Terik matahari Jogjakarta terasa membakar kulit di lapangan luas itu.
Jam menunjukkan pukul 11:30, dan ribuan orang sudah memadati area depan
panggung. Di kejauhan, deretan truk berbagai warna terparkir rapi, menjadi
saksi bisu perjalanan panjang para penggemar yang datang dari berbagai kota
untuk menyaksikan konser Aini Zhafara di bawah sengatan mentari siang.
Di tengah kerumunan yang mulai panas, dua orang pria, Roni dan Bima, tampak gelisah. Keduanya sudah berada
di lokasi sejak pukul 10 pagi, merasakan sengatan matahari yang semakin kuat.
"Wah, sudah hampir dua jam ini kita berdiri di sini, keringat sudah
bercucuran," keluh Roni sambil mengusap peluh di dahinya.
"Sabar, Ron. Aini kan katanya baru datang jam setengah satu,"
jawab Bima, matanya sesekali melihat ke arah belakang panggung yang masih
tertutup, di mana bayangan tampak lebih sejuk.
"Iya, tapi kok ya lama sekali. Takutnya malah batal tampil di panas
kayak gini," ujar Roni dengan nada khawatir.
"Hussh, jangan ngomong gitu! Aini pasti datang. Kita kan sudah
jauh-jauh datang ke sini," timpal Bima, mencoba menenangkan sahabatnya
sekaligus dirinya sendiri. "Semoga Mbak Aini kuat menahan panas."
Tiba-tiba, mata Bima berbinar, menunjuk ke arah gerbang masuk area
belakang panggung. "Eh, lihat itu! Ada mobil hitam datang!" serunya.
Sebuah mobil MPV berwarna hitam perlahan memasuki area steril. Dari
dalam mobil yang tampak steward-nya bekerja keras, terlihat seorang
wanita berparas ayu dengan rambut panjang tergerai keluar. Benar, itu Aini
Zhafara. Ia turun dari mobil dengan anggun, meski sedikit tergesa karena terik
matahari, ditemani seorang pria yang sigap memayunginya, Bayu Raditya, sang
asisten setia yang juga membawakan tas besar. Empat orang polisi berbadan tegap
mengawal ketat di sekeliling mereka, membuat barikade agar para penggemar yang
sudah mulai berkerumun tidak terlalu mendekat.
Sontak, perhatian seluruh penggemar yang berada di dekat jalur yang
dilalui Aini terpusat padanya. Lensa-lensa kamera ponsel berhamburan ke arah
Aini, berusaha mengabadikan setiap detik kedatangannya di bawah sinar matahari
yang menyilaukan. Teriakan-teriakan histeris mulai terdengar, "Aini!
Aini!" Beberapa penggemar nekat merangsek maju, berharap bisa sekadar menyentuh
tangan sang idola yang tampak sedikit kepanasan. Mereka seolah tidak peduli
dengan Eka Jungs Selvianita, Shinta Arsinta, dan Novi Sasmitha yang sedang
bersama berusaha menghibur di atas panggung yang juga terasa panas. Fokus
mereka hanya tertuju pada satu nama: Aini Zhafara.
Di balik panggung yang relatif lebih teduh, setelah berhasil menembus
kerumunan penggemar, Aini menarik napas lega. Ia sempatkan melirik ke arah
lapangan yang dipenuhi lautan manusia yang rela berpanas-panasan demi dirinya.
Senyum bangga tak bisa ia sembunyikan. "Ya Allah, sebanyak ini mereka
datang untukku di tengah terik begini," batinnya. Rasa lelah karena
perjalanan dan teriknya matahari seolah sirna begitu melihat antusiasme para
penggemarnya. Ia tahu, siang ini ia akan memberikan yang terbaik untuk mereka,
meski panas terasa menyengat.
Sementara itu, di depan panggung, Roni dan Bima semakin tidak sabar,
merasakan panas matahari yang semakin membakar.
"Itu dia! Itu Mbak Aini!" seru Bima sambil melompat-lompat
kecil, berusaha melihat lebih jelas.
"Akhirnya datang juga! Semoga nanti 'Goyangan Uleghh Uleghh'-nya
mantap, biar panasnya hilang sedikit," timpal Roni dengan nada penuh
harap.
Tepat pukul 13:00, setelah penampilan tiga biduan pembuka selesai di
bawah terik yang semakin menjadi, seorang pembawa acara naik ke atas panggung
yang terasa sangat panas.
"Baiklah, bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak, dan seluruh
penggemar musik dangdut yang berbahagia di bawah sinar matahari yang luar biasa
ini! Saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba! Mari kita sambut dengan gegap
gempita, bintang utama pada siang hari ini! Inilah dia, Aini Zhafara!"
Seketika, lapangan bergemuruh oleh teriakan dan tepuk tangan yang
membahana, memecah keheningan siang yang panas. "Aini! Aini! Aini!"
Nama itu menggema di seluruh penjuru lapangan, menyambut sang idola yang
sebentar lagi akan naik ke atas panggung yang panas.
Alunan musik intro yang dramatis mulai mengalun. Dari balik panggung
yang relatif teduh, sosok yang dinanti-nantikan akhirnya muncul di bawah terik matahari.
Aini Zhafara berjalan dengan penuh percaya diri menuju bibir panggung. Gaun
mini berwarna hitam yang bertabur payet perak memancarkan kilauan di bawah
sorot lampu panggung yang semakin terasa panas dipadukan dengan sepatu boot hitam yang menambah kesan enerjik.
Dari arah penonton yang sudah kepanasan dan berkeringat, teriakan
histeris kembali pecah.
"Ainiii! Ya ampun, cantik banget di panas terik begini!" seru
seorang wanita di barisan depan.
"Itu dia, itu dia! Dewi kita di tengah hari bolong!" timpal
seorang pria di sampingnya, matanya tak berkedip memandang Aini yang tampak
menawan meski di bawah sinar matahari yang menyengat.
"Gila, auranya beda banget! Padahal panasnya minta ampun,"
sahut yang lain dengan nada kagum.
Sebelum menyanyikan lagu pertama, Aini menarik napas dalam-dalam dan
berdehem satu kali. “Ehm...”, ungkap Aini melegakan tenggorokan sembari
menghilangkan ketegangan. Suara deheman itu, meski sederhana, langsung disambut
gemuruh tepuk tangan dan sorakan dari ribuan penonton yang tampak gerah tetapi
tetap bersemangat. Seolah itu adalah aba-aba yang mereka nantikan di tengah
panasnya hari.
Aini kemudian mengangkat mikrofon ke bibirnya. "Selamat siang
semuanya!" sapanya dengan suara lantang yang menguasai seluruh area
lapangan yang terasa membara. "Kalian sudah panas ya dari tadi? Tenang
saja, Aini akan buat kalian semakin hot!" lanjutnya dengan senyum
menggoda, seolah menantang teriknya matahari.
Sontak, para penonton kembali bersorak riuh rendah, sebagian besar pria
tampak semakin bersemangat meski keringat sudah membasahi tubuh mereka.
Tiba-tiba, Aini mengangkat tangan kanannya sedikit tinggi, membiarkan
angin siang yang kering menerpa ketiaknya. "Hmm, gerah ya siang ini,"
celetuk Aini sambil tersenyum misterius.
"Semoga
aromaku ini bisa membuat mereka semakin terpikat meski di tengah panas yang
menyengat. " harap Aini dalam hati menyadari tentang
feromon.
Aini melanjutkan, "Kalian tahu tidak? Badan Aini sudah mulai basah
ini kena panasnya Jogja. Tapi tenang saja," katanya sambil terkekeh pelan,
"keringatnya Aini ini spesial. Kalian mau cium aromanya di panas-panas
begini?"
Sontak, teriakan dari para penonton semakin menjadi-jadi, mengalahkan
suara angin siang yang bertiup. Beberapa pria di barisan depan bahkan
berteriak, "Mauuu, Mbak Aini!" dengan wajah penuh harap, tak peduli
dengan teriknya matahari.
"Wah, Mbak Aini memang beda! Makin panas jadinya!" bisik Roni
kepada Bima dengan mata berbinar.
"Iya, Ron. Makin hot ini! Panasnya jadi nggak kerasa,"
jawab Bima sambil mengipasi wajahnya dengan tangan yang sudah berkeringat.
Setelah berinteraksi sejenak dengan para penggemarnya yang kepanasan,
Aini Zhafara tiba-tiba menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Ia
mengangkat kedua tangannya di depan dada, seperti hendak berdoa di bawah sengatan
matahari. Selama kurang lebih satu menit, Aini melafalkan lirih Surat
al-Fatihah dengan khusyuk. Suasana riuh rendah seketika menjadi hening, hanya
suara lirih Aini yang terdengar samar-samar di tengah panasnya hari. Para
penggemar tampak ikut terdiam, sebagian bahkan menundukkan kepala, mencari
ketenangan di tengah terik. Setelah selesai membaca surat pembuka al-Qur'an
itu, Aini membuka matanya perlahan dan tersenyum lembut ke arah penonton yang
kian kepanasan lahir dan batin.
Keheningan syahdu saat Aini melafalkan Surat al-Fatihah perlahan menghilang,
digantikan oleh beat yang lebih menghentak dan rancak, memecah keheningan siang
yang panas. Lampu panggung kembali menari-nari, menciptakan atmosfer yang
semakin membara di bawah terik matahari. Aini Zhafara mengambil posisi di
tengah panggung yang terasa sangat panas, siap untuk memulai penampilan
utamanya.
"Nah, sekarang kita mulai panas-panasan ya!" seru Aini dengan
semangat, disambut sorakan antusias dari para penonton yang sudah kepanasan"Lagu pertama ini, Aini bawakan spesial buat
kalian semua. 'Sahara', tapi ini versi Aini ya!"
Musik pun mulai mengalun, lagu "Sahara" dari Thomas Arya yang
sudah diaransemen ulang dengan sentuhan khas Aini yang enerjik, sempurna untuk
memanaskan suasana siang itu. Sejak nada pertama, Aini langsung bergerak
lincah. Ia tidak hanya bernyanyi, tetapi juga menari dengan penuh semangat,
melompat-lompat kecil, dan sesekali berinteraksi dengan para penonton di
barisan depan yang sudah berkeringat. Gaun mininya yang berkilauan ikut
bergerak mengikuti irama, dan sepatu boot hitamnya tampak kokoh menjejak panggung yang
terasa panas.
Dalam salah satu gerakan, Aini terlihat memegang mikrofon dengan satu
tangan, sementara tangan lainnya terangkat ke atas, mengajak para penonton yang
sudah panas untuk ikut bernyanyi bersamanya di bawah
terik matahari. Ekspresi wajahnya penuh dengan kegembiraan dan energi, matanya
berbinar menatap lautan manusia di depannya yang rela berpanas-panasan.
Para penggemar pun tak kalah antusias. Mereka ikut bernyanyi, berjoget,
dan mengangkat tangan ke udara, larut dalam energi yang dipancarkan Aini di tengah panasnya
hari. Teriakan-teriakan dukungan dan kekaguman terus menggema di seluruh lapangan
yang terasa membara.
"Asiiiik, Mbak Aini!" teriak Roni sambil ikut
berjingkrak-jingkrak, merasakan panasnya semakin menjadi.
"Gila, enerjik banget! Beda jauh sama aslinya! Padahal panasnya
kayak di dalam oven," sahut Bima dengan wajah terkesima.
Aini Zhafara benar-benar berhasil membawa suasana menjadi semakin panas
dan meriah dengan interpretasilagu "Sahara" yang khas dirinya,
sempurna untuk siang yang terik itu.
Saat Aini melantunkan lirik pertama "Sahara," energinya
semakin membara di bawah sinar matahari yang menyengat. Ia bergerak ke sisi
kiri panggung yang panas, lalu ke kanan, menyapa para penggemarnya dengan
senyum dan lambaian tangan. Sesekali, ia mendekat ke tepi panggung, membuat
para penonton di barisan depan yang sudah panas histeris.
"Mbak Aini, lihat sini, Mbak! Panas banget tapi semangat!"
teriak seorang penggemar pria sambil mengulurkan ponselnya yang terasa hangat,
berharap bisa mendapatkan foto sang idola dari jarak dekat.
"Suaranya merdu banget, ya Allah! Padahal panasnya kayak
gini," gumam seorang wanita di sampingnya dengan mata berkaca-kaca, seolah
tak percaya bisa melihat Aini secara langsung di bawah terik matahari.
Di tengah lagu, saat bagian reffrain yang lebih rancak, Aini sedikit
membungkukkan badan ke depan, tatapannya mengarah ke penonton yang sudah
kepanasan. Gaun mini hitamnya sedikit terangkat oleh gerakan enerjiknya,
memperlihatkan jenjang kakinya yang terbalut sepatu boot hitam di bawah sinar
matahari yang menyilaukan. Gerakan tubuhnya yang luwes dan ekspresi wajahnya
yang menggoda membuat para penonton semakin terpukau meski keringat sudah
membasahi wajah mereka.
"Aduh, Mbak Aini, seksi
sekali! Panasnya jadi nggak kerasa!" celetuk seorang pemuda dengan
nada penuh kekaguman.
"Itu dia, 'Goyangan Uleghh Uleghh' yang kutunggu-tunggu di
panas-panas begini!" bisik Roni kepada Bima sambil tertawa kecil,
memperhatikan bagaimana Aini sesekali menggerakkan pinggulnya mengikuti irama
musik di bawah terik matahari.
Aini terus bernyanyi dengan penuh semangat, memanfaatkan setiap gerak
tubuhnya untuk semakin menghipnotis para penggemarnya yang sudah panas dan berkeringat. Ia tahu betul bagaimana
caranya memikat perhatian dan membuat mereka semakin terikat dengan
penampilannya, bahkan di bawah sengatan matahari siang.
Setelah lagu "Sahara" selesai dengan energi yang membakar di bawah terik matahari, Aini
mengusap dahinya yang sedikit berkeringat. "Bayu! Sini sebentar,"
panggilnya melalui mikrofon, suaranya sedikit serak karena panas.
Bayu Raditya dengan sigap menghampiri Aini dari sisi panggung yang
relatif teduh. Namun, Aini mengerutkan kening di balik keringat yang mulai
membasahi. "Lho, kacamatanya mana?" tanyanya dengan nada sedikit
meninggi. "Silau nih kena matahari!"
Bayu tampak salah tingkah di bawah tatapan Aini dan sinar matahari yang
menyilaukan. "Oh, iya, Mbak. Saya ambilkan segera," katanya
terburu-buru kembali ke belakang panggung yang relatif lebih sejuk.
Sambil menunggu Bayu, Aini kembali menghadap penonton yang sudah
kepanasan"Aduh, punya asisten kok
ya suka lupa di panas-panas begini," ujarnya sambil tertawa kecil.
"Gimana kalau Bayu kita ganti saja sama salah satu dari kalian? Ada yang
mau jadi asisten pribadi Aini di bawah terik matahari ini?"
Teriakan dari para penggemar yang sudah panas, terutama kaum pria, langsung membahana. "Mauuuu!"
Bayu kembali dengan tergesa-gesa, membawa sepasang kacamata hitam
bergaya. Aini mengambilnya dengan sedikit ketus. "Lain kali jangan lupa
ya, apalagi kalau panasnya kayak gini," ucapnya tegas sambil memakai
kacamata tersebut.
Kemudian, dengan nada yang tiba-tiba berubah lembut, Aini mengulurkan
tangannya yang sedikit berkeringat kepada Bayu. "Sini," katanya. Bayu
dengan patuh mendekat dan mencium punggung tangan Aini yang terasa hangat
karena panas. Tindakan itu langsung disambut dengan sorakan iri dari sebagian
penonton, terutama para wanita yang sudah panas.
Dengan kacamata hitam yang kini bertengger di hidungnya, Aini terlihat
semakin mempesona di bawah sinar matahari siang. Ia kembali memegang mikrofon.
"Oke, semuanya. Lagu berikutnya ini spesial untuk seorang penyanyi hebat yang
sudah berpulang. Mari kita kenang dan doakan almarhumah Julia Perez di siang
yang panas ini. Lagu ini berjudul 'Please Call Me'."
Sebelum alunan musik mulai, Aini mengajak para penonton yang sudah
kepanasan"Semoga almarhumah tenang
di sana ya. Mari kita kirimkan doa terbaik untuk beliau di tengah terik
ini."
Saat intro lagu "Please Call Me" mulai mengalun di bawah sinar
matahari yang menyengat, Aini Zhafara langsung menampilkan sisi enerjik namun
tetap menggoda. Irama lagu yang lebih lambat namun tetap memiliki beat yang
kuat, sangat cocok dengan gaya penampilan Aini di siang yang panas ini.
Dengan kacamata hitam yang terpasang, Aini bergerak dengan enerjik di
atas panggung yang terasa panas. Ia tidak hanya menyanyi, tetapi juga menari
dengan gerakan-gerakan tubuh yang secara ritmis dan sesekali secara provokatif
di bawah terik matahari. Tatapannya, meski tersembunyi di balik kacamata hitam,
terasa diarahkan dan penuh percaya diri. Ia memegang mikrofon dengan santai,
sesekali mendekatkannya ke bibir yang sedikit kering karena panas, lalu
menjauhkannya dengan gerakan yang ikonik.
Para penonton yang sudah panas tampak terhipnotis dengan penampilan Aini. Mereka ikut bernyanyi,
melambaikan tangan yang sedikit lengket karena keringat, dan merekam setiap
momen dengan ponsel mereka yang terasa hangat karena panas. Beberapa pria di
barisan depan terlihat erat memperhatikan setiap gerakan pinggul Aini di bawah
sinar matahari yang menyilaukan.
"Aduh, Mbak Aini, seperti biasa, memukau! Panasnya jadi nggak
kerasa!" teriak seorang penggemar wanita dengan nada kagum.
"Lagunya jadi beda ya dibawain Mbak Aini, lebih hot! Padahal
panasnya kayak gini," sahut seorang pria di sampingnya sambil berjoget
mengikuti irama di bawah terik matahari.
Aini Zhafara berhasil membawakan lagu "Please Call Me" dengan
interpretasiyang khas dirinya, memadukan antara penghormatan kepada almarhumah
Julia Perez dengan sentuhan personal yang membuat para penggemarnya semakin
terpikat meski di bawah sengatan matahari siang. Setiap gerak tubuh dan
ekspresinya seolah memiliki daya tarik magis yang membuat mata para penonton
sulit untuk berpaling darinya di tengah panasnya hari.
Di tengah lagu "Please Call Me" yang mengalun di bawah terik
matahari, tiba-tiba Aini tampak sedikit mengerutkan dahi, seperti ada lirik
yang terlupa karena panas. Namun, dengan sigap, ia langsung tersenyum lebar ke
arah penonton di barisan depan yang sudah panas.
"Ups! Aini lupa sedikit liriknya nih, otaknya agak nge-blank
kenapanas, eh kepanasan, kan nge-blank," katanya dengan nada ceria.
"Tapi jangan khawatir! Kita bikin kenang-kenangan saja ya! Siapa mau selfie sama Aini di panas-panas begini?"
Sontak, puluhan tangan langsung terangkat ke udara yang terasa panas,
berebut agar ponsel mereka dipilih. Aini menunjuk seorang pria di barisan
paling depan yang tampak berkeringat. "Nah, kamu! Sini, kasih HP-nya ke
Aini!"
Dengan wajah sumringah meski sedikit merah karena panas, pria itu
memberikan ponselnya kepada Aini. Ia tampak sangat bahagia dan gugup secara
bersamaan di bawah terik matahari.
"Ya ampun, rezeki nomplok! HP-ku dipegang Mbak Aini di panas kayak
gini!" bisiknya kepada temannya di samping.
Aini mengambil beberapa foto selfie dengan berbagai gaya yang penuh semangat dan
menggoda di bawah sinar matahari yang menyilaukan. Saat melihat layar ponsel
pria itu yang terasa hangat, Aini melihat foto wallpaper pria tersebut bersama seorang wanita.
"Wah, sudah punya istri ya? Tapi kok ya malah panas-panasan di sini
lihat Aini?" goda Aini dengan nada manja namun sedikit menggoda.
"Tapi nggak apa-apa, kan, kalau fotonya ada Aini juga sekarang?"
lanjutnya sambil terkekeh, merasakan panasnya hari.
Kemudian, tanpa diduga, Aini mengusap bagian belakang ponsel itu ke
ketiaknya yang terlihat sedikit berkeringat karena panas. Para penonton
terkejut sekaligus riuh rendah di bawah terik matahari. Setelah itu, dengan
sedikit mengangkat kakinya yang terbalut boot hitam, Aini
mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.
"Nih," katanya sambil tersenyum penuh arti. "Sudah Aini
kasih berkah sedikit biar makin semangat kerjanya di panas-panas begini!"
Pria yang menerima ponselnya itu tampak terpana, lalu tertawa bahagia
sambil mengacungkan jempol ke arah teman-temannya yang sudah kepanasan"Berkah dari Mbak Aini! Siap kerja keras meski
panas!" serunya dengan nada bangga.
Tiba-tiba, Aini menghentikan alunan musik "Please Call Me"
dengan mengangkat tangannya yang sedikit berkeringat. Para pemain musik pun langsung
terdiam, menunggu perintah selanjutnya di bawah terik matahari.
"Oke, cukup melow-melow-nya ya di panas kayak gini," kata Aini
dengan nada sedikit memerintah namun tetap santai. "Aini ganti lagu ya.
Kita nyanyi yang liriknya dikit aja, biar nggak capek di panas-panas
begini." Ia terkekeh pelan. "Aini males kalau capek kena panas."
Sorakan setuju langsung terdengar dari para penonton yang sudah
kepanasanSeolah apa pun keputusan Aini, mereka akan mendukungnya di bawah terik
matahari.
"Nah, lagu berikutnya ini judulnya 'Liku-Liku'," lanjut Aini.
Ia memberi kode kepada bandnya, dan alunan musik intro lagu
"Liku-Liku" pun mulai dimainkan, memecah keheningan siang yang panas.
Para pemain musik tampak sigap mengikuti arahan Aini, tanpa ada protes atau
keraguan meski mereka juga merasakan panasnya hari.
Aini kembali memegang mikrofon dengan penuh percaya diri, siap untuk
melanjutkan penampilannya di bawah sinar matahari yang menyengat. Ekspresinya
menunjukkan bahwa ia sepenuhnya memegang kendali atas jalannya konser ini, tak
peduli dengan panasnya hari. Para penonton pun tampak antusias menyambut lagu
berikutnya, mengikuti setiap perkataan dan perintah dari sang idola di tengah
terik.
Setelah menyelesaikan lagu "Liku-Liku" dengan santai di bawah
sinar matahari yang menyengat, Aini kembali melihat ke arah penonton dengan
senyum menggoda. "Siapa lagi yang mau kenang-kenangan dari Aini di
panas-panas begini?" tanyanya sambil mengangkat alis yang sedikit
berkeringat.
Seperti sebelumnya, banyak tangan langsung terangkat ke udara yang
terasa panas. Aini menunjuk seorang penggemar pria yang berdiri agak di tengah
dan tampak berkeringat. "Kamu! Yang pakai topi merah! Sini, HP-nya!"
Pria bertopi merah itu dengan antusias memberikan ponselnya kepada Aini.
Kali ini, Aini tidak langsung berfoto di bawah terik matahari. Ia membalikkan
ponsel itu yang terasa hangat, lalu dengan gerakan secara provokatif,
menggosokkan bagian layar dan kameranya ke bagian belakang tubuhnya yang sintal
yang terasa sedikit lembab karena panas.
"Biar bersih ya, sayang, sekalian kena panas biar bakterinya
mati," kata Aini dengan nada manja, lalu terkekeh merasakan panasnya hari.
"Sekalian Aini kasih berkah biar makin lancar rezekinya di tengah terik
ini."
Pria bertopi merah itu tampak terkejut, lalu tertawa girang sambil
memeluk ponselnya erat-erat yang terasa hangat. "Ya Allah, Mbak Aini!
Terima kasih banyak! Panasnya jadi nggak kerasa!" serunya dengan wajah
berseri-seri.
Di sisi panggung yang relatif lebih teduh, Eka Jungs Selvianita, Shinta
Arsinta, dan Novi Sasmitha yang sedang istirahat sambil makan cemilan, mereka
menyaksikan tingkah Aini di bawah sinar matahari yang menyengat dengan berbagai
ekspresi.
Eka Jungs menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum tipis, merasakan
panasnya hari juga. "Aini memang selalu punya cara sendiri menarik
perhatian di panas kayak gini," gumamnya, tampak ada nada bangga sekaligus
sedikit heran.
Shinta Arsinta terlihat sedikit memalingkan muka, ekspresinya
menunjukkan sedikit rasa jijik bercampur iri di bawah terik matahari.
"Harus segitunya ya biar diperhatikan di panas-panas begini?"
bisiknya pelan kepada Novi yang tampak sedikit panas.
Novi Sasmitha hanya tersenyum tanpa komentar, namun matanya tak lepas
dari Aini yang tampak menawan meski di bawah sengatan matahari siang. Ada
kekaguman sekaligus mungkin sedikit rasa cemburu melihat bagaimana Aini begitu mudah
mendapatkan perhatian dan antusiasme dari para penonton yang sudah panas.
Sementara itu, Aini kembali berpose untuk mengambil selfie dengan pria bertopi merah yang sudah berkeringat, senyumnya tetap
memikat dan penuh daya tarik meski di bawah terik matahari. Ia benar-benar tahu
bagaimana cara memanfaatkan setiap momen untuk semakin memikat hati para
penggemarnya di tengah panasnya hari.
Setelah sesi selfie yang penuh kejutan di bawah sinar matahari
yang menyengat, Aini Zhafara kembali fokus pada penampilannya. Alunan musik
intro lagu "Tak Jujur" dari Uut Permatasari mulai terdengar, namun
dengan aransemen yang lebih hidup dan khas Aini, sempurna untuk memeriahkan
siang yang panas.
Dengan kacamata hitam yang masih bertengger di wajahnya yang sedikit
berkeringat, Aini kembali memegang mikrofon dengan penuh semangat di bawah
terik matahari. Ia bergerak ke sana kemari di atas panggung yang terasa panas, sesekali
berinteraksi dengan para penonton di berbagai sisi yang sudah kepanasan.
Gerakan tubuhnya secara ritmis mengikuti irama lagu, dan ekspresi wajahnya
menunjukkan penghayatan terhadap lirik yang ia nyanyikan di bawah sinar
matahari yang menyilaukan.
Para penggemar yang sudah panas tampak kembali terbius dengan penampilan Aini. Mereka ikut bernyanyi dan
berjoget, larut dalam suasana yang diciptakan oleh sang idola di tengah terik
matahari. Teriakan-teriakan dukungan dan pujian terus menggema di seluruh
lapangan yang terasa membara.
"Mbak Aini memang serba bisa! Panasnya jadi nggak kerasa!"
seru seorang penonton wanita dengan nada kagum.
"Lagu lambat gini jadi enak banget dibawain Mbak Aini di
panas-panas begini!" timpal seorang pria di sampingnya sambil berjoget
mengikuti irama di bawah terik matahari.
Aini Zhafara berhasil membawakan lagu "Tak Jujur" dengan gaya
khasnya, memadukan antara energi dan
penghayatan, membuat para penonton semakin terhibur dan terpesona dengan
penampilannya meski di bawah sengatan matahari siang. Aura bintangnya semakin
bersinar di bawah terik matahari Jogjakarta.
Setelah menyelesaikan lagu "Tak Jujur" di bawah sinar matahari
yang menyengat, Aini kembali berinteraksi dengan para penggemarnya yang sudah
kepanasan"Siapa lagi yang mau selfie spesial dari Aini di panas-panas begini?" tanyanya dengan senyum
lebar.
Seorang pemuda di barisan tengah yang tampak berkeringat dengan semangat
mengacungkan ponselnya tinggi-tinggi. Aini menunjuknya. "Nah, kamu! Sini,
kasih HP-nya!"
Pemuda itu berlari kecil mendekati panggung yang terasa panas dan
menyerahkan ponselnya dengan tangan gemetar yang sedikit lengket karena
keringat. Aini mengambil ponsel itu yang terasa hangat karena panas.
Dengan gerakan tak terduga di bawah terik matahari, Aini mengangkat
lengannya yang sedikit berkeringat dan mengusap layar serta kamera ponsel itu
ke ketiaknya yang terasa lembab karena panas. "Biar makin berkah ya,
sayang, sekalian kena panas biar bakterinya mati," kata Aini sambil
terkekeh melihat ekspresi terkejut bercampur bahagia dari si penggemar yang
sudah panas.
Begitu Aini mengembalikan ponsel itu yang terasa hangat, pemuda itu
langsung menciumnya dalam-dalam, tepat di bekas usapan ketiak Aini yang sedikit
berkeringat karena panas. Aini menyaksikan adegan itu dan tertawa lepas,
tawanya renyah di bawah sinar matahari yang menyengat.
"Ya ampun, fans Aini memang paling hot! Panasnya jadi nggak
kerasa ya?" serunya diiringi tawa. "Semoga berkah ketiak Aini membawa
rezeki berlimpah buat kamu ya di tengah terik ini!"
Pemuda itu hanya bisa tersenyum lebar dan mengangguk-angguk, matanya
berbinar-binar seperti mendapatkan hadiah yang sangat berharga di bawah
sengatan matahari siang.
Di sisi panggung yang relatif lebih teduh, Eka Jungs, Shinta Arsinta,
dan Novi Sasmitha kembali menyaksikan pemandangan yang unik ini di bawah terik
matahari.
Eka Jungs tersenyum sambil menggelengkan kepala yang sedikit
berkeringat. "Aini ini memang penuh kejutan, apalagi di panas kayak
gini," katanya kepada Shinta yang tampak sedikit panas.
"Tapi ya... fansnya
suka-suka saja meski panasnya minta ampun."
Shinta Arsinta tampak sedikit jijik, namun juga tidak bisa
menyembunyikan rasa irinya di bawah terik matahari. "Itu sih sudah bukan
sekadar suka, tapi sudah menyembah di panas-panas begini," bisiknya dengan
nada sinis kepada Novi yang tampak mengipasi wajahnya.
Novi Sasmitha hanya bisa terdiam, memperhatikan interaksi Aini dengan
penggemarnya di bawah sinar matahari yang menyengat. Ada campuran rasa kagum
dan sedikit tidak mengerti di wajahnya yang sedikit berkeringat. “Bagaimana bisa mereka begitu memuja Aini
sampai segitunya di panas-panas begini?” pikirnya dalam hati.
Jeda singkat dan interaksi selfie yang secara provokatif di bawah terik
matahari, adalah pengantar Aini Zhafara kembali mengambil alih panggung untuk
penampilan terakhirnya di bawah sinar matahari yang menyengat. Musik intro yang
penuh semangat dari lagu "Goyang Heboh" mulai menghentak, disambut
sorakan histeris dari para penonton yang sudah tidak sabar menantikan puncak
penampilan Aini di tengah panasnya hari.
"Nah, ini dia yang kalian tunggu-tunggu kan di panas-panas
begini?" seru Aini dengan senyum penuh kemenangan yang sedikit
berkeringat. "Saatnya kita bergoyang di bawah terik matahari!"
Sejak awal lagu, Aini langsung menunjukkan energinya yang maksimal meski
panas terasa menyengat. Ia bergerak lincah ke seluruh penjuru panggung yang
terasa panas, berinteraksi dengan para penonton di setiap sisi yang sudah
kepanasanNamun, kali ini, fokus utama penampilannya benar-benar tertuju pada
goyangan pinggulnya yang sudah menjadi ciri khasnya, semakin secara provokatif
di bawah sinar matahari yang menyilaukan. Setiap gerakan Aini tampak semakin
berani dan eksplisit, memanfaatkan мини-гаунnya yang berkilauan untuk menambah
daya tarik di tengah terik.
Para penonton pun seakan terhipnotis di bawah sengatan matahari siang.
Sorak sorai dan teriakan semakin membahana setiap kali Aini melakukan gerakan
yang secara provokatif. Ponsel-ponsel kembali terangkat yang terasa hangat
karena panas, berusaha mengabadikan momen-momen puncak ini di bawah terik
matahari.
"Goyang terus, Mbak Aini! Panasnya jadi nggak kerasa!" teriak
Roni dengan mata tak berkedip, merasakan panasnya semakin menjadi.
"Itu dia 'Goyangan Uleghh Uleghh' yang sebenarnya di panas-panas
begini!" sahut Bima di sampingnya, ikut berjoget dengan semangat meski
keringat sudah membasahi tubuh mereka. "Memang hot banget!"
Di tengah lagu yang semakin menghentak di bawah terik matahari, mencapai
titik kulminasi. Aini melakukan serangkaian gerakan pinggul yang sangat
eksplisit dan secara ritmis. Goyangannya kali ini benar-benar mengesankan,
membuat para penonton semakin histeris meski keringat sudah bercucuran.
Teriakan-teriakan kekaguman dan pujian bercampur aduk menjadi satu di bawah
sinar matahari yang menyengat.
"Aini! Aini! Aini!" nama itu kembali menggema di seluruh
lapangan yang terasa membara, kali ini dengan intensitas yang jauh lebih tinggi
di bawah terik matahari. Para penggemar tampak benar-benar terbius dengan
penampilan Aini, seolah semua perhatian dan energi mereka tersedot sepenuhnya oleh sang idola di
tengah panasnya hari.
Bahkan dari kejauhan, di sisi panggung yang relatif lebih teduh, Eka
Jungs, Shinta Arsinta, dan Novi Sasmitha tampak menyaksikan penampilan Aini
dengan tatapan yang sulit diartikan di bawah sinar matahari yang menyengat. Ada
kekaguman akan energinya meski panas, mungkin sedikit rasa iri melihat
antusiasme penonton yang rela berpanas-panasan, dan juga mungkin sedikit rasa
heran melihat keberanian Aini dalam mengeksploitasi daya tariknya di tengah
terik. Namun, tak bisa dipungkiri, Aini Zhafara malam itu benar-benar menjadi
bintang yang paling bersinar, meninggalkan jejak yang mendalam di hati para
penggemarnya melalui penampilan "Goyang Heboh" yang memukau di bawah
terik matahari Jogjakarta.
Usai melantunkan "Goyang Heboh" dengan penampilan yang
mengesankan di bawah sinar matahari yang menyengat, Aini Zhafara mengambil
napas sejenak, tersenyum puas melihat lautan penggemarnya yang sudah panas dan berkeringat. "Oke, semuanya! Ini dia
selfie terakhir dari Aini buat kalian di panas-panas begini!" serunya
dengan semangat.
Ia kembali menunjuk seorang penggemar di barisan depan yang tampak
berkeringat. "Sini, sayang, merapat! Tapi awas panas ya!"
Saat penggemar itu mendekat dengan ponselnya yang terasa hangat, Aini
sedikit membalikkan badannya yang sedikit lembab karena panas, memberikan pose
yang menonjolkan bagian belakang tubuhnya. "Sini tak kasih bokong, biar
panasnya hilang sedikit," katanya sambil tertawa kecil.
Melihat antusiasme para penonton yang memang selalu terpikat dengan
goyangannya, terutama pada bagian tubuhnya itu, Aini nyeletuk dengan nada
percaya diri meski sedikit terengah karena panas, "Kayaknya Aini memang
punya pantat perekat ummat ya! Terbukti kan, kalian tetap setia meski panasnya
kayak gini."
Sontak, para penonton tertawa dan bersorak setuju meski keringat sudah
membasahi wajah mereka. Aini kemudian mengangkat tangannya yang sedikit
lengket, memberi aba-aba. "Oke, semuanya! Kita ucapkan sama-sama ya,
'Pantat Perekat Ummat' sebanyak tiga kali di bawah terik matahari ini!"
Dengan penuh semangat meski sedikit panas, Aini memimpin para penggemarnya. "Pantat Perekat Ummat!"
serunya, diikuti riuh rendah oleh ribuan penonton yang sudah berkeringat.
"Pantat Perekat Ummat!" ulang Aini, dan kembali disambut
gemuruh suara para penggemarnya yang sudah panas.
"Sekali lagi yang paling hot! Pantat Perekat Ummat!"
teriak Aini, dan kali ini suaranya hampir tertutup oleh pekikan dan tepuk
tangan para penonton yang sudah panas.
Aini kemudian tersenyum penuh arti, merasakan panasnya hari. "Nah,
tiga kali itu sudah seperti dzikir ya buat kalian di panas-panas begini. Dzikir
itu artinya mengingat. Jadi, setiap kalian ingat sama 'Pantat Perekat Ummat',
itu artinya kalian ingat sama Aini. Jangan pernah lupakan Aini ya, meskipun
panasnya menyengat!" katanya dengan nada menggoda namun tetap memiliki kekuatan
lebih dari para penggemarnya yang sudah panas.
Para penonton kembali bersorak, menunjukkan bahwa mereka tidak akan
pernah melupakan momen ini dan tentu saja, sosok Aini Zhafara, meski panasnya
hari sangat terasa.
Aini kemudian mengambil selfie dengan penggemarnya yang sudah berkeringat,
senyumnya tetap memukau dan penuh daya tarik meski di bawah terik matahari. Ia
berhasil menciptakan ikatan yang kuat dengan para penggemarnya, bahkan melalui
hal-hal yang mungkin dianggap kontroversial oleh sebagian orang, di tengah
panasnya hari. Baginya, ini adalah caranya untuk diingat oleh mereka yang telah
mendukung karirnya selama ini, tak peduli dengan panasnya Jogjakarta.
Saat selfie terakhir itu diambil di bawah sinar matahari
yang menyengat, raut wajah para penggemar bercampur aduk. Ada kesedihan karena
acara akan segera berakhir di tengah panasnya hari, namun juga kepuasan yang
terpancar setelah menyaksikan penampilan Aini yang luar biasa meski di bawah
terik matahari.
Aini merangkul penggemarnya yang beruntung itu yang tampak sedikit panas, lalu menoleh ke arah samping panggung yang
relatif lebih teduh. "Nah, sebelum Aini pamit di panas-panas begini,
kenalan dulu yuk sama orang yang selalu setia menemani Aini," katanya
dengan nada manja namun tegas. "Ini dia... Bayu Raditya! Sini, Be! Jangan
panas-panasan di sana!"
Bayu menghampiri Aini dengan senyum sedikit malu, sedikit berkeringat
karena panas. Aini merangkul bahu Bayu dan menatapnya dengan nakal. "Be
ini... Bayu apa Budak hayooo di panas kayak gini?" goda Aini, disambut
tawa riuh dari para penonton yang sudah panas.
Bayu hanya tersenyum dan menjawab singkat, "Bucin, Mbak. Sudah
biasa panas-panasan demi Mbak Aini."
"Tuh kan, budak cinta dia! Rela panas-panasan demi Aini,"
timpal Aini sambil tertawa. "Saking cintanya sama Aini, dia ini rela lho
ninggalin kerjaan jadi guru honorer SMA dulu, padahal dia ini sarjana S2
Magister Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan. Awalnya sih cuma fans
biasa, terus jadi manajer sama asisten pribadi, tukang masak, tukang pijit,
tempat pelampiasan, dan semua untuk Aini sampai sekarang. Gajinya cuma empat
juta sebulan, kalah dengan honor manggung Aini sekali, tapi nggak pernah minta
naik gaji, juga dapet rumah kecil di sebelah rumah Aini, jadi nggak terlalu
jauh kalau mau panas-panasan."
Para penonton kembali tertawa mendengar cerita Aini tentang Bayu di
tengah terik matahari. Bayu sendiri hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala yang sedikit berkeringat.
"Kuliah S2-nya aja yang harusnya empat semester jadi enam semester
gara-gara sibuk ngurusin Aini di panas-panas begini," lanjut Aini.
"Tapi hebatnya, tesis S2-nya juga tentang Aini lho! Setelah lulus ya tetap
jadi manajer Aini deh, panas-panasan terus."
Di tengah riuhnya tepuk tangan dan sorakan untuk Bayu di bawah terik
matahari, di antara kerumunan penonton laki-laki yang sudah panas, tampak berbagai ekspresi kekaguman bercampur
iri. Mereka semua membayangkan betapa beruntungnya Bayu bisa sedekat itu dengan
Aini Zhafara di bawah sengatan matahari siang.
"Andai saja aku yang jadi asistennya di panas kayak gini,"
gumam Rian, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Teknik yang rela bolos
kuliah demi menonton konser Aini di bawah terik matahari. "Bisa ketemu
setiap hari, ngurusin keperluannya... pasti surga dunia meski panas."
Di sebelahnya, Sandi, seorang karyawan swasta yang sudah mengidolakan
Aini sejak awal karirnya, menghela napas panjang di bawah sinar matahari yang
menyengat. "Gaji empat juta? Lumayan banget itu. Aku kerja keras banting
tulang belum tentu segitu, apalagi dapat rumah lagi di dekat Mbak Aini."
Hendra, seorang pemilik warung makan yang sering memutar lagu-lagu Aini
di warungnya yang panas, ikut menimpali, "Yang penting itu dekat sama Mbak
Aini-nya. Bisa ngobrol, bisa lihat dia dari dekat... itu nggak ternilai
harganya meski harus panas-panasan."
Dari arah belakang yang sedikit teduh, terdengar suara Fajar, seorang
guru honorer SD yang diam-diam menyimpan poster besar Aini di kamarnya yang
panas. "Kalau aku jadi asistennya, pasti aku turutin semua maunya Mbak
Aini meski harus panas-panasan. Jangankan disuruh ini itu, disuruh apa aja aku
siap."
Toni, seorang pengemudi ojek online yang sering menyenandungkan lagu-lagu Aini
saat menunggu penumpang di bawah terik matahari, ikut bermimpi, "Bisa
nganterin Mbak Aini ke mana-mana meski panas... pasti seru. Siapa tahu bisa
diajak ngobrol lebih banyak."
Agus, seorang editor video lepas yang selalu menggunakan lagu Aini
sebagai backsound video-videonya, berkhayal di bawah sinar
matahari yang menyengat, "Mungkin kalau dekat, aku bisa nawarin diri buat
bikin video klipnya. Pasti keren banget meski harus panas-panasan."
Bambang, seorang petani dari desa sebelah yang rela menjual hasil
panennya demi bisa menonton konser Aini di bawah terik matahari, berkomentar
polos, "Enak ya jadi Bayu. Bisa terus lihat Mbak Aini yang cantik ini
meski panas."
Chandra, seorang mekanik bengkel yang selalu memasang foto Aini di
dinding ruang kerjanya, berujar dengan nada penuh harap di bawah sinar matahari
yang menyengat, "Siapa tahu kalau dekat, Mbak Aini mau mampir ke bengkelku
buat melayani kendaraannya meski panas."
Dedi, seorang pedagang asongan yang selalu menyemangati dirinya dengan
lagu-lagu Aini saat berjualan di bawah terik matahari, membayangkan,
"Kalau jadi asistennya, mungkin aku bisa sekalian nawarin daganganku ke
Mbak Aini dan timnya meski panas."
Terakhir, Eko, seorang pengangguran yang menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk mengikuti perkembangan Aini di media sosial, berbisik penuh
harap di bawah sinar matahari yang menyengat, "Mungkin dengan jadi
asistennya, aku bisa lebih dikenal sama Mbak Aini. Siapa tahu..." Mereka
semua larut dalam angan-angan di bawah terik matahari, membayangkan diri mereka
berada di posisi Bayu, menjadi orang terdekat dengan idola yang mereka puja
meski harus panas-panasan. Rasa iri dan kekaguman bercampur menjadi satu,
semakin mengukuhkan sosok Aini Zhafara sebagai pusat perhatian dan pujaan
mereka di bawah sengatan matahari siang.
Aini kemudian kembali menatap para penggemarnya dengan serius meski
sedikit berkeringat. "Nah, kalian semua juga harus loyal sama Aini seperti
Be ini ya! Apa pun yang Aini bilang, harus kalian ingat baik-baik dan lakukan,
meskipun panasnya kayak gini. Oke?"
Para penggemar langsung menjawab serempak dengan nada penuh keyakinan
meski sudah panas, "Oke, Mbak Aini!" Bagi mereka,
perkataan Aini bagaikan sebuah wahyu yang harus mereka patuhi setiap saat, tak
peduli dengan teriknya matahari.