— lingkungan pemula gelora kajian keilmuan
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا
فَصَلُّوا وَادْعُوا حَتَّى يُكْشَفَ مَا بِكُمْ
— محمد صلى الله عليه وسلم
Gerhana menjadi peristiwa penting dalam linikala peradaban manusia di
planet Bumi. Semula, peristiwa tersebut ditaggapi dengan menggunakan ragam
macam mitos. Saat terjadi gerhana, orang-orang di Bumi bergegas menyelamatkan
Matahari atau Bulan dengan bersama-sama membikin kebisingan. Melalui kebisingan
ini mereka berharap supaya gerhana segera sirna.
Mitos seperti ini tak hanya terjadi di tanah Jawi dengan cerita ‘Srengengene
dipangan Butho’ (Jawa: Mataharinya dimakan Raksasa). Di belahan wilayah
lain, mitos seperti inipun ada. Manusia perlahan meninggalkan mitos
tersebut sesudah melihat adanya pola keteraturan dalam peristiwa gerhana. Pola
keteraturan alamiah yang terus menerus berjalan tanpa perlu menghadirkan
kebisingan untuk ‘menyelamatkan’ kirana Matahari atau Bulan dari temaram saat
gerhana.
Tak jelas behind the scene
penangkapan pola ini. Entah memang berupaya memperhatikan, entah karena malas
lalu tiba-tiba mendapatkan, entah ada sosok yang datang membuka jalan. Yang
jelas manusia mulai menyadari bahwa gerhana terjadi dengan pola teratur yang
berulang sendiri. Kesadaran yang membangkitkan semangat untuk bisa mengerti keteraturan
Alam Raya.
Pengertian terhadap pola keteraturan membikin bangsa Babilonia kuno yang
menduduki wilayah Mesopotamia sanggup memperkirakan masa terjadi gerhana lagi. Perkiraan
mereka cukup akurat meski belum disertai pemahaman terhadap penyebab terjadinya
gerhana. Mereka memulainya dengan gerhana Bulan dan perlahan dilanjutkan dengan
gerhana Matahari. Dari situlah pemahaman bahwa peristiwa alam memiliki
keteraturan mulai menggelora.
Thales, Berkaya Tanpa Menulis
Gelora mencari tahu pola keteraturan peristiwa alam mulai meraja sesudah
gagasan brilian diberikan oleh seorang laki bernama Thales. Sosok misterius
asal Miletus (kini Turki) ini diperkirakan mendiami planet Bumi sepanjang 624-546
sebelum masehi (SM). Thales memberikan gagasan mengenai pola keteraturan ini
yang dimulai dengan mengajakserta masyarakat (kawulo alias praja dan gusti alias pejabat) di lingkungannya,
Ionia.
Secara khusus, Thales mendapat apresiasi menawan atas keberhasilannya
memperkirakan dengan jitu terjadinya gerhana Matahari pada tahun 585 SM. Tak
ada peninggalan karya tulis dari Thales yang bisa ditemukan, namun semua
sepakat bahwa dialah sosok keren pencetus gagasan baru dalam melakukan ijtihad.
Gagasan Thales membuka gerbang petualangan panjang tanpa henti yang
dilakoni manusia hingga kini. Petualangan atas dasar keyakinan bahwa Alam Raya
memiliki keteraturan yang dapat dimengerti. Kejadian yang tampak sulit dan
komplit dapat disederhanakan melalui penjelasan rapi dan rinci.
Thales memulai gelora ini melalui kampung halamannya yang disebut Ionia.
Thales menjadikan Ionia sebagai batu loncatan mengagumkan. Pada masanya, Ionia
yang masuk wilayah Yunani merupakan pusat ilmuwan yang kirananya meluas hingga
Turki dan Italia.
Unjuk rasa masyarakat Ionia dikagumi melalui perhatian kuat dalam menggali
aturan-aturan dasar yang bisa menjelaskan fenomena alam. Aturan dasar tersebut
disusun dengan cara yang bisa dinalar sehingga tak menutup diri untuk bisa
dimengerti oleh liyan (orang lain). Unjuk rasa mereka tak sebatas bisa dicoba melalui
pengamatan, namun bisa juga melalui penalaran.
Unjuk rasa dari Anaximandros misalnya. Sahabat Thales yang mendiami Bumi
sepanjang 610-546 SM ini mengungkapkan pandangannya bahwa manusia adalah
keturunan yang tumbuh lebih bagus dari spesies sebelumnya. Pandangan ini
dikuatkan dengan pernyataan bahwa karena bayi manusia tak berdaya saat lahir.
Menurut Anaximandros, jika manusia pertama muncul sebagai bayi seorang
diri, maka tak akan bertahan dalam keseharian alih-alih tumbuh tua dan
berkembang dewasa. Warisan Anaximandros mangkrak
lama hingga bisa dihidupkan lagi pada abad 19 oleh Charles Robert Darwin
melalui unjuk rasa yang dikenal dengan teori evolusi.
Dalam banyak perkara, unju rasa masyarakat Ionia bahkan bisa memberikan
kesimpulan yang tak jauh berbeda dengan kesimpulan yang didapat saat ini. Salah
satu pesona yang belum sirna hingga kini dari Ionia adalah gagasan yang dikenal
dengan teorema Pythagoras. Teorema ini menyebutkan bahwa kuadrat sisi
terpanjang dari segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat dua sisi yang
lain yang dapat ditulis menggunakan persamaan 32 + 42 = 52.
Sosok bernama Pythagoras sendiri diceritakan mendiami Bumi selama kurun
masa 570-495 SM. Walau teorema tersebut disematkan pada Pythatoras, tak ada
yang berani memberikan kepastian kalau dialah yang memberi gagasan abadi ini.
Gagasan ini terbukti tepat dan tetap sejak semula di-wedar-kan hingga saat ini.
Tersiar pula kabar bahwa Pythagoras menemukan hubungan antara senar yang
dipakai dalam alat musik dan kombinasi harmonik suara yang dihasilkan. Penemuan
Pythagoras menyatakan bahwa jumlah getaran setiap satu satuan waktu (frekuensi)
dari senar yang bergetar dalam tegangan tetap berbanding terbalik dengan
panjangnya. Supaya lebih mudah, pernyataan menggunakan paduan kata disertai
dengan angka.
Penemuan kedua pun abadi. Kini kita bisa melihat penerapan penemuan
Pythagoras pada perbedaan bass dan gitar. Senar bass lebih panjang ketimbang
senar gitar. Semula penemuan kedua Pythagoras dinamakan formula matematika
namun seiring berjalannya waktu penemuan itu dinamai fisika teori.
Menarik Perhatian Lingkungan Sekitar
Tak hanya menarik bagi masyarakat setempat, unjuk rasa ala Ionia juga
sanggup menarik perhatian hingga Sicìlia. Empedocles, yang mendiami wilayah
Sicìlia (kini Italia) sepanjang kurun masa 490-430 SM, iseng mengamati wadah
air yang disebut clepsydra. Alat ini berbentuk bola dengan leher terbuka dan
lubang-lubang kecil di bagian bawahnya.
Empedocles penasaran dengan cara kerja alat tersebut. Kalau clepsydra
dicelupkan ke dalam cairan alat ini akan terisi. Lalu ketika terbukanya itu
ditutup, alat ini akan bisa mengangkat cairan keluar tanpa menumpahkan isinya
meski terdapat lubang di bawahnya.
Keisengan Empedocles ini melatarbelakangi pandangannya bahwa ada ‘sesuatu’
tak terlihat mata yang membikin air tak tumpah kalau leher clepsydra ditutup
dan akan segera tumpah kalau dibuka. Kini ‘sesuatu’ itu dikenal dengan sebutan
udara.
Tak lama berselang, penghuni Ionia tak mau kalah memberikan sumbangan
gagasan brilian. Democritus, penghuni bagian utara Ionia sepanjang 460 hingga
370 SM, melakukan keisengan lainnya dengan memotong benda menjadi bagian-bagian
kecil.
Pemotongan terus menerus hingga dia malas memotongnya lagi. Setelah lelah
melanjutkan keisengan, Democritus mengungkapkan pandangannya bahwa setiap benda
tersusun atas bahan dasar yang tak dapat dipotong lagi. Bahan dasar yang tak
dapat dipotong dalam bahasa kuno Yunani disebut atom (a = tidak dan tom = dipotong).
Ketika gagasan berdasarkan keisengan tersebut diungkapkan, diyakini bahwa atom adalah bahan dasar paling kecil. Hanya
saja saat ini pengembangan gagasan menyebutkan bahwa atom pun terdiri dari bahan dasar yang lebih kecil lagi. Setelah
ditemukan proton, neutron, dan elektron sebagai bahan dasar paling kecil, kini sudah dikenal quark dan lepton sebagai bahan dasar ketiganya.
Meski demikian, gagasan Democritus bahwa terdapat bahan dasar penyusun
setiap bahan ini tetap abadi. Tak masalah kalau bahan dasar itu bukanlah atom
seperti dia yakini. Dia pun saat itu sudah meyakini bahwa peristiwa terkait
benda merupakan hasil benturan bahan dasar pamungkas terkecil itu.
Pandangan yang dijuluki atomisme
ini menyatakan bahwa semua atom bergerak di sekitar ruang kosong dan tak akan
berhenti jika tak ada gangguan. Belum ada yang bisa memastikan alasan harus ada
ruang kosong itu, namun pandangan ini mengilhami gagasan yang kini disebut
sebagai hukum kelembaman (kemalasan mengubah posisi semula).
Tak lama berselang, gagasan brilian kembali menjulang. Aristarchus,
penghuni Ionia sepanjang rentang 310–230 SM, memberikan gagasan bahwa Bumi
bukanlah pusat jagad raya. Generasi Aristarchus disebut sebagai generasi emas
terakhir yang terlahir di Ionia.
Gagasan Aristarchus sendiri disertai hasil pengamatan (data) yang dianalisa
melalui perhitungan. Dia menghitung ukuran bayangan Bumi pada bulan selama
terjadi gerhana Bulan. Gagasan ini menjadi satu-satunya unjuk rasa darinya yang
terus menerus bertahan dengan kesimpulan tak terbantahkan.
Dari perhitungannya, Aristarchus menyimpulkan bahwa Matahari pasti jauh
lebih besar dari Bumi. Karena saat itu berlaku pandangan bahwa benda kecil akan
cenderung mengelilingi benda besar (tak bisa kosok bali). Kesimpulannya
disusuli bahwa Bumi bukanlah pusat dari jagad raya. Dengan ungkapan lain, Bumi
adalah salah satu benda yang mengelilingi Matahari.
Aristarchus pun meyakini bahwa bintang-bintang yang berkilau saat temaram
malam seperti Matahari, namun letakanya sangat jauh dari Bumi. Pandangan ini
memang sempat mangkrak, bukan karena keadaannya tak terfasilitasi, melainkan
karena otaknya tak mencukupi. Hanya saja pandangan ini kini
berlanjut lebih ‘sinting’ lagi.
Pengembangan gagasan Aristarchus berlanjut hingga menyebutkan bahwa Matahari
pun mengorbit pada benda yang jauh lebih besar lagi. Misalnya kita mulai
mengenal dengan Galaksi. Neil deGrasse Tyson memandu dengan bagus perkembangan
‘sinting’ ini melalui acara Space Odyssey, walau wajahnya kurang ganteng.
Hampir dua abad kemudian, sepanjang rentang 287-212 SM, muncullah sosok sinting
bernama Archimedes. Dia dihormati sebagai fisikawan agung dari zaman yang
disebut zaman kuno. Archimedes berhasil menyumbangkan gagasan abadi berupa tiga
hukum fisika yang dirumuskannya.
Gagasan pertama Archimedes menjelaskan tentang sedikit forsa (force, biasanya dialihbahasakan menjadi gaya
namun jadi rancu dengan mode/fashion)
yang diberikan pada hulu pengungkit dapat mengangkat beban berat karena
perbandingan jarak dan titik tumpu beban pada pengungkit bisa menggandakan
forsa yang diberikan pada hilirnya.
Gagasan keduanya menjelaskan mengenai forsa tekan ke atas (gaya apung).
Setiap benda yang dicelupkan ke dalam sebuah cairan akan mengalami forsa tekan
ke atas yang forsanya sama besar dengan berat cairan yang dipindahkan (misalnya
tumpah).
Gagasan kedua ini membikin dia disebut sinting karena saking girangnya dia
lupa belum mengenakan pakaian saat berupaya memamerkan yang ditemukan.
Kegirangannya diserta dengan teriakan eureka,
yang geloranya terus menggema sepanjang masa.
Eureka yang berarti ‘sudah kudapatkan’ berkembang menjadi
istilah. Secara istilah, Eureka
didefinisikan sebagai a cry of joy or
satisfaction when one finds or discovers something. Secara serampangan,
eureka adalah ungkapan rasa syukur saat gembira berhasil menemukan sesuatu yang
dirasa baru.
Gagasan ketiganya menegaskan bahwa sudut antara berkas cahaya dan cermin
datar sama dengan sudut antara cermin dan berkas cahaya yang terpantul. Hanya
saja gagasan ini tak disertai acuan pengamatan dan pengukuran.
Perseteruan Lingkungan, Sumbatan Perkembangan
Pada masa sekarang, Bangsa Ionia terus dikenang dengan warisan tak lekang
sepanjang zaman. Sayang, pada masa mereka, juga terdapat masyarakat serupa.
Masyarakat yang getol unjuk peran dengan masing-masing budaya yang berbeda
bahkan berlawanan.
Unjuk rasa masyaratakat Ionia banyak disukai hingga bisa kuat memengaruhi
sampai kini lantaran pandangan mereka terlihat tidak memberi tempat pada
gagasan ‘kehendak bebas’. Dengan demikian tak perlu melibatkan adanya sosok
Adialami (Supranatural) yang saat itu dipahami sebagai Tuhan.
Kehendak bebas yang tak diberi tempat membuat bangsa Ionia yakin bahwa
sesungguhnya manusia pun tak memiliki kehendak bebas lantaran disusun oleh
benda dasar yang terikat oleh hukum alam. Keyakinan ini sekarang membuka jalan kajian
yang dinamakan biologi kuantum sebagai alternatif mengurangi jumlah
pengangguran.
Dua gagasan dalam unjuk rasa Ionia itulah yang banyak ditolak hingga sempat
mangkrak. Gagasan tak melibatkan
peran Tuhan ditentang keras oleh Epicrus (341-270 SM). Epicrus menolak dengan
keras pandangan atomisme dengan alasan bahwa lebih elok mengikuti mitos para
dewa ketimbang menjadi ‘budak’ takdir para ilmuwan alam. Aristotélēs (384-322
SM) pun menolak pandangan atomisme. Aristoteles tak dapat menerima bahwa
manusia disusun atas benda-benda kecil tak berjiwa.
Sayang memang derap tegap saat itu sempat mangkrak tak mengalami
pengembangan. Sempat ada masa sesudahnya ketika unjuk rasa masyarakat Ionia tak
dikembangkan dan manusia sudah cukup puas sekedar mendaur ulang bahkan Ionia
pun sempat terlupakan.
Salah satunya ialah unjuk rasa mereka mengenai Alam Raya yang menyebutkan
bahwa Bumi bukanlah pusat jagad raya sempat mangkrak
sangat lama. Sekitar dua milenium kemudian unjuk rasa ini dihidupkan oleh
Galileo Galilei. Serupa dengan nasib unjuk rasa Ionia yang ditolak, laki
kelahiran Pisa, Toscana, 15 Februari 1564 pun harus mengalami keseharian yang
dirisak.
Walau begitu, unjuk rasa Galileo Magnifico
kembali menggelora dan menjadi ranah kajian sendiri. Stephen William Hawking,
yang lahir tepat tiga abad sesudah Galileo pindah alam, adalah salah satu
pemeran penting dalam hal ini, meski kisah cinta penggemar berat Marilyn Monroe
ini melukai hati.
Kecenderungan Tata Ungkap Gagasan
Unjuk rasa yang diberikan oleh bangsa Ionia mencerminkan pandangan yang
sudah berlaku sejak saat itu. Mereka memulai pandangan mengenai mengapa peristiwa alam seperti itu,
bukan mengenai bagaimana peristiwa
alam seperti itu. Sayang, gagasan brilian tak disertai pedoman untuk mengatur
cara pengujian gagasan.
Cara pengujian baru beberapa abad lampau disusun dan dikenal dengan metode
ilmiah. Gagasan yang tak hanya melalui pemikiran walakin hingga disertai
perhitungan pun mudah di-mangkrak-kan
ketika terjadi perbedaan maupun pertentangan.
Mereka juga belum memberikan batasan jelas antara hukum alam dan hukum
sosial. Batasan yang memberi pembedaan cakupan ini baru mulai diberikan oleh
Stoicism, pe-santri-an ilmuwan yang
dibangun oleh Zeno sekitar awal abad ketiga SM. Hanya saja mereka memasukkan
aturan tata krama manusia, misalnya menghormati orangtua, ke dalam hukum alam.
Pilihan tersebut diambil lantaran
mereka memandang bahwa tata krama berlaku universal.
Sebaliknya, serentetan peristiwa fisika dimasukkan dalam wilayah hukum sosial lantaran
mereka memandang proses tersebut butuh pemaksaan walau mereka sebenarnya sadar
bahwa obyek hukumnya tak berjiwa.
Cukup menggelitik memang. Bayangkan saja, kalau kita susah meminta manusia
membuang sampah pada tempatnya, bayangkan kita meminta Matahari memancarkan
kirana seperti kita saksikan dalam keseharian!
Kebiasaan mengagumkan namun tak berkelanjutan memang patut disayangkan.
Hanya saja bangsa Ionia berhasil menahbiskan diri sebagai pemula gelora kajian
keilmuan.
Manusia memiliki sisi sebagai makhluk individu (insan dan basyar), yang
martabat dan derajatnya perlu untuk terus ditingkatkan. Martabat dan derajat
yang tinggi akan memberi kemudahan dalam mewujudkan misi sosial yang dimiliki.
Selain itu, manusia juga memiliki sisi sebagai makhluk sosial (naas), yang berkewajiban ikut serta
dalam segala upaya untuk memperbaiki keseharian bersama.