— pemantas raga, pelaras jiwa
Waktu: 13 Agustus 2017
Intro:
Artikel ini diterbitkan melalui Majalah SANTRI
edisi April 2018 halaman 26-7. [lihat: sumber, arsip]
Pemantas raga, pelaras jiwa, itulah busana. Busana sudah
menjadi kebutuhan utama manusia sejak awal keberadaannya (Shihab, 2012, hlm. 33-4). Busana yang dikenakan awalnya
sepele—bukan sederhana—berupa kulit binatang yang dikeringkan lalu digunakan
sebagai penutup badan. Penggunaan kulit binatang sebagai penutup badan memiliki
banyak kegunaan, antara lain menghindarkan badan dari kedinginan maupun
melindungi diri dari merangsang berahi manusia lainnya.
Seiring berkembangnya peradaban manusia, busana juga
memiliki fungsi lain untuk memperindah penampilan badan (Shihab, 2012, hlm. 34-5). Fungsi ini tidak harus diwujudkan
sebagai penyempurna penampilan badan, melainkan juga untuk menutupi kekurangan.
Misalnya, seorang yang memiliki badan gempal tak proporsional, tentu tak enak
dipandang kalau mengenakan busana ketat.
Meski pandangan mengenai keindahan senantiasa berubah,
fungsi busana untuk memperindah penampilan terus tercurah (Shihab, 2012, hlm. 38-40). Perkembangan peradaban manusia
juga membuat busana terkait dengan keadaban. Dua sisi ini, ialah keindahan dan
keadaban, kadang-kadang sulit dipadukan dengan laras. Sebagian kalangan ada
yang lebih menekankan unsur keindahan dan cenderung mengabaikan sisi keadaban,
begitu juga sebaliknya.
Kelindan busana dengan keadaban sempat mengalami
masa-masa suram dengan batasan yang terlampau keras dalam berbusana (Shihab, 2012, hlm. 40-1). Pemeluk keyakinan Zoroastrianism
(Arab: زرادشتية)
di Persia adalah salah satu masyarakat yang sempat mengalami perlakuan seperti
ini. Keyakinan tersebut menganggap perempuan sebagai makhluk yang tidak suci.
Oleh karena itu, perempuan diharuskan menutup mulut dan hidung supaya nafas
mereka tak mengotori api suci yang merupakan pujaan masyarakat Persia saat itu.
Penggunaan busana bisa memberikan dampak psikis bagi
pengenanya (Shihab,
2012, hlm. 35-6).
Misalnya, seorang penggemar berat Real Madrid Club de Fútbol bisa merasa rendah
diri ketika mengenakan busana atribut klub yang dipujanya saat klub tersebut
sedang terpuruk. Terlebih busana tersebut dikenakan di lingkungan penggemar
bola lainnya yang sedang berjaya.
Dampak psikis busana membuat sebagian negara memilih
mengubah kostum angkatan perang (military) mereka dengan warna dan/atau
bentuk lain (Shihab,
2012, hlm. 37).
Biasanya perubahan kostum terjadi setelah angkatan perang tersebut mengalami
kekalahan. Perubahan dilakukan dengan harapan agar sisa-sisa pengaruh
melemahkan dari kekalahan perang bisa dikurangi, kalau tak sanggup dihilangkan.
Masyarakat Mesir, misalnya, pernah juga melakukan
perubahan gaya berbusana mereka secara revolusioner (Shihab, 2012, hlm. 36). Pada masa wilayah mereka dikuasai
oleh bangsa Turki sejak masa Muhammad ‘Alī Pasha (1805-1849 M) hingga masa
Fārūq al-Awwal (Juli 1952 M), kaum lelaki biasa mengenakan penutup kepala tharbusy
yang berasal dari Turki. Kebiasaan mengenakan tharbusy berbalik seketika
setelah revolusi yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser Hussein terjadi. Tharbusy
mendadak ditanggalkan sebagai usaha untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan
mengikis habis pengaruh Turki.
Di Indonesia sendiri, pengenaan busana untuk menumbuhkan
rasa nasionalisme juga dilakukan sejak proklamasi Republik Indonesia
digelorakan (Hadi, 2014,
hlm. 61-2). Saat itu, Sukarno memilih peci
hitam sebagai atribut kebangsaan. Satu bentuk busana yang dikenakan di atas
kepala untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme. Bapak Proklamator Republik
Indonesia—bukan Bapak Republik Indonesia—ini pernah menuturkan bahwa mengenakan
peci hitam adalah lambang Indonesia Merdeka.
Sukarno tampak ingin menyematkan makna bahwa pemakaian
peci hitam tidak sekadar sebagai busana penutup kepala, walakin sebagai peneguh
jati diri bangsa yaitu lambang Indonesia Merdeka. Sejak saat itu, peci hitam
menjadi ‘busana wajib’ yang dikenakan pada foto resmi pengelola negera (government, pamong). Melalui pengenaan peci hitam,
Sukarno mengajak bangsa-bangsa di Republik Indonesia untuk bersama-sama
menegakkan kepala sebagai penghuni negeri yang setara dan sepadan dengan
bangsa-bangsa lain di planet Bumi.
Selain peci hitam, bentuk lain busana yang dikenakan
sebagai penumbuh rasa nasionalisme juga bisa melalui kebaya (Endah, 2007, hlm. 114-5). Kebaya
biasa dianggap sebagai bentuk busana yang menyimbolkan paduan kelembutan dan
ketangguhan perempuan. Selain itu, kebaya juga bisa memancarkan aura yang mampu
mengeksplorasi keindahan tanpa mengabaikan sisi keadaban serta bisa
menyesuaikan dengan perubahan lingkungan tanpa menghilangkan akar identitas.
Dampak psikis pengenaan busana juga terjadi pada ranah
hukum. Hakim yang sedang memimpin jalannya persidangan misalnya, memiliki
atribut busana yang khas. Pengenaan busana seperti ini guna memberi kesan
wibawa di hadapan orang yang hadir dalam persidangan. Kesan wibawa yang
didapat, selain memberi rasa yakin diri pada hakim, juga menyiratkan makna
bahwa busana dapat memberi dampak psikis bagi yang melihatnya.
Dampak psikis bagi yang melihatnya membuat busana
tertentu sengaja dikenakan untuk menimbulkan kesan tertentu. Misalnya ada orang
yang mengenakan jubah putih lengkap dengan serbannya agar memberi kesan
kesalehan dan ketekunan beragama. Ada juga orang yang mengenakan busana
bergambarkan 2NE1 untuk mengesankan bahwa dia adalah penggemar 2NE1.
Dengan demikian, selain memiliki fungsi utama sebagai
penutup badan serta berkaitan dengan keindahan dan keadaban, busana juga bisa
memberi dampak psikis bagi pengenanya maupun penglihatnya. Dampak psikis juga
yang membuat sebagian lembaga pendidikan memiliki busana sendiri sebagai
seragam mereka. Baik untuk siswa, guru, maupun tenaga kerja yang terdapat di
sekolah itu.
Pengenaan busana seragam untuk pelajar satu sisi memberi
dampak positif, antara lain melatih sikap disiplin terhadap aturan yang berlaku
dan mengikat mereka. Di sisi lain, pengenaan busana seragam juga memberi dampak
negatif, antara lain kurang melatih kemampuan
menyesuaikan dengan lingkungan melalui busana yang dikenakan.
Memang dengan mengenakan seragam tampak tak ada
perbedaan, seperti perbedaan pilihan maupun tingkat ekonomi dan sosial dari
masing-masing keluarga pelajar. Namun dengan membiasakan pelajar untuk tak
tampil seragam dalam berbusana juga bisa menjadi sarana untuk melatih pada
mereka cara berbagi, bertenggang rasa, maupun bertoleransi terhadap lingkungan
sehingga membuahkan sikap mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan
pilihan.
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ
لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ
ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
«القرآن
الكريم سورة الأعراف : ٢٦»
(Metro TV, 2011; Ghoffar,
dkk., 2005,
hlm. 364-5)
Model: Rosa Amalia Iqony [feature]
Tempat: Studio We Bless Photo & Video Surabaya
References
— Bibliography
Endah, Alberthiene. (2007). Anne avantie: aku,
anugerah, dan kebaya. gramedia pustaka utama. [luring: koleksi pribadi]
Ghoffar, M. Abdul, dkk. (2005). Tafsir ibnu katsir
(alihbahasa terhadap lubaabut tafsiir min ibni katsiir karya abul fida' isma'il bin 'umar bin katsir).
Pustaka Imam Asy-Syafi'i. [luring: arsip]
Hadi, Syamsu. (2007). Bung karno, penyambung lidah
rakyat indonesia (alihbahasa terhadap sukarno: an autobiography as told to
cindy adams karya cindy adams) . Yayasan Bung Karno. [luring: koleksi
pribadi]
Shihab, M. Quraish. (2012). Jilbab, pakaian wanita
muslimah: pandangan ulama masa lalu dan cendikiawan kontemporer. Lentera
Hati Group. [luring: koleksi pribadi/arsip]
— Videography
Metro TV (2011). Tafsir al mishbah bersama prof dr
m quraish shihab metro tv. (2011). tafsir al mishbah bersama prof dr m quraish
shihab, detik ke-98 sampai ke-497. Metro TV, 4 Agustus. [luring: arsip]