— ulasan terhadap
Cerita keempat ‘Te-Ko Ramadan 1440’ karya Laila Fariha Zein
Foto: Teh Laila Fariha Zein (sumber: Facebook LailaFariha Zein)
|
Pagi hari
pukul pukul 08.54 WIB 30
Mei 2019 silam, Teh Laila Fariha Zein menerbitkan serial keempat
Te-Ko Ramadan 1440. Serial terakhir Te-Ko Ramadan 1440 itu secara
umum membahas pernikahan, sesuatu yang ketika lebaran biasanya menjadi
pertanyaan basa-basi sekaligus serius kepada orang yang masih single
saat sudah ‘umur nikah’. Saya pribadi, sebagai orang yang dibimbing oleh beliau,
merasa bahwa rangkuman catatan tersebut terdapat di tuturan, “Beragama memang
butuh hasrat, tapi mendewakan syahwat atas nama agama juga tidak pantas
dijadikan alasan utama.” Tentu perasaan saya dapat salah juga, apalagi tak
pernah melakukan konfirmasi secara langsung.
Secara
pribadi, saya mengagumi Teh Laila. Wajah cantik, tubuh estetik, serta aura
karismatik adalah beberapa hal yang secara langsung meluluhkan saya sebagai
lelaki. Beberapa hal yang ditunjukkan oleh beliau melalui foto ketika duduk di
depan gedung rektorat UPI. Sebagai murid beliau, saya kagum terhadap kecakapan
beliau dalam berkomunikasi, keobjektifan dalam menilai, serta kematangan dalam memberikan
pandangan. Kecakapan tersebut tampak kentara, antara lain, ketika beliau
menerbitkan artikel Risalah Sampah
serta serial Te-Ko Ramadan 1440,
dua karya beliau yang kemudian saya ulas. Sebagai penggemar berat, saya merasa sangat
beruntung dapat berinteraksi secara langsung dengan Teh Laila, bahkan diberi
kesempatan untuk dapat berjumpa langsung. Lebih dari itu, saya berterima kasih
kepada Teh Laila yang memberi saya kepercayaan untuk membantu beliau maupun
terlibat dalam penelitian yang dilakukan. Hatur nuhun Teh, je sais
que je ne sais rien.
Walau demikian, bukan berarti Teh Laila dan saya selalu memiliki kesamaan maupun keserupaan. Meski sejauh ini belum terdapat pertentangan, tak jarang dalam beberapa hal yang sama, kami memiliki ketidaksamaan bahkan perbedaan. Misalnya terkait Meyda Sefira, sebagai pendakwah. Saya pribadi tak setuju untuk menempatkan Meyda Sefira dalam himpunan pendakwah, kosok bali dengan Teh Laila yang bahkan sudah pernah menggunakan jasa Teh Mey sebagai pendakwah. Namun, ketidaksamaan tersebut tidak membuat interaksi kami sirna. Walau sekarang saya mulai memiliki pandangan yang berbeda dengan dulu terkait hal itu, yang ironisnya lebih dekat dengan pandangan Teh Laila, pada saat ketidaksamaan tersebut terjadi beliau sama sekali tak tersinggung. Hal ini tampak dari kemauan beliau dalam menjalani interaksi dengan saya, yang justru kian berkembang ketimbang saling menyapa pada perjumpaan pertama.
Walau demikian, bukan berarti Teh Laila dan saya selalu memiliki kesamaan maupun keserupaan. Meski sejauh ini belum terdapat pertentangan, tak jarang dalam beberapa hal yang sama, kami memiliki ketidaksamaan bahkan perbedaan. Misalnya terkait Meyda Sefira, sebagai pendakwah. Saya pribadi tak setuju untuk menempatkan Meyda Sefira dalam himpunan pendakwah, kosok bali dengan Teh Laila yang bahkan sudah pernah menggunakan jasa Teh Mey sebagai pendakwah. Namun, ketidaksamaan tersebut tidak membuat interaksi kami sirna. Walau sekarang saya mulai memiliki pandangan yang berbeda dengan dulu terkait hal itu, yang ironisnya lebih dekat dengan pandangan Teh Laila, pada saat ketidaksamaan tersebut terjadi beliau sama sekali tak tersinggung. Hal ini tampak dari kemauan beliau dalam menjalani interaksi dengan saya, yang justru kian berkembang ketimbang saling menyapa pada perjumpaan pertama.
Ketidaksamaan
lain juga terjadi ketika saya membaca cerita Teh Laila dalam Te-Ko Ramadan
1440 di serial keempat. “Kita tidak bisa mempercepat ketetapan yang ditakdirkan
lamban, pun tidak dapat menolak ketetapan yang diharuskan cepat. Memperlambat apa
yang cepat atau mempercepat apa yang lambat itu perihal Kehendak (manusia), sedangkan
hasil akhir adalah urusan Kuasa (Tuhan).” tutur Teh Laila ketika dua tokoh
cerita membahas tentang merencanakan pernikahan. Letak ketidaksamaan, bahkan
pertentangan, ialah di ‘perihal Kehendak (manusia)’ karena saya merasa bahwa
manusia tidak punya kehendak sedangkan Teh Laila tampak memandang bahwa manusia
punya kehendak. Walau dari tuturan, ‘sedangkan hasil akhir adalah urusan Kuasa (Tuhan)’
dapat dimengerti bahwa manusia tetap tak punya kehendak, tapi pembedaan diksi ‘kehendak’
dan ‘kuasa’ seakan menunjukkan bahwa Teh Laila memang memandang bahwa manusia
punya kehendak.
Dulu, pada
jaman sebelum ada BLΛƆKPIИK, Abū al-Ḥasan `Alī al-Asy'arī menyampaikan:
الإنسان إذا فكر
في خلقته، من أي شيء ابتدأ، وكيف دار في أطوار الخلقة طورا بعد طور حتى وصل إلى كمال
الخلقة، وعرف يقينا أنه بذاته لم يكن ليدبر خلقته، وينقله من درجة إلى درجة.
“Jika seseorang berpikir tentang
ciptaannya, dari apa pun yang dia mulai, dan bagaimana dia melewati fase
penciptaan setelah periode sampai dia mencapai kesempurnaan ciptaan, dia tahu
pasti bahwa dia bukan dirinya sendiri untuk memimpinnya, dan memindahkannya
dari satu derajat ke yang lain.”
Postulat yang
disampaikan oleh cerdik-cendekia cabang Teologi yang pemikirannya banyak
diiukuti oleh kelompok Sunni ini, buat saya, cukup bagus dalam menunjukkan
bahwa manusia tidak punya kehendak bebas. Sayang, pemikiran itu disampaikan
dengan logika. Logika memang bagus dalam membangun alur berpikir teratur untuk
mencapai kesimpulan. Namun, John R. Fraenkel dan Norman E. Wallen menjelaskan
bahwa alur berpikir teratur dapat hancur ketika terdapat satu kesalahan dalam salah
satu premis yang disusun:
“There is a fundamental danger in
logical reasoning, however: It is only when the major and minor premises of a
syllogism are both true that the conclusion is guaranteed to be true. If either
of the premises is false, the conclusion may or may not be true.”
(Namun, ada bahaya mendasar dalam
penalaran logis: Hanya ketika premis mayor dan minor dari silogisme keduanya
benar maka kesimpulannya dijamin benar. Jika salah satu premisnya salah,
kesimpulannya mungkin atau mungkin tidak benar.)
Hal itulah
yang diendus dengan bagus oleh Abū al-Ḥasan `Alī al-Asy'arī, ketika Abū 'Alī
Muḥammad al-Jubbā'i sedang girang cuap-cuap tentang kehendak bebas.
Saya sendiri
sebagai orang yang memiliki latar belakang pendidikan fisika, tidak pernah
setuju dengan anggapan bahwa manusia punya kehendak bebas. Hal ini karena saya
menganggap bahwa secara umum setiap hal termasuk organisme yang terdapat di
alam semesta ini taat kepada hukum alam (natural law). Tentu frasa ‘hukum
alam’ ini hanyalah diksi buatan manusia yang menekuni ilmu alam. Mungkin
terdapat diksi lain yang dibuat oleh manusia yang menekuni ilmu lain, seperti
Teologi yang menggunakan frasa Sunnatulloh. Yang jelas, perkembangan
ilmu alam dan pemikiran teologi terasa linear perihal kehendak (manusia).
Hukum
alam adalah
aturan berdasarkan kebiasaan peristiwa tertentu yang dapat menghasilkan
perkiraan melampaui saat peristiwa itu berlangsung. Misalnya ketika Ibrōhīm memperhatikan
bahwa matahari biasanya tampak terbit dari arah timur setiap pagi, dirinya
menyimpulkan, “Matahari selalu tampak terbit dari arah timur”. Kesimpulan itu
merupakan pernyataan hukum alam karena diambil berdasarkan kebiasaan penampakan
matahari oleh pengamat yang berada di Bumi serta dapat menghasilkan perkiraan
bahwa esok hari, lusa, bulan depan, atau 6000 tahun setelah Ibrōhīm menyimpulkan,
matahari akan selalu tampak terbit dari arah timur. Di sisi lain, kalau saya
bilang, “Seragam Chelsea berwarna biru,” bukanlah hukum alam karena biarpun
disimpulkan dari kebiasaan selama 114 tahun bahwa Chelsea menggunakan seragam
berwarna biru, tidak dapat membuat prediksi seperti, “Kalau Chelsea dibeli oleh
Paris Whitney Hilton, seragamnya pasti biru.”
Pembedaan
seperti itu sepertinya sepele, tapi penting karena menunjukkan bahwa tidak
semua pernyataan umum yang disimpulkan berdasarkan pengamatan dapat
dipertimbangkan sebagai hukum alam. Misalnya perbandingan antara pernyataan,
“Semua bola berlian berdiameter kurang dari 9,3 km,” dengan pernyataan, “Semua
bola uranium-235 berdiameter kurang dari 9,3 km.” Dari pengamatan boleh saja
kita menyimpulkan bahwa tidak ada bola berlian berdiameter sama dengan atau
lebih besar dari 9,3 km. Kita juga tak salah kalau merasa bahwa bola berlian
tersebut tidak akan ada. Namun, kita tak punya alasan untuk percaya bahwa hal
ini tidak akan ada. Berlian dikenal sebagai benda yang stabil, tidak mudah
beraksi, sehingga terdapat kemungkina untuk membuat bola berlian berkukuran 9,3
km. Jadi ketika Kim Tae-yeon, penyanyi bertinggi badan 158 cm, melantunkan, “I
am a diamond,” ketika tampil bersama Girls’ Generation, tidak
perlu lah disalahkan, ngapain juga. Sedangkan pernyataan, “Semua bola
uranium-235 berdiameter kurang dari 9,3 km,” dapat dipertimbangkan sebagai
hukum alam, karena menurut penelitian fisika nuklir uranium-235 dapat meledak
sendiri ketika diameternya membesar sekitar 15 cm, jadi bukan ide bagus untuk
membuatnya.
Semua
pernyataan umum boleh diterima atau ditolak untuk dipertimbangkan sebagai hukum
alam. Hal ini dapat terjadi karena sejauh ini hukum alam tidak berupa
pernyataan tunggal, melainkan beberapa pernyataan berkelindan dengan pernyataan
lain, yang kadang salah satu pernyataan bersifat lebih khusus ketimbang
pernyataan lain. Seperti sudah disebutkan, hukum alam diambil berdasarkan
pengamatan, sehingga pernyataannya dapat berupa kalimat verbal. Namun, karena
terdapat keharusan bahwa pernyataan tersebut bisa menghasilkan perkiraan,
biasanya diperlukan pernyataan matematis berupa persamaan matematika (hubungan
dua unsur saling terkait yang dapat dihitung). Dengan demikian, pernyataan
hukum alam biasanya ditunjukkan dengan seperangkat kalimat verbal yang kemudian
dialihbahasakan ke dalam persamaan matematika.
Perkiraan
yang didapatkan dari hukum alam bisa berupa satu hasil yang tentu atau beberapa
hasil yang berada pada kisaran tertentu (probalility), namun harus
memiliki cakupan dan batasan keberlakuan yang jelas. Misalnya Hukum Newton
gagal memperkirakan benda yang bergerak setara kecepatan cahaya, namun
pernyataan tersebut masih dapat dianggap hukum karena masih mencakup semua
benda yang bergerak meski terbatas pada kecepatan yang jauh di bahwa kecepatan
cahaya. Perkiraan yang didapatkan dari hukum alam biasanya dapat dilakukan
kalau diperoleh informasi kondisi alam raya pada masa tertentu. Misalnya
informasi benda yang bergerak dengan kecepatan tetap sebesar 80 km/jam pada
pukul 08:00 pada lintasan lurus, dapat dipakai sebagai bahan memperkirakaan
lokasi benda tersebut satu jam yang lalu maupun kemudian. By the way,
ini adalah sumbangan pemikiran René Descartes, pelayan Princess Elisabeth (Bohemia)
dan Queen Christina (Swedia).
Karena
manusia hidup di alam raya dan berinteraksi dengan benda lain di dalamnya, hukum
alam juga berlaku bagi manusia juga. Namun, banyak orang ketika mengakui keberlakukan
hukum alam dalam ‘mengatur’ alam raya, mengecualikan perilaku manusia sebab
mereka yakin kita mempunyai kehendak bebas. René Descartes misalnya, yang memandang
bahwa manusia terdiri dari dua bahan, raga dan jiwa. Raga adalah susunan benda
biasa, yang boleh saja ‘diatur’ oleh hukum alam, sedangkan jiwa tidak demikian.
Dalam jiwa itulah ‘terletak’ kehendak bebas manusia.
Masalahnya,
apakah manusia memang punya kehendak bebas? Jika kita punya kehendak bebas, di
mana anugerah ini berkembang pada pohon evolusi? Apakah rumput laut punya
kehendak bebas atau perilaku mereka ‘diatur’ oleh hukum alam? Apakah hanya
organisme multisel yang punya kehendak bebas? Mungkin kita menganggap bahwa
kucing punya kehendak bebas ketika dia menggaruk-garuk badan Oza Kioza (Roza
Lailatul Faitria), namun bagaimana dengan Eschericia coli, organisme
sederhana yang tersusun dari satu sel? Mungkin E. Coli tidak pernah
berpikir, “Sisa pencernaan dalam usus besar manusia lezat juga untuk dimakan,”
tapi dia punya selera makanan yang jelas sehingga hanya mengonsumsi bahan yang
sesuai selerasa saja untuk memperoleh nutrisi. Apakah perilaku E. coli ini
merupakan bentuk kehendak bebas?
Meskipun
kita merasa bahwa kita bebas memilih perilaku yang ingin diperbuat, pemahaman
kita mengenai dasar molekul biologi menunjukkan bahwa proses biologi
dikendalikan oleh hukum alam juga, sehingga dapat ditentukan seperti orbit planet
Venus mengelilingi bintang Matahari. Penelitian terkini dalam ilmu saraf (neuroscience)
mendukung bahwa otak manusia mengikuti hukum alam yang menentukan tindakan manusia,
bukannya terdapat sesuatu perantara yang berada di luar hukum-hukum itu.
Contohnya, penelitian tentang pasien yang tetap terjaga saat pembedahan otak,
menemukan dengan cara rangsangan listrik, daerah-derah yang cocok pada otak,
yang dapat menciptakan kehendak pada pasien untuk menggerakkan tangan, lengan
atau kaki atau untuk menggerakkan bibir atau berbicara.
Mungkin
sulit diterima kalau perilaku manusia turut ‘diatur’ oleh hukum alam, namun
kian ke mari, perkembangan ilmu alam kian menunjukkan bahwa manusia seakan
mesin saja dan kehendak bebas hanyalah Perfect Illusion seperti judul lagunya
Lady Gaga. Guna menyangkal hal ini, mungkin memunculkan tantangan untuk
memperkirakan perilaku manusia ketika berinteraksi dengan sesamanya, misalnya
antara Park Bom dan Jessica Jung. Masalahnya, informasi dasar untuk
memperkirakan ini sulit ditentukan. Kita perlu mengetahui keadaan sel yang
terdapat dalam tubuh Park Bom dan Jessica Jung sejak awal tahap evolusi dari
arkaea hingga manusia serta proses pewarisan sel dari manusia pertama sampai
pada Park Bom dan Jessica Jung. Tentu saja proses mendapatkan informasi ini
sulit nan rumit, dan cukup terlambat untuk memperkirakan apa yang akan
dilakukan oleh Jessica Jung ketika Park Bom lewat dalam acara ‘Gaon Chart Music
Awards’ pada 12 Februari 2014.
Memang untuk
menjawab sangkalan seperti itu sulit, namun terdapat cara yang dapat digunakan
kalau memang diinginkan (dari mana keinginan itu muncul?). Cara tersebut juga
menunjukkan bahwa hukum alam turut ‘mengatur’ perilaku manusia, namun karena
tidak sangkil wal mankus untuk dipakai, boleh saja menggunakan teori efektif. Pada
ilmu fisika, teori efektif adalah sebuah kerangka kerja yang dibuat untuk
memodelkan fenomena teramati tertentu tanpa menjabarkannya secara rinci seluruh
proses-proses yang mendasarinya. Contohnya, kita tidak dapat menyelesaikan
dengan tepat persamaan yang mengatur interaksi gravitasi pada tiap atom di
dalam tubuh manusia dengan tiap atom di planet bumi. Namun untuk tujuan
praktis, gaya gravitasi antara seseorang dengan bumi dapat dijabarkan hanya
dengan beberapa angka, misalnya massa keseluruhan seseorang. Demikian pula kita
tidak dapat menyelesaikan persamaan yang mengatur perilaku atom-atom dan
molekul yang rumit, namun teori efektif dalam ilmu fisika (yang kebablasan
menjadi cabang sempalan bernama kimia) menyediakan penjelasan memadai tentang cara
atom-atom dan molekul-molekul bertindak dalam reaksi kimia tanpa
mempertimbangkan rincian interaksi-interaksinya. Pada kasus manusia, karena kita
tidak dapat menyelesaikan persamaan yang menentukan tindakan kita, kita memakai
teori efektif berupa anggapan bahwa manusia punya kehendak bebas. Penelitian
mengenai kehendak kita, dan tindakan yang timbul darinya, merupakan wilayah
pembahasan ilmu psikologi.
Teori
efektif memang dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang muncul dalam
benak. Tapi, hasil yang diperoleh hanya sedang-sedang saja dalam memperkirakan.
“Do I believe in absolute truth? I believe in effective theories,” (Apakah
saya percaya pada kebenaran absolut? Saya percaya pada teori yang efektif) ucap
Lisa Randall, fisikawati yang memiliki pengaruh kuat saat ini, “There's a
truth that we know because it applies to the world as we've seen it, as we've
measured it. That's not to say that there can't be other underlying truths you
could see if you could understand . . . if you could really see things better;
if you could test them better; if you could measure them better.” (Terdapat
kebenaran yang kita tahu karena itu berlaku untuk dunia seperti yang kita
lihat, seperti kita telah mengukurnya. Itu tidak berarti bahwa tidak mungkin
terdapat kebenaran mendasar lain yang dapat kamu lihat kalau kamu bisa mengerti
... kalau kamu benar-benar bisa melihat sesuatu dengan lebih baik; kalau kamu
bisa mengujinya lebih baik; kalau kamu bisa mengukurnya dengan lebih baik.) lanjutnya.
Apalagi
dalam kasus manusia, banyak perbuatan yang dilakukan terasa tidak masuk akal. Wajar,
seperti diucapkan oleh Lisa
Randall, “You know I think we're inclined to sort of generalize from ourselves
because we know ourselves the best.” (Kamu tahu saya pikir kita cenderung
menyamaratakan diri kita sendiri karena kita tahu diri kita yang terbaik.) Pada
masa Ibrōhīm sendiri,
terdapat perbuatan orang yang membuat patung
sendiri, untuk dipuja sendiri, ketika ditanya mengapa perbuatan itu dilakukan,
dia jadi bingung sendiri, ketika diminta supaya patungnya mengubah Matahari
agar tampak terbit dari arah barat, malah marah dan menyuruh orang-orang
membakarnya.
Nah...
berdasarkan tuturan tersebut, saya menganggap bahwa seluruh materi, energi, dan
interaksi di alam raya ‘diatur’ oleh ‘hukum alam’, sesuatu yang no matery no
energy. Sesuatu yang membuat selain sesuatu itu termasuk alam raya
khususnya manusia bersifat lemah tanpa daya. “Can't nobody hold us down,”
seperti lantun
Park Bom dalam lagunya 2NE1 Can’t No Body. Sesuatu yang membuat Ibrōhīm berserah yang ditunjukkan
melalui ucapan:
إِنِّي
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا
أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“(Pada titik
ini) aku benar-benar menghadapkan wajahku (yakni seluruh jiwa dan raga sepenuhnya),
kepada Yang menciptakan langit dan bumi (dengan seluruh kandungan materi,
energi, dan interaksi yang terdapat di dalamnya), dalam keadaan cenderung
kepada (Yang menciptakan), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan (kepada Yang menciptakan).”
K.Ah.Kl.051040.090619.13:54