Episode 7 — Perempuan Berdaya, Bukan Diperdaya

Udara dini hari masih terasa dingin, menyelimuti rumah modern yang tenang. Sekitar pukul tiga pagi, jauh sebelum adzan Subuh berkumandang, Eka Fatmala sudah bersimpuh di atas sajadah. Ia baru saja menyelesaikan sholat malam. Di tangannya, Al-Quran terbuka. Matanya khusyuk menatap baris-baris ayat suci, menanti adzan Subuh berkumandang sebentar lagi. Kumandang adzan Subuh yang menggema, memberinya waktu untuk kembali bersimpuh kepada Sang Pencipta.

Di ruangan yang luas itu, di tempat yang hening, ia hanyalah Eka, seorang hamba yang mencari kedekatan dengan Sang Pencipta. Ponselnya tergeletak di meja samping, dalam mode pesawat. Ini adalah ritual pribadinya, waktu yang ia dedikasikan sepenuhnya untuk ketenangan jiwa, sumber kekuatan terbesarnya, terisolasi dari segala tuntutan dunia luar.

Mentari mulai menyapa, sinarnya masuk melalui jendela kamar yang tertutup tirai. Eka menyelesaikan ibadah pagi, termasuk Sholat Dhuha saat waktunya tiba. Rasa damai menyelimuti hatinya. Ia menikmati sarapan sederhana namun mengenyangkan – nasi goreng hangat, telur, kerupuk, ditemani teh lemon dan minuman paginya – dalam ketenangan rumahnya. Ponselnya masih dalam mode pesawat.

Ia memandang sarapannya, pandangannya menerawang sejenak, lalu tersenyum tipis. Pagi yang tenang seperti ini adalah kemewahan yang dulu terasa jauh.

"Dulu... sakitnya bukan main membaca atau mendengar mereka menghakimi. Rasanya semua usaha keras, semua cinta pada musik ini, hanya dilihat dari satu sisi sempit. Ada masa aku benar-benar goyah. Tapi alhamdulillah, entah kekuatan dari mana, aku terus diingatkan untuk bertahan. 'Kamu lebih kuat dari yang mereka kira'... Ya, alhamdulillah, ternyata benar."

Eka menghela napas pelan, senyumnya mengembang tulus.

"Sekarang... lihatlah. Aku masih berdiri. Masih bisa berkarya, tidak hanya di dangdut, tapi juga di bidang lain yang bahkan tak pernah terbayang dulu. Semua ini... kalau diingat dulu rasanya mustahil. Tapi ini nyata. Aku bisa mengatur semuanya sendiri, punya kendali atas hidupku, atas karierku. Itu memberiku rasa aman, rasa tenang yang mahal harganya. Aku sangat bersyukur."

Ia menikmati sarapannya, meresapi setiap suap dan teguk, dalam keheningan yang ia ciptakan sendiri, jauh dari notifikasi yang menunggu. Ini adalah benteng ketenangan pribadinya. Ia juga memastikan melaksanakan sholat-sholat fardhu pada waktunya, meski tidak selalu di awal waktu, sebagai fondasi pribadinya yang tak terpisahkan dari rutinitas hariannya.

Setelah semua urusan pagi di rumah, termasuk Sholat Dhuha, Eka bersiap. Ia mengenakan busana yang rapi dan santun namun tetap gaya, terusan panjang berwarna biru dengan motif abstrak putih yang ramai, rambut panjangnya ditata rapi tergerai, dan ia memakai sandal yang nyaman namun stylish. Ponselnya diaktifkan kembali. Notifikasi langsung masuk, menandakan hari yang padat telah menanti. Sebelum melangkah keluar pintu, dalam hati ia berucap, "Bismillah."

Tujuannya yang pertama: sebuah kafe atau restoran yang nyaman untuk pertemuan bisnis. Setibanya di sana, ia disambut oleh Ibu Indah, perwakilan dari sebuah brand busana atau MUA yang ingin mengajaknya bekerja sama sebagai model.

"Assalamualaikum, Ibu Indah," sapa Eka dengan senyum ramah. Ibu Indah menyambutnya dengan hangat, menjabat tangan Eka dan menunjukkan sikap hormat yang tulus. "Waalaikumsalam, Mbak Eka. Terima kasih banyak sudah bersedia meluangkan waktu," jawab Ibu Indah dengan suara sopan, jelas menghargai sosok di depannya.

Mereka duduk di meja yang sudah dipesan. Dokumen kontrak modelling terhampar di sana. Eka memulai dengan ucapan pembuka basa-basi biasa, lalu masuk ke inti pembahasan. Mereka membahas detail pekerjaan, konsep pemotretan busana MUA, dan nilai kontrak dengan profesionalisme. Dialog mengalir layaknya pertemuan bisnis biasa, efektif dan langsung pada pokoknya.

"Dulu dicaci karena penampilan, sekarang justru diminta tampil untuk busana. Ironi yang patut disyukuri. Pekerjaan ini memberiku kesempatan untuk menampilkan sisi yang berbeda, sisi yang lebih... 'anggun'. Aku bersyukur punya kesempatan ini, membuktikan bahwa aku bisa lebih dari yang mereka lihat dulu."

Usai pertemuan dengan Ibu Indah, Eka segera bertolak menuju sekolah anak usia dini. Ia tidak berganti busana terusan birunya, namun setibanya di sekolah, ia mengambil selembar jilbab polos dari tasnya di mobil dan mengenakannya dengan rapi, menutupi rambutnya. Di mobilnya juga tersimpan satu set mukena dan botol kecil berisi debu bersih untuk tayamum, perlengkapan darurat yang selalu ia siapkan untuk memastikan sholat fardhu bisa tetap dilaksanakan di mana pun ia berada, mengingat jadwalnya yang mobile.

Saat Eka melangkah masuk dengan terusan birunya dan jilbab yang terpasang rapi, sambutan hangat dan gembira langsung menyambutnya. Kepala sekolah, Ibu Guru Siti, serta guru-guru lain seperti Bapak Budi dan Ibu Lia, menyambut Eka dengan wajah ceria dan penuh rasa hormat. Sikap ta'dzim terlihat dari cara mereka menyambut, senyum tulus, dan ucapan terima kasih yang berulang.

"Selamat datang, Mbak Eka. Sungguh suatu kehormatan Mbak Eka bersedia datang ke sekolah kami," ujar Ibu Guru Siti, suaranya penuh apresiasi.

"Terima kasih kembali, Ibu. Senang sekali bisa berada di sini," jawab Eka. Sebelum memulai kegiatan, ia menarik napas sebentar, memantapkan niat.

Eka mulai berinteraksi dengan anak-anak. Mereka riuh rendah mengelilinginya. Ada Adi, anak lelaki lincah yang mengajaknya bicara, dan Clara, anak perempuan pemalu yang tiba-tiba memberikan gambar buatannya. Eka menerima gambar itu, matanya berkaca-kaca.

"Terima kasih, Cantik," ucap Eka, suaranya lembut, sambil mengelus kepala Clara.

Di sela-sela kebahagiaan itu, Ibu Lia mendekat. "Mbak Eka... ini momen bagus sekali ya. Andai Mbak Eka berkenan posting di Instagram atau TikTok, pasti jangkauannya luas sekali. Tapi... ah, tahu sendiri, untuk endorse ke Mbak Eka pasti butuh biaya besar ya," ujar Ibu Lia, buru-buru menambahkan bagian akhir dengan nada sungkan, seolah menyadari jarak finansial antara Eka dan lembaga pendidikan mereka.

Eka hanya tersenyum. Ia paham maksud Ibu Lia. Ia menyadari kondisi sekolah yang mungkin memiliki keterbatasan dana, dan ia membandingkannya dengan tarif endorse yang memang menjadi salah satu sumber penghasilannya.

"Benar juga... posting di Instagram atau TikTokku bisa sangat membantu mereka mengenalkan sekolah ini. Dan Ibu Guru itu... mereka mengira bayarannya pasti mahal. Padahal ini kan bukan endorse. Ini berbagi. Aku bersyukur bisa di sini, bisa merasakan ketulusan mereka. Membantu mereka dengan cara ini... itu hal kecil dibandingkan kebaikan yang kurasakan di sini."

Eka menghabiskan waktu di sana, berinteraksi, berbagi, dan berfoto bersama. Nanti, di lain waktu, secara diam-diam, ia akan memilih foto terbaik dari kunjungan ini dan mempostingnya di akun media sosial pribadinya, dengan caption yang tulus tentang kebahagiaannya berbagi dengan anak-anak dan apresiasinya pada para guru, tanpa menyebutkan apapun tentang endorsement berbayar. Ia melakukan itu sebagai bentuk berbagi yang lain, tulus dari hati, tak ternilai harganya. Ia juga memastikan melaksanakan Sholat Dzuhur pada waktunya, di sela-sela aktivitasnya atau segera setelahnya, memanfaatkan mukena dan debu tayamum di mobil jika diperlukan.

Usai dari sekolah, Eka merasa cukup lelah namun hatinya hangat dan penuh. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sejenak untuk beristirahat sebelum agenda berikutnya. Setibanya di rumah yang tenang, ia merasakan kontras lagi dengan keriuhan sekolah tadi. Ia mungkin mengambil jeda sejenak, duduk di sofa, menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan rumahnya. Mungkin ia juga menyempatkan diri mandi untuk menyegarkan diri setelah seharian beraktivitas di luar.

Di sore hari itu, Eka melaksanakan Sholat Ashar pada waktunya. Usai sholat, ia mengambil ponselnya. Ia mengisi waktu santai sejenak dengan melihat-lihat Instagram dan TikTok, menggulir linimasa, melihat tren terbaru, atau sekadar berselancar tanpa tujuan. Ini adalah bagian dari momen istirahatnya, transisi sebelum kembali ke aktivitas formal.

Setelah merasa cukup segar dan beristirahat, Eka bersiap untuk kegiatan sorenya: pengajian. Untuk acara keagamaan ini, ia melepas busana terusan birunya dan menggantinya dengan busana muslim yang lebih tertutup dan syar'i, dilengkapi jilbab yang senada, sesuai dengan kekhusyukan acara. Dalam hati, ia kembali memantapkan niat untuk hadir, mencari ilmu dan ketenangan.

Eka tiba di lokasi pengajian. Ia hadir bukan sebagai pembicara, melainkan sebagai bagian dari jama'ah. Mengenakan busana muslim yang sopan dan syar'i, ia mencari tempat duduk di antara peserta lainnya. Suasana hening dan khusyuk, dipenuhi lantunan ayat suci atau tausiyah.

Di tengah acara atau setelah selesai, beberapa jama'ah mengenalinya. Dengan sopan dan penuh rasa hormat, mereka menghampiri Eka. Salah satunya adalah Mbak Nur, yang wajahnya langsung berseri-seri melihat Eka hadir di pengajian.

"Mbak Eka... Masya Allah. Saya penggemar berat Mbak Eka. Tidak menyangka bisa bertemu di sini," ucap Mbak Nur, suaranya pelan penuh kekaguman dan ta'dzim, seolah berhadapan dengan sosok yang sangat ia hormati.

Eka tersenyum ramah. "Alhamdulillah, Mbak Nur. Bisa bertemu di sini juga." Dialog mereka biasa saja, ramah dan sopan, namun diwarnai rasa hormat yang mendalam dari Mbak Nur.

Dengan tulus dan tanpa ragu, Mbak Nur mengulurkan tangannya, berniat mencium tangan Eka sebagai tanda penghormatan yang mendalam di lingkungan yang religius ini.

Eka terkejut sejenak. Dengan lembut, ia menarik tangannya, menolak niat Mbak Nur. "Astaghfirullah... jangan begitu, Mbak. Saya bukan siapa-siapa di sini. Kita sama-sama jama'ah, sama-sama belajar."

Meskipun Eka menolak dicium tangan, ia tidak bisa mencegah beberapa jama'ah lain yang juga menghampirinya untuk menyalami dengan sopan dan menundukkan badan sebagai bentuk penghormatan yang dalam. Mereka membungkuk sekilas saat bersalaman atau berpapasan, sebuah gestur ta'dzim yang menunjukkan betapa mereka menghargai Eka di luar persona panggungnya. Eka menerima salam mereka dengan ramah, berusaha tetap merendah.

Momen itu terasa sangat menyentuh bagi Eka. Ia melihat ketulusan dan kerendahan hati Mbak Nur dan jama'ah lainnya.

"Dicium tangan... ditundukkan badan... Astaghfirullah. Aku merasa tidak pantas sama sekali menerima penghormatan sedalam itu, apalagi di tempat mulia ini. Aku hanya pendosa yang berusaha mencari ridho-Nya, berusaha menjadi lebih baik. Tapi melihat ada orang yang begitu menghargai, begitu tulus menghormati... ini melebihi pujian di panggung. Dulu, aku hanya merasa pantas dicaci. Sekarang, ada yang melihatku dengan pandangan seperti ini. Aku terharu. Ini bukti bahwa Allah Maha Membolak-balikkan hati. Aku bersyukur diberi kesempatan merasakan ketenangan di tempat seperti ini, dan bertemu orang-orang baik yang menghargai aku lebih dari sekadar penampil."

Eka dan Mbak Nur, serta jama'ah lain, akhirnya berfoto bersama dengan senyum tulus. Di sekitar mereka, jama'ah lain juga berinteraksi dengan Eka dengan sikap hormat dan santun. Suasana pengajian memberikan kedamaian yang dalam, memperkuat fondasi spiritual Eka.

Usai dari pengajian, malam harinya, Eka kembali ke 'dunia' yang lain. Ia pergi ke sebuah kafe atau restoran yang ramai untuk membahas kontrak manggung dangdut berikutnya. Ia bertemu dengan Pak Budi, seorang event organizer, Mas Rian, koordinator bandnya, dan Mbak Lia, perwakilan venue. Sambutan mereka profesional namun tetap hangat, menunjukkan rasa hormat mereka sebagai rekan bisnis utama mereka.

"Assalamualaikum, Mbak Eka. Terima kasih sudah bersedia bertemu malam ini," sapa Pak Budi.

"Waalaikumsalam, Pak Budi, Mas Rian, Mbak Lia. Sama-sama. Silakan duduk," balas Eka, ramah.

Mereka duduk di meja yang sudah dipesan. Sebelum memulai pembahasan, Eka memantapkan niat dalam hati untuk kelancaran dan keberkahan pertemuan ini. Diskusi kontrak manggung dimulai, bahasanya lugas dan langsung ke pokoknya, layaknya negosiasi bisnis biasa. Jadwal, riders, teknis panggung, hingga honor dibahas tuntas. Eka, tanpa manajer, mengurus semua detail ini sendiri dengan cekatan.

"Ini sisi lain dari kehidupan 'Ratu Goyang'. Sisi bisnisnya. Dunia panggung yang dulu mengundang begitu banyak kritik. Tapi di sinilah aku bisa berdiri tegak sekarang, bisa menentukan langkahku sendiri. Kontrak terus datang. Aku bersyukur masih diberi kepercayaan, masih bisa tampil, menghibur banyak orang. Dulu rasanya sulit membayangkan ini akan terus berjalan setelah semua yang dikatakan orang. Tapi aku bertahan. Dan sekarang, aku tidak hanya bertahan, aku mengendalikan. Ini buah dari perjuangan dan kemandirian itu."

Ia memimpin diskusi dengan percaya diri, menunjukkan bahwa ia tidak hanya penampil di atas panggung, tapi juga pebisnis yang cerdas di belakang layar, mengelola karier utamanya dengan tangan sendiri.

Hari yang panjang akhirnya sampai di penghujung. Setelah menjalani berbagai peran dan berpindah-pindah lokasi, Eka Fatmala tiba kembali di ruang pribadinya yang tenang. Ia mengganti busana, lalu menjatuhkan diri di sofa atau kursi yang nyaman. Wajahnya terlihat lelah, namun ada senyum tipis dan ekspresi ketenangan yang dalam di matanya. Ia memastikan melaksanakan sholat Maghrib dan Isya pada waktunya, melengkapi kewajibannya.

Dari hamba Tuhan di dini hari, individu membumi di pagi hari, model busana yang profesional, pebisnis yang cerdas, sosok dermawan di sekolah, jama'ah pengajian yang tulus, hingga penampil dangdut yang mengurus bisnisnya—semua peran itu ia jalani dalam satu hari. Semua itu ia lakukan dengan kemandirian penuh. Lelah? Ya, tentu.

Lelah itu terasa nikmat, karena itu adalah lelah yang ia pilih, lelah yang ia ciptakan sendiri. Di tengah keheningan ruang pribadinya, jauh dari sorot lampu dan bisik-bisik dunia luar, Eka Fatmala menikmati buah dari perjalanannya. Ia adalah bukti bahwa cacian bisa diubah menjadi kekuatan, bahwa gemerlap panggung bisa bersanding dengan kedalaman spiritual dan kehidupan yang terhormat. Semua itu ia capai dan ia pertahankan, dengan kemandirian, ketenangan, dan rasa syukur yang tak henti-hentinya.