Langit Yogyakarta membiru
tanpa cela pagi itu, beberapa hari sebelum Lapangan Trirenggo dipadati lautan
manusia untuk Festival ANTV Rame. Di sebuah sudut rumah yang tenang di Kulon
Progo, Eka Fatmala menatap pantulan dirinya di cermin. Bukan gaun panggung
berkilau yang ia kenakan, melainkan daster sederhana. Tangannya tanpa sadar
mengelus perutnya yang rata, tempat dulu kehidupan pernah bersemi, tempat
harapan akan keluarga sakinah pernah ia sandarkan.
Di meja rias, sebuah
amplop coklat dari pengadilan tergeletak. Tanggal sidang mediasi sudah di depan
mata. Jantungnya berdegup lebih kencang. Bayangan wajah Yudi, tatapan dinginnya
saat terakhir kali mengantarnya pulang ke rumah ini, kata-kata kasar yang masih
terngiang—semua kembali menyeruak. Di luar, suara Deva yang tertawa riang saat
bermain dengan neneknya terdengar, seberkas cahaya di tengah mendung hatinya.
Ia menarik napas dalam,
memejamkan mata. Ya Allah, kuatkan pundak
ini untuk memikul. Beri hamba jalan. Ia tahu, beberapa hari lagi ia harus
kembali ke panggung besar itu, tersenyum, bernyanyi, bergoyang seolah dunia
baik-baik saja. Menjadi Eka Fatmala yang dikenal ribuan orang. Tapi hari ini,
di keheningan kamarnya, ia hanyalah Eka, seorang ibu, seorang perempuan, yang
berdiri di persimpangan paling genting dalam hidupnya, mencari secercah
kekuatan sebelum badai sesungguhnya dimulai. Resonansi antara panggung dan hati
akan segera diuji.