Di bawah naungan langit sore yang
keabu-abuan, Lapangan Bendungan di Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta, telah bertransformasi menjadi arena semarak. Hamparan rumput hijau
yang biasanya terbuka kini diramaikan dengan struktur panggung kolosal yang
menjulang, siap menjadi pusat perhatian. Karpet merah terhampar anggun dari
tepi lapangan, memanjang lurus menuju anak tangga panggung utama, menciptakan
jalur kehormatan yang disiapkan khusus untuk para tamu dan pengisi acara.
Di sekeliling area, tenda-tenda
putih berjejer rapi di tepian, melengkapi penataan ruang yang dirancang untuk
menyambut ribuan orang pada perhelatan akbar "Panen Hadiah Simpedes"
persembahan Bank Rakyat Indonesia malam nanti. Suasana persiapan terasa kental,
dengan para kru dan staf sibuk di posisi masing-masing, memastikan segalanya
berjalan sesuai rencana di bawah langit yang sedikit muram oleh awan mendung.
Di tengah kesibukan yang mulai
mereda itu, sebuah kehadiran menarik perhatian. Dari kejauhan, tampak siluet
seorang perempuan melangkah di atas karpet merah. Semakin dekat, sosoknya kian
jelas: Eka Fatmala, sang penyanyi dangdut yang dinanti. Ia tampil menawan,
memancarkan aura yang akrab sekaligus memikat.
Eka Fatmala datang mengenakan
atasan lengan panjang berwarna biru gelap brokat, dipadukan dengan bawahan
pendek bermotif, serta sepatu hak tinggi berwarna krem atau emas.Langkahnya
mantap, dan di bibirnya tersungging senyum yang tulus. Matanya menatap hangat
ke sekeliling, melakukan kontak mata dengan orang-orang yang dikenalnya maupun
yang baru dilihatnya. Sesekali, tangannya terangkat ringan, melambai ramah
membalas sapaan atau sekadar menunjukkan keramahan. Ia tidak terburu-buru,
menikmati setiap langkah di atas karpet merah yang membawanya semakin dekat ke
panggung.
Saat Eka Fatmala melintas di
dekat area panggung, beberapa kru dan teknisi yang tadinya sibuk dengan
peralatan mereka sontak menghentikan pekerjaan. Ada jeda singkat dalam
aktivitas mereka. Dengan gestur spontan yang menunjukkan rasa hormat dan
pengakuan, tubuh mereka agak menunduk, seolah memberi salam. Gumuman pelan
terdengar di antara mereka, "Mbak Eka...", "Sugeng rawuh,
Mbak...", atau ungkapan sambutan hangat lainnya. Kehadiran Eka Fatmala
sore itu bukan hanya sekadar kedatangan seorang penampil, tetapi layaknya
percikan cahaya pertama yang menyinari persiapan yang sedang berlangsung,
membawa serta antisipasi kemeriahan yang akan pecah di panggung nanti.
Meninggalkan karpet merah dan
sapaan hormat para kru di bawah, Eka Fatmala melangkahkan kaki menaiki tangga
panggung utama. Struktur kokoh yang sebelumnya hanya terlihat dari bawah kini
terasa berbeda saat diinjak. Di atas panggung, beberapa teknisi dan personel
band—semuanya lelaki—sudah bersiap di posisi masing-masing. Ada Mas Budi di
belakang keyboard, Mas Toni dengan bass-nya, Mas Rahmat di balik
drum, dan Mas Bayu sang teknisi monitor di sisi panggung. Di bawah langit yang
masih menaungkan mendung sore, Eka mengambil mikrofon, merasakan bobotnya yang
familiar di tangan. Sesaat sebelum memulai check sound yang
terdengar jelas, Eka memejamkan mata sejenak. Dengan suara yang sangat lirih,
hampir tak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri di tengah kebisingan
persiapan, ia membisikkan ayat-ayat pembuka dari Surat al-Fatihah ke dalam mikrofon,
sebuah permulaan personal yang hanya diketahui olehnya, permohonan kelancaran
di balik layar persiapan.
Kemudian, Eka menyalakan
mikrofon, suaranya terdengar jelas di speaker.
"Cek... cek... satu dua tiga... dicoba ya..." Ia mulai melakukan
pengecekan vokal dasar, menyesuaikan diri dengan akustik panggung.
Dari arah konsol FOH yang
terletak di bawah panggung, terdengar suara seorang teknisi senior, Pak Slamet.
"Oke, Mbak Eka. Suara vokal masuk bagus. Lanjut aja, Mbak!"
Band mulai memainkan intro singkat
untuk menguji instrumen dan mix. Eka
mendengarkan dengan saksama, sesekali memberi isyarat atau arahan kecil tentang
level suara atau bagian instrumen tertentu kepada Mas Bayu.
Eka kemudian memberikan instruksi
lebih detail tentang nuansa musik dan vokal yang diinginkannya, menjelaskan
bagaimana ia ingin band mengiringinya. "Nanti feel-nya dibikin
agak santai aja di awal, Mas-mas... tapi pas masuk reff nanti tenaganya
dikeluarin ya!" katanya, menatap ke arah band dengan senyum. Ia
menjelaskan bagaimana aransemen harus mendukung vokalnya, memberi ruang, tapi
juga memberikan energi yang pas. "Tempo aman ya? Jangan ngebut, tapi
jangan sampai loyo juga. Kita bawa enjoy tapi tetep power!"
Mas Budi, pemain keyboard,
mengangguk cepat. "Oke, Mbak. Paham! Kita ikutin arahan Mbak Eka
aja."
Mas Toni, sang basis, menimpali
dengan suara rendah. "Siap, Mbak. Aman kok kalau temponya segitu. Nanti
kita sesuaikan di panggung."
Mas Rahmat di drum juga
memberikan isyarat jempol, tanda mengerti dan siap.
Seiring berjalangnya check sound dan jam yang semakin mendekati waktu
Maghrib, Eka melirik arlojinya. "Oke, check sound cukup
ya, udah oke semua kayaknya," katanya kepada tim di panggung dan Pak
Slamet di FOH.
Lalu ia mengusulkan jeda penting,
melihat ke arah timnya. "Sekarang kita istirahat dulu ya. Ada waktu buat sholat Maghrib, terus nanti sekalian makan bareng biar
tetap semangat, habis itu sholat Isya sebelum kita mulai performance." Eka memastikan semua orang punya
waktu rehat yang cukup, baik fisik maupun spiritual, sebelum menghadapi
kerumunan penonton.
Mas Bayu, teknisi monitor di sisi
panggung, menyahut santai namun perhatian. "Oke, Mbak Eka. Siap! Makasih
diingetin, Mbak."
Di bawah panggung, Adi, salah
satu kru, juga mengangguk dan berteriak ke atas. "Siap, Mbak Eka! Kita
atur semua!"
Eka Fatmala tersenyum tipis,
melihat timnya yang kooperatif dan sigap. Baginya, kesiapan tim secara lahir
dan batin, termasuk memenuhi kewajiban spiritual dan fisik, adalah kunci
kelancaran acara.
Ia menatap seluruh tim dengan
serius namun hangat. "Intinya nanti malam kita bikin acara lancar, semua
di panggung nyaman, dan yang paling penting..."
Eka menjeda sejenak, pandangannya
menyapu area penonton yang masih kosong di bawah langit yang mulai memekat.
"...penonton pulang bahagia
dan terhibur ya! Itu tujuan utama kita."
Pak Slamet dari konsol FOH
berteriak kembali, suaranya bergema sedikit. "Siap Mbak Eka! Kita all out nanti!"
Mas Budi, Toni, Rahmat, dan Bayu
di panggung juga mengangguk, beberapa bergumam mengiyakan. Di bawah langit sore
yang perlahan mulai gelap, persiapan check sound ini
bukan hanya gladi bersih teknis, melainkan juga penyamaan frekuensi, penguatan teamwork, dan penegasan tujuan bersama di bawah arahan
Eka Fatmala yang dihormati dan didukung penuh oleh timnya. Bisikan doa di awal
tadi, hanya Eka yang tahu, mengiringi setiap langkah menuju performa nanti.
Setelah sesi check sound yang krusial usai dan dirasa sempurna,
aktivitas di panggung besar di Lapangan Bendungan untuk sementara mereda. Eka
Fatmala dan timnya turun dari pentas. Ini adalah jeda krusial sebelum gemuruh
acara "Panen Hadiah Simpedes" benar-benar dimulai. Untuk memastikan
privasi dan kenyamanan bintang utama, Eka Fatmala memiliki tenda pribadi yang
telah disiapkan khusus di area belakang panggung. Tenda tersebut dijaga di
bagian luar oleh Adi dan beberapa personel kru lain yang bertugas, memastikan
ia bisa beristirahat dengan tenang.
"Oke, Mbak, check sound aman ya?" sapa Mas Budi, pemain
keyboard, saat mereka berjalan dari panggung.
Eka mengangguk. "Aman, Mas.
Makasih ya udah dibantu. Sekarang waktunya kita isi energi."
"Siap, Mbak. Kita istirahat
dulu ya di tenda," timpal Mas Toni, basis band.
Di dalam atau di dekat tenda
pribadi Eka, tempat sholat yang bersih lengkap dengan seperangkat alat sholat
telah disiapkan oleh tim panitia. Ketika azan Maghrib berkumandang, panggilan
ibadah itu menjadi prioritas utama. Eka Fatmala, bersama Mas Budi, Mas Toni,
Mas Rahmat, dan beberapa anggota tim lain yang beragama Islam, mengambil wudu.
Mereka menuju area sholat yang sudah disiapkan dan menunaikan sholat Maghrib secara berjamaah, sebuah momen spiritual
yang khusyuk di tengah riuhnya persiapan acara, menunjukkan ketaatan dan
kebersamaan dalam menjalankan ajaran agama.
Setelah salam terakhir sholat
Maghrib, suasana terasa lebih tenang sejenak.
"Alhamdulillah, lega
rasanya," ujar Eka lirih, merapikan mukenanya.
Mas Rahmat, sang drummer,
mengangguk setuju. "Nggih, Mbak. Kayaknya jadi lebih siap ya nanti."
Jeda waktu antara sholat Maghrib
dan panggilan sholat Isya digunakan untuk mengisi kembali energi fisik. Eka
Fatmala makan di jeda waktu ini, bergabung dengan beberapa anggota tim di area
makan yang telah disediakan. Di sana tersaji berbagai pilihan menu makanan yang
disuguhkan untuk mereka. Dengan gaya bersahaja, Eka Fatmala tampak menikmati
santapan, makan dengan tangan langsung, lahap menikmati hidangan sederhana
namun lezat yang tersedia, berbagi makanan dan tawa ringan dengan timnya.
"Gimana, Mbak, makanannya
cocok?" tanya Adi, kru yang sempat berjaga di luar, kini ikut bergabung
makan.
Eka tersenyum sambil mengunyah.
"Enak, Di. Pas banget buat nambah tenaga nih."
"Alhamdulillah kalau cocok,
Mbak. Sengaja kami siapkan yang kira-kira pas buat Mbak Eka sama
teman-teman," sahut Adi, merasa senang.
Waktu terus bergulir, membawa
mereka semakin dekat ke jam performance. Ketika
azan Isya terdengar, kembali aktivitas fisik dihentikan. Eka Fatmala dan timnya
yang beragama Islam kembali ke tempat sholat yang telah disiapkan.
Bersama-sama, mereka menunaikan sholat Isya secara berjamaah,
melengkapi kewajiban ibadah harian.
Usai sholat Isya, udara terasa
berbeda. Ada energi baru yang mengalir.
"Oke, sholat Isya udah.
Perut udah kenyang. Bismillah ya, Mas-mas, Di," kata Eka, suaranya penuh
tekad. "Kita siap all out nanti di panggung!"
Mas Budi berdiri, merapikan
pakaiannya. "Siap, Mbak Eka! Kami di belakang Mbak Eka!"
Adi dari arah area makan
berteriak, "Semangat, Mbak! Penonton udah nggak sabar!"
Setelah jeda yang diisi dengan
istirahat, ibadah, dan makan bersama ini, Eka Fatmala dan seluruh timnya
benar-benar siap, baik secara teknis, fisik, maupun mental dan spiritual, untuk
menghadapi ribuan penonton dan memberikan pertunjukan terbaik bagi ribuan
penonton yang telah menanti.
Perlahan namun pasti, cahaya sore
memudar, menyerahkan kekuasaan pada pekatnya malam. Di Lapangan Bendungan,
kegelapan mulai menyelimuti area yang sebelumnya diterangi senja. Namun, dari
tengah lapangan, sebuah transformasi dramatis dimulai. Lampu-lampu panggung
yang tadinya hanya struktur baja kusam, kini hidup, memancarkan sorot
warna-warni yang memukau. Merah, biru, hijau, ungu—cahaya itu menari di atas
panggung, menerangi backdrop acara "Panen Hadiah
Simpedes" BRI, mengubah panggung kolosal menjadi mercusuar cahaya di
tengah kegelapan malam. Suasana seketika berubah total; dari kesibukan
persiapan menjadi aura pertunjukan yang magis dan penuh janji.
Bersamaan dengan panggung yang
bersinar, area di depan karpet merah dan panggung mulai dipadati. Kerumunan
orang dari berbagai penjuru mulai berdatangan, mengisi ruang yang telah
ditentukan di balik pembatas. Ribuan penonton dari berbagai usia dan latar belakang
tumpah ruah, berdesakan dengan antusiasme yang terasa nyata. Mereka mengambil
posisi terbaik, memegang ponsel di tangan, mengarahkan pandangan lurus ke arah
panggung utama yang kini telah sepenuhnya menyala, pusat dari segala penantian
mereka.
Di antara ribuan kepala yang
memandang ke depan, terasa getaran energi yang membuncah—suasana antisipasi
yang kental dan menular. Bisik-bisik kegembiraan, gelak tawa, dan percakapan
ringan memenuhi udara, bercampur dengan alunan musik background
yang diputar oleh sound system bertenaga. Semua orang
menunggu, menanti momen tirai dibuka secara resmi, menanti kemunculan para
pengisi acara, terutama bintang utama malam itu yang telah mereka nantikan.
Di tengah desakan kerumunan,
Maria, seorang perempuan muda yang datang bersama temannya, menoleh dengan mata
berbinar.
"Wah, udah penuh banget ya,
Yan!" kata Maria kepada Yana, temannya yang berdiri di sebelahnya.
Yana mengangguk, senyum lebar
terukir di wajahnya. "Iya nih, gila! Untung kita datang dari tadi sore.
Nggak sabar banget lihat penampilan Eka Fatmala!"
Di sudut lain kerumunan yang
lebih tenang, Pak Budi, seorang bapak setengah baya yang datang sendirian,
berdiri sambil memegang kupon undian di tangannya. Dalam hati, ia bergumam
penuh harap.
Semoga nanti namaku dipanggil
buat doorprize utama. Lumayan banget buat nambah modal usaha kecil-kecilan di
rumah.
Dua remaja putri yang mengenakan
jilbab berwarna cerah, Siti dan Aisyah, berbisik-bisik penuh kegirangan, ponsel
di tangan mereka sudah siap.
"Nanti kita foto yang banyak
ya, Syah, kalau Mbak Eka keluar!" bisik Siti kepada Aisyah.
Aisyah mengangguk antusias.
"Pasti dong! Kita live report di medsos! Semoga dia
nyanyi lagu yang lagi viral itu, aku pengen joget!"
Atmosfer semakin memanas, energi
antisipasi terasa di setiap sudut. Panggung telah siap dalam balutan cahaya
yang memesona, penonton telah memadati arena hingga nyaris tak bersisa ruang
kosong, dan di udara tergantung rasa tak sabar yang bercampur dengan
kegembiraan yang tak tertahan. Lampu-lampu panggung semakin memperkuat aura
pertunjukan, menjadi janji akan hiburan yang spektakuler yang sebentar lagi
akan disajikan kepada ribuan mata yang menanti penuh harap di bawah naungan
malam Lapangan Bendungan.
Di atas panggung yang kini
bermandikan cahaya sorot, tim band dan teknisi telah mengambil posisi. Mas Budi
duduk di belakang keyboardnya, Mas Toni siap dengan bass-nya, Mas Rahmat
menggebuk pelan drum set, dan Mas Bayu mengecek monitor di sudut panggung.
Suasana di panggung terasa campur aduk antara fokus profesional dan kegembiraan
yang tertahan. Mereka tahu, sebentar lagi, energi ribuan penonton akan
diarahkan ke sini, dan mereka adalah bagian integral dari mesin panggung yang
akan beraksi.
Di sela-sela penantian, Mas Budi
berbicara kepada Mas Toni di sebelahnya. "Nggak sabar ya, Mas. Selalu seru
kalau udah nge-band sama Mbak Eka."
Mas Toni mengangguk setuju sambil
memetik senar bassnya sebentar. "Iya, Mas. Energinya beda. Penontonnya
juga biasanya totalitas. Mudah-mudahan lancar malam ini."
Di sisi panggung, Adi, salah satu
kru, telah bersiap di dekat jalur yang akan dilewati Eka Fatmala. Ia memastikan
area steril dan siap mengawal sang bintang. Di balik barikade penonton, ribuan
mata tak henti menatap ke arah backstage atau sisi
panggung tempat Eka diperkirakan akan muncul. Antisipasi memuncak.
Di tengah kerumunan, Maria
berbisik kepada Yana. "Itu kayaknya Mbak Eka udah mau keluar deh! Udah
siap-siap!"
Yana menahan napas, matanya tak
berkedip. "Aaaak! Semoga bisa salaman atau minimal dapat tatapan
mata!"
Pak Budi, si bapak setengah baya,
merapatkan barisan, ponselnya sudah siap merekam. Kalau bisa dekat pas dia lewat,
siapa tahu beruntung dapat foto bareng.
Siti dan Aisyah saling
berpegangan tangan, melompat-lompat kecil di tempat. "Ayo Mbak Ekaaa! Kami
di siniiii!"
Dan momen yang ditunggu pun tiba.
Diiringi intro musik yang menghentak, Eka Fatmala muncul dari sisi panggung.
Cahaya sorot langsung menimpanya. Gaun panggungnya berkelap-kelip, senyumnya
merekah menyambut gemuruh sorak-sorai penonton yang meledak. Ia melangkah
anggun ke tengah panggung, memancarkan energi yang langsung menyambar ribuan
orang di depannya.
Eka berdiri di tengah panggung,
mengambil mikrofon yang diserahkan Mas Bayu. Sebelum musik benar-benar
mengiringi vokal utamanya, Eka Fatmala, sekali lagi, memejamkan mata sejenak.
Lirih, begitu lirih hingga tak seorang pun di panggung maupun di antara
penonton menyadarinya, ia membisikkan kalimat suci dari Surat
al-Fatihah ke dalam mikrofon yang dipegangnya, sebuah ritual personal,
memohon kelancaran dan berkah di awal performa.
Kemudian, musik mengalun lebih
penuh, dan Eka Fatmala membuka mulutnya, menyanyikan lagu pertama. Ia memulai
dengan lagu yang sangat populer di kalangan penonton, "Sayang". Energi dari panggung segera menyebar ke
seluruh area. Penonton langsung berjoget, bernyanyi bersama, terbawa irama
dangdut koplo yang dibawakan Eka dengan gayanya.
Namun, di tengah lirik dan melodi
yang familiar, langit di atas Lapangan Bendungan menunjukkan kuasanya.
Tiba-tiba, tirai air yang deras pecah. Hujan turun begitu lebat, nyaris tanpa
aba-aba. Butiran-butiran air menghantam atap panggung dan mengguyur area
terbuka di depannya dengan ganas. Suara gemuruh hujan seketika mendominasi,
menyaingi sound system yang meraung.
Di panggung, Mas Budi sempat
terperanjat. "Waduh, hujannya deres banget!" serunya, meskipun
suaranya tenggelam oleh musik dan hujan.
Eka Fatmala sempat mendongak,
merasakan tetesan hujan yang mulai mengenai panggung, namun ia tak berhenti.
Dengan profesionalisme yang luar biasa, ia terus bernyanyi lagu
"Sayang", menyesuaikan diri dengan kondisi yang tiba-tiba berubah
drastis.
Setelah lagu "Sayang"
selesai, sorak-sorai penonton terdengar meskipun teredam oleh suara hujan. Eka
tersenyum lebar, melihat ribuan wajah di depannya yang masih bertahan di bawah
guyuran air.
"Huaaa... hujan yaaa! Tapi
kalian luar biasaaa! Masih semangat goyang?!" teriak Eka ke arah penonton,
suaranya sedikit terangkat untuk mengimbangi suara hujan.
Dari kerumunan yang basah kuyup,
terdengar sahutan penuh semangat. "Semangaat, Mbak Ekaaa!"
"Goyaaang terusss!"
Tanpa menunggu lama, band Eka
Fatmala langsung memainkan intro lagu kedua. Kali ini, Eka membawakan lagu
"Cinta Terlarang". Irama yang sedikit berbeda, namun
tetap mengundang penonton untuk bergoyang. Eka bergerak lincah di panggung,
energinya seolah tidak terpengaruh oleh hujan yang terus mengguyurnya.
Di akhir lagu kedua, Eka kembali
berinteraksi dengan penonton.
"Mantap! Meskipun hujan
deres, kalian paling juwaraaa! Masih mau lanjut goyang sampai pagiiii?!"
tanya Eka, suaranya terdengar ceria meski basah.
"Mauuuu!" sahut
penonton serempak, menunjukkan kesetiaan mereka.
Performa Eka Fatmala telah
dimulai dengan dramatis, di bawah guyuran hujan deras, tetapi koneksi antara
panggung dan penonton justru terasa semakin kuat. Malam Panen Hadiah Simpedes
BRI benar-benar dihidupkan oleh energi Eka Fatmala dan antusiasme ribuan
penonton yang rela basah demi menyaksikan idolanya beraksi.
Di atas panggung yang basah dan
licin, di bawah atap yang sedikit banyak memberi perlindungan namun tak
sepenuhnya menahan percikan, hujan deras terus mengguyur, persis seperti yang
dimulai di akhir lagu sebelumnya. Suara gemuruh air yang menghantam atap dan arena
di depan panggung mendominasi, berpadu dengan beat musik yang
masih mengalun. Di tengah kondisi ekstrem ini, Adi dan kru panggung lainnya
tetap sigap, berlarian ke sana kemari, memastikan terpal-terpal hitam menutupi
rapat peralatan elektronik yang rentan terhadap air. Kabel-kabel diperiksa
ulang, speaker monitor dilap seadanya, usaha keras untuk
menjaga pertunjukan tetap berjalan.
Berdiri di tengah panggung,
diguyur gerimis halus yang tertiup angin di bawah atap, Eka Fatmala menatap
lautan penonton di depannya yang kini sepenuhnya basah kuyup. Dalam hati,
sebuah doa terucap lirih, tulus dari lubuk hatinya. Ya Allah,
berilah kesehatan untuk mereka semua. Jangan biarkan mereka sakit karena hujan
ini.
Di sela-sela lagu, Adi mendekat
ke arah Eka, wajahnya terlihat khawatir.
"Mbak Eka, hujannya deres
banget ini, Mbak. Gimana kalau kita jeda aja dulu? Biar MC aja yang ngisi
interaksi sama penonton sebentar, sampai agak reda," tawar Adi, suaranya
sedikit berteriak melawan deru hujan, menunjukkan kekhawatiran pada sang
bintang.
Eka Fatmala menoleh, senyumnya
tetap ada meski sedikit meredup oleh rintik di panggung. "Enggak, Di.
Nggak perlu jeda." Suaranya mantap, jelas menunjukkan keputusannya untuk
terus.
Adi mencoba lagi, kali ini sambil
membuka payung yang ia pegang. "Atau ini, Mbak! Biar aku payungi aja ya,
Mbak. Biar nggak kebasahan banget di panggung," tawarnya, niatnya murni
untuk melindungi.
Eka menggeleng, menolak tawaran
payung itu dengan lembut namun tegas, sambil tersenyum tipis. "Nggak usah,
Di. Aku nggak apa-apa." Ia menatap ke arah penonton yang basah kuyup di
depannya. "Penonton di depan itu rela hujan-hujanan demi lihat aku. Kalau
aku di sini kering sendiri, rasanya kok nggak adil ya. Aku basah-basahan bareng
mereka aja!" Penolakan itu adalah gestur empati yang tulus kepada ribuan
penggemarnya.
Sementara itu, di tengah
kerumunan yang basah, suara-suara penonton terdengar di sela deru hujan,
menunjukkan betapa besar tekad mereka untuk bertahan.
"Basah kuyup sih, tapi nggak
nyesel! Demi Mbak Eka!" seru Yana kepada Maria, rambutnya menempel di
pipi.
Maria tertawa, air menetes dari
ujung jilbabnya. "Iya! Kapan lagi nonton konser sambil mandi hujan bareng
idola!"
Pak Budi, meskipun kuyup, tetap
memegang ponselnya stabil. Nggak masalah hujan, yang penting
bisa lihat Mbak Eka. Rugi kalau pulang.
Siti dan Aisyah berteriak
kegirangan setiap kali Eka menatap ke arah mereka, melupakan dinginnya air
hujan. "Mbak Ekaaa! Kami di sini! Kita rela hujan demi Mbak Ekaaa!"
Eka kembali menghadap bandnya,
tekadnya semakin kuat oleh loyalitas penonton. Ia memberi isyarat kepada Mas
Budi. "Mas Budi!"
"Nggih, Mbak?" sahut
Mas Budi, siap menerima instruksi.
"Siap-siap lagu Hujan ya,
Mas! Habis ini langsung kita sikat!" pinta Eka mendadak, memanfaatkan
momen cuaca yang pas untuk menyelipkan lagu yang tak ada di daftar awal,
menciptakan kejutan untuk penonton.
Mas Budi tersenyum lebar,
mengangguk. "Wah, ide bagus, Mbak! Siap! Kode aja nanti dari Mbak Eka
ya!"
Dengan semangat yang membara dan
hati yang terhubung dengan ribuan penggemar yang basah kuyup, Eka Fatmala
kembali ke tengah panggung. Mengabaikan guyuran hujan yang terus mengguyurnya,
ia mengisyaratkan band untuk memainkan lagu berikutnya. Mengingat interaksi
terakhirnya tentang "goyang sampai pagi", ia meluncurkan lagu "Pergi Pagi Pulang Pagi" dengan energi yang
meledak-ledak. Suaranya tetap lantang, gerakannya lincah, berpadu dengan irama
musik yang menggelegar. Ia menari dan bernyanyi di bawah guyuran hujan, menjadi
pusat perhatian ribuan penonton yang juga basah kuyup, namun semakin
bersemangat melihat totalitas dan empati idolanya. Penampilan di tengah hujan
deras ini bukan lagi sekadar konser, melainkan pengalaman kolektif yang tak
terlupakan, yang mengikat erat sang bintang dengan para penggemar setianya.
Eka Fatmala menyelesaikan lagu
"Pergi Pagi Pulang Pagi" dengan power yang luar
biasa, nafasnya sedikit terengah namun matanya memancarkan energi murni. Air
hujan menetes dari rambut dan pakaiannya, namun senyumnya tak pudar. Gemuruh
tepuk tangan dan sorakan penonton menyambut akhir lagu, bercampur dengan suara
hujan yang tak kunjung reda.
Eka melangkah sedikit ke depan
panggung, menatap ribuan wajah yang basah kuyup di depannya. Ia mengangkat
mikrofonnya tinggi-tinggi.
"Kalian luar biasaaa! Banjir
begini, hujan sederas ini, tapi kalian tetep di siniii! Tetep goyang bareng
akuu!" seru Eka, suaranya terdengar tulus penuh penghargaan. Energi
apresiasi itu memancar dari panggung ke kerumunan.
"Aku salut banget sama
kalian! Sebagai hadiah buat kalian yang setia, aku mau kasih lagu spesial yang
pas banget sama cuaca kita malam ini," lanjut Eka, senyumnya makin lebar,
menciptakan antisipasi baru di antara penonton. "Ini dia... buat kalian
semua yang rela hujan-hujanan demi Panen Hadiah Simpedes dan demi aku... lagu
Hujan!"
Band Eka Fatmala segera menangkap
isyaratnya. Irama ceria dangdut berganti. Melodi piano yang familiar, sedikit
sendu namun menenangkan, mengalun di udara, kontras dengan deru hujan yang
masih sama kuatnya. Eka mulai menyanyikan lirik pembuka lagu "Hujan"
milik Utopia. Suaranya yang biasanya bertenaga dalam irama cepat, kini
terdengar lebih lembut, meresapi setiap kata yang berbicara tentang rintik dan
kenangan. Dan luar biasa, ribuan penonton di depan panggung—meskipun basah
kuyup—ikut bernyanyi. Mereka hapal liriknya, dan suara mereka yang bersatu
menciptakan paduan suara massal yang mengharukan di bawah guyuran hujan.
Setelah melodi sendu
"Hujan" usai, meninggalkan jejak haru dan kebersamaan di udara yang
basah, suasana di Lapangan Bendungan terasa begitu intim meskipun dihadiri
ribuan orang. Deru hujan masih sama kuatnya, membasahi semua yang ada di luar
area beratap panggung. Eka Fatmala berdiri di tengah panggung, menatap ribuan
wajah yang basah kuyup namun memancarkan kekaguman dan apresiasi.
Eka kembali mengangkat
mikrofonnya, suaranya terdengar jelas, penuh kehangatan. "Gimana? Lagunya
pas banget ya sama malam ini?" Ia tersenyum, senyum yang tulus,
memancarkan aura positifnya di tengah panggung yang terang benderang.
"Jangan kecewa lho hujan. Hujan itu berkah, rezeki dari Langit. Yang
ngasih hujan itu Allah subhanahu wa ta'ala. Ini kuasa Allah, dan kita
sebagai manusia, yang penting menerima kuasa-Nya, mensyukuri, dan menikmatinya!" Pesan itu meluncur begitu saja, tulus
dari hati, merangkum ketaatan dan filosofi hidup di tengah cuaca yang
menantang.
Di tengah kerumunan, beberapa
penonton mengangguk-angguk, terkesan dengan apa yang disampaikan Eka, terpaku
oleh cahaya panggung yang menyorot Eka dan cahaya (konotatif) dari ketulusan pesannya.
Pak Budi bergumam dalam hati, Betul juga. Ada hikmahnya hujan ini. Jadi teringat tanah di
kampung butuh air. Mbak Eka ngomong gitu jadi bikin adem hati.
Maria berbisik kepada Yana,
"Wow, Mbak Eka nggak cuma jago nyanyi ya, pesannya dalem juga!"
Yana mengangguk, "Iya,
keren! Nggak nyangka bisa dengar pesan kayak gitu di konser dangdut. Beda
banget ya dia."
Siti dan Aisyah saling pandang,
mata mereka memancarkan kekaguman baru pada idola mereka. Mbak Eka ngingetin kita buat selalu bersyukur, pikir
Siti.
Setelah momen refleksi singkat
itu, energi di panggung kembali beralih. Eka Fatmala bersiap untuk lagu
terakhirnya, lagu yang paling ditunggu-tunggu untuk berpesta. Namun, ia
memberikan pesan penutup yang relevan dengan konteks acara "Panen Hadiah Simpedes"
dan rezeki yang didapat, mengaitkannya dengan semangat positif.
Eka kembali berbicara ke
penonton, suaranya kini lebih bersemangat namun tetap ada pesan di dalamnya.
"Okeee! Lagu terakhir nih! Tapi sebelum itu, aku mau ngingetin kita
semua..." ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah basah di depannya.
"Apapun rezeki yang kita dapat, dari Allah, dari hasil kerja keras, dari
hadiah Panen Hadiah Simpedes ini, ayo kita gunakan untuk hal-hal yang
bermanfaat yaaa!" Pesan itu meluncur, seruan untuk kebaikan di
tengah euforia, menjadi jembatan menuju beat paling
menghentak malam itu.
Band Eka Fatmala langsung
menangkap isyarat. Intro lagu "Oplosan" yang
familiar menggema, seketika membakar semangat ribuan penonton yang telah
menunggu. Eka Fatmala bertransformasi sepenuhnya. Ia sangat enerjik dan lepas
membawakan lagu ini, berjingkrak dan bergoyang dengan gerakan khasnya,
seolah air hujan justru menambah energinya. Ia bergerak ke setiap sudut
panggung, tak hanya di tengah, mendekat ke sisi kanan dan kiri, bahkan menghampiri bibir panggung yang paling dekat dengan penonton,
menari dan berinteraksi langsung di bawah cahaya panggung yang
mengikutinya.
Kerumunan penonton larut sepenuhnya dalam melodi dan goyangan Eka. Mereka
bernyanyi, berjoget, melompat, energi mereka seperti tak terbatas meskipun
basah kuyup, terpaku pada cahaya panggung yang menyinari Eka dan cahaya (konotatif) dari pesonanya yang memancar kuat.
Teriakan histeris terdengar dari berbagai sudut area penonton,
ekspresi kegembiraan dan pelepasan yang luar biasa, semua mata tertuju pada
sumber energi di atas panggung.
Di tengah histeria massal itu,
pemandangan yang tercipta sungguh memukau, bukan dari cahaya ponsel yang
berpendar, melainkan dari fokus tunggal ribuan pasang mata pada cahaya panggung yang menyinari Eka Fatmala. dialah sumber cahaya (konotatif) yang menarik mereka, memancarkan karisma
dan energi yang mengalahkan dinginnya hujan. Interaksi energi terasa
begitu kuat, mengalir dari panggung yang terang ke kerumunan yang gelap dan
basah, diikat oleh melodi yang menghentak dan kharisma sang bintang.
Momen ini menjadi klimaks malam
itu, perpaduan cahaya panggung yang menerangi performa Eka Fatmala dan cahaya (konotatif) pribadinya yang berhasil membakar
semangat ribuan penonton di tengah badai. Panen Hadiah Simpedes malam itu bukan
hanya tentang hadiah, tetapi tentang koneksi unik antara bintang dan penggemar
yang tercipta di bawah guyuran hujan, didorong oleh energi panggung dan pesona
Eka Fatmala yang tak padam.
Lagu "Oplosan" mencapai
puncaknya. Eka Fatmala mencurahkan seluruh sisa energinya, bergerak lincah
melintasi panggung, goyangannya semakin lepas, suaranya tetap menggelegar di
tengah beat yang hingar-bingar dan deru hujan yang tak kunjung
reda. Ribuan penonton di depannya, basah kuyup namun bersemangat luar biasa,
mengikuti setiap gerakannya, sorakan mereka memekakkan telinga. Ini adalah
puncak dari malam yang penuh tantangan, demonstrasi kekuatan seorang penampil
dan antusiasme penggemar setianya yang tak tergoyahkan oleh badai.
Saat melodi terakhir
"Oplosan" perlahan memudar, meninggalkan gema sorak-sorai dan deru
hujan, Eka Fatmala berdiri di tengah panggung. Cahaya sorot masih teruju
padanya, menyoroti sosoknya yang basah namun memancarkan kepuasan mendalam.
Dalam hati, sebuah ucapan syukur yang tulus terucap. Alhamdulillah...
Ya Allah, terima kasih aku bisa menghibur mereka malam ini. Terima kasih acara
ini lancar sampai akhir.
Eka kembali memegang mikrofon, senyumnya
lebar, napasnya sedikit memburu karena performance yang
intens. Ia mengarahkan pandangannya ke seluruh area penonton.
"Terima kasih banyaaak untuk
kalian semua yang udah dateng malam ini!" seru Eka, suaranya penuh
apresiasi. "Terima kasih udah rela hujan-hujanan bareng aku di sini!
Kalian luar biasaaa!" Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada
yang lebih lembut, mendoakan para penggemarnya. "Semoga kalian semua
pulangnya selamat, nggak ada yang sakit yaaa! Semoga sehat selalu dan rezekinya
lancar!"
Setelah memberikan salam penutup
resminya dari tengah panggung, sebuah dorongan spontan muncul dalam diri Eka
Fatmala. Mengabaikan protokoler dan kondisi panggung yang licin, ia berinisiatif berjalan dari tengah mendekati bibir panggung yang
paling depan, sedekat mungkin dengan barisan penonton. Ia ingin menyapa
mereka secara langsung, memberikan sentuhan personal di akhir malam yang
berkesan.
Melihat gerakan tak terduga Eka
yang berjalan menuju pinggir panggung, kru panggung yang bertugas
spontan agak panik. "Waduh! Minggir, Minggir!" seru Adi dari
bawah panggung. Mereka segera menyiapkan pengawalan dan
beberapa payung tambahan, bersiap bergerak cepat untuk melindungi
dan mengawal Eka jika ia benar-benar berinteraksi langsung di tepi panggung
yang rentan dan basah.
Namun, Eka Fatmala terus
berjalan. Matanya tertuju pada wajah-wajah antusias di barisan paling depan. Ia
seolah mengabaikan kepanikan halus kru, fokusnya sepenuhnya pada
keinginan untuk menyapa mereka yang paling setia dan terdepan. Saat Eka tiba di
tepi panggung, hanya terhalang sedikit jarak dari penonton, antusiasme di
barisan depan meledak menjadi euforia.
"Mbak Ekaaa!"
"Sini, Mbak!" Penonton di barisan paling depan berebut mengulurkan tangan, berharap bisa menyentuh dan menyalami sang idola. Baik penonton lelaki maupun perempuan
mengulurkan tangan mereka. Dengan ramah dan penuh senyum, Eka membalas uluran
tangan itu, berjabat tangan singkat dengan beberapa penggemar yang bisa ia
jangkau. Terlihat beberapa penonton, baik lelaki maupun perempuan,
dengan penuh kebahagiaan mencium punggung tangan Eka saat bersalaman,
sebuah ekspresi kekaguman dan rasa hormat yang mendalam. Wajah-wajah mereka
memancarkan kebahagiaan luar biasa, penantian dan hujan deras terasa terbayar
lunas di momen singkat itu.
Di belakang barisan depan,
penonton yang tidak bisa menjangkau Eka merasa sedikit menyesal
dan kecewa.
"Yah, nggak bisa salaman
deh," keluh Yana, sedikit lesu.
Maria menghela napas. "Iya
nih, padahal udah di depan tadi, tapi nggak nyampe tangannya!"
Pak Budi hanya bisa menatap dari
jauh, Ya sudahlah, memang rezekinya yang di depan saja. Yang penting
sudah lihat langsung.
Siti dan Aisyah berpandangan,
sedikit sedih tak bisa bersalaman, tapi tetap senang bisa melihat Eka dari
dekat. "Nggak apa-apa deh, Syah, yang penting udah lihat langsung. Nanti
kita cari fotonya aja."
Sementara itu, di atas panggung,
anggota band dan tim teknis menyaksikan interaksi Eka yang mengharukan dengan
penonton dari posisi mereka. Ada rasa bangga yang terpancar.
Mas Budi tersenyum lebar,
mengacungkan jempol kepada Mas Toni. "Mbak Eka emang top ya. Nggak jaim
sama penontonnya. Sampai nyamperin gitu."
Mas Bayu, teknisi monitor,
mengangguk setuju. "Iya, Mas. Totalitas banget. Bangga jadi timnya. Malam
basah yang nggak terlupakan."
Pak Slamet dari konsol FOH
tersenyum sambil membereskan peralatannya. "Acara lancar, penonton seneng,
bintangnya juga totalitas. Tugas kami selesai dengan baik berkat power-nya Mbak Eka dan semangat penonton."
Setelah momen singkat di tepi panggung,
Eka Fatmala melangkah kembali ke tengah, lalu menuju tangga panggung diiringi
sorak-sorai penonton yang masih tersisa. Di atas panggung yang basah, ia
menyalami satu per satu anggota band dan tim teknisnya yang telah berjuang
bersamanya di tengah badai.
"Makasih banyak ya, Mas
Budi, Mas Toni, Mas Rahmat, Mas Bayu, Pak Slamet! Kalian luar biasa!" ujar
Eka penuh penghargaan, menjabat erat tangan mereka.
Mas Budi tersenyum lebar.
"Sami-sami, Mbak. Justru kami yang bangga bisa ngiringi Mbak Eka!"
"Mbak Eka juga fighter banget!" tambah Mas Toni.
Mas Rahmat mengangguk setuju.
"Totalitas, Mbak!"
Setelah menyalami tim utamanya di
panggung, Eka turun. Ia menyempatkan diri menyapa beberapa kru panggung lainnya
yang bekerja di balik layar, termasuk yang mungkin kurang terlihat sorot lampu.
"Terima kasih ya, Di, udah bantu semua!" katanya kepada Adi. Ia
menyalami mereka, menyampaikan apresiasi atas kerja keras mereka di tengah
kondisi yang menantang.
Eka kemudian kembali ke tenda
pribadinya. Basah kuyup, ia segera berganti pakaian dan mengemasi barang-barang
pribadinya yang tak banyak. Di luar tenda, kesibukan mulai mereda, namun hujan
masih enggan berhenti sepenuhnya.
Sementara Eka di dalam tenda, di
area yang agak terpisah namun masih terlihat dari tendanya, dua sosok remaja
putri berdiri ragu. Siti dan Aisyah. Meskipun sudah tidak bisa masuk ke area
panggung utama, keinginan mereka untuk bertemu Eka begitu besar. Mereka
menunggu di dekat tenda, berharap ada keajaiban. Beberapa kru terlihat mencoba
memberitahu mereka bahwa Eka sedang bersiap pulang, namun mereka tetap bertahan
dengan penuh harap.
Setelah selesai berganti pakaian,
Eka keluar dari tendanya. Pandangannya menyapu area sekitar. Ia melihat Siti
dan Aisyah yang berdiri tak jauh dari sana, mata mereka memancarkan harapan
yang besar. Eka tersenyum. Ia bertanya kepada salah satu kru tentang kedua
remaja itu. Mendengar betapa setianya mereka menunggu di tengah hujan, sebuah
inisiatif muncul dalam hatinya.
"Sudah, nggak apa-apa,"
kata Eka kepada kru yang tadinya menghalangi Siti dan Aisyah. Ia mengisyaratkan
kedua remaja itu untuk mendekat. "Sini, Dek..."
Siti dan Aisyah tidak percaya.
Dengan gugup namun bahagia luar biasa, mereka melangkah mendekat ke arah Eka.
Senyum Eka begitu hangat menyambut mereka.
"Mbak Ekaaa!" seru Siti
dan Aisyah bersamaan, suara mereka bergetar menahan tangis haru. Begitu sampai
di hadapan idolanya, keduanya berebut mencium tangan Eka
dengan takzim, ekspresi wajah mereka memancarkan kebahagiaan yang meluap-luap.
Siti, saking bahagianya, bahkan sempat hampir berlutut di hadapan Eka. Namun, dengan cepat
dan lembut, Eka menahan lengan Siti, membantunya berdiri.
"Eh, jangan begitu, Dek..." kata Eka lembut. Ia tersenyum tulus
kepada Siti dan Aisyah. "Kita sama aja kok. Sama-sama manusia. Nggak perlu
sampai begitu." Pesan kesetaraan itu terucap di tengah momen penuh
kekaguman.
Eka melihat wajah mereka yang
berseri-seri meskipun basah oleh air hujan dan air mata haru. "Kita foto
bareng ya, buat kenang-kenangan malam ini!" tawar Eka.
Siti dan Aisyah saling pandang,
mata mereka berbinar. "Aaaak! Mauuuu!" seru Siti, tak bisa
menyembunyikan kegirangannya.
Aisyah mengangguk antusias,
suaranya sedikit tercekat haru. "Ya Allah, Mbak Eka... bangga banget kami
bisa foto bareng Mbak!"
Setelah berfoto bersama, Eka
menatap kostum panggungnya yang basah dan berkeringat, yang kini sudah ia
lepas. Sebuah ide kembali terlintas. Kostum ini adalah saksi bisu perjuangannya
di bawah hujan dan apresiasi penonton. Ia ingin membagikan sebagian momen itu dengan
cara yang tak terlupakan.
Eka mengambil bagian atas dari
kostumnya yang basah. "Ini buat kamu ya," katanya kepada Siti,
menyerahkan baju tersebut. Lalu, ia mengambil bagian bawah, roknya. "Ini
buat kamu," katanya kepada Aisyah, memberikan rok tersebut. Sebuah
pemberian spontan yang tak ternilai harganya bagi kedua penggemar setianya,
kenang-kenangan langsung dari panggung yang basah dan penuh perjuangan.
Siti memegang baju itu seolah tak
percaya, matanya berkaca-kaca. "Ya Allah, Mbak... matur nuwun sanget
(terima kasih banyak)..."
Aisyah memeluk rok itu erat-erat.
"Nggak nyangka banget... Terima kasih banyak, Mbak Eka!"
Setelah berpamitan dengan Siti
dan Aisyah yang masih terpaku memegang hadiah berharga mereka, Eka Fatmala
bergerak menuju mobil yang telah menunggunya. Barang-barangnya telah diangkut.
Di dalam mobil, ia duduk sejenak, menarik napas panjang.
Mobil mulai bergerak perlahan
meninggalkan area Lapangan Bendungan, menyusuri jalan yang masih basah. Di
pinggir jalan, beberapa penonton yang belum sepenuhnya bubar berdiri, mengenali
mobil yang ditumpangi sang idola. Mereka melambaikan tangan dengan antusias. Para penonton yang masih di lokasi berdiri menyapa Eka di dalam
mobil.
Melihat lambaian tangan mereka
dari dalam mobil, Eka Fatmala tersenyum. Ia membalas sapaan mereka dengan
membuka jendela mobil dan melambaikan tangannya, memberikan lambaian
perpisahan terakhir di malam yang basah itu.
Saat mobil melaju menjauh, Eka
menyandarkan punggungnya di kursi. Deru mobil, suara hujan di luar, dan bayangan
wajah-wajah bahagia penonton, termasuk Siti dan Aisyah, terlintas di benaknya.
Bibirnya mengucapkan kata syukur yang sama seperti di atas panggung tadi, namun
kali ini terasa lebih dalam dan personal. "Alhamdulillah..."
bisiknya lirih, disertai tetesan air mata, bukan karena sedih, melainkan air mata haru dan syukur atas malam yang luar biasa, atas
kekuatan yang diberikan, atas cinta dari penggemar, dan atas kesempatan untuk
berbagi kebahagiaan dan kenangan tak terlupakan di tengah badai Panen Hadiah
Simpedes. Malam di Lapangan Bendungan, Wates, Kulon Progo, akan menjadi
kenangan yang terukir dalam benaknya dan hati ribuan penonton yang hadir.