— An Educator for Our Time
“Jika
belum mampu berlomba dengan orang sholeh memperbanyak kebaikan, maka segeralah
berlomba dengan para pendosa untuk bertaubat dan beristighfar.”
— Maryam Musfiroh, An Educator for Our Time, 9 September 2017 pukul 22:07. [Lihat]
— Maryam Musfiroh, An Educator for Our Time, 9 September 2017 pukul 22:07. [Lihat]
Nama
adalah harapan dari pemberi nama kepada yang diberi nama. Selain diucapkan
dalam serentetan rangkaian ritual ibādah
mahdhah «عبادة محضة», harapan juga bisa diungkapkan melalui penyandangan sebuah
nama.
Harapan
yang dihembuskan oleh orangtua sedari dini dalam suasana bahagia melalui sebuah
nama tentu akan terus menyerta dan memberi daya dorong luar biasa tanpa bisa
sirna. Saya yakin orangtua Maryam tak sembarangan memberi nama untuk buah hati
mereka. Orangtua jelas memberikan nama yang bagus, baik dari segi ucapan maupun
makna.
Kata
‘Maryam’ «مريم» sendiri diambil dari nama sosok perempuan mulia, putrinya ʻImrān «بنت عمران» dan ibunya ʿĪsā «أم عيسى». Maryam
merupakan satu-satunya nama perempuan yang disebutkan dalam al-Qurʾān «القرآن»
dengan penyebutan sebanyak tigapuluhempat kali dan satu kali menjadi nama sūrah «سورة». Āyāh «آية» yang menyebutkan
antara lain:
وَمَرْيَمَ
ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا
وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
«القرآن الكريم سورة التحريم : ١٢»
Sementara
‘Musfiroh’ «مسفرة» diambil dari salah satu ayat al-Qurʾān:
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ
«القرآن الكريم سورة عبس : ٣٨»
Dari
sini tampak bahwa dalam menamai putrinya, orangtuanya tak sembarangan
memberikan.
Di
balik nama yang disandangkan, memang bisa tersirat harapan yang ingin
terwujudkan. Sebagai sebuah harapan, tentu tak seluruh nama bisa serta merta
mewujud begitu saja. Ada pula beberapa yang hanya dirasa sebagai nama
belaka. Salah satu nama yang sejenis demikian ialah ‘Perumahan Tanjung Indah’.
Sekilas, nama ini terkesan indah nan
megah.
Sayangnya,
kesan tersebut tak berlaku buat Maryam yang lama tinggal di perumahan itu.
“Ahh…. Menurutku, nama hanya sebuah selaput tipis tanpa tau kejelasan isinya.
Tidak mustahil ketika kita menemukan nama suatu desa semisal Suka Miskin tetapi
ternyata dihuni oleh makhluk-makhluk bersedan. Sekali lagi nama hanya
formalitas, bukan indikator kualitas.” ungkapnya satu waktu.
Sejak
pertengahan 1990-an, Maryam bersama keluarganya tercatat sebagai warga
Perumahan Tanjung Indah. Tercatat sebagai warga di lingkungan yang perubahannya
tak selalu sanggup mereka jamah. Keluarganya tinggal di tengah kepungan
tetangga dengan rumah yang semakin bagus setelah direnovasi hingga kendaraan
yang silih berganti. Namun pertambahan ekonomi tetangga tak bisa mereka
nikmati.
Maryam
berusaha untuk menutup mata juga telinga ketika perasaan tersisihkan dari
lingkungan hinggap mengampiri. Dia tetap berupaya menikmati keseharian yang
dijalani dengan bersykur terhadap segala anugerah ʾIlāhi-Rabbi «إله-رب» yang telah
dimiliki.
Bapak
Maryam bekerja sebagai guru Madrasah Tsanawiyyah, dengan gaji yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokok harian dan kebutuhan anak-anak dalam bersekolah.
Dengan keadaan demikian, Maryam terlatih untuk berjuang keras dalam kondisi
terbatas. “Uang bukan segala-galanya, akan tetapi segalanya butuh uang,” satu
waktu dia berkilah. Maryam tak salah, patut diakui bahwa persoalan ekonomi
memang perkara serius yang bisa mengakibatkan perbedaan kelas.
Keadaan
ekonomi memang kadang membuat Maryam merasa tersungkur. Namun dirinya tak
pernah kabur dari rasa syukur. Perempuan kelahiran 21 November 1993 ini merasa
sangat beruntung memiliki bapak yang hebat. “Bapakku mewarisi sisi seni dalam
diriku dengan kapasitas yang luar biasa besar, tapi bapakku pula yang menanam
duri di sekitar akarku.” ungkapnya penuh hayat.
Maryam
juga merasa beruntung terlahir dari raḥīm
«رحيم»
ibu yang penyayang. Seorang ibu yang senantiasa menyuntikkan semangat untuk tak
lelah dalam berjuang. Petuah bijak yang tampak klise untuk diungkapkan kerap
menjadi penyejuk hati tatkala rasa putus asa menghampiri. Buat Maryam, sang ibu
adalah perempuan teladan sejak dini sampai saat nanti.
Hubungan
Maryam dengan orangtuanya cukup erat. Mereka kerap terlibat obrolan hangat, tak
jarang pula dirinya berungkap pendapat. Orangtua bisa dibilang perekam jejak
Maryam yang sudah terlewat.
Rekaman
yang tentunya tak melesat, atau setidaknya tak jauh-jauh amat, walau sekilas
tak selaras dengan keseharian yang dilihat. Ketika sebagian besar orang
menganggap Maryam sebagai seorang pendiam, orangtua menyebut anak keempatnya
ini cerewet. Seorang anak yang ketika diajak ngobrol
bisa awet.
Banyak
orang memang memandang Maryam sebagai sosok pendiam. Mereka mungkin melihat
Maryam sebagai sosok yang lidahnya sedang kram. Kramnya terus-terusan dan tak
sembuh-sembuh. Wajar saja, secerewet-cerewetnya Maryam, dia tidak akan
menampakkannya di depan. Maryam seperti Valentino Rossi saat balapan, kelakuan
aslinya selalu keluar belakangan.
Maryam
memang tampak pendiam walakin kalau sudah bicara bisa sangat ceriwis, dan
dalam. Ada hal yang saya suka ketika bercakap dengan Maryam. Seringkali tanpa
permisi, seperti janjian dulu, ketika percakapan dimulai yang tak jarang sampai
menjamah ranah pribadi.
Saya
suka percakapan seperti itu, percakapan secara spontan. Selalu ada tuntutan
untuk bisa segera menanggapi biar tidak garing sekaligus berbagi lisan. Apalagi
kalau secara spontan, tak hanya memainkan nalar tapi juga naluri.
Seringkali
Maryam menjadi partner ngudoroso
saya. Dia menjadi partner
yang enak karena tak hanya sebagai pendengar setia segala
keluh-kesah-peluh-resah saya tetapi juga menjadi penghantam yang jitu ketika
saya merasa benar sendiri tanpa peduli dengan orang lain.
Seringkali
pula Maryam menjadi orang yang mampu meredam amarah saya meski tak seketika.
Langkahnya biasa seperti ini: ketika marah saya dibiarkan melampiaskan amarah
sampai merasa lega, lalu dia membiarkan saya beberapa saat, kemudian kami
bercakap dalam suasana yang tak lagi emosional.
Dengan
perkataan yang diucapkan lemah lembut tapi menampar keras saya, seringkali dia
membuat saya menyadari telah berbuat salah. Mungkin perkataannya keluar dari
hati dengan perasaan peduli karena bisa sampai juga pada hati saya tanpa merasa
dilukai.
Perasaan
peduli pula mungkin yang membuat beberapa peristiwa sepanjang kami bersama
sulit begitu saja terlupa. Salah satunya saat saya tak tahu menahu dan tak
peduli dengan ocehan liyan
terhadap saya, Maryam justru peduli dengan hal semacam ini.
Maryam
segera mengajak saya ngudoroso—bercurah
kisah—empat mata terkait hal ini, melampiaskan beberapa rasa yang dipendam
untuk diungkapkan melalui tatap muka empat mata. Tampak Maryam memendam rasa
tak nyaman ketika ada sesuatu yang dirasa merisak saya, tapi saya lebih yakin
kalau dia kasihan saja sama saya.
Perkenalan
yang bermula pada 11 Juni 2012 selepas ṣalāt
al-ʿaṣr «صلاة العصر» itu berlangsung menggembirakan. Saat ini saya tahu itu tepat
walakin jika kembali ke masa-masa itu, ketika Maryam dan saya saling berkirim
pesan pendek melalui ponsel kami, dugaan itu tak pernah ada dalam benak saya.
Saya
sekedar menyapa perempuan kelahiran 21 November 1993 ini, dia sekedar
menanggapinya, lalu kami basa-basi ringan saja. Satu permulaan yang tak pernah
berhenti hingga kami sama-sama telah melalui separuh umur empat puluh.
Bersama
Maryam, saya merasakan kebersamaan seru nan
syahdu. Mungkin karena kami sama-sama melihat masing-masing dengan rasa sama,
bukan rasa beda. Tak merasa lebih tinggi maupun lebih rendah, walau tinggi
badannya dibanding saya selalu kalah.
Sayang
saya absen pada tiga peristiwa penting buatnya: birthday-nya tahun 2015, sesudah ujian
sidang, dan terakhir saat dia resmi diwisuda. Saya memang hyper-ultra-deluxe-egoistic,
lebih memilih menghindar dari setitik perih alih-alih menggembirakan sahabat
dekat. Beruntung dia mengerti perasaan saya, dan sebelumnya sudah sempat
menyisipkan goodbye meet-up.
Saat
masih di rumah pada 11 Juni 2012 itu, sempat ada dugaan kalau Maryam adalah
‘orang baru’ dalam perjalanan saya sepertihalnya saya juga ‘orang baru’
baginya. Hanya saja dugaan tersebut dimentahkan dalam perjumpaan kami 13 Juni,
selepas ṣalāt al-ʿaṣr
juga.
Saya
merasa Maryam memiliki pengalaman ‘menghadapi’ laki dengan tipikal nakal
seperti saya sepertihalnya saya pernah ‘menghadapi’ perempuan keren sepertinya.
Tak perlu waktu lama, tak harus melibatkan dalam ragam macam obrolan dalam rentang
waktu lama, untuk bisa saling mengerti masing-masing, sebagai fondasi interaksi
kuat di antara kami.
Pengalaman
Maryam ‘menghadapi’ laki yang nakalnya sudah di luar nalar terliar mungkin
membuatnya tak mengalami cultural-personal
shock. Dia merasa biasa saja bercengkerama dengan saya sejak kami
saling berjumpa. Saya pun bersyukur dia bisa menjalaninya.
Pengalaman
Maryam sebelum berjumpa dengan saya mungkin ikut berperan penting buat kami.
Walakin ada masanya ketika Maryam dicibir lantaran minim pengalaman. Saya
sendiri terbilang tak mementingkan pengalaman. Buat saya lebih penting
kesiapan. Kadang-kadang pengalaman memang menjadi sarana pembelajaran yang
meningkatkan kesiapan. Walakin tak serta merta bisa disebut bahwa pengalaman
berkelindan dengan kesiapan.
Bisa
jadi Maryam memang telah berpengalaman ‘menghadapi’ laki dengan tipikal nakal
seperti saya, walakin tanpa kesiapan yang dimiliki olehnya, mungkinkah kami
bisa dengan mudah saling menyapa dalam suasana biasa saja—tanpa ada rasa
simpati berlebihan maupun sinisme keterlaluan?
Sejauh
saya mengenalnya, Maryam adalah sosok yang jelas dan laras. Dia jelas-jelas
puan, bukan dianggap puan atas dasar jilbabnya saja. Maryam terbilang laras
karena dia mampu bertenggang rasa sekaligus bertoleransi semadyana—«العدل» atau objective. Tak salah
kalau Maryam disebut sebagai panutan yang laras. Panutan yang patut dianut.
Toleransi
adalah cara menjaga perasaan diri sendiri terhadap perbuatan orang lain.
Tenggang rasa adalah cara diri sendiri menjaga perasaan orang lain terhadap
perbuatan diri sendiri. Orang yang toleransinya tinggi biasanya adalah orang
yang pemaaf. Orang yang tenggang rasanya tinggi biasanya selalu hati-hati dalam
berbuat. Dua sikap ini tak bisa dipisahkan, tak bisa saling diunggulkan salah satu,
dan keduanya harus bersama dipupuk selalu.
Terlalu
toleran bisa menjadi serba membolehkan dan tak punya rasa toleran bisa menjadi
serba mempermasalahkan. Sedangkan terlalu tenggang rasa bisa menjadikan takut
bertindak dan tak punya tenggang rasa menjadikan enggan peduli. Maryam
melakukan keduanya dengan laras, artinya dia bisa bertenggang rasa sekaligus
bertoleransi. Wajar kalau dia tak segan berungkap gamblang saat sedang tidak sreg dengan perilaku
saya.
Latar
belakang saya yang ditumbuhkembangkan dengan tradisi Nahdlatul Ulama «نهضة العلماء»
(NU) serta Maryam dengan paduan tradisi NU dan Persatuan Islam «نهضة العلماء»
(Persis) barangkali berperan banyak dalam persinggungan kesan sepanjang
bersamanya. Beda cara beda hasilnya, walakin persinggungan dua perbedaan bisa
juga saling memperkaya.
Kemampuan
bertenggang rasa sekaligus bertoleransi melengkapi sisi lain darinya, ialah
kepemimpinan—yang
jarang diperhatikan orang lain. Buat saya, she
have leadership ability. Hebatnya, dengan kemampuan memimpin yang dimiliki,
Maryam bersedia untuk dipimpin. Hal yang jarang dimiliki orang lain yang merasa
memiliki kemampuan memimpin.
Ketika
Maryam berposisi sebagai orang yang dipimpin, dirinya bisa melakukannya dengan
baik. Maryam tak sekedar menjadi yes
person, namun juga bersikap kritis. Sikap kritisnya biasa tampak di
dalam forum dan tak disebarkan ke luar forum meski kadang dia bisa kecewa.
Menyampaikan
kritik di dalam forum, apalagi pada yang bersangkutan secara langsung, adalah
sikap biasa namun menjadi istimewa lantaran mulai luntur. Tak sedikit orang
yang gemar menyampaikan kritik ke luar, namun tak pernah menyampaikan sama
sekali di dalam. Orang seperti ini tampaknya sedang mencari perhatian alih-alih
memberikan kritik demi perbaikan.
Sebagai
seorang yang bisa memimpin, Maryam memiliki kepercayaan dan kepedulian, baik
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Kepercayaan pada diri sendiri
membuatnya memiliki energi dan berani mengambil keputusan. Kepercayaan pada
orang lain membuatnya mau membangun komunikasi dengan orang lain. Kepedulian
pada diri sendiri melahirkan sikap enggan ketika mendapat job yang memberatkannya.
Sedangkan kepedulian pada orang lain melahirkan sikap menyemangati orang lain
ketika kehilangan semangat serta menjaga semangat yang telah ada.
Satu
hal paling penting yang dimiliki oleh Maryam ialah karisma. Karisma inilah yang
menyebarkan aura kepawangan ke luar dirinya. Melalui aura kepawangan ini, dia
membuat orang di sekitarnya menjadi takluk padanya, dalam arti merasa rela
untuk mengikuti kemauannya. Apa yang diinginkan Maryam lebih sering terwujud
daripada tidak.
Karisma
ini masih belum saya pahami, entah bawaan dari lahir atau bisa dilatihkan.
Kalau saya bisa memastikan karisma merupakan bawaan lahir atau bisa dilatihkan,
jawaban pemimpin itu dilahirkan atau dibentuk lingkungan bisa dijawab
berdasarkan keilmuan. Menurut Maryam sendiri karisma bisa dilatihkan. Yang
jelas, bagaimanapun jawabannya, karisma dimilikinya.
Banyak
terjadi saat yang mengecewakan ketika kita bercakap dengan sosok yang dianggap
sahabat erat. Kalau percakapan berlangsung pada saat yang tidak tepat, rentan
memberikan kesan yang melesat. Dan kejadian yang tidak diharapkan ini akan
mengubah arah ikatan yang terbangun bersama.
Kita
bisa berpikir kalau sosok tersebut ternyata kurang ajar dan angkuh, meski
mungkin dia sedang melepas peluh. Atau kita telah memiliki kesan sepanjang
bersamanya namun tiba-tiba muncul kesan baru yang membanting kebersamaan
sebelumnya. Percakapan kadang kadang bisa mengubah bahkan ‘membanting’ sebuah hubungan.
Apalagi saat sosok yang terlibat dianggap tidak dapat memberi cukup perhatian.
Saya
bersyukur setiap percakapan dengan Maryam berlangsung pada saat tepat. Mungkin
saya gede rasa saja lantaran percakapan tersebut terasa istimewa dikarenakan
Maryam tampak berusaha untuk tidak mengecewakan saya. Dan saya tak pernah
kecewa dengan percakapan dengannya sepertihalnya tak pernah kecewa bersahabat
dengannya sejak kami saling bertegur sapa.
Kalau
Maryam menjadi orang yang saya istimewakan hingga dipuja tanpa cela karena dia
memang pantas mendapatkannya. Siapa yang tak berwajah cerah-ceria wujud rasa
bahagia ketika ada orang yang tampak manis melindungi saat terlibat kerumunan
namun begitu kritis menghantam saat berada pada ranah seorangan, saat sebagian
memilih melakukan kosok balinya?
Melalui
kebahagiaan akibat dari usaha yang dilakukan, Maryam pun dengan mudah memberi
motivasi sekaligus menginjeksi inspirasinya pada saya. Wajar kalau Maryam
kemudian tumbuh menjadi sosok berpengaruh terhadap perjalanan yang saya alami
hingga menyebabkan saya enggan menyebut bahwa bahwa saya ini menjadi diri
sendiri.
Saya
baru bisa menyebut bahwa saya menjadi diri sendiri jika bisa membuang pengaruh
itu seluruhnya. Bisakah saya melakukannya? Yang jelas sampai saat ini dan saat
nanti saya tidak bisa mengembalikan air susu Ibuk yang saya tetek ketika
balita.