Episode 4 — Bahagia Bersama Menerima Kuasa

Di bawah naungan langit sore yang keabu-abuan, Lapangan Bendungan di Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah bertransformasi menjadi arena semarak. Hamparan rumput hijau yang biasanya terbuka kini diramaikan dengan struktur panggung kolosal yang menjulang, siap menjadi pusat perhatian. Karpet merah terhampar anggun dari tepi lapangan, memanjang lurus menuju anak tangga panggung utama, menciptakan jalur kehormatan yang disiapkan khusus untuk para tamu dan pengisi acara.

Di sekeliling area, tenda-tenda putih berjejer rapi di tepian, melengkapi penataan ruang yang dirancang untuk menyambut ribuan orang pada perhelatan akbar "Panen Hadiah Simpedes" persembahan Bank Rakyat Indonesia malam nanti. Suasana persiapan terasa kental, dengan para kru dan staf sibuk di posisi masing-masing, memastikan segalanya berjalan sesuai rencana di bawah langit yang sedikit muram oleh awan mendung.

Di tengah kesibukan yang mulai mereda itu, sebuah kehadiran menarik perhatian. Dari kejauhan, tampak siluet seorang perempuan melangkah di atas karpet merah. Semakin dekat, sosoknya kian jelas: Eka Fatmala, sang penyanyi dangdut yang dinanti. Ia tampil menawan, memancarkan aura yang akrab sekaligus memikat.

Eka Fatmala datang mengenakan atasan lengan panjang berwarna biru gelap brokat, dipadukan dengan bawahan pendek bermotif, serta sepatu hak tinggi berwarna krem atau emas.Langkahnya mantap, dan di bibirnya tersungging senyum yang tulus. Matanya menatap hangat ke sekeliling, melakukan kontak mata dengan orang-orang yang dikenalnya maupun yang baru dilihatnya. Sesekali, tangannya terangkat ringan, melambai ramah membalas sapaan atau sekadar menunjukkan keramahan. Ia tidak terburu-buru, menikmati setiap langkah di atas karpet merah yang membawanya semakin dekat ke panggung.

Saat Eka Fatmala melintas di dekat area panggung, beberapa kru dan teknisi yang tadinya sibuk dengan peralatan mereka sontak menghentikan pekerjaan. Ada jeda singkat dalam aktivitas mereka. Dengan gestur spontan yang menunjukkan rasa hormat dan pengakuan, tubuh mereka agak menunduk, seolah memberi salam. Gumuman pelan terdengar di antara mereka, "Mbak Eka...", "Sugeng rawuh, Mbak...", atau ungkapan sambutan hangat lainnya. Kehadiran Eka Fatmala sore itu bukan hanya sekadar kedatangan seorang penampil, tetapi layaknya percikan cahaya pertama yang menyinari persiapan yang sedang berlangsung, membawa serta antisipasi kemeriahan yang akan pecah di panggung nanti.

Meninggalkan karpet merah dan sapaan hormat para kru di bawah, Eka Fatmala melangkahkan kaki menaiki tangga panggung utama. Struktur kokoh yang sebelumnya hanya terlihat dari bawah kini terasa berbeda saat diinjak. Di atas panggung, beberapa teknisi dan personel band—semuanya lelaki—sudah bersiap di posisi masing-masing. Ada Mas Budi di belakang keyboard, Mas Toni dengan bass-nya, Mas Rahmat di balik drum, dan Mas Bayu sang teknisi monitor di sisi panggung. Di bawah langit yang masih menaungkan mendung sore, Eka mengambil mikrofon, merasakan bobotnya yang familiar di tangan. Sesaat sebelum memulai check sound yang terdengar jelas, Eka memejamkan mata sejenak. Dengan suara yang sangat lirih, hampir tak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri di tengah kebisingan persiapan, ia membisikkan ayat-ayat pembuka dari Surat al-Fatihah ke dalam mikrofon, sebuah permulaan personal yang hanya diketahui olehnya, permohonan kelancaran di balik layar persiapan.

Kemudian, Eka menyalakan mikrofon, suaranya terdengar jelas di speaker. "Cek... cek... satu dua tiga... dicoba ya..." Ia mulai melakukan pengecekan vokal dasar, menyesuaikan diri dengan akustik panggung.

Dari arah konsol FOH yang terletak di bawah panggung, terdengar suara seorang teknisi senior, Pak Slamet. "Oke, Mbak Eka. Suara vokal masuk bagus. Lanjut aja, Mbak!"

Band mulai memainkan intro singkat untuk menguji instrumen dan mix. Eka mendengarkan dengan saksama, sesekali memberi isyarat atau arahan kecil tentang level suara atau bagian instrumen tertentu kepada Mas Bayu.

Eka kemudian memberikan instruksi lebih detail tentang nuansa musik dan vokal yang diinginkannya, menjelaskan bagaimana ia ingin band mengiringinya. "Nanti feel-nya dibikin agak santai aja di awal, Mas-mas... tapi pas masuk reff nanti tenaganya dikeluarin ya!" katanya, menatap ke arah band dengan senyum. Ia menjelaskan bagaimana aransemen harus mendukung vokalnya, memberi ruang, tapi juga memberikan energi yang pas. "Tempo aman ya? Jangan ngebut, tapi jangan sampai loyo juga. Kita bawa enjoy tapi tetep power!"

Mas Budi, pemain keyboard, mengangguk cepat. "Oke, Mbak. Paham! Kita ikutin arahan Mbak Eka aja."

Mas Toni, sang basis, menimpali dengan suara rendah. "Siap, Mbak. Aman kok kalau temponya segitu. Nanti kita sesuaikan di panggung."

Mas Rahmat di drum juga memberikan isyarat jempol, tanda mengerti dan siap.

Seiring berjalangnya check sound dan jam yang semakin mendekati waktu Maghrib, Eka melirik arlojinya. "Oke, check sound cukup ya, udah oke semua kayaknya," katanya kepada tim di panggung dan Pak Slamet di FOH.

Lalu ia mengusulkan jeda penting, melihat ke arah timnya. "Sekarang kita istirahat dulu ya. Ada waktu buat sholat Maghrib, terus nanti sekalian makan bareng biar tetap semangat, habis itu sholat Isya sebelum kita mulai performance." Eka memastikan semua orang punya waktu rehat yang cukup, baik fisik maupun spiritual, sebelum menghadapi kerumunan penonton.

Mas Bayu, teknisi monitor di sisi panggung, menyahut santai namun perhatian. "Oke, Mbak Eka. Siap! Makasih diingetin, Mbak."

Di bawah panggung, Adi, salah satu kru, juga mengangguk dan berteriak ke atas. "Siap, Mbak Eka! Kita atur semua!"

Eka Fatmala tersenyum tipis, melihat timnya yang kooperatif dan sigap. Baginya, kesiapan tim secara lahir dan batin, termasuk memenuhi kewajiban spiritual dan fisik, adalah kunci kelancaran acara.

Ia menatap seluruh tim dengan serius namun hangat. "Intinya nanti malam kita bikin acara lancar, semua di panggung nyaman, dan yang paling penting..."

Eka menjeda sejenak, pandangannya menyapu area penonton yang masih kosong di bawah langit yang mulai memekat.

"...penonton pulang bahagia dan terhibur ya! Itu tujuan utama kita."

Pak Slamet dari konsol FOH berteriak kembali, suaranya bergema sedikit. "Siap Mbak Eka! Kita all out nanti!"

Mas Budi, Toni, Rahmat, dan Bayu di panggung juga mengangguk, beberapa bergumam mengiyakan. Di bawah langit sore yang perlahan mulai gelap, persiapan check sound ini bukan hanya gladi bersih teknis, melainkan juga penyamaan frekuensi, penguatan teamwork, dan penegasan tujuan bersama di bawah arahan Eka Fatmala yang dihormati dan didukung penuh oleh timnya. Bisikan doa di awal tadi, hanya Eka yang tahu, mengiringi setiap langkah menuju performa nanti.

Setelah sesi check sound yang krusial usai dan dirasa sempurna, aktivitas di panggung besar di Lapangan Bendungan untuk sementara mereda. Eka Fatmala dan timnya turun dari pentas. Ini adalah jeda krusial sebelum gemuruh acara "Panen Hadiah Simpedes" benar-benar dimulai. Untuk memastikan privasi dan kenyamanan bintang utama, Eka Fatmala memiliki tenda pribadi yang telah disiapkan khusus di area belakang panggung. Tenda tersebut dijaga di bagian luar oleh Adi dan beberapa personel kru lain yang bertugas, memastikan ia bisa beristirahat dengan tenang.

"Oke, Mbak, check sound aman ya?" sapa Mas Budi, pemain keyboard, saat mereka berjalan dari panggung.

Eka mengangguk. "Aman, Mas. Makasih ya udah dibantu. Sekarang waktunya kita isi energi."

"Siap, Mbak. Kita istirahat dulu ya di tenda," timpal Mas Toni, basis band.

Di dalam atau di dekat tenda pribadi Eka, tempat sholat yang bersih lengkap dengan seperangkat alat sholat telah disiapkan oleh tim panitia. Ketika azan Maghrib berkumandang, panggilan ibadah itu menjadi prioritas utama. Eka Fatmala, bersama Mas Budi, Mas Toni, Mas Rahmat, dan beberapa anggota tim lain yang beragama Islam, mengambil wudu. Mereka menuju area sholat yang sudah disiapkan dan menunaikan sholat Maghrib secara berjamaah, sebuah momen spiritual yang khusyuk di tengah riuhnya persiapan acara, menunjukkan ketaatan dan kebersamaan dalam menjalankan ajaran agama.

Setelah salam terakhir sholat Maghrib, suasana terasa lebih tenang sejenak.

"Alhamdulillah, lega rasanya," ujar Eka lirih, merapikan mukenanya.

Mas Rahmat, sang drummer, mengangguk setuju. "Nggih, Mbak. Kayaknya jadi lebih siap ya nanti."

Jeda waktu antara sholat Maghrib dan panggilan sholat Isya digunakan untuk mengisi kembali energi fisik. Eka Fatmala makan di jeda waktu ini, bergabung dengan beberapa anggota tim di area makan yang telah disediakan. Di sana tersaji berbagai pilihan menu makanan yang disuguhkan untuk mereka. Dengan gaya bersahaja, Eka Fatmala tampak menikmati santapan, makan dengan tangan langsung, lahap menikmati hidangan sederhana namun lezat yang tersedia, berbagi makanan dan tawa ringan dengan timnya.

"Gimana, Mbak, makanannya cocok?" tanya Adi, kru yang sempat berjaga di luar, kini ikut bergabung makan.

Eka tersenyum sambil mengunyah. "Enak, Di. Pas banget buat nambah tenaga nih."

"Alhamdulillah kalau cocok, Mbak. Sengaja kami siapkan yang kira-kira pas buat Mbak Eka sama teman-teman," sahut Adi, merasa senang.

Waktu terus bergulir, membawa mereka semakin dekat ke jam performance. Ketika azan Isya terdengar, kembali aktivitas fisik dihentikan. Eka Fatmala dan timnya yang beragama Islam kembali ke tempat sholat yang telah disiapkan. Bersama-sama, mereka menunaikan sholat Isya secara berjamaah, melengkapi kewajiban ibadah harian.

Usai sholat Isya, udara terasa berbeda. Ada energi baru yang mengalir.

"Oke, sholat Isya udah. Perut udah kenyang. Bismillah ya, Mas-mas, Di," kata Eka, suaranya penuh tekad. "Kita siap all out nanti di panggung!"

Mas Budi berdiri, merapikan pakaiannya. "Siap, Mbak Eka! Kami di belakang Mbak Eka!"

Adi dari arah area makan berteriak, "Semangat, Mbak! Penonton udah nggak sabar!"

Setelah jeda yang diisi dengan istirahat, ibadah, dan makan bersama ini, Eka Fatmala dan seluruh timnya benar-benar siap, baik secara teknis, fisik, maupun mental dan spiritual, untuk menghadapi ribuan penonton dan memberikan pertunjukan terbaik bagi ribuan penonton yang telah menanti.

Perlahan namun pasti, cahaya sore memudar, menyerahkan kekuasaan pada pekatnya malam. Di Lapangan Bendungan, kegelapan mulai menyelimuti area yang sebelumnya diterangi senja. Namun, dari tengah lapangan, sebuah transformasi dramatis dimulai. Lampu-lampu panggung yang tadinya hanya struktur baja kusam, kini hidup, memancarkan sorot warna-warni yang memukau. Merah, biru, hijau, ungu—cahaya itu menari di atas panggung, menerangi backdrop acara "Panen Hadiah Simpedes" BRI, mengubah panggung kolosal menjadi mercusuar cahaya di tengah kegelapan malam. Suasana seketika berubah total; dari kesibukan persiapan menjadi aura pertunjukan yang magis dan penuh janji.

Bersamaan dengan panggung yang bersinar, area di depan karpet merah dan panggung mulai dipadati. Kerumunan orang dari berbagai penjuru mulai berdatangan, mengisi ruang yang telah ditentukan di balik pembatas. Ribuan penonton dari berbagai usia dan latar belakang tumpah ruah, berdesakan dengan antusiasme yang terasa nyata. Mereka mengambil posisi terbaik, memegang ponsel di tangan, mengarahkan pandangan lurus ke arah panggung utama yang kini telah sepenuhnya menyala, pusat dari segala penantian mereka.

Di antara ribuan kepala yang memandang ke depan, terasa getaran energi yang membuncah—suasana antisipasi yang kental dan menular. Bisik-bisik kegembiraan, gelak tawa, dan percakapan ringan memenuhi udara, bercampur dengan alunan musik background yang diputar oleh sound system bertenaga. Semua orang menunggu, menanti momen tirai dibuka secara resmi, menanti kemunculan para pengisi acara, terutama bintang utama malam itu yang telah mereka nantikan.

Di tengah desakan kerumunan, Maria, seorang perempuan muda yang datang bersama temannya, menoleh dengan mata berbinar.

"Wah, udah penuh banget ya, Yan!" kata Maria kepada Yana, temannya yang berdiri di sebelahnya.

Yana mengangguk, senyum lebar terukir di wajahnya. "Iya nih, gila! Untung kita datang dari tadi sore. Nggak sabar banget lihat penampilan Eka Fatmala!"

Di sudut lain kerumunan yang lebih tenang, Pak Budi, seorang bapak setengah baya yang datang sendirian, berdiri sambil memegang kupon undian di tangannya. Dalam hati, ia bergumam penuh harap.

Semoga nanti namaku dipanggil buat doorprize utama. Lumayan banget buat nambah modal usaha kecil-kecilan di rumah.

Dua remaja putri yang mengenakan jilbab berwarna cerah, Siti dan Aisyah, berbisik-bisik penuh kegirangan, ponsel di tangan mereka sudah siap.

"Nanti kita foto yang banyak ya, Syah, kalau Mbak Eka keluar!" bisik Siti kepada Aisyah.

Aisyah mengangguk antusias. "Pasti dong! Kita live report di medsos! Semoga dia nyanyi lagu yang lagi viral itu, aku pengen joget!"

Atmosfer semakin memanas, energi antisipasi terasa di setiap sudut. Panggung telah siap dalam balutan cahaya yang memesona, penonton telah memadati arena hingga nyaris tak bersisa ruang kosong, dan di udara tergantung rasa tak sabar yang bercampur dengan kegembiraan yang tak tertahan. Lampu-lampu panggung semakin memperkuat aura pertunjukan, menjadi janji akan hiburan yang spektakuler yang sebentar lagi akan disajikan kepada ribuan mata yang menanti penuh harap di bawah naungan malam Lapangan Bendungan.

Di atas panggung yang kini bermandikan cahaya sorot, tim band dan teknisi telah mengambil posisi. Mas Budi duduk di belakang keyboardnya, Mas Toni siap dengan bass-nya, Mas Rahmat menggebuk pelan drum set, dan Mas Bayu mengecek monitor di sudut panggung. Suasana di panggung terasa campur aduk antara fokus profesional dan kegembiraan yang tertahan. Mereka tahu, sebentar lagi, energi ribuan penonton akan diarahkan ke sini, dan mereka adalah bagian integral dari mesin panggung yang akan beraksi.

Di sela-sela penantian, Mas Budi berbicara kepada Mas Toni di sebelahnya. "Nggak sabar ya, Mas. Selalu seru kalau udah nge-band sama Mbak Eka."

Mas Toni mengangguk setuju sambil memetik senar bassnya sebentar. "Iya, Mas. Energinya beda. Penontonnya juga biasanya totalitas. Mudah-mudahan lancar malam ini."

Di sisi panggung, Adi, salah satu kru, telah bersiap di dekat jalur yang akan dilewati Eka Fatmala. Ia memastikan area steril dan siap mengawal sang bintang. Di balik barikade penonton, ribuan mata tak henti menatap ke arah backstage atau sisi panggung tempat Eka diperkirakan akan muncul. Antisipasi memuncak.

Di tengah kerumunan, Maria berbisik kepada Yana. "Itu kayaknya Mbak Eka udah mau keluar deh! Udah siap-siap!"

Yana menahan napas, matanya tak berkedip. "Aaaak! Semoga bisa salaman atau minimal dapat tatapan mata!"

Pak Budi, si bapak setengah baya, merapatkan barisan, ponselnya sudah siap merekam. Kalau bisa dekat pas dia lewat, siapa tahu beruntung dapat foto bareng.

Siti dan Aisyah saling berpegangan tangan, melompat-lompat kecil di tempat. "Ayo Mbak Ekaaa! Kami di siniiii!"

Dan momen yang ditunggu pun tiba. Diiringi intro musik yang menghentak, Eka Fatmala muncul dari sisi panggung. Cahaya sorot langsung menimpanya. Gaun panggungnya berkelap-kelip, senyumnya merekah menyambut gemuruh sorak-sorai penonton yang meledak. Ia melangkah anggun ke tengah panggung, memancarkan energi yang langsung menyambar ribuan orang di depannya.

Eka berdiri di tengah panggung, mengambil mikrofon yang diserahkan Mas Bayu. Sebelum musik benar-benar mengiringi vokal utamanya, Eka Fatmala, sekali lagi, memejamkan mata sejenak. Lirih, begitu lirih hingga tak seorang pun di panggung maupun di antara penonton menyadarinya, ia membisikkan kalimat suci dari Surat al-Fatihah ke dalam mikrofon yang dipegangnya, sebuah ritual personal, memohon kelancaran dan berkah di awal performa.

Kemudian, musik mengalun lebih penuh, dan Eka Fatmala membuka mulutnya, menyanyikan lagu pertama. Ia memulai dengan lagu yang sangat populer di kalangan penonton, "Sayang". Energi dari panggung segera menyebar ke seluruh area. Penonton langsung berjoget, bernyanyi bersama, terbawa irama dangdut koplo yang dibawakan Eka dengan gayanya.

Namun, di tengah lirik dan melodi yang familiar, langit di atas Lapangan Bendungan menunjukkan kuasanya. Tiba-tiba, tirai air yang deras pecah. Hujan turun begitu lebat, nyaris tanpa aba-aba. Butiran-butiran air menghantam atap panggung dan mengguyur area terbuka di depannya dengan ganas. Suara gemuruh hujan seketika mendominasi, menyaingi sound system yang meraung.

Di panggung, Mas Budi sempat terperanjat. "Waduh, hujannya deres banget!" serunya, meskipun suaranya tenggelam oleh musik dan hujan.

Eka Fatmala sempat mendongak, merasakan tetesan hujan yang mulai mengenai panggung, namun ia tak berhenti. Dengan profesionalisme yang luar biasa, ia terus bernyanyi lagu "Sayang", menyesuaikan diri dengan kondisi yang tiba-tiba berubah drastis.

Setelah lagu "Sayang" selesai, sorak-sorai penonton terdengar meskipun teredam oleh suara hujan. Eka tersenyum lebar, melihat ribuan wajah di depannya yang masih bertahan di bawah guyuran air.

"Huaaa... hujan yaaa! Tapi kalian luar biasaaa! Masih semangat goyang?!" teriak Eka ke arah penonton, suaranya sedikit terangkat untuk mengimbangi suara hujan.

Dari kerumunan yang basah kuyup, terdengar sahutan penuh semangat. "Semangaat, Mbak Ekaaa!" "Goyaaang terusss!"

Tanpa menunggu lama, band Eka Fatmala langsung memainkan intro lagu kedua. Kali ini, Eka membawakan lagu "Cinta Terlarang". Irama yang sedikit berbeda, namun tetap mengundang penonton untuk bergoyang. Eka bergerak lincah di panggung, energinya seolah tidak terpengaruh oleh hujan yang terus mengguyurnya.

Di akhir lagu kedua, Eka kembali berinteraksi dengan penonton.

"Mantap! Meskipun hujan deres, kalian paling juwaraaa! Masih mau lanjut goyang sampai pagiiii?!" tanya Eka, suaranya terdengar ceria meski basah.

"Mauuuu!" sahut penonton serempak, menunjukkan kesetiaan mereka.

Performa Eka Fatmala telah dimulai dengan dramatis, di bawah guyuran hujan deras, tetapi koneksi antara panggung dan penonton justru terasa semakin kuat. Malam Panen Hadiah Simpedes BRI benar-benar dihidupkan oleh energi Eka Fatmala dan antusiasme ribuan penonton yang rela basah demi menyaksikan idolanya beraksi.

Di atas panggung yang basah dan licin, di bawah atap yang sedikit banyak memberi perlindungan namun tak sepenuhnya menahan percikan, hujan deras terus mengguyur, persis seperti yang dimulai di akhir lagu sebelumnya. Suara gemuruh air yang menghantam atap dan arena di depan panggung mendominasi, berpadu dengan beat musik yang masih mengalun. Di tengah kondisi ekstrem ini, Adi dan kru panggung lainnya tetap sigap, berlarian ke sana kemari, memastikan terpal-terpal hitam menutupi rapat peralatan elektronik yang rentan terhadap air. Kabel-kabel diperiksa ulang, speaker monitor dilap seadanya, usaha keras untuk menjaga pertunjukan tetap berjalan.

Berdiri di tengah panggung, diguyur gerimis halus yang tertiup angin di bawah atap, Eka Fatmala menatap lautan penonton di depannya yang kini sepenuhnya basah kuyup. Dalam hati, sebuah doa terucap lirih, tulus dari lubuk hatinya. Ya Allah, berilah kesehatan untuk mereka semua. Jangan biarkan mereka sakit karena hujan ini.

Di sela-sela lagu, Adi mendekat ke arah Eka, wajahnya terlihat khawatir.

"Mbak Eka, hujannya deres banget ini, Mbak. Gimana kalau kita jeda aja dulu? Biar MC aja yang ngisi interaksi sama penonton sebentar, sampai agak reda," tawar Adi, suaranya sedikit berteriak melawan deru hujan, menunjukkan kekhawatiran pada sang bintang.

Eka Fatmala menoleh, senyumnya tetap ada meski sedikit meredup oleh rintik di panggung. "Enggak, Di. Nggak perlu jeda." Suaranya mantap, jelas menunjukkan keputusannya untuk terus.

Adi mencoba lagi, kali ini sambil membuka payung yang ia pegang. "Atau ini, Mbak! Biar aku payungi aja ya, Mbak. Biar nggak kebasahan banget di panggung," tawarnya, niatnya murni untuk melindungi.

Eka menggeleng, menolak tawaran payung itu dengan lembut namun tegas, sambil tersenyum tipis. "Nggak usah, Di. Aku nggak apa-apa." Ia menatap ke arah penonton yang basah kuyup di depannya. "Penonton di depan itu rela hujan-hujanan demi lihat aku. Kalau aku di sini kering sendiri, rasanya kok nggak adil ya. Aku basah-basahan bareng mereka aja!" Penolakan itu adalah gestur empati yang tulus kepada ribuan penggemarnya.

Sementara itu, di tengah kerumunan yang basah, suara-suara penonton terdengar di sela deru hujan, menunjukkan betapa besar tekad mereka untuk bertahan.

"Basah kuyup sih, tapi nggak nyesel! Demi Mbak Eka!" seru Yana kepada Maria, rambutnya menempel di pipi.

Maria tertawa, air menetes dari ujung jilbabnya. "Iya! Kapan lagi nonton konser sambil mandi hujan bareng idola!"

Pak Budi, meskipun kuyup, tetap memegang ponselnya stabil. Nggak masalah hujan, yang penting bisa lihat Mbak Eka. Rugi kalau pulang.

Siti dan Aisyah berteriak kegirangan setiap kali Eka menatap ke arah mereka, melupakan dinginnya air hujan. "Mbak Ekaaa! Kami di sini! Kita rela hujan demi Mbak Ekaaa!"

Eka kembali menghadap bandnya, tekadnya semakin kuat oleh loyalitas penonton. Ia memberi isyarat kepada Mas Budi. "Mas Budi!"

"Nggih, Mbak?" sahut Mas Budi, siap menerima instruksi.

"Siap-siap lagu Hujan ya, Mas! Habis ini langsung kita sikat!" pinta Eka mendadak, memanfaatkan momen cuaca yang pas untuk menyelipkan lagu yang tak ada di daftar awal, menciptakan kejutan untuk penonton.

Mas Budi tersenyum lebar, mengangguk. "Wah, ide bagus, Mbak! Siap! Kode aja nanti dari Mbak Eka ya!"

Dengan semangat yang membara dan hati yang terhubung dengan ribuan penggemar yang basah kuyup, Eka Fatmala kembali ke tengah panggung. Mengabaikan guyuran hujan yang terus mengguyurnya, ia mengisyaratkan band untuk memainkan lagu berikutnya. Mengingat interaksi terakhirnya tentang "goyang sampai pagi", ia meluncurkan lagu "Pergi Pagi Pulang Pagi" dengan energi yang meledak-ledak. Suaranya tetap lantang, gerakannya lincah, berpadu dengan irama musik yang menggelegar. Ia menari dan bernyanyi di bawah guyuran hujan, menjadi pusat perhatian ribuan penonton yang juga basah kuyup, namun semakin bersemangat melihat totalitas dan empati idolanya. Penampilan di tengah hujan deras ini bukan lagi sekadar konser, melainkan pengalaman kolektif yang tak terlupakan, yang mengikat erat sang bintang dengan para penggemar setianya.

Eka Fatmala menyelesaikan lagu "Pergi Pagi Pulang Pagi" dengan power yang luar biasa, nafasnya sedikit terengah namun matanya memancarkan energi murni. Air hujan menetes dari rambut dan pakaiannya, namun senyumnya tak pudar. Gemuruh tepuk tangan dan sorakan penonton menyambut akhir lagu, bercampur dengan suara hujan yang tak kunjung reda.

Eka melangkah sedikit ke depan panggung, menatap ribuan wajah yang basah kuyup di depannya. Ia mengangkat mikrofonnya tinggi-tinggi.

"Kalian luar biasaaa! Banjir begini, hujan sederas ini, tapi kalian tetep di siniii! Tetep goyang bareng akuu!" seru Eka, suaranya terdengar tulus penuh penghargaan. Energi apresiasi itu memancar dari panggung ke kerumunan.

"Aku salut banget sama kalian! Sebagai hadiah buat kalian yang setia, aku mau kasih lagu spesial yang pas banget sama cuaca kita malam ini," lanjut Eka, senyumnya makin lebar, menciptakan antisipasi baru di antara penonton. "Ini dia... buat kalian semua yang rela hujan-hujanan demi Panen Hadiah Simpedes dan demi aku... lagu Hujan!"

Band Eka Fatmala segera menangkap isyaratnya. Irama ceria dangdut berganti. Melodi piano yang familiar, sedikit sendu namun menenangkan, mengalun di udara, kontras dengan deru hujan yang masih sama kuatnya. Eka mulai menyanyikan lirik pembuka lagu "Hujan" milik Utopia. Suaranya yang biasanya bertenaga dalam irama cepat, kini terdengar lebih lembut, meresapi setiap kata yang berbicara tentang rintik dan kenangan. Dan luar biasa, ribuan penonton di depan panggung—meskipun basah kuyup—ikut bernyanyi. Mereka hapal liriknya, dan suara mereka yang bersatu menciptakan paduan suara massal yang mengharukan di bawah guyuran hujan.

Setelah melodi sendu "Hujan" usai, meninggalkan jejak haru dan kebersamaan di udara yang basah, suasana di Lapangan Bendungan terasa begitu intim meskipun dihadiri ribuan orang. Deru hujan masih sama kuatnya, membasahi semua yang ada di luar area beratap panggung. Eka Fatmala berdiri di tengah panggung, menatap ribuan wajah yang basah kuyup namun memancarkan kekaguman dan apresiasi.

Eka kembali mengangkat mikrofonnya, suaranya terdengar jelas, penuh kehangatan. "Gimana? Lagunya pas banget ya sama malam ini?" Ia tersenyum, senyum yang tulus, memancarkan aura positifnya di tengah panggung yang terang benderang. "Jangan kecewa lho hujan. Hujan itu berkah, rezeki dari Langit. Yang ngasih hujan itu Allah subhanahu wa ta'ala. Ini kuasa Allah, dan kita sebagai manusia, yang penting menerima kuasa-Nya, mensyukuri, dan menikmatinya!" Pesan itu meluncur begitu saja, tulus dari hati, merangkum ketaatan dan filosofi hidup di tengah cuaca yang menantang.

Di tengah kerumunan, beberapa penonton mengangguk-angguk, terkesan dengan apa yang disampaikan Eka, terpaku oleh cahaya panggung yang menyorot Eka dan cahaya (konotatif) dari ketulusan pesannya.

Pak Budi bergumam dalam hati, Betul juga. Ada hikmahnya hujan ini. Jadi teringat tanah di kampung butuh air. Mbak Eka ngomong gitu jadi bikin adem hati.

Maria berbisik kepada Yana, "Wow, Mbak Eka nggak cuma jago nyanyi ya, pesannya dalem juga!"

Yana mengangguk, "Iya, keren! Nggak nyangka bisa dengar pesan kayak gitu di konser dangdut. Beda banget ya dia."

Siti dan Aisyah saling pandang, mata mereka memancarkan kekaguman baru pada idola mereka. Mbak Eka ngingetin kita buat selalu bersyukur, pikir Siti.

Setelah momen refleksi singkat itu, energi di panggung kembali beralih. Eka Fatmala bersiap untuk lagu terakhirnya, lagu yang paling ditunggu-tunggu untuk berpesta. Namun, ia memberikan pesan penutup yang relevan dengan konteks acara "Panen Hadiah Simpedes" dan rezeki yang didapat, mengaitkannya dengan semangat positif.

Eka kembali berbicara ke penonton, suaranya kini lebih bersemangat namun tetap ada pesan di dalamnya. "Okeee! Lagu terakhir nih! Tapi sebelum itu, aku mau ngingetin kita semua..." ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah basah di depannya. "Apapun rezeki yang kita dapat, dari Allah, dari hasil kerja keras, dari hadiah Panen Hadiah Simpedes ini, ayo kita gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat yaaa!" Pesan itu meluncur, seruan untuk kebaikan di tengah euforia, menjadi jembatan menuju beat paling menghentak malam itu.

Band Eka Fatmala langsung menangkap isyarat. Intro lagu "Oplosan" yang familiar menggema, seketika membakar semangat ribuan penonton yang telah menunggu. Eka Fatmala bertransformasi sepenuhnya. Ia sangat enerjik dan lepas membawakan lagu ini, berjingkrak dan bergoyang dengan gerakan khasnya, seolah air hujan justru menambah energinya. Ia bergerak ke setiap sudut panggung, tak hanya di tengah, mendekat ke sisi kanan dan kiri, bahkan menghampiri bibir panggung yang paling dekat dengan penonton, menari dan berinteraksi langsung di bawah cahaya panggung yang mengikutinya.

Kerumunan penonton larut sepenuhnya dalam melodi dan goyangan Eka. Mereka bernyanyi, berjoget, melompat, energi mereka seperti tak terbatas meskipun basah kuyup, terpaku pada cahaya panggung yang menyinari Eka dan cahaya (konotatif) dari pesonanya yang memancar kuat. Teriakan histeris terdengar dari berbagai sudut area penonton, ekspresi kegembiraan dan pelepasan yang luar biasa, semua mata tertuju pada sumber energi di atas panggung.

Di tengah histeria massal itu, pemandangan yang tercipta sungguh memukau, bukan dari cahaya ponsel yang berpendar, melainkan dari fokus tunggal ribuan pasang mata pada cahaya panggung yang menyinari Eka Fatmala. dialah sumber cahaya (konotatif) yang menarik mereka, memancarkan karisma dan energi yang mengalahkan dinginnya hujan. Interaksi energi terasa begitu kuat, mengalir dari panggung yang terang ke kerumunan yang gelap dan basah, diikat oleh melodi yang menghentak dan kharisma sang bintang.

Momen ini menjadi klimaks malam itu, perpaduan cahaya panggung yang menerangi performa Eka Fatmala dan cahaya (konotatif) pribadinya yang berhasil membakar semangat ribuan penonton di tengah badai. Panen Hadiah Simpedes malam itu bukan hanya tentang hadiah, tetapi tentang koneksi unik antara bintang dan penggemar yang tercipta di bawah guyuran hujan, didorong oleh energi panggung dan pesona Eka Fatmala yang tak padam.

Lagu "Oplosan" mencapai puncaknya. Eka Fatmala mencurahkan seluruh sisa energinya, bergerak lincah melintasi panggung, goyangannya semakin lepas, suaranya tetap menggelegar di tengah beat yang hingar-bingar dan deru hujan yang tak kunjung reda. Ribuan penonton di depannya, basah kuyup namun bersemangat luar biasa, mengikuti setiap gerakannya, sorakan mereka memekakkan telinga. Ini adalah puncak dari malam yang penuh tantangan, demonstrasi kekuatan seorang penampil dan antusiasme penggemar setianya yang tak tergoyahkan oleh badai.

Saat melodi terakhir "Oplosan" perlahan memudar, meninggalkan gema sorak-sorai dan deru hujan, Eka Fatmala berdiri di tengah panggung. Cahaya sorot masih teruju padanya, menyoroti sosoknya yang basah namun memancarkan kepuasan mendalam. Dalam hati, sebuah ucapan syukur yang tulus terucap. Alhamdulillah... Ya Allah, terima kasih aku bisa menghibur mereka malam ini. Terima kasih acara ini lancar sampai akhir.

Eka kembali memegang mikrofon, senyumnya lebar, napasnya sedikit memburu karena performance yang intens. Ia mengarahkan pandangannya ke seluruh area penonton.

"Terima kasih banyaaak untuk kalian semua yang udah dateng malam ini!" seru Eka, suaranya penuh apresiasi. "Terima kasih udah rela hujan-hujanan bareng aku di sini! Kalian luar biasaaa!" Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, mendoakan para penggemarnya. "Semoga kalian semua pulangnya selamat, nggak ada yang sakit yaaa! Semoga sehat selalu dan rezekinya lancar!"

Setelah memberikan salam penutup resminya dari tengah panggung, sebuah dorongan spontan muncul dalam diri Eka Fatmala. Mengabaikan protokoler dan kondisi panggung yang licin, ia berinisiatif berjalan dari tengah mendekati bibir panggung yang paling depan, sedekat mungkin dengan barisan penonton. Ia ingin menyapa mereka secara langsung, memberikan sentuhan personal di akhir malam yang berkesan.

Melihat gerakan tak terduga Eka yang berjalan menuju pinggir panggung, kru panggung yang bertugas spontan agak panik. "Waduh! Minggir, Minggir!" seru Adi dari bawah panggung. Mereka segera menyiapkan pengawalan dan beberapa payung tambahan, bersiap bergerak cepat untuk melindungi dan mengawal Eka jika ia benar-benar berinteraksi langsung di tepi panggung yang rentan dan basah.

Namun, Eka Fatmala terus berjalan. Matanya tertuju pada wajah-wajah antusias di barisan paling depan. Ia seolah mengabaikan kepanikan halus kru, fokusnya sepenuhnya pada keinginan untuk menyapa mereka yang paling setia dan terdepan. Saat Eka tiba di tepi panggung, hanya terhalang sedikit jarak dari penonton, antusiasme di barisan depan meledak menjadi euforia.

"Mbak Ekaaa!" "Sini, Mbak!" Penonton di barisan paling depan berebut mengulurkan tangan, berharap bisa menyentuh dan menyalami sang idola. Baik penonton lelaki maupun perempuan mengulurkan tangan mereka. Dengan ramah dan penuh senyum, Eka membalas uluran tangan itu, berjabat tangan singkat dengan beberapa penggemar yang bisa ia jangkau. Terlihat beberapa penonton, baik lelaki maupun perempuan, dengan penuh kebahagiaan mencium punggung tangan Eka saat bersalaman, sebuah ekspresi kekaguman dan rasa hormat yang mendalam. Wajah-wajah mereka memancarkan kebahagiaan luar biasa, penantian dan hujan deras terasa terbayar lunas di momen singkat itu.

Di belakang barisan depan, penonton yang tidak bisa menjangkau Eka merasa sedikit menyesal dan kecewa.

"Yah, nggak bisa salaman deh," keluh Yana, sedikit lesu.

Maria menghela napas. "Iya nih, padahal udah di depan tadi, tapi nggak nyampe tangannya!"

Pak Budi hanya bisa menatap dari jauh, Ya sudahlah, memang rezekinya yang di depan saja. Yang penting sudah lihat langsung.

Siti dan Aisyah berpandangan, sedikit sedih tak bisa bersalaman, tapi tetap senang bisa melihat Eka dari dekat. "Nggak apa-apa deh, Syah, yang penting udah lihat langsung. Nanti kita cari fotonya aja."

Sementara itu, di atas panggung, anggota band dan tim teknis menyaksikan interaksi Eka yang mengharukan dengan penonton dari posisi mereka. Ada rasa bangga yang terpancar.

Mas Budi tersenyum lebar, mengacungkan jempol kepada Mas Toni. "Mbak Eka emang top ya. Nggak jaim sama penontonnya. Sampai nyamperin gitu."

Mas Bayu, teknisi monitor, mengangguk setuju. "Iya, Mas. Totalitas banget. Bangga jadi timnya. Malam basah yang nggak terlupakan."

Pak Slamet dari konsol FOH tersenyum sambil membereskan peralatannya. "Acara lancar, penonton seneng, bintangnya juga totalitas. Tugas kami selesai dengan baik berkat power-nya Mbak Eka dan semangat penonton."

Setelah momen singkat di tepi panggung, Eka Fatmala melangkah kembali ke tengah, lalu menuju tangga panggung diiringi sorak-sorai penonton yang masih tersisa. Di atas panggung yang basah, ia menyalami satu per satu anggota band dan tim teknisnya yang telah berjuang bersamanya di tengah badai.

"Makasih banyak ya, Mas Budi, Mas Toni, Mas Rahmat, Mas Bayu, Pak Slamet! Kalian luar biasa!" ujar Eka penuh penghargaan, menjabat erat tangan mereka.

Mas Budi tersenyum lebar. "Sami-sami, Mbak. Justru kami yang bangga bisa ngiringi Mbak Eka!"

"Mbak Eka juga fighter banget!" tambah Mas Toni.

Mas Rahmat mengangguk setuju. "Totalitas, Mbak!"

Setelah menyalami tim utamanya di panggung, Eka turun. Ia menyempatkan diri menyapa beberapa kru panggung lainnya yang bekerja di balik layar, termasuk yang mungkin kurang terlihat sorot lampu. "Terima kasih ya, Di, udah bantu semua!" katanya kepada Adi. Ia menyalami mereka, menyampaikan apresiasi atas kerja keras mereka di tengah kondisi yang menantang.

Eka kemudian kembali ke tenda pribadinya. Basah kuyup, ia segera berganti pakaian dan mengemasi barang-barang pribadinya yang tak banyak. Di luar tenda, kesibukan mulai mereda, namun hujan masih enggan berhenti sepenuhnya.

Sementara Eka di dalam tenda, di area yang agak terpisah namun masih terlihat dari tendanya, dua sosok remaja putri berdiri ragu. Siti dan Aisyah. Meskipun sudah tidak bisa masuk ke area panggung utama, keinginan mereka untuk bertemu Eka begitu besar. Mereka menunggu di dekat tenda, berharap ada keajaiban. Beberapa kru terlihat mencoba memberitahu mereka bahwa Eka sedang bersiap pulang, namun mereka tetap bertahan dengan penuh harap.

Setelah selesai berganti pakaian, Eka keluar dari tendanya. Pandangannya menyapu area sekitar. Ia melihat Siti dan Aisyah yang berdiri tak jauh dari sana, mata mereka memancarkan harapan yang besar. Eka tersenyum. Ia bertanya kepada salah satu kru tentang kedua remaja itu. Mendengar betapa setianya mereka menunggu di tengah hujan, sebuah inisiatif muncul dalam hatinya.

"Sudah, nggak apa-apa," kata Eka kepada kru yang tadinya menghalangi Siti dan Aisyah. Ia mengisyaratkan kedua remaja itu untuk mendekat. "Sini, Dek..."

Siti dan Aisyah tidak percaya. Dengan gugup namun bahagia luar biasa, mereka melangkah mendekat ke arah Eka. Senyum Eka begitu hangat menyambut mereka.

"Mbak Ekaaa!" seru Siti dan Aisyah bersamaan, suara mereka bergetar menahan tangis haru. Begitu sampai di hadapan idolanya, keduanya berebut mencium tangan Eka dengan takzim, ekspresi wajah mereka memancarkan kebahagiaan yang meluap-luap.

Siti, saking bahagianya, bahkan sempat hampir berlutut di hadapan Eka. Namun, dengan cepat dan lembut, Eka menahan lengan Siti, membantunya berdiri. "Eh, jangan begitu, Dek..." kata Eka lembut. Ia tersenyum tulus kepada Siti dan Aisyah. "Kita sama aja kok. Sama-sama manusia. Nggak perlu sampai begitu." Pesan kesetaraan itu terucap di tengah momen penuh kekaguman.

Eka melihat wajah mereka yang berseri-seri meskipun basah oleh air hujan dan air mata haru. "Kita foto bareng ya, buat kenang-kenangan malam ini!" tawar Eka.

Siti dan Aisyah saling pandang, mata mereka berbinar. "Aaaak! Mauuuu!" seru Siti, tak bisa menyembunyikan kegirangannya.

Aisyah mengangguk antusias, suaranya sedikit tercekat haru. "Ya Allah, Mbak Eka... bangga banget kami bisa foto bareng Mbak!"

Setelah berfoto bersama, Eka menatap kostum panggungnya yang basah dan berkeringat, yang kini sudah ia lepas. Sebuah ide kembali terlintas. Kostum ini adalah saksi bisu perjuangannya di bawah hujan dan apresiasi penonton. Ia ingin membagikan sebagian momen itu dengan cara yang tak terlupakan.

Eka mengambil bagian atas dari kostumnya yang basah. "Ini buat kamu ya," katanya kepada Siti, menyerahkan baju tersebut. Lalu, ia mengambil bagian bawah, roknya. "Ini buat kamu," katanya kepada Aisyah, memberikan rok tersebut. Sebuah pemberian spontan yang tak ternilai harganya bagi kedua penggemar setianya, kenang-kenangan langsung dari panggung yang basah dan penuh perjuangan.

Siti memegang baju itu seolah tak percaya, matanya berkaca-kaca. "Ya Allah, Mbak... matur nuwun sanget (terima kasih banyak)..."

Aisyah memeluk rok itu erat-erat. "Nggak nyangka banget... Terima kasih banyak, Mbak Eka!"

Setelah berpamitan dengan Siti dan Aisyah yang masih terpaku memegang hadiah berharga mereka, Eka Fatmala bergerak menuju mobil yang telah menunggunya. Barang-barangnya telah diangkut. Di dalam mobil, ia duduk sejenak, menarik napas panjang.

Mobil mulai bergerak perlahan meninggalkan area Lapangan Bendungan, menyusuri jalan yang masih basah. Di pinggir jalan, beberapa penonton yang belum sepenuhnya bubar berdiri, mengenali mobil yang ditumpangi sang idola. Mereka melambaikan tangan dengan antusias. Para penonton yang masih di lokasi berdiri menyapa Eka di dalam mobil.

Melihat lambaian tangan mereka dari dalam mobil, Eka Fatmala tersenyum. Ia membalas sapaan mereka dengan membuka jendela mobil dan melambaikan tangannya, memberikan lambaian perpisahan terakhir di malam yang basah itu.

Saat mobil melaju menjauh, Eka menyandarkan punggungnya di kursi. Deru mobil, suara hujan di luar, dan bayangan wajah-wajah bahagia penonton, termasuk Siti dan Aisyah, terlintas di benaknya. Bibirnya mengucapkan kata syukur yang sama seperti di atas panggung tadi, namun kali ini terasa lebih dalam dan personal. "Alhamdulillah..." bisiknya lirih, disertai tetesan air mata, bukan karena sedih, melainkan air mata haru dan syukur atas malam yang luar biasa, atas kekuatan yang diberikan, atas cinta dari penggemar, dan atas kesempatan untuk berbagi kebahagiaan dan kenangan tak terlupakan di tengah badai Panen Hadiah Simpedes. Malam di Lapangan Bendungan, Wates, Kulon Progo, akan menjadi kenangan yang terukir dalam benaknya dan hati ribuan penonton yang hadir.