia hiburan yang selama ini hanya ia saksikan dari jauh.

"Ini kesempatan emas," pikir Bayu saat itu. "Gaji besar, bisa ketemu Aini setiap hari... Siapa yang tidak mau?"

Namun, di balik semua itu, ada harga diri yang harus ia korbankan. Bayu yang berpendidikan tinggi harus tunduk pada Aini yang hanya lulusan SMA. Ia harus siap menerima perintah, melayani kebutuhan Aini, dan terkadang menghadapi sikap Aini yang mungkin kurang menyenangkan.

Kilas balik menghantam pikiran Bayu. Ia mengingat dengan jelas bagaimana ia berdiri di atas panggung, bukan sebagai pengisi acara, melainkan sebagai objek lelucon. Sorakan tawa penonton yang bercampur dengan musik dangdut yang menghentak masih terngiang di telinganya. Rasa malu dan sakit hati kembali menyeruak, mengalahkan panasnya siang itu.

Dalam kilas balik itu, Bayu melihat dirinya dalam berbagai skenario kehidupan. Pertama, ia membayangkan dirinya sebagai seorang guru ASN, mengenakan seragam rapi, mengajar di sebuah SMA negeri di Yogyakarta. Ia melihat dirinya berinteraksi dengan siswa-siswa, berbagi ilmu, dan membimbing mereka menuju masa depan. Namun, bayangan gaji yang pas-pasan dan birokrasi yang rumit dengan cepat memadamkan semangatnya.

Kemudian, ia membayangkan dirinya sebagai seorang dosen di sebuah universitas swasta. Ia melihat dirinya berdiri di depan mahasiswa, menyampaikan materi kuliah, dan melakukan penelitian. Namun, lagi-lagi, prospek penghasilan yang tidak sebanding dengan usaha dan waktu yang dicurahkan membuatnya ragu.

Bayu juga mempertimbangkan pilihan untuk bekerja sebagai karyawan UMR di Yogyakarta. Ia melihat dirinya duduk di depan komputer, mengerjakan tugas-tugas rutin, dan terjebak dalam rutinitas yang monoton. Ia membayangkan dirinya setiap bulan menerima gaji yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, tanpa ada ruang untuk mengembangkan diri atau menikmati hidup.

Di tengah lamunannya, Bayu kembali teringat pada pekerjaannya saat ini sebagai asisten Aini. Ia membandingkan semua pilihan karirnya, dan ia harus mengakui bahwa menjadi asisten Aini memberikan keuntungan finansial yang jauh lebih baik. Gaji yang ia terima jauh melebihi UMR Yogyakarta, bahkan lebih tinggi dari gaji seorang guru ASN atau dosen pemula. Selain itu, ia juga mendapatkan fasilitas lain seperti mobil, akomodasi, dan kesempatan untuk bepergian ke berbagai kota.

"Jika aku tetap menjadi guru atau dosen," pikir Bayu, "mungkin aku tidak akan pernah bisa memiliki semua ini."

Namun, di balik semua keuntungan materi itu, Bayu merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ia merasa harga dirinya terluka, terkadang ia merasa rendah diri di dekat Aini, dan seringkali ia merindukan pekerjaan yang lebih bermakna dan sesuai dengan pendidikannya.

Di tengah lamunannya, Bayu kemudian mengingat kembali momen-momen saat ia merasa senang dan beruntung menjadi asisten Aini. Ia tersenyum tipis saat mengingat bagaimana dulu ia hanya bisa melihat Aini dari layar ponselnya, seperti penggemar lainnya. Namun kini, ia bisa melihat Aini secara langsung, bahkan berinteraksi dengannya setiap hari.

"Dulu rasanya mimpi bisa sedekat ini dengan Mbak Aini," gumam Bayu dalam hati.

Ia juga mengingat bagaimana ia banyak belajar dari Aini. Awalnya, ia hanya seorang guru dengan pengetahuan terbatas di bidang hiburan. Namun, selama menjadi asisten Aini, ia mendapatkan pengalaman berharga dalam fotografi, editing video, dan manajemen. Ia bahkan seringkali memberikan ide-ide kreatif untuk konten media sosial Aini.

"Mbak Aini itu orangnya kreatif dan selalu terbuka dengan ide-ide baru," pikir Bayu. "Aku jadi banyak belajar tentang dunia hiburan dari beliau."

Selain itu, Bayu juga merasa senang karena bisa mendapatkan penghasilan yang jauh lebih baik daripada saat menjadi guru. Ia bisa membantu keluarganya, membeli barang-barang yang ia inginkan, dan bahkan menabung untuk masa depan.

"Kalau dipikir-pikir, banyak juga hal positif yang aku dapatkan selama menjadi asisten Mbak Aini," kata Bayu dalam hati, mencoba menepis rasa penyesalan yang sempat menghantuinya.

Dalam serangkaian adegan singkat, terlintas dalam ingatan Bayu berbagai momen yang menunjukkan bagaimana ia telah berkembang dan mendapatkan keterampilan baru berkat pekerjaannya sebagai asisten Aini.

Ia teringat saat pertama kali ia harus mengambil foto Aini untuk keperluan promosi. Awalnya, ia merasa canggung dan tidak tahu bagaimana mengarahkan gaya Aini. Namun, seiring berjalannya waktu, ia semakin terampil dalam fotografi. Ia belajar tentang komposisi, pencahayaan, dan angle yang tepat untuk menghasilkan foto yang menarik. Kini, hasil jepretannya seringkali dipuji oleh Aini dan timnya.

Kemudian, Bayu mengingat saat ia ditugaskan untuk membuat video dokumentasi konser Aini. Ia belajar editing video secara otodidak, mencoba berbagai software, dan bereksperimen dengan berbagai teknik. Hasilnya, video-video yang ia buat selalu disukai oleh para penggemar Aini.

Selain itu, Bayu juga merasakan bagaimana ia menjadi lebih percaya diri. Dulu, ia adalah seorang guru yang pemalu dan kurang bergaul. Namun, setelah bekerja dengan Aini, ia terbiasa berinteraksi dengan banyak orang, mulai dari penggemar, media, hingga rekan-rekan sesama artis. Ia menjadi lebih terbuka, ramah, dan pandai berkomunikasi.

"Dulu aku bahkan takut untuk berbicara di depan umum," pikir Bayu sambil tersenyum. "Sekarang, aku bisa dengan mudah mempresentasikan sesuatu di depan banyak orang."

Bayu juga menyadari bahwa ia telah belajar banyak tentang manajemen. Ia terbiasa mengurus jadwal Aini, mengatur perjalanan, dan mengkoordinasikan berbagai acara. Ia menjadi lebih terorganisir, efisien, dan mampu mengelola berbagai situasi dengan efektif.

"Pekerjaan ini memang menantang," pikir Bayu. "Tapi aku harus mengakui, aku jadi lebih berkembang dan punya banyak keterampilan baru."

Bayu termenung sejenak, membiarkan ingatan-ingatan itu berputar di kepalanya. Ia mulai menyadari bahwa pekerjaannya sebagai asisten Aini tidak hanya tentang uang dan kesempatan untuk lebih dekat dengan idolanya. Lebih dari itu, ia mendapatkan banyak pengalaman dan keterampilan yang berharga untuk masa depannya.

"Aku jadi lebih percaya diri, bisa berkomunikasi dengan baik, dan punya banyak keterampilan baru," pikir Bayu. "Ini semua tidak akan aku dapatkan jika aku tetap menjadi guru atau dosen."

Ia membayangkan bagaimana keterampilan-keterampilan ini bisa membantunya di masa depan. Ia bisa saja membuka bisnis sendiri di bidang fotografi atau videografi. Atau mungkin, ia bisa bekerja di sebuah perusahaan media sebagai seorang manajer produksi.

"Siapa tahu nanti aku bisa jadi orang sukses," gumam Bayu, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Dan semua ini berawal dari pekerjaanku sebagai asisten Mbak Aini."

Namun, di sisi lain, Bayu juga merasa ada yang mengganjal dalam hatinya. Ia merasa pekerjaannya saat ini kurang memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat. Ia merindukan pekerjaan yang bisa memberikan dampak positif bagi orang lain, seperti saat ia menjadi seorang guru.

"Tapi, apakah aku bisa mendapatkan penghasilan yang sama jika aku kembali menjadi guru?" tanya Bayu dalam hati. "Dan apakah aku bisa mendapatkan pengalaman dan keterampilan yang sama?"

Kebimbangan melanda hati Bayu. Ia merasa terjebak dalam dilema antara keuntungan materi dan kepuasan batin.

Di tengah kebimbangannya, Bayu tiba-tiba teringat pada momen-momen yang menunjukkan sisi lain dari Aini, sisi yang mungkin tidak banyak diketahui orang.

Ia teringat saat Aini memimpin doa dan membacakan Al-Fatihah dengan khusyuk untuk Julia Perez, seorang artis yang meninggal beberapa tahun lalu. Saat itu, Bayu melihat kesedihan yang tulus di mata Aini, jauh dari kesan glamor dan penuh sensasi yang biasa ditampilkan di atas panggung.

"Mbak Aini memang religius," pikir Bayu. "Aku ingat, dia selalu menyempatkan diri untuk sholat jika manggung dekat dengan waktu sholat."

Bayu juga menyadari bahwa, meski terkadang dengan cara yang aneh, apa yang dilakukan Aini sebenarnya bisa membahagiakan banyak orang. Ia melihat bagaimana para penggemar begitu antusias dan terhibur dengan penampilan Aini. Setiap kali Aini manggung, acara itu juga bisa menggerakkan perekonomian di lokasi tersebut. Banyak pedagang kecil yang mendapatkan rezeki tambahan.

"Mbak Aini mungkin tidak selalu terlihat baik di mata semua orang," pikir Bayu. "Tapi, dia juga punya sisi positif yang mungkin tidak banyak orang tahu."

Adegan ini memberikan sedikit titik terang dalam kebingungan Bayu. Ia mulai melihat Aini tidak hanya sebagai seorang artis yang kontroversial, tetapi juga sebagai manusia dengan kompleksitasnya sendiri. Bayu jadi merasa, mungkin keputusannya untuk tetap bekerja dengan Aini tidak sepenuhnya salah.

Setelah merenungkan semua hal tersebut, Bayu akhirnya merasa lebih tenang. Konflik internalnya mulai mereda. Ia menyadari bahwa untuk saat ini, menjadi asisten Aini adalah pilihan yang tepat.

"Mungkin ini memang jalan yang terbaik untukku saat ini," pikir Bayu. "Aku bisa mendapatkan penghasilan yang baik, belajar banyak hal, dan mempersiapkan masa depanku."

Ia memutuskan untuk tetap bekerja dengan Aini sambil terus mengembangkan diri. Ia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan keterampilan dan menambah pengalaman. Ia juga akan mulai merencanakan masa depannya, mungkin dengan mengambil kursus online atau mengikuti pelatihan-pelatihan yang relevan dengan minatnya.

"Aku tidak akan selamanya menjadi asisten," gumam Bayu. "Suatu saat nanti, aku pasti bisa meraih impianku."

Dengan tekad yang baru, Bayu merasa lebih bersemangat. Ia tidak lagi merasa rendah diri atau menyesali keputusannya. Ia melihat pekerjaannya saat ini sebagai sebuah batu loncatan menuju masa depan yang lebih baik.

"Terima kasih, Mbak Aini," ucap Bayu dalam hati. "Meskipun terkadang menyebalkan, tapi aku banyak belajar dari Mbak."

Mobil MPV hitam itu terus melaju di tengah padatnya lalu lintas Jogjakarta. Bayu, dengan pikiran yang lebih jernih dan hati yang lebih tenang, mengemudikan mobil dengan penuh percaya diri. Ia siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan semangat yang baru.

Mobil MPV hitam itu terus melaju di tengah padatnya lalu lintas Jogjakarta. Bayu, dengan pikiran yang lebih jernih dan hati yang lebih tenang, mengemudikan mobil dengan penuh percaya diri. Ia siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan semangat yang baru.

Tiba-tiba, Aini yang duduk di kursi belakang bersuara, "Be, berhenti di minimarket depan, ya. Aku mau beli cemilan sama minum."

Bayu segera menepikan mobil di depan minimarket yang ditunjuk Aini. "Baik, Mbak," jawab Bayu.

"Kamu juga sekalian ya, Be. Beli apa aja yang kamu mau," kata Aini tanpa menoleh.

Bayu mengangguk dan segera turun dari mobil. Ia membeli beberapa cemilan ringan dan minuman dingin untuk dirinya dan Aini. Setelah selesai, ia kembali ke mobil dengan membawa kantong plastik berisi barang belanjaan.

"Ini Mbak, cemilan sama minumnya," kata Bayu sambil menyerahkan kantong plastik itu kepada Aini.

Aini bangun sejenak dari posisi rebahnya untuk mengambil minum. Bayu mendengar suara lirih Aini mengucapkan basmalah sebelum meneguk minumannya.

"Alhamdulillah," gumam Aini pelan setelah minum.

Bayu kembali duduk di kursi kemudi dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun, tiba-tiba Aini kembali bersuara.

"Be, itu ada bapak-bapak jualan kerupuk samiler di seberang jalan. Beliin, ya. Rp20 ribu aja," pinta Aini sambil menunjuk ke arah seberang jalan.

Bayu menoleh ke arah yang ditunjuk Aini. Ia melihat seorang bapak tua dengan pikulan kerupuk samiler di pundaknya.

"Baik, Mbak," jawab Bayu. Ia segera turun dari mobil dan menyeberang jalan untuk membeli kerupuk samiler.

Bapak tua itu tampak senang ketika Bayu membeli kerupuknya. "Terima kasih, Mas," ucapnya dengan senyum sumringah.

Bayu kembali ke mobil dan memberikan kerupuk samiler itu kepada Aini.

"Ini Mbak," kata Bayu.

Aini menerima kerupuk itu dan memberikannya kepada Bayu. "Buat kamu aja, Be," kata Aini. "Aku cuma pengen bantu bapak itu aja."

Bayu tertegun. Ia tidak menyangka Aini akan melakukan hal seperti itu. Nominal Rp20 ribu mungkin tidak berarti apa-apa bagi Aini, tapi itu sangat berarti bagi bapak tua penjual kerupuk samiler.

"Mbak Aini ternyata tidak selalu bersikap semena-mena," pikir Bayu. "Dia juga punya sisi baik yang tidak banyak orang tahu."

Momen-momen kecil ini semakin memantapkan keputusan Bayu untuk tetap bekerja dengan Aini. Ia menyadari bahwa di balik sikap Aini yang terkadang menyebalkan, ada sisi kemanusiaan yang patut dihargai.

MPV hitam milik Aini Zhafara meluncur memasuki halaman rumah setelah konser yang melelahkan. Aini, yang tertidur di kursi belakang, terlihat sangat letih. Wajahnya pucat, dan ia menyandarkan kepala ke kursi dengan mata terpejam.

"Mbak Aini, kita sudah sampai rumah," ucap Bayu pelan berusaha membangunkan Aini dengan sopan.

"Akhirnya sampai juga," gumam Aini lirih, nyaris tak terdengar.

Mobil berhenti, dan Aini segera membuka pintu, melangkah keluar dengan gontai. Tanpa menoleh, ia berjalan menuju pintu rumah, meninggalkan Bayu yang masih sibuk.

Bayu Raditya, asisten pribadi Aini, dengan sigap menurunkan barang-barang dari bagasi. Tangannya cekatan mengangkat tas-tas besar, peralatan konser, dan beberapa bingkisan dari penggemar. Wajahnya terlihat lelah, namun ia tetap bergerak cepat dan efisien.

Sambil membawa barang-barang, Bayu melirik ke arah Aini yang sudah masuk ke dalam kamar. Wajahnya menahan kesal. Ia ingin sekali meluapkan amarahnya, namun ia sadar, Aini adalah atasannya. Ia harus tetap profesional.

Bayu kemudian memarkirkan mobil di garasi. Setelah itu, ia bergegas masuk ke dalam rumah, membawakan barang-barang Aini.

"Be, ambilkan aku minum, lalu pijit aku ya," teriak Aini dari kamar seakan hanya dia yang lelah.

Bayu menghela napas dalam-dalam. Ia letakkan barang-barang Aini di dekat pintu, lalu berjalan ke dapur untuk menyiapkan minuman. Wajahnya masih terlihat kesal, namun ia berusaha menyembunyikannya.

Sambil menyiapkan minuman, Bayu melirik jam dinding. Sudah hampir seharian dia belum istirahat. Ia merasa sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Namun, ia tahu, tugasnya belum selesai. Ia harus memijat Aini.

"Ini minumnya, Mbak," kata Bayu sambil meletakkan nampan berisi lemon tea, air mineral, gelas kosong, tisu, dan sedotan dekat kasur.

"Oh ya, rokok sekalian," tanggap Aini spontan.

"Baik, Mbak," jawab Bayu singkat, nadanya datar.

Bayu kembali membawakan rokok, korek api, dan asbak. Aini lalu mengambil 1 batang rokok dan memberi kode kepada Bayu untuk menyalakan korek api untuknya. Sambil membuka ponsel, Aini duduk bersandar bantal, menyelonjorkan kakinya. Bayu kemudian berlutut di dekat kaki Aini dan mulai memijatnya. Wajahnya lelah, namun tangannya tetap cekatan dan profesional.

Bayu dengan cekatan menyelesaikan pijatannya. Aini yang tadinya meringis kesakitan, kini tampak lebih rileks. Ia menghela napas lega, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di meja.

Jari-jari Aini mulai lincah bergerak di layar ponsel, membuka aplikasi Instagram. Matanya fokus mengamati tagar #ainizhafara. Berbagai foto dan video dari konser tadi siang bermunculan di layar. Aini tersenyum tipis melihat antusiasme para penggemarnya.

Sesekali, Aini menghela napas panjang. Bukan karena lelah, tetapi lebih karena beban pikiran. Ia melihat beberapa komentar negatif yang menyertai unggahan-unggahan tersebut.

Di sela-sela aktivitasnya dengan ponsel, Aini meraih rokok yang tadi disiapkan Bayu. Ia menyalakan rokok itu dengan korek yang diulurkan Bayu. Asap rokok mengepul perlahan di udara, bercampur dengan aroma lemon tea yang sesekali diseruput Aini melalui sedotan.

Ekspresi Aini terus berubah seiring dengan apa yang dilihatnya di Instagram. Awalnya meringis karena pegal, lalu menghela napas lega saat pijatan Bayu mulai terasa nyaman, dan akhirnya terdiam dengan ekspresi yang sulit dibaca saat mengamati Instagram.

Sementara Aini larut dalam dunianya dengan ponsel dan rokok, Bayu tetap memijat dengan penuh perhatian. Tangannya bergerak dengan lembut dan cekatan, seolah tak ingin mengganggu Aini.

Wajah Bayu menunjukkan ketundukan. Ia memijat dengan penuh hormat, tanpa berani menatap langsung ke arah Aini. Sesekali, ia melirik ke arah Aini untuk memastikan apakah pijatannya sudah cukup baik.

Aini terdiam sejenak, menikmati pijatan Bayu. Pikirannya melayang, merefleksikan peran Bayu dalam kehidupan personal dan karier profesionalnya.

"Aku sudah sangat terbiasa dengan Bayu," pikir Aini dalam hati. "Dia selalu ada untukku, membantu dalam segala hal. Aku bahkan tidak tahu bagaimana jadinya jika dia tidak ada. Aku tak ingin menikah dulu, tak punya angan menikahinya, tapi bagaimana kalau Bayu nanti menikah? Apakah dia akan tetap menjadi seperti ini? Apakah istrinya rela dia menjadi asisten pribadi seorang Aini? Apakah keluarganya menerima dia menjadi bagian dari pertunjukkan seorang Aini Zhafara?"

Aini teringat bagaimana Bayu selalu cepat menanggapi tawaran manggung, sigap mengatur jadwalnya yang padat, mengingatkannya akan setiap jadwal, dan memastikan semua keperluannya terpenuhi. Kinerja Bayu membuat Aini dikenal sebagai penyanyi yang disiplin waktu. Ia juga ingat ketika Bayu selalu ada di sisinya saat ia merasa kewalahan atau menghadapi situasi sulit, bahkan dengan sabar menjadi sasaran amarahnya.

Kilasan balik singkat muncul di benak Aini. Adegan saat Bayu membantunya menyiapkan konser besar, menenangkan Aini saat ia gugup, dan bahkan membelikannya makanan saat ia lupa makan.

"Dia bukan hanya asisten, tapi juga sahabat dan orang kepercayaanku," gumam Aini pelan, nyaris tak terdengar. “Dia juga masih menjadi guru, ide-idenya kreatif dan turut membuatku berkembang.”

Aini merasa takut jika Bayu tiba-tiba pergi. Ia membayangkan betapa sulitnya ia menjalani semua kesibukannya tanpa bantuan Bayu.

"Aku terlalu bergantung padanya," pikir Aini dengan nada khawatir. "Bahkan sekadar menyalakan rokok pun butuh ulurannya."

Aini merasa bersalah karena selama ini terlalu banyak merepotkan Bayu. Ia sadar bahwa Bayu juga memiliki kehidupan sendiri dan impian yang ingin diraih. Aini lalu menatap Bayu yang masih memijat kakinya dengan penuh perhatian. Ia melihat ketulusan dan kesetiaan di mata Bayu.

"Terima kasih, Be," ucap Aini tulus, kali ini dengan nada yang lebih hangat. "Kamu sudah banyak membantuku."

Bayu tersenyum tipis, lalu mengangguk sopan. "Sama-sama, Mbak," jawabnya pelan, “Banyak berkahnya saya ikut Mbak Aini.”

Aini tersenyum kecil, dengan mata yang terharu.

Aini menghela napas panjang, asap rokok mengepul di sekelilingnya. Pikirannya kembali melayang, kali ini tentang penggemar dan rasa terima kasihnya atas dukungan mereka, namun juga konflik batin yang ia rasakan.

Ia teringat antusiasme para penggemar di konser tadi. Sorak-sorai mereka, semangat mereka, dan bagaimana mereka rela berpanas-panasan demi melihatnya. Aini merasa senang dan terharu bisa membahagiakan banyak orang.

"Aku senang bisa membuat mereka bahagia," pikir Aini dengan senyum tipis.

Namun, setelah konser, saat ia dan timnya meninggalkan lokasi, Aini sempat melihat pemandangan yang membuatnya tertegun. Donat bekas gigitannya yang ia buang ke tempat sampah justru diperebutkan oleh beberapa penggemar dengan begitu antusias. Mereka saling dorong dan berusaha meraih sisa makanannya itu.

Aini merasa terkejut dan tidak mengerti. Ia merasa tersentuh dengan antusiasme penggemarnya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa tidak nyaman dan bahkan sedikit miris melihat pemandangan itu.

"Kenapa mereka sampai seperti itu?" pikir Aini dengan nada bingung. "Itu hanya sisa makanan."

Aini merasa sedih dan tidak nyaman melihat hal itu. Ia merasa tidak enak jika penggemarnya sampai melakukan hal-hal yang menurutnya berlebihan dan mungkin merendahkan diri.

"Aku tidak ingin mereka seperti ini," pikir Aini dengan nada khawatir.

Aini merasa bingung bagaimana sikap yang sebaiknya ia ambil. Di satu sisi, ia menghargai dukungan dan cinta dari penggemarnya. Di sisi lain, ia merasa tidak nyaman dan khawatir dengan fanatisme yang berlebihan.

"Aku harus bagaimana?" pikir Aini dengan tatapan kosong.

Ia merasa terbebani dengan tanggung jawab untuk memenuhi harapan penggemarnya, namun ia juga merasa tidak enak jika mereka sampai melakukan hal-hal yang ekstrem demi dirinya.

Aini lalu membayangkan bagaimana perasaan keluarga mereka di rumah. "Pasti berat bagi para istri dan anak-anak mereka," pikir Aini dalam hati. Tatapan matanya kosong, mencerminkan kebingungan dan kesedihan yang mendalam. Ia teringat beberapa kejadian yang pernah ia dengar atau lihat sendiri, yang kini memicu lima konflik batin dalam dirinya:

Ada seorang suami yang lebih sering menonton Aini saat live streaming TikTok daripada menghabiskan waktu dengan istrinya. Aini membayangkan betapa sedihnya seorang istri jika merasa diabaikan dan tidak diperhatikan oleh suaminya.

Ada seorang ayah yang rela mengantri berjam-jam untuk memberikan hadiah kepada Aini, padahal seharusnya malam itu ia bisa berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Aini membayangkan betapa kecewanya seorang anak jika merasa ayahnya lebih mementingkan idola daripada keluarga.

Aini teringat bagaimana beberapa penggemar laki-laki menulis banyak komentar di Instagram bahwa Aini adalah bayangannya ketika berhubungan badan dengan istrinya. Aini membayangkan betapa hancurnya hati seorang istri jika mengetahui suaminya membayangkan wanita lain saat bersamanya.

Aini teringat seorang penggemar laki-laki yang pernah bercerita kepadanya tentang keluarganya. Pria itu sangat mengidolakan Aini, bahkan sampai membuat istrinya merasa cemburu dan mempertanyakan identitasnya sebagai seorang suami dan ayah. Aini membayangkan betapa bingungnya pria itu dalam mencari keseimbangan antara keluarga dan idolanya.

Aini merasa bersalah dan bertanggung jawab, meskipun ia tidak tahu bagaimana mencegah hal ini terjadi. Ia merasa popularitasnya telah membawa dampak yang tidak ia inginkan.

"Aku tidak ingin menyakiti siapapun, terutama keluarga penggemar," bisik Aini lirih.

"Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri dan berkarya, tapi kenapa dampaknya bisa seperti ini?" pikir Aini dalam hati. Tatapan matanya kosong, mencerminkan kebingungan dan kesedihan.

Aini ingin sekali berteriak dan menghentikan kegilaan ini, tetapi ia takut tindakannya justru akan memperburuk situasi.

"Aku harus berhati-hati dalam bertindak," pikir Aini dalam hati.

Bayu yang menyadari perubahan ekspresi Aini, menghentikan pijatannya. "Mbak Aini kenapa? Ada yang sakit?" tanya Bayu dengan khawatir.

Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Be. Aku cuma capek saja."

Bayu tersenyum lembut. "Mbak Aini istirahat saja. Aku akan selalu ada untuk Mbak Aini."

Aini tersenyum lega. Ia merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Bayu di sisinya.

Bayu mengakhiri pijatannya. Aini terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kembali kesadarannya setelah larut dalam pikiran yang berkecamuk. Tatapan matanya yang tadi kosong kini mulai fokus.

"Terima kasih, Be," ucap Aini dengan suara yang lebih tenang. Ada sedikit kelegaan dalam nada suaranya, namun juga masih tersirat beban pikiran yang belum sepenuhnya hilang.

"Sama-sama, Mbak," jawab Bayu sopan.

Aini kemudian bangkit dari posisi berbaringnya. Ia merasakan tubuhnya sedikit lebih segar setelah dipijat, namun pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai dilema.

"Tolong siapkan air hangat untuk mandi ya, Be," pinta Aini dengan suara lembut namun tegas.

"Baik, Mbak," jawab Bayu sambil membereskan peralatan pijat.

Aini kemudian berjalan menuju kamar mandi. Sebelum masuk, ia menoleh ke arah Bayu.

"Oh ya, Be, sekalian siapkan tempat salat ya. Aku mau langsung salat setelah mandi," ucap Aini mengingatkan.

"Siap, Mbak," jawab Bayu.

Aini tersenyum tipis. "Jangan lupa kamu juga salat, Be. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 45, 'Wasta'inu bis sabri was salah'. Jadikan salat sebagai penolongmu dalam menghadapi segala sesuatu."

Bayu terdiam sejenak, merenungkan perkataan Aini. "Iya, Mbak. Terima kasih sudah diingatkan," jawabnya dengan nada sungguh-sungguh.

Aini mengangguk pelan dan kemudian masuk ke kamar mandi. Bayu dengan sigap menyiapkan air hangat dan tempat salat untuk Aini. Ia juga teringat untuk melaksanakan salat seperti yang diingatkan Aini.