Episode 6 — Kekuatan Dalam Kepanikan Malam

Di bawah naungan langit malam yang luas, di jantung Wonolopo, tepatnya di sebuah area yang disulap menjadi panggung utama di Kelurahan Gulurejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, ribuan penonton menunggu dalam antusiasme yang memuncak. Udara bersih dan segar terasa di tengah keramaian yang memadat, tanpa setetes hujan pun mengganggu kemeriahan, di bawah langit cerah bertabur bintang yang menjadi saksi. Getaran energi dari lautan manusia begitu nyata. Di sisi panggung yang temaram, Eka Fatmala merasakan gemuruh itu merambat ke dalam dirinya. Dia menarik napas, mempersiapkan diri.

Suara MC menggelegar, memecah alunan musik yang menghentak. "Hadirin sekalian di Wonolopo!" teriaknya penuh semangat. "Siap untuk penampilan yang takkan terlupakan?!" Sorakan penonton yang menggema menjadi jawabannya. "Malam ini, kita kedatangan tiga talenta luar biasa yang akan mengguncang panggung kita!" MC membangun ketegangan, jeda singkat, lalu meledak, "Mereka adalah... Rindy Antika, Yosa Yolanda, dan Eka Fatmalaaa!"

Tidak bergiliran, tetapi bersama-sama, tiga sosok melangkah dari balik panggung menuju pusat perhatian. Rindy Antika, dengan rok birunya yang memikat. Yosa Yolanda, memancarkan keceriaan dalam balutan kuningnya. Dan selangkah di depan keduanya, Eka Fatmala, anggun dalam gaun panggungnya yang membiaskan cahaya. Ketiganya berjalan bersama ke tengah sorot lampu, menjadi pusat ribuan pasang mata yang tertuju pada mereka.

Saat musik intro mereda dan MC menyerahkan kendali, tidak ada keraguan siapa yang akan memimpin. Begitu kaki Eka Fatmala menjejak kokoh di posisi sentral panggung, otoritas dan karismanya langsung terasa. Dengan senyum yang memancarkan keyakinan diri dan energi tulus, dia lah yang pertama kali mengarahkan pandangannya ke arah penonton yang memadat di depannya.

"Selamat malam Kulon Progooo!" suaranya lantang dan penuh kekuatan, memecah keheningan singkat setelah pengumuman MC. "Apa kabarrrr semuanyaaa?" Dia melambaikan tangan, gesturnya lebar dan hangat, menyapu seluruh area penonton. "Masih semangat goyang?!" Sorakan antusias yang lebih kencang dari sebelumnya membuktikan bahwa kendali panggung telah sepenuhnya berpindah ke tangannya. Rindy dan Yosa berdiri di sisinya, tersenyum, mengangguk, seolah memberi ruang bagi Eka untuk memimpin interaksi awal ini. Eka memegang mikrofon, bukan untuk segera bernyanyi, melainkan sebagai tongkat kendali komunikasi, siap mengarahkan jalannya pertunjukan.

Eka menarik napas sejenak, ekspresinya berubah sedikit lebih serius namun tetap hangat. "Alhamdulillah, terima kasih banyak atas sambutannya yang luar biasa!" Dia kemudian mengajak penonton, suaranya terdengar tulus melintasi area Lapangan Wonolopo. "Sebelum kita mulai goyang bareng malam ini, sebelum kita sama-sama terhibur, mari sejenak kita menundukkan kepala, kita berdoa bersama." Dia mengarahkan pandangannya ke atas, ke langit malam. "Kita berdoa agar acara kita dari awal sampai akhir selalu diberi kelancaran, semua yang ada di sini bisa pulang dengan hati senang dan terhibur. Terutama, kita doakan tuan rumah kita, yang punya hajat malam ini, semoga selalu diberi rezeki yang melimpah, berkah, dan semua yang hadir di lokasi ini juga selalu mendapat kebaikan dari Allah subhanahu wa ta'ala."

Sebuah momen hening sejenak menyelimuti, ribuan orang menundukkan kepala atau mengamininya dalam hati, mengikuti ajakan tulus sang biduan. Keheningan singkat menyelimuti Lapangan Wonolopo, terasa sakral di tengah riuhnya acara di bawah langit yang cerah. Setelah jeda singkat itu, Eka tersenyum kembali, senyumnya kembali cerah namun dengan kehangatan yang berbeda. "Dan ingat ya," tambahnya, suaranya kembali ceria namun dengan nada yang penuh makna, "kita bergoyang bersama, kita senang bersama, karena kita semua ini sama... sama-sama manusia." Pesan kesetaraan itu meluncur ringan di udara malam, menyentuh hati banyak penonton.

Eka tertawa kecil mendengar respon penonton, tawanya renyah dan menular. Pada momen ini, kekuatannya bukan hanya terletak pada vokalnya, tetapi pada kemampuannya untuk langsung terhubung secara emosional dan spiritual, membakar semangat, dan memimpin energi di atas panggung dan di antara penonton dengan pesan kebaikan dan kesetaraan. Di panggung Wonolopo inilah, Eka Fatmala menegaskan perannya sebagai bintang utama yang memiliki kedalaman, siap mengarahkan jalannya pertunjukan dengan energi panggung dan hati yang tulus.

Setelah momen hening yang khusyuk mengiringi doa, dan pesan kesetaraan yang hangat menyentuh hati penonton, Eka Fatmala kembali mengarahkan pandangannya ke depan dengan energi yang diperbarui. Senyumnya merekah, sorot matanya berbinar penuh semangat. Dia memegang mikrofon, bukan lagi untuk memimpin doa, tetapi untuk mengorkestrasi jalannya pertunjukan. Rindy Antika dan Yosa Yolanda berdiri di sisinya, siap menerima arahan.

Dengan suara yang terdengar mantap dan penuh percaya diri, Eka berbicara kepada penonton di hadapannya. "Baik, Kulon Progo! Sekarang saatnya kita panaskan panggung ini dengan alunan musik dangdut!" Dia memberi isyarat kecil kepada band di belakangnya, dan intro musik mulai mengalun. Eka menoleh sedikit ke arah Rindy Antika, senyumnya mengembang. "Dan untuk membuka penampilan musik kita malam ini, mari kita sambut dengan meriah... Biduan kita yang cantik, Rindy Antikaaa!" Eka melambaikan tangannya ke arah Rindy, mengundangnya untuk melangkah ke depan.

Rindy Antika maju ke tengah panggung, menerima sorakan dan tepuk tangan penonton. Eka melangkah sedikit ke samping, memberi ruang bagi Rindy untuk bersinar. Rindy mengambil alih mikrofon utamanya dan mulai menyanyikan lagu pertamanya. Dengan gaya vokalnya yang khas dan gerakan panggungnya yang lincah, Rindy berhasil menarik perhatian penonton. Energi yang telah dibangun Eka di awal kini diterjemahkan menjadi goyangan dan nyanyian bersama penonton yang menikmati penampilan Rindy.

Setelah Rindy menyelesaikan lagunya dan menerima tepuk tangan, Eka kembali melangkah ke depan, menempati posisi sentral lagi. Dia kembali mengambil alih kendali panggung dengan kehadirannya yang kuat. "Luar biasa Rindy Antikaaa!" seru Eka, mengapresiasi penampilan rekannya. Dia berinteraksi sejenak dengan penonton, memastikan semangat mereka tetap tinggi. "Masih mau lanjut goyang?!" Tentu saja penonton menjawab dengan riuh.

Eka tersenyum, lalu menoleh ke arah Yosa Yolanda yang sudah bersiap. "Oke! Kalau gitu, tanpa berlama-lama lagi, mari kita sambut biduan kita selanjutnya yang juga punya suara merdu dan goyangan asyik! Inilah diaaa... Yosa Yolandaaa!" Eka memberi isyarat kepada Yosa.

Yosa Yolanda maju ke tengah panggung, menyambut sambutan hangat. Musik pengiring untuk lagu solo keduanya mulai dimainkan, dan Yosa membawakan penampilannya dengan ceria dan energik. Gayanya yang ceria dan interaksinya dengan band membuat penonton tetap terhibur, melanjutkan momentum yang telah dibangun.

Setelah Yosa menyelesaikan penampilannya dan menerima apresiasi dari penonton, Eka Fatmala kembali ke posisi sentral di depan. Dengan aura kepemimpinan yang alami, dia mengambil alih panggung sekali lagi, siap untuk melanjutkan alur pertunjukan. Entah dia akan memperkenalkan dirinya sendiri untuk giliran solonya, atau mengatur transisi berikutnya, jelas bahwa dialah dirigen panggung malam itu, mengatur setiap pergerakan dan memastikan energi pertunjukan tetap mengalir kuat di Wonolopo di bawah langit yang cerah.

Setelah berhasil mengatur jalannya segmen dan memperkenalkan rekan-rekannya, kini saatnya Eka Fatmala memancarkan cahayanya dalam penampilan solo. Eka melangkah mantap ke tengah panggung, mengambil mikrofon. Sorot lampu kini sepenuhnya terfokus padanya. Ribuan pasang mata menatap penuh harap.

Di antara kerumunan yang berdesakan, bisik-bisik penuh antisipasi terdengar. "Nah, ini dia! Akhirnya Mbak Eka tampil!" seru seorang remaja putri kepada temannya, matanya berbinar. Di sudut lain, seorang bapak setengah baya mengangguk-angguk puas. "Sudah ditunggu-tunggu dari tadi. Pasti pecah ini," gumamnya. Ada sorakan kecil dan lambaian tangan yang ditujukan khusus padanya. Kebahagiaan tersulut di antara penonton karena bintang utama yang dinanti telah tiba gilirannya.

Eka tersenyum hangat melihat respon penonton. Dia menikmati momen apresiasi dan antisipasi itu. "Sudah siap bergoyang dan bernyanyi bersama saya, Kulon Progo?!" teriak Eka, suaranya penuh energi. "Untuk penampilan pertama saya malam ini..." Dia memberi jeda dramatis sejenak, membangun rasa ingin tahu. "...ini dia, sebuah lagu yang punya tempat spesial di hati banyak orang. Dari almarhum maestro kita..." Penonton sudah mulai bersorak, banyak yang sudah bisa menebak. "... inilah 'Taman Jurug'!"

Eka menarik napas sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih teduh, memancarkan rasa hormat. "Sebelum kita nyanyikan lagu ini," ucapnya, suaranya terdengar tulus dan penuh penghargaan, "mari kita sejenak mengirimkan doa untuk almarhum Bapak Didi Kempot, Sang Maestro, pencipta lagu luar biasa ini, yang karyanya selalu di hati kita semua." Dia menundukkan kepalanya sedikit, diikuti oleh sebagian besar penonton di hadapannya. "Kita bacakan Al-Fatihah untuk beliau... Al-Fatihah..."

Meskipun di tengah keramaian, ribuan orang yang hadir mengheningkan cipta, banyak yang bergumam membaca surat Al-Fatihah dalam hati atau lirih, sebuah momen spiritual kolektif yang dipimpin oleh Eka, menghubungkan panggung dan penonton dalam penghormatan pada seniman legendaris. Keheningan singkat menyelimuti Lapangan Wonolopo, terasa sakral di tengah riuhnya acara di bawah langit yang cerah.

Setelah jeda doa yang khusyuk itu, Eka kembali mengangkat pandangannya, senyumnya kembali cerah namun dengan kehangatan yang berbeda. Dia memberi isyarat kepada band, dan intro musik "Taman Jurug" yang familiar pun mengalun di udara, kini terasa sedikit lebih dalam setelah momen penghormatan tadi. Sebuah gelombang energi baru, bercampur haru dan semangat, menjalar dari panggung ke kerumunan. Eka mulai bernyanyi.

Dalam sorot lampu panggung yang temaram dan diwarnai sedikit efek asap atau kabut, Eka berdiri di tengah panggung, sosoknya terpahat jelas dalam balutan gaun panggungnya yang ketat, menonjolkan lekuk tubuhnya. Dia memegang mikrofon erat di salah satu tangan, sedikit mendongak atau menoleh ke samping, matanya mungkin terpejam sebagian atau menatap ke kejauhan saat dia menyanyikan lirik lagu "Taman Jurug".

Kekuatan vokal Eka terasa mengisi ruang, merdu namun penuh tenaga, menjiwai setiap kata dari lagu maestro Didi Kempot itu. Meskipun gerakannya mengalir mengikuti irama dangdut campursari, ada momen singkat di mana Eka merasa gaun ketat yang dikenakannya terasa kurang nyaman. Mungkin sedikit tertarik ke atas, atau terasa membatasi gerakan tertentu. Secara internal, ada sedikit rasa terganggu yang cepat muncul dan harus diatasi.

Namun, alih-alih terlihat canggung, Eka, dengan profesionalisme dan insting panggungnya, mengubah momen ketidaknyamanan itu menjadi bagian dari penampilan. Dia menyisipkan gerakan cepat dan halus dengan tangannya di sekitar pinggul atau bagian bawah gaun, seolah sedang membenarkan posisi pakaiannya, tetapi melakukannya dengan luwes, seolah itu adalah variasi dari goyangannya atau bagian dari ekspresi lagu. Dia mungkin memberikan senyuman atau kedipan mata ringan ke arah penonton saat melakukan gerakan itu, membuatnya terlihat seperti interaksi yang disengaja atau sentuhan genit pada koreografinya.

Di tengah penonton, seseorang berseru, "Wah, goyangnya Mbak Eka ada variasinya ya! Unik!" Yang lain menimpali sambil tertawa, "Heh, detail banget Mbak Eka kalau menghibur!" Mereka menangkap gerakan itu sebagai bagian dari penampilan yang menghibur, totalitas dari sang biduan.

Eka, dari atas panggung, melirik sekilas ke arah sumber suara itu, matanya menangkap reaksi positif penonton. Ada kilatan perasaan campur aduk di matanya. "Syukurlah, mereka nggak sadar," bisiknya dalam hati, ada rasa lega dan senang karena berhasil menutupi ketidaknyamanan itu, mengubahnya jadi hiburan. Tapi di saat yang sama, ada sedikit rasa malu yang menyelinap, senyumnya sedikit kaku sesaat. Malu karena momen yang terlihat luwes dan menghibur itu sebenarnya berakar dari rasa tidak nyaman, dari detail kecil pakaian yang mengganggu di tengah panggung. “Ah, dasar, harusnya lebih hati-hati tadi,” pikirnya lagi, cepat mengenyahkan perasaan itu.

Dia membawakan lagu tersebut dengan kekuatan vokal yang memukau dan energi yang tetap terjaga, dan momen penyesuaian pakaian itu berpadu begitu mulus ke dalam alur penampilannya. Tak seorang pun di antara ribuan penonton menyadari bahwa di balik gerakan luwes dan senyum kenesnya itu, Eka sebenarnya sedang mengatasi sedikit ketidaknyamanan dengan busananya. Bagi mereka, itu hanyalah bagian dari daya tarik dan energi panggung Eka Fatmala, sebuah variasi kecil yang menghibur.

Penonton larut dalam penampilan Eka membawakan "Taman Jurug". Banyak yang ikut bernyanyi, suara mereka bersatu dengan suara Eka dan musik. Ponsel tetap terangkat, mengabadikan momen penampilan bintang yang mereka tunggu. Sorakan, siulan, dan tepuk tangan terdengar di sela-selah lagu, menunjukkan betapa mereka menikmati penampilan Eka. Kebahagiaan karena akhirnya Eka tampil, ditambah dengan dibawakannya lagu populer yang familiar dan momen doa untuk penciptanya, menciptakan suasana yang sangat positif dan energik di panggung Wonolopo.

Saat lagu "Taman Jurug" selesai, gemuruh apresiasi meledak. Eka menerima tepuk tangan yang sangat meriah, bukti betapa penampilannya dinikmati. Napasnya mungkin sedikit memburu, tetapi senyum kemenangannya jelas. Dia telah berhasil memenuhi harapan penonton dan memancarkan kekuatannya di panggung melalui lagu klasik ini, sambil juga menunjukkan rasa hormat, sisi spiritualnya, dan kemampuannya menyembunyikan ketidaknyamanan pribadi demi hiburan. Setelah mengucapkan terima kasih singkat, dia bersiap untuk melanjutkan, tahu bahwa segmen penampilannya baru saja dimulai dengan sangat baik.

Setelah gemuruh apresiasi untuk "Taman Jurug" mereda, Eka Fatmala tersenyum, mengangguk penuh terima kasih kepada penonton. Di bawah langit Wonolopo yang cerah, tanpa setetes hujan pun mengganggu kemeriahan, dia kembali memegang kendali penuh atas alur pertunjukan. Eka melangkah sedikit ke samping, memberi isyarat kepada band.

"Luar biasa sekali sambutannya untuk lagu barusan!" seru Eka, suaranya terdengar renyah. "Tapi malam kita masih panjang! Masih banyak lagu dan goyangan menanti! Sekarang, kembali kita sambut dengan meriah... Rindy Antika!" Eka mengayunkan tangannya ke arah Rindy yang sudah bersiap di sisi panggung.

Rindy Antika kembali melangkah ke tengah panggung. Musik pengiring yang berbeda dari lagu sebelumnya mengalun, dan Rindy membawakan lagu solonya yang berikutnya dengan penuh semangat. Dia memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali menunjukkan gayanya dan berinteraksi dengan penonton, menambah warna pada pertunjukan.

Setelah Rindy menyelesaikan gilirannya, Eka Fatmala kembali mengambil alih pusat panggung dengan kehadirannya yang kuat. Dia menyapa penonton sejenak, menjaga energi tetap tinggi. "Wow! Semangatnya nggak luntur ya, Kulon Progo!" pujinya, membuat penonton bersorak lagi. "Nah, sekarang, sudah siap untuk goyang bareng Yosa Yolanda lagi?!"

Yosa Yolanda maju ke depan panggung, menyambut sambutan hangat. Musik untuk lagu solo keduanya mulai dimainkan, dan Yosa membawakan penampilannya dengan ceria dan energik. Gayanya yang ceria dan interaksinya dengan band membuat penonton tetap terhibur, melanjutkan momentum yang telah dibangun.

Setelah Yosa menyelesaikan lagunya, Eka Fatmala sekali lagi menempati posisi sentral. Dengan aura kepemimpinan yang alami, dia mengambil alih panggung kembali. Senyumnya yang bersemangat menyambut sorakan penonton yang tak henti-hentinya. Dia memberi isyarat kepada band, dan intro musik yang sangat dikenal pun mulai mengalun.

"Oke, siap buat bergoyang? Lagu ini request banyak orang katanya!" seru Eka dengan antusias. "Ini dia... buat kalian semua di Wonolopo malam ini... 'Bojo Biduan'!"

Eka memulai lagu. Suaranya yang kuat dan penuh energi langsung memenuhi area panggung. Dia membawakan beberapa baris awal lagu hits "Bojo Biduan" dengan goyangan khasnya yang dinamis, bergerak melintasi panggung. Penonton bersorak, energi mulai memuncak.

Namun, di tengah kemeriahan itu, saat Eka sedang aktif di panggung, ponsel yang digenggamnya di salah satu tangan bergetar. Panggilan masuk, lalu notifikasi chat WhatsApp beruntun. Eka melirik cepat, raut wajahnya yang bersemangat seketika menegang saat membaca pesan tentang Deva yang sedang demam tinggi. Dunia di sekelilingnya terasa melambat sesaat. Syok dan panik tiba-tiba menghantam di tengah irama dangdut yang riuh.

Dengan reaksi yang cepat dan intuitif di tengah kepanikannya, Eka mengarahkan mikrofonnya ke arah penonton. "Ayo, nyanyi bareng! Kalian semua hafal kan lagu ini?!" teriaknya, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya karena desakan emosi. Penonton, yang melihat gesturnya dan mendengar ajakannya, dengan antusias menyambut. Ribuan suara bersatu, mengambil alih lirik lagu "Bojo Biduan", mengisi kekosongan vokal utama di panggung.

Di barisan depan penonton, Maria menoleh pada Yana, matanya berbinar kaget sekaligus senang. "Ih, Mbak Eka nyuruh nyanyi bareng! Asyiiiik!" Yana mengangguk setuju sambil tertawa dan mulai ikut bernyanyi dengan semangat. "Gila! Totalitas banget nih malam ini!" Di sisi lain, Pak Budi tersenyum lebar sambil memegang ponselnya. "Wah, rezeki namanya ini, bisa nyanyi bareng idola," gumamnya sebelum ikut melantunkan lirik. Siti dan Aisyah berteriak kegirangan, "Nyanyiii! Nyanyiii!" sebelum tenggelam dalam paduan suara massal.

Sementara penonton di Lapangan Wonolopo bernyanyi bersama dengan semangat luar biasa, Eka Fatmala tetap di atas panggung, tetapi perhatian utamanya beralih ke ponsel di tangannya. Dia sibuk dengan WhatsApp. Di sisi panggung, Rindy Antika dan Yosa Yolanda menyaksikan dengan bingung. "Loh, Mbak Eka kenapa tuh?" bisik Yosa pada Rindy. Rindy mengerutkan dahi, matanya mengikuti gerakan Eka. "Nggak tahu... tumben banget nyuruh penonton nyanyiin full gini," balas Rindy, ada nada khawatir dalam suaranya.

Di tengah irama lagu yang dinyanyikan ribuan orang, Eka bergerak. Kepanikannya termanifestasi bukan dalam keheningan, melainkan dalam gerakan fisik yang tak biasa di atas panggung. Dia mulai mondar-mandir, langkahnya mungkin terasa sedikit gelisah, sambil tetap menggoyangkan pinggulnya dengan gerakan yang menjadi ciri khasnya, namun kini dilakukan dengan intensitas yang berbeda, sedikit gelisah. Beberapa kali, tanpa sadar, dia membelakangi penonton sejenak saat melirik ponselnya, fokus pada layar yang berisi berita yang menguncang batin.

Dari sisi panggung, Yosa dan Rindy semakin heran. "Kok goyangnya gitu ya?" bisik Yosa. Rindy mengangguk pelan. "Kayak... gelisah?" Kepanikan Eka yang diekspresikan melalui gerakan mondar-mandir yang agak gelisah dan goyangan pantatnya yang mungkin sedikit lebih intens atau tak beraturan ke arah penonton, justru ditangkap penonton sebagai bagian dari energi dan totalitas penampilannya. "Wih, goyangnya Mbak Eka malam ini beda ya! Tambah hot!" seru seorang penonton di tengah kerumunan, disambut tawa dan setuju dari teman-temannya.

Dalam bisikan lirih yang tak terdengar oleh siapapun di antara gemuruh suara penonton dan musik, Eka melafalkan doa sambil terus mondar-mandir dan bergoyang. Dia berbisik lirih mendoakan Deva, mengirimkan Al-Fatihah dari atas panggung. Jemarinya sibuk mengetik balasan di WhatsApp, berusaha menenangkan anggota keluarga yang mengirim chat, meyakinkan bahwa dia akan segera pulang ke rumah begitu urusannya di panggung selesai. Bersamaan dengan itu, dia juga memohon dalam hati kepada Allah agar suasana panggung dan penonton tetap terkendali, agar kepanikannya tidak merusak acara.

Ajaibnya, kepanikan Eka yang tak sengaja terekspresikan melalui gerakan fisiknya, dipadukan dengan euforia ribuan orang yang bernyanyi bersama lagu hits "Bojo Biduan", menciptakan sinergi yang unik. Suasana di Lapangan Wonolopo justru menjadi semakin hidup, meriah, dan tak terduga. Goyangan Eka yang tak biasa dan paduan suara massal penonton menciptakan puncak kemeriahan acara, di luar kendali sadar Eka.

Saat lagu "Bojo Biduan" mencapai puncaknya, vokal penonton semakin keras. Eka, meskipun masih merasakan getaran panik di dalam, harus dengan cepat mengambil alih mikrofon lagi untuk bagian akhir lagu atau transisi. Dia kembali ke mode penampil penuh, menyalurkan sisa energi dan profesionalismenya untuk menyelesaikan lagu, meskipun pikirannya sudah melayang ke tempat lain. Dari sisi panggung, Rindy dan Yosa saling pandang, ekspresi mereka bercampur kelegaan karena lagu selesai, kebingungan atas apa yang barusan terjadi, dan kekaguman pada Eka yang entah bagaimana berhasil melalui itu.

Proses rotasi penampilan solo antara Rindy, Yosa, dan Eka ini terus berlanjut di bawah kendali Eka. Setiap putaran menambah panas suasana di Lapangan Wonolopo yang cerah malam itu. Eka Fatmala, dengan kekuatan kepemimpinan dan penampilan solonya yang selalu memukau, termasuk saat berhasil melewati momen sulit di lagu "Bojo Biduan", tetap menjadi pusat perhatian, mengelola setiap transisi dan memastikan energi pertunjukan mencapai puncaknya, meskipun dengan perjuangan batin yang tersembunyi.

Setelah berhasil melewati momen penuh ketegangan saat membawakan "Bojo Biduan" dan kembali mengendalikan panggung untuk transisi berikutnya dalam rotasi penampilan, Eka Fatmala bersiap untuk membawakan lagu solonya yang lain. Senyumnya kembali terkembang di hadapan ribuan penonton yang antusias di Lapangan Wonolopo. Meskipun di permukaan dia tampak profesional dan penuh semangat, di dalam batinnya, gelombang syok dan kekhawatiran dari kabar demam tinggi putrinya, ditambah sisa rasa tidak nyaman dari pakaiannya, masih bergejolak.

Eka melangkah ke depan, memegang mikrofon. Dia memberi isyarat kepada band, dan intro melodi lagu "Dumes" yang familiar dan agak sendu namun memiliki beat yang kuat pun mengalun. Eka mengumumkan lagu tersebut dengan suara yang penuh semangat, menyembunyikan kekacauan dalam dirinya. "Oke, lagu berikutnya! Siap-siap baper tapi tetep goyang ya!" serunya, "Ini dia... 'Dumes'!"

Intro musik mulai bergulir. Eka belum langsung bernyanyi. Dia menggunakan jeda singkat sebelum vokal masuk untuk berinteraksi dengan penonton. Dengan mikrofon di satu tangan, dia mengulurkan tangan lainnya, menunjuk ke arah kerumunan di depannya. Matanya menatap lurus ke arah penonton, ekspresinya bersemangat dan penuh koneksi. "Mana suaranyaaaa Kulon Progooo?!" teriaknya, mengajak penonton untuk bersorak dan menunjukkan antusiasme mereka. Eka mengarahkan mikrofonnya sebentar ke arah penonton seolah ingin mendengar jawaban mereka, menciptakan momen partisipasi langsung. "Lebih keras lagi!" pancingnya sambil tersenyum lebar. Energinya pada momen interaksi ini sangat tinggi, menarik perhatian penuh dari setiap orang di Lapangan Wonolopo, mempersiapkan mereka untuk lagu berikutnya.

Saat sorakan penonton mencapai puncaknya, irama musik "Dumes" pun semakin kuat, dan Eka mulai bernyanyi. Suaranya tetap terdengar kuat dan merdu, sesuai dengan profesionalismenya. Namun, ketika musik masuk ke bagian yang lebih berirama dan mengundang goyangan, sesuatu yang berbeda terjadi. Energi dan kepanikan yang masih tertahan di dalam batinnya seolah menemukan jalannya keluar melalui gerakan fisiknya.

Eka mulai bergoyang mengikuti irama "Dumes". Goyangannya, terutama gerakan di bagian pinggul, menjadi sangat ekspresif dan intens. Dia memutar tubuhnya sedikit, menampilkan sisi punggungnya sejenak, menggerakkan pinggulnya dengan ritme yang mungkin terasa sedikit lebih kuat atau lebih lepas dari biasanya. Goyangan ini bukan hanya sekadar koreografi; itu adalah luapan emosi. Setiap gerakan pinggulnya, setiap liukan tubuhnya, untuk menyalurkan gelombang panik, kekhawatiran, dan ketidaknyamanan yang masih belum sepenuhnya reda di dalam dirinya. Ini adalah cara Eka, secara sadar, melepaskan ketegangan batinnya di tengah tuntutan untuk tetap tampil memukau.

Di sisi panggung, Rindy menoleh pada Yosa, alisnya terangkat sedikit. "Wah, goyangnya Mbak Eka 'Dumes' malam ini... beda ya?" bisiknya. Yosa mengangguk setuju, matanya terpaku pada Eka. "Iya, kok kayak... lebih kenceng gitu ya pinggulnya?" Rindy membalas, masih merasa ada sesuatu yang aneh setelah insiden "Bojo Biduan" tadi. "Lagi kerasukan apa dia?" bisiknya lagi, setengah bercanda namun dengan sedikit kebingungan nyata.

Sementara itu, di tengah penonton, mereka menangkap intensitas goyangannya sebagai bagian dari totalitas penampilannya. "Wih, goyangnya Mbak Eka 'Dumes' paling joss!" seru seorang penonton, terkesan. Temannya menimpali sambil ikut bergoyang. "Edan! Tenaganya nggak ada habisnya!" Di barisan lain, seorang bapak tersenyum geli melihat goyangan Eka yang unik malam itu. "Mbak Eka kalau udah nyanyi 'Dumes' memang lain ya," gumamnya pada diri sendiri. Mereka melihat energi yang meledak-ledak, gerakan yang kuat dan memikat, dan menafsirkannya sebagai demonstrasi luar biasa dari kekuatan panggung Eka, sama sekali tidak menyadari badai emosional yang sedang ia salurkan.

Namun, di tengah intensitas penampilan "Dumes" yang membara, rasa tidak nyaman pada gaun ketatnya kembali terasa. Mungkin kainnya bergeser, atau terasa menekan di bagian tertentu, menambah lapisan gangguan di tengah badai emosi karena berita sepupu. Sekilas, ekspresi Eka menunjukkan adanya usaha untuk mengatasi sesuatu yang tidak beres secara fisik.

Alih-alih berhenti atau melakukan gerakan perbaikan yang jelas, Eka menyalurkan ketidaknyamanan fisik itu, berpadu dengan gejolak emosionalnya, menjadi sebuah ekspresi vokal dan panggung yang luar biasa. Dia mendongak sedikit, kepalanya agak terangkat ke belakang, matanya terpejam sebagian atau menatap ke atas dan ke samping, mulutnya terbuka lebar menyanyikan lirik dengan nada tinggi penuh power. Tangan yang memegang mikrofon diangkat sedikit lebih tinggi, sementara tangan yang lain mengepal di sisi tubuh atau terangkat ringan di depan dada. Posturnya saat itu memancarkan kombinasi kekuatan vokal dan semacam pelepasan energi.

Di tengah penonton, melihat ekspresi dan postur Eka yang intens pada momen itu, bisik-bisik kagum terdengar. "Wow! Liat tuh ekspresinya Mbak Eka!" seru seorang penonton. "Gila! Kayak nyanyi dari hati banget!" sambung yang lain. Seorang bapak mengangguk-angguk setuju, "Nah, ini namanya menjiwai lagu! Sampai ekspresinya gitu!" Mereka menafsirkan penampilan Eka yang sarat gejolak batin dan ketidaknyamanan fisik itu sebagai demonstrasi penjiwaan mendalam terhadap lirik lagu "Dumes".

Eka melanjutkan lagu, menyalurkan segalanya—energi panggung, luapan emosi, ketidaknyamanan pakaian—ke dalam vokalnya yang powerful dan goyangannya yang intens. Kekuatannya terpancar dari kemampuannya mengubah segala rintangan internal dan eksternal menjadi bahan bakar untuk penampilannya yang memukau. Di mata penonton, dia hanyalah seorang biduan yang luar biasa totalitas, yang menjiwai setiap lagunya hingga ke inti.

Penonton, yang tidak menyadari pergolakan emosi Eka, justru menangkap intensitas goyangannya sebagai bagian dari totalitas penampilannya. Mereka melihat energi yang meledak-ledak, gerakan yang kuat dan memikat, dan menafsirkannya sebagai demonstrasi luar biasa dari kekuatan panggung Eka. Suasana di Lapangan Wonolopo semakin panas, musik dan goyangan "Dumes" yang intens menciptakan euforia yang besar, ironisnya didorong oleh emosi negatif yang sedang berusaha disalurkan oleh sang biduan, dan ketidaknyamanan fisik yang berhasil ia sembunyikan di balik ekspresi penjiwaan.

Eka menyelesaikan lagu "Dumes", dengan napas yang sedikit lebih berat, tidak hanya karena energi fisik yang dikeluarkan, tetapi juga karena pelepasan emosional yang terjadi melalui goyangannya. Dia menerima tepuk tangan dan sorakan yang meriah. Meskipun senyumnya terlihat profesional, di matanya mungkin ada sedikit kelelahan atau jejak dari badai yang baru saja ia salurkan melalui tariannya di panggung Wonolopo malam yang cerah itu. Dari sisi panggung, Rindy dan Yosa saling pandang lagi. "Gila ya Mbak Eka," kata Rindy, sedikit takjub. Yosa mengangguk, "Apa pun yang terjadi, di panggung dia tetep... wow."

Setelah menyalurkan sebagian gejolak batinnya melalui goyangan intens di lagu "Dumes", Eka Fatmala melanjutkan rotasi penampilannya di panggung Wonolopo yang cerah. Meskipun penampilannya di luar terlihat energik, di dalam hatinya berisik, rasa tidak nyaman karena gaunnya dan bayangan kecelakaan sepupunya masih membayangi, membuatnya merasa "serba tak nyaman" di balik senyum profesionalnya yang tersaji.

Eka Fatmala melangkah ke depan, siap untuk membawakan lagu solonya yang berikutnya. Musik intro yang sedikit berbeda dari lagu sebelumnya, namun tetap familiar di telinga penggemar dangdut, mulai mengalun. Itu adalah intro untuk lagu "Raiso Dadi Siji". Eka mengumumkan judul lagu dengan penuh semangat, mengundang sambutan dari penonton.

Saat intro musik berjalan dan bersiap memasuki bagian vokal, Eka tidak langsung mengambil nada untuk bernyanyi. Mungkin sebagai respons bawah sadar terhadap ketidaknyamanan fisik dan emosional yang masih menggantung, dia memulai penampilannya dengan goyangan terlebih dahulu. Pinggulnya mulai bergerak mengikuti irama lagu, mencoba menemukan kenyamanan dalam gerakan yang familiar itu sebelum vokalnya dimulai.

Penonton menyambut goyangan awal Eka dengan sorakan. Namun, ketika musik mencapai bagian di mana Eka seharusnya masuk dengan lirik pertama, terjadi jeda singkat. Sekilas kepanikan melintas di mata Eka—dia lupa liriknya. Pikirannya seolah kosong sejenak, terbagi antara tuntutan panggung dan kekhawatiran pribadi yang belum usai. Momen canggung itu hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi terasa seperti keabadian baginya.

Di tengah penonton, kebingungan singkat melintas. "Loh, kok diem?" bisik seorang penonton. Namun, sebagian besar penonton, yang sudah familiar dengan lagu ini dan terbiasa dengan interaksi Eka yang kerap mengajak bernyanyi bersama, dengan cepat mengartikan jeda itu sebagai kode. Mereka merasa harus peka kepada gerak-gerik Eka, idola pengendali hati mereka.

"Ayo, nyanyi bareng, Mbak Eka minta dinyanyiin!" teriak seorang penonton dari depan. Yang lain menyambut, "Hafal kok, Mbak!"

Penonton pun segera mengambil alih. Ribuan suara bersatu, mulai menyanyikan lirik pembuka lagu "Raiso Dadi Siji" dengan semangat luar biasa. Mereka melihat kelupaan sesaat Eka bukan sebagai kesalahan, melainkan sebagai isyarat baginya untuk ikut bernyanyi, sebuah momen partisipasi yang menyenangkan.

Di atas panggung, Eka tersentak mendengar suara ribuan penonton menyanyikan lirik lagunya. Sebuah gelombang lega yang luar biasa membanjiri dirinya. Dalam sepersekian detik, dia membuat keputusan. Biarkan mereka bernyanyi. Biarkan penonton mengambil alih panggung sejenak.

Sambil penonton bernyanyi dengan antusias, Eka tetap berada di tengah panggung, fokus pada goyangannya. Pinggulnya bergerak mengikuti irama lagu yang dibawakan penonton. Goyangannya kali ini mungkin terasa berbeda, bukan goyangan katarsis seperti "Dumes", melainkan goyangan yang memancarkan rasa syukur dan sedikit... geli. Dia melirik ke arah penonton, senyum tulus merekah di wajahnya—senyum yang memancarkan rasa lega, senang, dan sedikit... geli akan situasi itu.

Dalam hati, bisikan syukur tak henti-hentinya terucap. "Ya Allah... Alhamdulillah..." Pikirannya berpacu, kontras dengan musik dan suara ribuan orang yang bernyanyi. "Aku lupa lirik, panik, rasanya mau pingsan tadi... Tapi mereka... Ya Allah, mereka malah nyanyi! Mereka pikir ini kode! Haha..." Ada rasa tak percaya bercampur haru dan syukur. "Mereka nggak lihat panikku, nggak lihat kacaunya aku di dalam. Mereka malah terhibur, makin semangat karena bisa nyanyi bareng."

Eka terus menggelinjang bergoyang, gerakannya kini seolah merayakan kebaikan penonton dan keajaiban kecil di panggung itu. "Ini caranya Allah menolongku... di tengah badai emosi dan rasa nggak nyaman ini, aku malah bisa bikin mereka lebih seneng. Subhanallah..." Eka terus bergoyang mengikuti irama, tatapan matanya yang berbinar memancar ke arah penonton, senyumnya nyata, ekspresi wajahnya menunjukkan betapa dia menikmati momen itu, momen yang lahir dari kekacauan batin namun berbuah manis di panggung.

Penonton terus bernyanyi dengan semangat, menikmati momen langka di mana idola mereka membiarkan mereka menjadi bintang vokal sementara Eka menjadi bintang goyangan. Suasana di Lapangan Wonolopo semakin hidup, meriah, sebuah pesta dadakan yang dipicu oleh sebuah... kelupaan lirik.

Setelah menenangkan diri dan menemukan kembali benang merah lirik, Eka kembali bergabung dengan vokal penonton, menyanyikan lagu "Raiso Dadi Siji" bersama mereka. Energi panggungnya kembali mengalir penuh, kini diperkaya dengan rasa syukur dan kelegaan yang mendalam. Dia melanjutkan goyangannya, berinteraksi dengan penonton, penampilannya terasa sangat personal dan penuh makna setelah momen kerentanan yang tak sengaja itu.

Saat lagu "Raiso Dadi Siji" selesai, penonton memberikan tepuk tangan meriah, lebih untuk momen kebersamaan menyanyi bersama dan goyangan Eka yang unik, daripada sekadar penampilan vokal Eka. Eka menerima apresiasi itu dengan senyum tulus, tahu bahwa momen lupa lirik tadi justru menciptakan kenangan yang unik dan mempererat ikatannya dengan penggemar di Wonolopo malam itu, membuktikan sekali lagi kekuatannya dalam mengubah situasi tak terduga menjadi momen yang berharga.

Setelah menyelesaikan lagu "Raiso Dadi Siji", yang meninggalkan kesan unik berkat momen interaksi tak terduga yang lahir dari kelupaan lirik, Eka Fatmala berdiri di tengah panggung, menerima tepuk tangan meriah yang menunjukkan betapa penonton menikmati penampilannya, termasuk momen yang tidak terduga itu. Rasa lega dan syukur masih terasa di batinnya setelah melewati insiden lupa lirik, namun di luar, dia tetap profesional dan penuh karisma. Dia menatap ribuan wajah di hadapannya di Lapangan Wonolopo.

Eka menyapu pandangannya ke seluruh area penonton di bawah langit yang cerah. Dia melihat energi mereka yang luar biasa. Meskipun pertunjukan sudah berjalan cukup lama, antusiasme mereka tidak surut. Mereka masih bersemangat, tersenyum, siap untuk terus bergoyang. “Mereka luar biasa...” pikir Eka dalam hati, ada rasa kekaguman yang tulus, “Mereka sudah memberiku begitu banyak energi malam ini... Aku ingin memberikan sesuatu yang istimewa untuk mereka.”

Sebuah ide spontan muncul di benaknya. Sesuatu yang sedikit berbeda, sesuatu yang bisa menjadi hadiah kecil atas kesetiaan dan semangat penonton malam itu. Eka menoleh ke sisi panggung, di mana Rindy Antika dan Yosa Yolanda berdiri, siap untuk giliran mereka berikutnya dalam rotasi solo. Eka memberi isyarat kepada mereka, senyumnya mengembang penuh makna.

"Kulon Progoooo!" seru Eka kepada penonton, suaranya penuh semangat kejutan. "Malam ini kalian luar biasa sekali! Energi kalian bikin panggung ini makin panas!" Dia berhenti sejenak, membangun antisipasi. "Melihat semangat kalian, aku mau kasih hadiah nih!" Penonton bersorak penuh rasa ingin tahu. "Untuk lagu selanjutnya, aku mau minta dua biduan cantik dan berbakat ini untuk tampil spesial buat kalian! Beri tepuk tangan untuk... Duet Rindy Antika dan Yosa Yolanda membawakan lagu 'Bintang Pentas'!"

Penonton bersorak lebih kencang, menyambut pengumuman duet yang tak terduga itu. Rindy dan Yosa, mungkin sedikit terkejut dengan pengumuman mendadak Eka, namun dengan cepat profesional, melangkah maju ke tengah panggung, mendekat satu sama lain.

Musik intro lagu "Bintang Pentas" yang ceria mulai mengalun. Rindy Antika dan Yosa Yolanda, kini sebagai duet, mulai bernyanyi. Suara mereka berpadu dalam harmoni, membawakan lagu tersebut dengan energi yang segar. Mereka berinteraksi satu sama lain di atas panggung, berbagi mikrofon atau menyanyi bersahutan di bagian-bagian tertentu. Penampilan duet mereka memberikan nuansa yang berbeda dari penampilan solo sebelumnya, menambah variasi pada segmen ini.

Sementara Rindy dan Yosa tampil sebagai duet di bagian depan panggung, Eka Fatmala tidak ikut menyanyi. Dia tetap berada di atas panggung bersama mereka, memegang mikrofon namun tidak aktif bernyanyi. Peran Eka di momen ini adalah sebagai 'pemilik panggung' yang memberikan kesempatan, dan juga sebagai penonton pertama dari penampilan duet rekan-rekannya. Namun, tidak hanya itu. Melihat antusiasme penonton yang begitu besar, Eka memutuskan untuk memberikan hadiah personal tambahan.

Saat Rindy dan Yosa asyik membawakan "Bintang Pentas", Eka mulai bergerak. Dia berjalan perlahan di sepanjang area aman bibir panggung, menjangkau penonton di barisan paling depan. Ribuan penonton di area depan segera menyadari apa yang Eka lakukan, dan kegembiraan luar biasa meledak. Mereka berebut mengulurkan tangan mereka ke arah Eka, memohon sentuhan tangan dengannya. Mereka juga, menyodorkan ponsel mereka ke arah Eka, berharap idola mereka akan mengambilnya.

Eka, dengan senyum hangat, meraih acak ponsel-ponsel yang terulur. Dia memegang ponsel itu, mengarahkannya ke dirinya dan wajah penonton di sebelahnya, mengambil selfie cepat, lalu mengembalikan ponsel tersebut kepada pemiliknya. Ini adalah sesi foto dadakan yang penuh energi.

"Ya Allah! Hapenya aku dipegang Mbak Eka! Dipegang Mbak Ekaaa!" seru seorang penonton histeris, melihat ponselnya kembali setelah digunakan selfie oleh Eka. "Ada foto Mbak Eka di hapenya aku! Ada foto bareng!"

"Wah, berkah ini! Hapeku ada keringat Mbak Eka nih! Dapat berkah keringat bintang!" celetuk penonton lain dengan wajah berbinar penuh rasa takjub dan bahagia, menganggap momen itu sangat berharga.

"Aku fotooo! Aku dapat foto sama Mbak Ekaaaa!" teriak yang lain, wajahnya memerah saking senangnya. Di bagian belakang kerumunan, penonton yang tidak bisa menjangkau hanya bisa melihat dari jauh dengan penyesalan. "Yah! Nggak bisa maju nih! Mbak Eka foto-foto di depan!" sesal seorang penonton. "Tau gitu tadi nyelip ke depan!" timpal temannya.

Di panggung, saat bernyanyi, Rindy Antika melihat Eka berwara-wiri di depan panggung melakukan sesi foto dadakan. Rindy melihat antusiasme luar biasa penonton dan bagaimana Eka begitu luwes berinteraksi secara personal. Ekspresi Rindy menunjukkan campuran kekaguman pada daya tarik Eka yang begitu kuat, sekaligus sedikit rasa minder—menyanyikan lagu di panggung utama, tetapi perhatian penonton di depan justru teralih pada Eka yang sedang berfoto ria.

Sementara itu, Eka terus tersenyum dan berinteraksi, mengambil ponsel, ber-selfie cepat, dan mengembalikan. Dalam hati, dia merasakan kebahagiaan yang mendalam. "Ya Allah... mereka senang banget ya cuma gini aja?" pikirnya, suaranya penuh rasa tak percaya dan haru di batin. "Cuma pegang hape, fotoin diri sendiri sama mereka... Ini cara sepele banget..." Dia melihat wajah-wajah bahagia di depannya, mendengar seruan gembira mereka. "Tapi buat mereka... ini bermakna ya? Bermakna banget..."

Rasa syukur membanjiri hati Eka. "Alhamdulillah... caranya Allah bikin aku bisa berbagi, bikin mereka bahagia, padahal aku cuma melakukan hal yang... gampang. Aku bisa kasih mereka sesuatu yang berharga, bukan cuma lewat suara atau goyangan di tengah lagu, tapi lewat interaksi personal kayak gini." Kebahagiaannya tulus, melihat bagaimana tindakannya yang sederhana bisa menciptakan momen tak terlupakan bagi penggemarnya.

Saat Rindy dan Yosa menyelesaikan lagu "Bintang Pentas", sesi foto dadakan Eka pun ikut berakhir. Eka kembali ke tengah panggung, bergabung dengan Rindy dan Yosa. Ketiganya berdiri bersama, menjadi fokus perhatian ribuan penonton untuk terakhir kalinya di segmen ini.

Eka memegang mikrofon, senyumnya kini bercampur antara kelegaan, kelelahan, dan rasa syukur. Dia menatap penonton di hadapannya, matanya menyapu lautan wajah di Lapangan Wonolopo. "Kulon Progo yang luar biasa!" seru Eka, memulai salam penutupnya. Suaranya terdengar jelas dan tulus. "Terima kasih banyak atas energi dan sambutan kalian malam ini!"

Dia menarik napas sejenak, ekspresinya sedikit berubah menjadi lebih... rentan, namun tetap teguh. "Saya... atas nama pribadi, mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila penampilan saya malam ini... mungkin kurang maksimal," ucap Eka, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya, ada nada kerendahan hati yang jelas terasa. Pernyataan ini mengejutkan banyak orang, karena di mata penonton, dia luar biasa. "Saya mohon doanya juga," lanjut Eka, suaranya sedikit bergetar menahan emosi yang masih ada, "untuk putri saya... Deva, barusan mengalami sakit, badannya demam tinggi..."

Eka berhenti sejenak, matanya memancarkan ketulusan yang dalam. "Mari sejenak kita kirimkan doa untuk kesembuhan putri saya Kirana Deva Fatima..." ucapnya lirih. "Al-Fatihah...."

Begitu Eka mengucapkan kata tersebut, sebuah momen mengheningkan cipta terjadi di tengah Lapangan Wonolopo. Ribuan penonton, yang tadi riuh bergoyang, kini terdiam sejenak. Kepala-kepala menunduk, ribuan orang bergumam membaca surat Al-Fatihah dalam hati atau lirih, mengirimkan doa anak kecil yang bahkan tidak mereka kenal, murni atas permintaan idola mereka, bentuk penghormatan kepada keluarga idola. Suasana mendadak khusyuk, kontras dengan gemerlap panggung, menciptakan keheningan yang dalam di tengah keramaian, sebuah ikatan empati yang kuat antara panggung dan penonton, dipimpin oleh ketulusan Eka.

Di samping Eka, Rindy Antika dan Yosa Yolanda sontak terkejut dan terpaku mendengar ucapan Eka dan melihat respon penonton. Mata mereka melebar sedikit. Oh... jadi itu sebabnya dia tadi agak aneh di lagu "Bojo Biduan" dan "Dumes", pikir Rindy dan Yosa bersamaan, baru menyadari bahwa Eka sedang menghadapi sesuatu yang berat di balik profesionalismenya. Ekspresi mereka bercampur kekaguman pada kekuatan Eka yang bisa menyembunyikan itu selama ini, sekaligus kekhawatiran dan empati melihat kerentanan yang tulus. Mereka saling pandang, takjub pada rekannya yang bisa begitu profesional di tengah cobaan pribadi.

Setelah momen hening itu berlalu, penonton kembali mengangkat wajah, tetapi dengan ekspresi yang berbeda—campuran kekaguman dan simpati. "Mbak Eka nggak maksimal apanya? Edan gitu kok, padahal putrinya sakit pasti bikin panik!" seru seorang penonton, takjub. "Gila! Dari tadi nggak kelihatan sama sekali kalau lagi ada masalah!" timpal yang lain, saking kagumnya pada profesionalisme Eka. "Astaghfirullah... semoga putrinya cepat sembuh. Mbak Eka kuat banget ya..." Suasana kini dipenuhi bisik-bisik takjub akan ketangguhan Eka.

Eka memberi waktu sejenak bagi pesan itu meresap dan doa terpanjatkan, lalu kembali ke nada yang lebih kuat, menyelesaikan tugasnya sebagai pemimpin segmen. "Sekali lagi, terima kasih banyak untuk tuan rumah yang sudah punya hajat dan menyelenggarakan acara luar biasa ini," ucapnya penuh hormat. "Terima kasih untuk seluruh penonton di Wonolopo yang sangat energik!" Dia mengarahkan mikrofonnya ke arah tim band dan kru di panggung. "Terima kasih banyak untuk tim saya, band saya yang luar biasa!" Lalu menoleh ke Rindy dan Yosa. "Terima kasih juga untuk Rindy dan Yosa yang sudah tampil memukau!" Ketiganya saling tersenyum. "Sampai jumpa lagi di lain kesempatan! Kami pamit undur diri!" Eka menyelesaikan salam penutupnya dengan senyum dan lambaian tangan.

Eka Fatmala lalu ke tengah panggung, mengulurkan tangan kanan ke arah Rindy Antika, dan tangan kiri ke arah Yosa Yolanda. Ketiganya bergandengan bersama, membungkuk bersama seperti ajakan bahasa tubuh Eka, menerima gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai yang semakin meriah. Mereka melangkah bersama menuju sisi panggung, mengakhiri segmen penampilan mereka di hadapan ribuan penonton yang kini memiliki kekaguman baru yang mendalam pada sosok Eka Fatmala, bukan hanya sebagai biduan, tetapi sebagai individu yang kuat dan tulus.

Setelah turun dari panggung, ketiganya tidak langsung pulang. Mereka disambut oleh panitia acara di area backstage dan diarahkan menuju rumah tuan rumah acara yang tidak jauh dari lokasi panggung. Di sana, suasana lebih tenang. Mereka memasuki rumah, disambut dengan ramah oleh keluarga tuan rumah, dan dipersilakan untuk beristirahat sejenak sambil menikmati hidangan dan minuman yang disuguhkan, mengakhiri tugas mereka sebagai penampil di acara tersebut dan mengawali momen yang lebih personal di balik layar.