Busana

— pemantas raga, pelaras jiwa

Intro:
Artikel ini diterbitkan melalui Majalah SANTRI edisi April 2018 halaman 26-7. [lihat: sumber, arsip]

Pemantas raga, pelaras jiwa, itulah busana. Busana sudah menjadi kebutuhan utama manusia sejak awal keberadaannya (Shihab, 2012, hlm. 33-4). Busana yang dikenakan awalnya sepele—bukan sederhana—berupa kulit binatang yang dikeringkan lalu digunakan sebagai penutup badan. Penggunaan kulit binatang sebagai penutup badan memiliki banyak kegunaan, antara lain menghindarkan badan dari kedinginan maupun melindungi diri dari merangsang berahi manusia lainnya.

Seiring berkembangnya peradaban manusia, busana juga memiliki fungsi lain untuk memperindah penampilan badan (Shihab, 2012, hlm. 34-5). Fungsi ini tidak harus diwujudkan sebagai penyempurna penampilan badan, melainkan juga untuk menutupi kekurangan. Misalnya, seorang yang memiliki badan gempal tak proporsional, tentu tak enak dipandang kalau mengenakan busana ketat.

Meski pandangan mengenai keindahan senantiasa berubah, fungsi busana untuk memperindah penampilan terus tercurah (Shihab, 2012, hlm. 38-40). Perkembangan peradaban manusia juga membuat busana terkait dengan keadaban. Dua sisi ini, ialah keindahan dan keadaban, kadang-kadang sulit dipadukan dengan laras. Sebagian kalangan ada yang lebih menekankan unsur keindahan dan cenderung mengabaikan sisi keadaban, begitu juga sebaliknya.

Kelindan busana dengan keadaban sempat mengalami masa-masa suram dengan batasan yang terlampau keras dalam berbusana (Shihab, 2012, hlm. 40-1). Pemeluk keyakinan Zoroastrianism (Arab: زرادشتية) di Persia adalah salah satu masyarakat yang sempat mengalami perlakuan seperti ini. Keyakinan tersebut menganggap perempuan sebagai makhluk yang tidak suci. Oleh karena itu, perempuan diharuskan menutup mulut dan hidung supaya nafas mereka tak mengotori api suci yang merupakan pujaan masyarakat Persia saat itu.

Penggunaan busana bisa memberikan dampak psikis bagi pengenanya (Shihab, 2012, hlm. 35-6). Misalnya, seorang penggemar berat Real Madrid Club de Fútbol bisa merasa rendah diri ketika mengenakan busana atribut klub yang dipujanya saat klub tersebut sedang terpuruk. Terlebih busana tersebut dikenakan di lingkungan penggemar bola lainnya yang sedang berjaya.

Dampak psikis busana membuat sebagian negara memilih mengubah kostum angkatan perang (military) mereka dengan warna dan/atau bentuk lain (Shihab, 2012, hlm. 37). Biasanya perubahan kostum terjadi setelah angkatan perang tersebut mengalami kekalahan. Perubahan dilakukan dengan harapan agar sisa-sisa pengaruh melemahkan dari kekalahan perang bisa dikurangi, kalau tak sanggup dihilangkan.

Masyarakat Mesir, misalnya, pernah juga melakukan perubahan gaya berbusana mereka secara revolusioner (Shihab, 2012, hlm. 36). Pada masa wilayah mereka dikuasai oleh bangsa Turki sejak masa Muhammad ‘Alī Pasha (1805-1849 M) hingga masa Fārūq al-Awwal (Juli 1952 M), kaum lelaki biasa mengenakan penutup kepala tharbusy yang berasal dari Turki. Kebiasaan mengenakan tharbusy berbalik seketika setelah revolusi yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser Hussein terjadi. Tharbusy mendadak ditanggalkan sebagai usaha untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan mengikis habis pengaruh Turki.

Di Indonesia sendiri, pengenaan busana untuk menumbuhkan rasa nasionalisme juga dilakukan sejak proklamasi Republik Indonesia digelorakan (Hadi, 2014, hlm. 61-2). Saat itu, Sukarno memilih peci hitam sebagai atribut kebangsaan. Satu bentuk busana yang dikenakan di atas kepala untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme. Bapak Proklamator Republik Indonesia—bukan Bapak Republik Indonesia—ini pernah menuturkan bahwa mengenakan peci hitam adalah lambang Indonesia Merdeka.

Sukarno tampak ingin menyematkan makna bahwa pemakaian peci hitam tidak sekadar sebagai busana penutup kepala, walakin sebagai peneguh jati diri bangsa yaitu lambang Indonesia Merdeka. Sejak saat itu, peci hitam menjadi ‘busana wajib’ yang dikenakan pada foto resmi pengelola negera (government, pamong). Melalui pengenaan peci hitam, Sukarno mengajak bangsa-bangsa di Republik Indonesia untuk bersama-sama menegakkan kepala sebagai penghuni negeri yang setara dan sepadan dengan bangsa-bangsa lain di planet Bumi.

Selain peci hitam, bentuk lain busana yang dikenakan sebagai penumbuh rasa nasionalisme juga bisa melalui kebaya (Endah, 2007, hlm. 114-5). Kebaya biasa dianggap sebagai bentuk busana yang menyimbolkan paduan kelembutan dan ketangguhan perempuan. Selain itu, kebaya juga bisa memancarkan aura yang mampu mengeksplorasi keindahan tanpa mengabaikan sisi keadaban serta bisa menyesuaikan dengan perubahan lingkungan tanpa menghilangkan akar identitas.

Dampak psikis pengenaan busana juga terjadi pada ranah hukum. Hakim yang sedang memimpin jalannya persidangan misalnya, memiliki atribut busana yang khas. Pengenaan busana seperti ini guna memberi kesan wibawa di hadapan orang yang hadir dalam persidangan. Kesan wibawa yang didapat, selain memberi rasa yakin diri pada hakim, juga menyiratkan makna bahwa busana dapat memberi dampak psikis bagi yang melihatnya.

Dampak psikis bagi yang melihatnya membuat busana tertentu sengaja dikenakan untuk menimbulkan kesan tertentu. Misalnya ada orang yang mengenakan jubah putih lengkap dengan serbannya agar memberi kesan kesalehan dan ketekunan beragama. Ada juga orang yang mengenakan busana bergambarkan 2NE1 untuk mengesankan bahwa dia adalah penggemar 2NE1.

Dengan demikian, selain memiliki fungsi utama sebagai penutup badan serta berkaitan dengan keindahan dan keadaban, busana juga bisa memberi dampak psikis bagi pengenanya maupun penglihatnya. Dampak psikis juga yang membuat sebagian lembaga pendidikan memiliki busana sendiri sebagai seragam mereka. Baik untuk siswa, guru, maupun tenaga kerja yang terdapat di sekolah itu.

Pengenaan busana seragam untuk pelajar satu sisi memberi dampak positif, antara lain melatih sikap disiplin terhadap aturan yang berlaku dan mengikat mereka. Di sisi lain, pengenaan busana seragam juga memberi dampak negatif, antara lain kurang melatih kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan melalui busana yang dikenakan.

Memang dengan mengenakan seragam tampak tak ada perbedaan, seperti perbedaan pilihan maupun tingkat ekonomi dan sosial dari masing-masing keluarga pelajar. Namun dengan membiasakan pelajar untuk tak tampil seragam dalam berbusana juga bisa menjadi sarana untuk melatih pada mereka cara berbagi, bertenggang rasa, maupun bertoleransi terhadap lingkungan sehingga membuahkan sikap mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan pilihan.

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
«القرآن الكريم سورة الأعراف‎‎ : ٢٦»
(Metro TV, 2011; Ghoffar, dkk., 2005, hlm. 364-5)

Model: Rosa Amalia Iqony [feature]
Tempat: Studio We Bless Photo & Video Surabaya
Waktu: 13 Agustus 2017 

References

— Bibliography

Endah, Alberthiene. (2007). Anne avantie: aku, anugerah, dan kebaya. gramedia pustaka utama. [luring: koleksi pribadi]

Ghoffar, M. Abdul, dkk. (2005). Tafsir ibnu katsir (alihbahasa terhadap lubaabut tafsiir min ibni katsiir karya  abul fida' isma'il bin 'umar bin katsir). Pustaka Imam Asy-Syafi'i. [luring: arsip]

Hadi, Syamsu. (2007). Bung karno, penyambung lidah rakyat indonesia (alihbahasa terhadap sukarno: an autobiography as told to cindy adams karya cindy adams) . Yayasan Bung Karno. [luring: koleksi pribadi]

Shihab, M. Quraish. (2012). Jilbab, pakaian wanita muslimah: pandangan ulama masa lalu dan cendikiawan kontemporer. Lentera Hati Group. [luring: koleksi pribadi/arsip]

— Videography

Metro TV (2011). Tafsir al mishbah bersama prof dr m quraish shihab metro tv. (2011). tafsir al mishbah bersama prof dr m quraish shihab, detik ke-98 sampai ke-497. Metro TV, 4 Agustus. [luring: arsip]