Di ruangan yang luas itu, di tempat yang
hening, ia hanyalah Eka, seorang hamba yang mencari kedekatan dengan Sang
Pencipta. Ponselnya tergeletak di meja samping, dalam mode pesawat. Ini adalah
ritual pribadinya, waktu yang ia dedikasikan sepenuhnya untuk ketenangan jiwa,
sumber kekuatan terbesarnya, terisolasi dari segala tuntutan dunia luar.
Mentari mulai menyapa, sinarnya masuk melalui
jendela kamar yang tertutup tirai. Eka menyelesaikan ibadah pagi, termasuk
Sholat Dhuha saat waktunya tiba. Rasa damai menyelimuti hatinya. Ia menikmati
sarapan sederhana namun mengenyangkan – nasi goreng hangat, telur, kerupuk,
ditemani teh lemon dan minuman paginya – dalam ketenangan rumahnya. Ponselnya
masih dalam mode pesawat.
Ia memandang sarapannya, pandangannya
menerawang sejenak, lalu tersenyum tipis. Pagi yang tenang seperti ini adalah
kemewahan yang dulu terasa jauh.
"Dulu... sakitnya bukan main membaca
atau mendengar mereka menghakimi. Rasanya semua usaha keras, semua cinta pada
musik ini, hanya dilihat dari satu sisi sempit. Ada masa aku benar-benar goyah.
Tapi alhamdulillah, entah kekuatan dari mana, aku terus diingatkan untuk
bertahan. 'Kamu lebih kuat dari yang mereka kira'... Ya, alhamdulillah,
ternyata benar."
Eka menghela napas pelan, senyumnya
mengembang tulus.
"Sekarang... lihatlah. Aku masih
berdiri. Masih bisa berkarya, tidak hanya di dangdut, tapi juga di bidang lain
yang bahkan tak pernah terbayang dulu. Semua ini... kalau diingat dulu rasanya
mustahil. Tapi ini nyata. Aku bisa mengatur semuanya sendiri, punya kendali
atas hidupku, atas karierku. Itu memberiku rasa aman, rasa tenang yang mahal
harganya. Aku sangat bersyukur."
Ia menikmati sarapannya, meresapi setiap suap
dan teguk, dalam keheningan yang ia ciptakan sendiri, jauh dari notifikasi yang
menunggu. Ini adalah benteng ketenangan pribadinya. Ia juga memastikan
melaksanakan sholat-sholat fardhu pada waktunya, meski tidak selalu di awal
waktu, sebagai fondasi pribadinya yang tak terpisahkan dari rutinitas
hariannya.
Setelah semua urusan pagi di rumah, termasuk Sholat
Dhuha, Eka bersiap. Ia mengenakan busana yang rapi dan santun namun tetap gaya,
terusan panjang berwarna biru dengan motif abstrak putih yang ramai, rambut
panjangnya ditata rapi tergerai, dan ia memakai sandal yang nyaman namun
stylish. Ponselnya diaktifkan kembali. Notifikasi langsung masuk, menandakan
hari yang padat telah menanti. Sebelum melangkah keluar pintu, dalam hati ia
berucap, "Bismillah."
Tujuannya yang pertama: sebuah kafe atau
restoran yang nyaman untuk pertemuan bisnis. Setibanya di sana, ia disambut
oleh Ibu Indah, perwakilan dari sebuah brand busana atau MUA yang ingin
mengajaknya bekerja sama sebagai model.
"Assalamualaikum, Ibu Indah," sapa
Eka dengan senyum ramah. Ibu Indah menyambutnya dengan hangat, menjabat tangan
Eka dan menunjukkan sikap hormat yang tulus. "Waalaikumsalam, Mbak Eka.
Terima kasih banyak sudah bersedia meluangkan waktu," jawab Ibu Indah
dengan suara sopan, jelas menghargai sosok di depannya.
Mereka duduk di meja yang sudah dipesan.
Dokumen kontrak modelling terhampar di sana. Eka memulai dengan ucapan pembuka
basa-basi biasa, lalu masuk ke inti pembahasan. Mereka membahas detail
pekerjaan, konsep pemotretan busana MUA, dan nilai kontrak dengan
profesionalisme. Dialog mengalir layaknya pertemuan bisnis biasa, efektif dan
langsung pada pokoknya.
"Dulu dicaci karena penampilan, sekarang
justru diminta tampil untuk busana. Ironi yang patut disyukuri. Pekerjaan ini
memberiku kesempatan untuk menampilkan sisi yang berbeda, sisi yang lebih...
'anggun'. Aku bersyukur punya kesempatan ini, membuktikan bahwa aku bisa lebih
dari yang mereka lihat dulu."
Usai pertemuan dengan Ibu Indah, Eka segera
bertolak menuju sekolah anak usia dini. Ia tidak berganti busana terusan
birunya, namun setibanya di sekolah, ia mengambil selembar jilbab polos dari
tasnya di mobil dan mengenakannya dengan rapi, menutupi rambutnya. Di mobilnya
juga tersimpan satu set mukena dan botol kecil berisi debu bersih untuk
tayamum, perlengkapan darurat yang selalu ia siapkan untuk memastikan sholat
fardhu bisa tetap dilaksanakan di mana pun ia berada, mengingat jadwalnya yang
mobile.
Saat Eka melangkah masuk dengan terusan
birunya dan jilbab yang terpasang rapi, sambutan hangat dan gembira langsung
menyambutnya. Kepala sekolah, Ibu Guru Siti, serta guru-guru lain seperti Bapak
Budi dan Ibu Lia, menyambut Eka dengan wajah ceria dan penuh rasa hormat. Sikap
ta'dzim terlihat dari cara mereka menyambut, senyum tulus, dan ucapan terima
kasih yang berulang.
"Selamat datang, Mbak Eka. Sungguh suatu
kehormatan Mbak Eka bersedia datang ke sekolah kami," ujar Ibu Guru Siti,
suaranya penuh apresiasi.
"Terima kasih kembali, Ibu. Senang
sekali bisa berada di sini," jawab Eka. Sebelum memulai kegiatan, ia
menarik napas sebentar, memantapkan niat.
Eka mulai berinteraksi dengan anak-anak.
Mereka riuh rendah mengelilinginya. Ada Adi, anak lelaki lincah yang
mengajaknya bicara, dan Clara, anak perempuan pemalu yang tiba-tiba memberikan
gambar buatannya. Eka menerima gambar itu, matanya berkaca-kaca.
"Terima kasih, Cantik," ucap Eka,
suaranya lembut, sambil mengelus kepala Clara.
Di sela-sela kebahagiaan itu, Ibu Lia
mendekat. "Mbak Eka... ini momen bagus sekali ya. Andai Mbak Eka berkenan
posting di Instagram atau TikTok, pasti jangkauannya luas sekali. Tapi... ah, tahu
sendiri, untuk endorse ke Mbak Eka pasti butuh biaya besar ya," ujar Ibu
Lia, buru-buru menambahkan bagian akhir dengan nada sungkan, seolah menyadari
jarak finansial antara Eka dan lembaga pendidikan mereka.
Eka hanya tersenyum. Ia paham maksud Ibu Lia.
Ia menyadari kondisi sekolah yang mungkin memiliki keterbatasan dana, dan ia
membandingkannya dengan tarif endorse yang memang menjadi salah satu sumber
penghasilannya.
"Benar juga... posting di Instagram atau
TikTokku bisa sangat membantu mereka mengenalkan sekolah ini. Dan Ibu Guru
itu... mereka mengira bayarannya pasti mahal. Padahal ini kan bukan endorse.
Ini berbagi. Aku bersyukur bisa di sini, bisa merasakan ketulusan mereka.
Membantu mereka dengan cara ini... itu hal kecil dibandingkan kebaikan yang
kurasakan di sini."
Eka menghabiskan waktu di sana, berinteraksi,
berbagi, dan berfoto bersama. Nanti, di lain waktu, secara diam-diam, ia akan
memilih foto terbaik dari kunjungan ini dan mempostingnya di akun media sosial
pribadinya, dengan caption yang tulus tentang kebahagiaannya berbagi dengan
anak-anak dan apresiasinya pada para guru, tanpa menyebutkan apapun tentang
endorsement berbayar. Ia melakukan itu sebagai bentuk berbagi yang lain, tulus
dari hati, tak ternilai harganya. Ia juga memastikan melaksanakan Sholat Dzuhur
pada waktunya, di sela-sela aktivitasnya atau segera setelahnya, memanfaatkan
mukena dan debu tayamum di mobil jika diperlukan.
Usai dari sekolah, Eka merasa cukup lelah
namun hatinya hangat dan penuh. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sejenak
untuk beristirahat sebelum agenda berikutnya. Setibanya di rumah yang tenang,
ia merasakan kontras lagi dengan keriuhan sekolah tadi. Ia mungkin mengambil
jeda sejenak, duduk di sofa, menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan
rumahnya. Mungkin ia juga menyempatkan diri mandi untuk menyegarkan diri
setelah seharian beraktivitas di luar.
Di sore hari itu, Eka melaksanakan Sholat
Ashar pada waktunya. Usai sholat, ia mengambil ponselnya. Ia mengisi waktu
santai sejenak dengan melihat-lihat Instagram dan TikTok, menggulir linimasa,
melihat tren terbaru, atau sekadar berselancar tanpa tujuan. Ini adalah bagian
dari momen istirahatnya, transisi sebelum kembali ke aktivitas formal.
Setelah merasa cukup segar dan beristirahat,
Eka bersiap untuk kegiatan sorenya: pengajian. Untuk acara keagamaan ini, ia
melepas busana terusan birunya dan menggantinya dengan busana muslim yang lebih
tertutup dan syar'i, dilengkapi jilbab yang senada, sesuai dengan kekhusyukan
acara. Dalam hati, ia kembali memantapkan niat untuk hadir, mencari ilmu dan
ketenangan.
Eka tiba di lokasi pengajian. Ia hadir bukan
sebagai pembicara, melainkan sebagai bagian dari jama'ah. Mengenakan busana
muslim yang sopan dan syar'i, ia mencari tempat duduk di antara peserta
lainnya. Suasana hening dan khusyuk, dipenuhi lantunan ayat suci atau tausiyah.
Di tengah acara atau setelah selesai,
beberapa jama'ah mengenalinya. Dengan sopan dan penuh rasa hormat, mereka
menghampiri Eka. Salah satunya adalah Mbak Nur, yang wajahnya langsung berseri-seri
melihat Eka hadir di pengajian.
"Mbak Eka... Masya Allah. Saya penggemar
berat Mbak Eka. Tidak menyangka bisa bertemu di sini," ucap Mbak Nur,
suaranya pelan penuh kekaguman dan ta'dzim, seolah berhadapan dengan sosok yang
sangat ia hormati.
Eka tersenyum ramah. "Alhamdulillah,
Mbak Nur. Bisa bertemu di sini juga." Dialog mereka biasa saja, ramah dan
sopan, namun diwarnai rasa hormat yang mendalam dari Mbak Nur.
Dengan tulus dan tanpa ragu, Mbak Nur
mengulurkan tangannya, berniat mencium tangan Eka sebagai tanda penghormatan
yang mendalam di lingkungan yang religius ini.
Eka terkejut sejenak. Dengan lembut, ia
menarik tangannya, menolak niat Mbak Nur. "Astaghfirullah... jangan
begitu, Mbak. Saya bukan siapa-siapa di sini. Kita sama-sama jama'ah, sama-sama
belajar."
Meskipun Eka menolak dicium tangan, ia tidak
bisa mencegah beberapa jama'ah lain yang juga menghampirinya untuk menyalami
dengan sopan dan menundukkan badan sebagai bentuk penghormatan yang dalam.
Mereka membungkuk sekilas saat bersalaman atau berpapasan, sebuah gestur
ta'dzim yang menunjukkan betapa mereka menghargai Eka di luar persona
panggungnya. Eka menerima salam mereka dengan ramah, berusaha tetap merendah.
Momen itu terasa sangat menyentuh bagi Eka.
Ia melihat ketulusan dan kerendahan hati Mbak Nur dan jama'ah lainnya.
"Dicium tangan... ditundukkan badan...
Astaghfirullah. Aku merasa tidak pantas sama sekali menerima penghormatan
sedalam itu, apalagi di tempat mulia ini. Aku hanya pendosa yang berusaha
mencari ridho-Nya, berusaha menjadi lebih baik. Tapi melihat ada orang yang
begitu menghargai, begitu tulus menghormati... ini melebihi pujian di panggung.
Dulu, aku hanya merasa pantas dicaci. Sekarang, ada yang melihatku dengan
pandangan seperti ini. Aku terharu. Ini bukti bahwa Allah Maha
Membolak-balikkan hati. Aku bersyukur diberi kesempatan merasakan ketenangan di
tempat seperti ini, dan bertemu orang-orang baik yang menghargai aku lebih dari
sekadar penampil."
Eka dan Mbak Nur, serta jama'ah lain,
akhirnya berfoto bersama dengan senyum tulus. Di sekitar mereka, jama'ah lain
juga berinteraksi dengan Eka dengan sikap hormat dan santun. Suasana pengajian
memberikan kedamaian yang dalam, memperkuat fondasi spiritual Eka.
Usai dari pengajian, malam harinya, Eka
kembali ke 'dunia' yang lain. Ia pergi ke sebuah kafe atau restoran yang ramai
untuk membahas kontrak manggung dangdut berikutnya. Ia bertemu dengan Pak Budi,
seorang event organizer, Mas Rian, koordinator bandnya, dan Mbak Lia,
perwakilan venue. Sambutan mereka profesional namun tetap hangat, menunjukkan
rasa hormat mereka sebagai rekan bisnis utama mereka.
"Assalamualaikum, Mbak Eka. Terima kasih
sudah bersedia bertemu malam ini," sapa Pak Budi.
"Waalaikumsalam, Pak Budi, Mas Rian,
Mbak Lia. Sama-sama. Silakan duduk," balas Eka, ramah.
Mereka duduk di meja yang sudah dipesan.
Sebelum memulai pembahasan, Eka memantapkan niat dalam hati untuk kelancaran
dan keberkahan pertemuan ini. Diskusi kontrak manggung dimulai, bahasanya lugas
dan langsung ke pokoknya, layaknya negosiasi bisnis biasa. Jadwal, riders,
teknis panggung, hingga honor dibahas tuntas. Eka, tanpa manajer, mengurus
semua detail ini sendiri dengan cekatan.
"Ini sisi lain dari kehidupan 'Ratu
Goyang'. Sisi bisnisnya. Dunia panggung yang dulu mengundang begitu banyak
kritik. Tapi di sinilah aku bisa berdiri tegak sekarang, bisa menentukan
langkahku sendiri. Kontrak terus datang. Aku bersyukur masih diberi
kepercayaan, masih bisa tampil, menghibur banyak orang. Dulu rasanya sulit
membayangkan ini akan terus berjalan setelah semua yang dikatakan orang. Tapi
aku bertahan. Dan sekarang, aku tidak hanya bertahan, aku mengendalikan. Ini
buah dari perjuangan dan kemandirian itu."
Ia memimpin diskusi dengan percaya diri,
menunjukkan bahwa ia tidak hanya penampil di atas panggung, tapi juga pebisnis
yang cerdas di belakang layar, mengelola karier utamanya dengan tangan sendiri.
Hari yang panjang akhirnya sampai di
penghujung. Setelah menjalani berbagai peran dan berpindah-pindah lokasi, Eka
Fatmala tiba kembali di ruang pribadinya yang tenang. Ia mengganti busana, lalu
menjatuhkan diri di sofa atau kursi yang nyaman. Wajahnya terlihat lelah, namun
ada senyum tipis dan ekspresi ketenangan yang dalam di matanya. Ia memastikan
melaksanakan sholat Maghrib dan Isya pada waktunya, melengkapi kewajibannya.
Dari hamba Tuhan di dini hari, individu
membumi di pagi hari, model busana yang profesional, pebisnis yang cerdas,
sosok dermawan di sekolah, jama'ah pengajian yang tulus, hingga penampil
dangdut yang mengurus bisnisnya—semua peran itu ia jalani dalam satu hari.
Semua itu ia lakukan dengan kemandirian penuh. Lelah? Ya, tentu.
Lelah itu terasa nikmat, karena itu adalah
lelah yang ia pilih, lelah yang ia ciptakan sendiri. Di tengah keheningan ruang
pribadinya, jauh dari sorot lampu dan bisik-bisik dunia luar, Eka Fatmala
menikmati buah dari perjalanannya. Ia adalah bukti bahwa cacian bisa diubah
menjadi kekuatan, bahwa gemerlap panggung bisa bersanding dengan kedalaman
spiritual dan kehidupan yang terhormat. Semua itu ia capai dan ia pertahankan,
dengan kemandirian, ketenangan, dan rasa syukur yang tak henti-hentinya.