Area
belakang panggung Festival ANTV Rame di Bantul masih ramai dengan aktivitas,
namun di sudut yang lebih tenang, Eka Fatmala duduk sendiri. Napasnya mulai
melambat setelah penampilan yang menguras tenaga dan emosi, tetapi di dalam
dadanya, gelombang kecemasan belum sepenuhnya reda. Ia memegang erat botol air
mineral, pandangannya kosong menerawang. Keriangan ribuan penonton di depan
panggung terdengar samar, seperti gema dari dunia lain yang baru saja ia sentuh
dan memberinya kekuatan sesaat. Di depan ribuan orang itu, ia adalah Eka
Fatmala sang penghibur, sumber cahaya yang menebarkan energi dan kebahagiaan.
Tubuhnya yang ramping dan gerakannya di atas panggung seringkali dipuji,
menjadi body goals bagi sebagian perempuan, pujaan mata bagi sebagian
laki-laki. Tapi, ironisnya, di balik citra publik yang gemerlap itu, ia justru
merasa redup, rapuh, dan membutuhkan cahaya paling besar dalam kegelapan
masalah pribadinya.
Tangannya
perlahan meraih tas kecilnya yang tergeletak di sampingnya. Ia mengambil
ponsel, dan layar itu menyala, menampilkan tanggal: 27 Juli 2024. Angka '27
Juli' itu seperti terpaku di retinanya, dan bayangan kata 'Putusan' kembali
melintas, memicu gelombang kecemasan yang lebih pekat dari sebelumnya. Hanya tinggal
menghitung hari... Ya Allah, beri hamba kekuatan, bisiknya dalam hati.
Jemarinya
yang dingin menyentuh permukaan layar ponsel. Ia membuka galeri foto, seolah
mencari pelarian dari beban yang menghimpit. Ia men-scroll ke atas, melewati
deretan foto panggung yang berkilauan, foto-foto endorse dengan senyum
profesional, dan foto-foto ceria bersama teman. Jemarinya berhenti pada sebuah
folder yang jarang ia buka, seolah terdorong oleh kekuatan tak terlihat.
Di
layar, muncul sebuah foto lama. Foto Eka tersenyum lembut, terlihat jauh lebih
muda dan sederhana, di samping seorang pria berkemeja kasual. Wajah pria itu
juga terlihat lebih muda dari ingatannya, tatapannya hangat saat menatap Eka.
Itu Yudi. Ia sering memanggilnya Yudi. Foto itu seolah memudar perlahan di
pandangannya, lalu layar ponsel meredup sepenuhnya, membawa Eka masuk ke dalam
lorong waktu, menuju kilasan memori yang sudah lama terkunci rapat.
Suara
riuh festival di Bantul memudar sepenuhnya dari kesadarannya. Berganti dengan
alunan musik yang lebih lembut, bernuansa romantis dan tenang, mengiringi
perjalanan pikirannya ke masa lalu. Udara terasa lebih ringan, suasana lebih
cerah, saat Eka kembali berada di sebuah tempat di Yogyakarta, mungkin taman
atau kafe sederhana, bertahun-tahun silam.
Ia
melihat dirinya yang lebih muda, berpakaian lebih sederhana, duduk berhadapan
dengan seorang pria bernama Yudistira Wijaya Bin Slamet, yang akrab dipanggil
Yudi olehnya, juga terlihat jauh lebih muda dan belum mengenakan seragam khas
kesatuannya di TNI AU Lanud Adisutjipto.
"Jadi...
kamu beneran serius sama dunia tarik suara ini, Eka?" tanya Yudi,
tersenyum.
Eka
tersenyum balik. "Namanya juga passion, Mas Yudi. Dari kecil
sukanya nyanyi."
Yudi
tertawa ringan. "Iya sih, suaramu bagus. Aku dengerin kok waktu itu pas
kamu nyanyi di acara kampung. Enggak nyangka aja, ternyata penyanyi panggung
beneran."
"Belum
panggung besar kok ini, Mas Yudi," balas Eka, ikut tertawa. "Masih
dari panggung kecil ke panggung kecil. Tapi ya dijalani aja, disyukuri. Ini
rezeki halal juga."
"Aku
suka semangatmu. Beda dari cewek lain. Kamu nggak cuma nunggu di rumah,"
ujar Yudi, tatapannya hangat penuh kekaguman, seolah mengapresiasi kemandirian
Eka yang berbeda dari stereotip perempuan pada umumnya.
Senyum
tulus mengembang di wajah Eka. Ada kehangatan dan kekaguman yang sama di mata
Yudi saat itu, menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di dunia.
Dulu, suaranya hanya beresonansi di panggung-panggung kecil, dinikmati
segelintir orang. Dan di masa itu, ada satu suara yang terdengar paling jelas
di telinganya, suara kekaguman dan dukungan dari laki-laki yang ia cintai.
Laki-laki yang kelak akan berbagi hidup, merajut janji, dan pada akhirnya,
tanpa ia sadari, juga akan membawanya ke dalam badai yang menguji segalanya,
badai yang akan menguji apakah cahaya di panggungnya cukup terang untuk
menerangi gelapnya kehidupan pribadi, menguji apakah tubuh yang dielu-elukan
banyak orang itu punya nilai yang sama di mata pasangannya sendiri. Wajah Eka
di masa lalu itu tersenyum bahagia, sebelum gambaran itu perlahan memudar,
menenggelamkan pembaca dalam awal kisah yang manis, sebelum kepahitan dimulai.
Di
kediaman sederhana keluarga Eka Fatmala di Kulon Progo, tanggal 16 April 2017
menjadi saksi bisu janji suci yang terucap. Bukan di Kantor Urusan Agama, ijab
kabul itu dilangsungkan di ruang tamu rumah yang dihias sederhana namun penuh
kehangatan. Langit Yogyakarta di luar jendela cerah membiru, seolah ikut
merestui momen bahagia Eka Fatmala dan Yudistira Wijaya.
Eka
mengenakan kebaya putih yang dipersiapkan khusus untuk hari ini, memancarkan
aura kebahagiaan yang tulus. Di sampingnya, Yudi duduk dengan setelan jas yang
rapi, senyumnya terus menghiasi wajah saat menatap Eka. Dihadapan penghulu dan
disaksikan keluarga dekat serta kerabat, prosesi sakral itu dimulai.
Tangan
Yudi terasa hangat dan kokoh saat menggenggam tangan Eka, menyalurkan keyakinan
saat mengucapkan ijab kabul. Suaranya terdengar mantap dan jelas di antara
keheningan para saksi. Eka mendengarkan dengan hati berdebar kencang, rasa
syukur dan cinta meluap di dadanya hingga terasa menyesakkan. Ia menarik napas
dalam, mengucapkan "Ya Allah..." dalam hati, memohon kelancaran dan
keberkahan untuk awal yang baru ini. Inilah awal yang baru, babak kehidupan
yang selama ini ia impikan: membangun keluarga sakinah bersamanya, laki-laki
yang ia percaya mengagumi mimpinya sebagai penyanyi, yang berjanji akan selalu
menjaganya dalam suka dan duka.
Setelah
ijab kabul dinyatakan sah, ucapan selamat mengalir dari para tamu yang memadati
ruang tamu dan teras rumah. Pelukan hangat dari Ibu dan Bapaknya terasa
melegakan sekaligus mengharukan, senyum mereka adalah restu terindah yang
menguatkan langkahnya. Eka yang cenderung pendiam dan tidak suka ghibah,
hanya membalas ucapan selamat dengan senyum dan anggukan tulus, menikmati momen
sakral bersama orang-orang terdekatnya. Di antara keramaian ucapan selamat, Eka
melirik Yudi yang sedang disalami kerabatnya. Ada rasa bangga dan haru melihat
laki-laki pilihannya kini resmi menjadi suaminya, disaksikan oleh orang-orang
terpenting dalam hidupnya, di rumah yang penuh kenangan masa kecilnya.
Mereka
memulai kehidupan bersama di rumah orang tua Eka di Kulon Progo. Hari-hari awal
terasa manis, dipenuhi penyesuaian menjadi pasangan suami istri dan tawa kecil
yang menghiasi sudut-sudut rumah. Eka tetap menjalankan beberapa jadwal
menyanyi di acara-acara lokal, undangan dari kenalan atau acara kampung. Yudi
saat itu tampaknya masih memberikan dukungan. Ia bahkan kadang ikut mengantar
atau menemani, meski hanya menunggu di kejauhan atau di dalam mobil. Kekaguman
di matanya saat melihat Eka di atas panggung masih ada, setidaknya di permukaan
pandangannya, memberikan Eka keyakinan bahwa pilihannya tepat. Eka bersyukur,
penghasilannya dari menyanyi, bahkan dari panggung-panggung kecil ini, sudah
jauh lebih besar dari gaji bulanan Yudi di TNI AU, memberikannya kemandirian
finansial yang cukup berarti. Ia pikir, Yudi menghargai itu.
Namun,
seiring berjalannya waktu, kehidupan pernikahan membawa rutinitas dan
penyesuaian yang lebih dalam. Perlahan, muncul percakapan-percakapan kecil yang
tadinya tak berarti, kini mulai terasa agak mengganjal, seperti nada sumbang di
antara melodi yang indah. Stereotip tentang peran istri mulai tersisip dalam
komentar Yudi.
"Pulangnya
jangan terlalu malam ya, Eka," ujar Yudi suatu malam, nadanya bukan
melarang dengan keras, tapi ada sedikit ketegasan terselip yang Eka tangkap,
seolah ada aturan tak tertulis yang baru Eka sadari. "Sudah jadi istri itu
beda. Ada tanggung jawab di rumah." Ia tidak pernah mendengar nada itu
sebelumnya dari Yudi terkait pekerjaannya.
"Iya,
Mas Yudi. Paling sampai jam sepuluh kok acaranya," jawab Eka, sedikit
heran dengan perhatian mendadak itu. "Ini kan juga cari rezeki, Mas."
Di
lain waktu, saat Eka sedang berlatih vokal di kamar atau mendengarkan demo lagu
baru di ponselnya, Yudi sesekali menunjukkan raut kurang suka saat melintas
atau duduk di dekatnya.
"Enggak
capek apa nyanyi terus? Sehari-hari di rumah aja dulu lah, nikmatin jadi istri
baru," katanya sambil lalu, matanya fokus pada ponselnya, terkesan tidak
begitu peduli tapi perkataannya meninggalkan jejak tanya di hati Eka.
"Sudah bukan waktunya kayak dulu. Udah ada suami ini yang tanggung
jawab."
Eka
mengerutkan kening. "Ini kan passion-ku, Mas Yudi. Kan Mas Yudi
tahu dari dulu aku suka nyanyi. Aku juga seneng kalau bisa menghibur
orang."
Yudi
hanya bergumam tidak jelas sebagai jawaban, atau mengalihkan topik, seringkali
diselingi komentar tersirat tentang "kodrat perempuan" atau
"tugas utama istri yang berbakti pada suami dan rumah tangga", seolah
karier Eka adalah bentuk ketidakberbakti an. Eka hanya bisa menarik napas
berat. Ya Allah, berilah kesabaran, bisiknya dalam hati.
Hal-hal
kecil itu, ganjalan-ganjalan ringan yang Eka coba abaikan karena masih
diselimuti kebahagiaan pernikahan, adalah benih-benih perbedaan pandangan yang
mulai tumbuh subur, dipupuk oleh pandangan patriarkal yang mungkin dianut Yudi
atau lingkungannya. Eka dengan jiwanya yang merdeka, cintanya pada musik, dan
keinginannya untuk terus berkarya, dengan penghasilan yang nyatanya lebih besar
dari gaji suami. Yudi dengan ekspektasinya akan kehidupan pernikahan yang
mungkin tidak sepenuhnya mencakup ambisi profesional Eka di dunia tarik suara,
ekspektasi yang perlahan mulai terungkap, mengerdilkan peran Eka di luar rumah
tangga dan meremehkan kontribusinya. Kehangatan awal pernikahan perlahan
diwarnai nada-nada sumbang yang belum Eka sadari akan menjadi melodi utama yang
menyesakkan dalam badai rumah tangga mereka kelak.
Bulan-bulan
berlalu, perut Eka semakin membuncit. Kabar kehamilannya disambut suka cita
oleh kedua keluarga. Harapan akan hadirnya anggota baru di tengah mereka seolah
menjadi perekat yang akan menguatkan fondasi rumah tangga Eka dan Yudi.
Awalnya, Yudi tampak antusias. Ia menemani Eka periksa kandungan, mengelus
perut Eka yang membesar, dan sesekali membicarakan nama calon bayi mereka. Eka
merasa bahagia, membayangkan rumah tangga mereka akan semakin harmonis dengan
kehadiran buah hati. Ia berdoa, semoga Adeva kelak bisa menjadi penyejuk di
tengah perbedaan mereka.
Namun,
seiring perubahan fisik dan emosional yang dialami Eka selama kehamilan, sikap
Yudi perlahan kembali menunjukkan sisi yang menggores hati. Stres pekerjaan
Yudi di Lanud Adisutjipto, ditambah mungkin dengan kecemasannya sendiri
menghadapi peran sebagai ayah, membuat kesabarannya menipis. Perkataan yang
tadinya hanya bernada "kurang suka" terhadap kegiatan menyanyi Eka,
kini berkembang menjadi komentar-komentar pedas dan merendahkan.
"Kamu
tuh ya, lagi hamil gini bukannya fokus istirahat, malah mikirin nanti kalau
sudah lahiran mau nyanyi lagi di mana," ujar Yudi suatu sore, saat melihat
Eka sedang membuka-buka buku catatan lagu. Nada bicaranya terdengar kasar,
seolah menyanyi adalah kegiatan yang tidak pantas bagi calon ibu, melanggar
kodrat yang ia yakini.
Eka
menatapnya, terkejut. "Aku kan cuma lihat-lihat aja, Mas Yudi. Kan ya
sambil persiapan nanti kalau sudah pulih. Lagian kan Mas Yudi tahu aku senang
nyanyi. Ini hiburan buatku."
"Senang
sih senang, tapi mbok ya tahu diri sedikit!" balas Yudi ketus. "Sudah
mau jadi ibu juga. Mikir yang penting-penting aja! Urus rumah, urus nanti kalau
anak lahir!" Ia menekankan peran Eka seolah hanya terbatas pada domestik
dan pengasuhan, meremehkan kebutuhan Eka akan ekspresi diri.
Hati
Eka terasa nyeri mendengar nada dan kata-kata itu. Ini bukan lagi sekadar
ganjalan ringan, tapi sudah menyentuh harga dirinya, esensi siapa dirinya di
luar peran istri dan calon ibu. Tubuhnya yang mulai membesar, yang tadinya ia
harapkan membawa kebahagiaan, justru terasa seperti membuatnya semakin rentan
terhadap kritik. Yudi juga jadi mudah tersulut emosi untuk hal-hal kecil. Saat
Eka merasa lelah atau mual karena kehamilan dan tidak bisa melakukan pekerjaan
rumah secepat biasanya, Yudi akan melontarkan keluhan atau sindiran kasar.
"Gitu
aja lemah. Gimana nanti ngurus anak? Calon ibu kok gini amat. Nggak bisa
diandelin."
"Dikit-dikit
capek. Dari kemarin di rumah aja padahal. Kerjaannya cuma duduk-duduk. Beda
sama aku yang cari uang." Ia selalu membandingkan dengan pekerjaannya,
seolah itu satu-satunya bentuk 'kerja' yang valid dan mengabaikan fakta bahwa
penghasilan Eka jauh lebih besar dari gajinya.
Verbal
abuse itu semakin intens. Eka sering menangis diam-diam di kamar mandi,
menumpahkan kesedihan dan frustrasinya kepada Allah dalam doa. Ia berusaha
berbicara baik-baik dengan Yudi, mengungkapkan perasaannya, tapi Yudi selalu
menepis atau berbalik menyalahkannya, mengatakan Eka terlalu sensitif,
mengada-ada, atau belum paham "susahnya jadi suami" yang harus
bekerja di kesatuan seperti TNI AU. Pada saat yang sama, Eka mulai merasakan
firasat tidak enak tentang jadwal kerja Yudi. Pernah, Yudi mengaku ada jadwal
piket malam di Lanud Adisutjipto, namun saat Eka mencoba menelepon telepon
kantor di sana, dengan alasan menanyakan sesuatu yang mendesak, Yudi ternyata
tidak ada di tempat. Firasat "tidak beres" itu muncul pertama kali,
seperti riak kecil yang mengganggu ketenangan air, meski Eka berusaha
menepisnya, berpikir mungkin hanya salah komunikasi. Ia tidak suka berburuk
sangka atau ghibah, tapi instingnya sebagai perempuan dan istri
mengatakan ada yang disembunyikan.
Orang
tua Eka, meskipun tidak tinggal serumah permanen saat itu, merasakan ketegangan
dalam rumah tangga putri mereka. Saat Eka berkunjung ke rumah orang tuanya di
Kulon Progo atau berbicara di telepon, mereka menangkap nada bicara Eka yang
sering murung, atau mendengar cerita singkat Eka tentang percekcokan. Ibu Eka
sering melihat mata Eka sembab. Sesekali, saat Yudi ikut berkunjung, mereka tak
sengaja mendengar nada bicara Yudi yang tinggi dan kasar kepada putri mereka.
Kekhawatiran tumbuh di hati mereka, mereka juga menangkap gelagat tidak beres
dari Yudi, termasuk ketidakjelasan soal pekerjaannya.
Puncaknya,
setelah pertengkaran hebat yang dipicu hal sepele namun diwarnai kata-kata Yudi
yang sangat menyakitkan dan merendahkan Eka sebagai perempuan dan istri, Eka
merasa tidak sanggup lagi. Kondisi mentalnya drop, ia merasa rapuh dan
tidak aman. Ia berbicara dengan orang tuanya, menceritakan apa yang dialaminya,
termasuk firasatnya tentang Yudi yang mungkin tidak sepenuhnya jujur soal
pekerjaannya di Lanud Adisutjipto. Dengan berat hati, dan melihat kondisi Eka
yang sangat tertekan, orang tua Eka sepakat bahwa Eka perlu menenangkan diri
dan sementara waktu kembali tinggal penuh di rumah mereka di Kulon Progo.
"Pulang
dulu saja, Nak," ujar Ibu Eka lembut, memeluk putrinya yang menangis.
"Tenangkan diri di sini. Kesehatanmu dan cucu Ibu yang paling penting
sekarang."
Eka
mengangguk, dadanya sesak. Ya Allah, mudahkanlah, bisiknya lirih. Ia mengemasi
beberapa barang seadanya. Yudi tidak mencegahnya pergi, bahkan mungkin terkesan
acuh tak acuh. Dalam hati Eka, terselip harapan tipis bahwa jarak ini mungkin
bisa membuat Yudi merenung dan mengubah sikapnya. Ia tidak tahu, kepergiannya
saat itu adalah awal dari periode sulit yang akan semakin panjang, menjauh dari
impian rumah tangga harmonis yang dulu ia genggam erat, dan membuatnya semakin
terperangkap dalam kuldesak penderitaan.
Kirana
Nadeva Fatima lahir pada 21 Juli 2018, membawa secercah harapan baru dalam
hidup Eka. Kehadiran malaikat kecil, yang akrab dipanggil Deva, itu seolah
menjadi alasan terkuat bagi Eka untuk mencoba kembali. Setelah masa nifas dan
merasa cukup pulih, sekitar akhir Desember 2018, Eka menerima bujukan Yudi
untuk kembali membina rumah tangga. Kali ini, mereka tidak tinggal di rumah
orang tua Eka. Mereka pindah ke kediaman Ibu Yudi di Sleman, tak jauh dari
lokasi kerja Yudi di Lanud Adisutjipto.
Rumah
Ibu Yudi di Sleman terasa asing bagi Eka pada awalnya. Ia berusaha keras
beradaptasi, berharap lingkungan baru ini bisa membawa suasana yang lebih baik
bagi keluarganya. Kehadiran Deva memang membawa kebahagiaan tersendiri. Eka
mencurahkan sebagian besar energinya untuk merawat putrinya, menikmati setiap
momen tumbuh kembangnya. Ia mencoba melupakan perlakuan Yudi sebelumnya, fokus
pada peran barunya sebagai ibu dan istri, berdoa agar kali ini semuanya akan
baik-baik saja.
Namun,
harapan Eka akan perubahan sikap Yudi perlahan memudar, digantikan rasa kecewa
yang kian menumpuk. Yudi memang menunjukkan kasih sayang kepada Deva, tapi
sikapnya terhadap Eka dan permasalahan mendasar rumah tangga mereka tak kunjung
membaik. Konflik mengenai pekerjaan Eka sebagai penyanyi kembali mencuat. Yudi
semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksetujuannya, bahkan melarang Eka
untuk menerima tawaran manggung, terutama yang dianggapnya remeh atau dengan
bayaran tidak seberapa di matanya. Pandangan stereotip tentang istri yang
"seharusnya di rumah" makin sering ia lontarkan, seolah meremehkan
kontribusi Eka yang, ironisnya, seringkali jauh melebihi gajinya.
"Buat
apa sih nyanyi-nyanyi gitu lagi? Capek-capekin diri aja," kata Yudi sinis
saat Eka mendapat tawaran tampil di sebuah acara. "Sudah di rumah aja,
ngurus anak. Itu sudah jadi tugas utamamu sebagai istri dan ibu. Jangan kayak
cewek murahan keluyuran malam."
Eka
merasa tercekik. Ia menarik napas, menahan amarah dan kekecewaan. Ya Allah,
kuatkan hamba, bisiknya. "Tapi kan aku suka nyanyi, Mas Yudi. Ini passion-ku.
Lagian lumayan kan buat nambah-nambah—"
"Nambah
apa?!" potong Yudi dengan nada tinggi. "Urusan uang biar aku yang
urus! Aku ini kerja di TNI AU, gajiku cukup! Kamu di rumah aja fokus
anak!" Ia menolak mengakui kontribusi Eka, meremehkan pekerjaannya, dan
menegaskan bahwa peran finansial hanyalah miliknya, sebuah pandangan patriarkal
yang kaku. Padahal, Eka tahu pasti, dari beberapa tawaran menyanyi saja,
honornya bisa berkali lipat dari gaji bulanan Yudi. Belum lagi saweran yang ia
dapatkan dari penonton yang mengapresiasi penampilannya. Fakta itu, yang
seharusnya menjadi kekuatan Eka, justru diremehkan dan dilarang Yudi. Ironis.
Gaji Yudi yang sebatas itu, dibalas dengan penolakan atas rezeki yang jauh
lebih besar yang bisa Eka hasilkan sendiri.
Namun,
ironisnya, di saat Yudi melarangnya bekerja dan berdalih gajinya cukup,
kontribusinya untuk kebutuhan rumah tangga dan Eka sangat minim. Sesuai gugatan
Eka di dokumen putusan, ia hanya diberi uang Rp 500.000 per bulan, angka yang
sangat jauh dari cukup di mata Eka, bahkan untuk kebutuhan dasar Deva
sekalipun. Setiap kali Eka mencoba menanyakan gaji Yudi atau meminta lebih
untuk kebutuhan rumah tangga, reaksi Yudi selalu marah dan defensif, ia akan
berkata: "Gajiku buat apa saja itu urusanku, rasah ngurusi gajiku,
Gajimu urusmu, gajiku urusmu. Sing penting tak kasih cukup kalau dak cukup
segitu urusmu." Perkataan itu tak hanya merendahkan, tapi juga menutup
pintu komunikasi tentang masalah finansial, seolah uang adalah wilayah
kekuasaan patriarkal yang tidak boleh diganggu gugat Eka, meskipun Eka sendiri
memiliki potensi penghasilan yang jauh lebih besar. Pada saat yang sama,
insting Eka tentang Yudi yang "tidak beres" semakin kuat, semakin
sering ia tidak ada di Lanud Adisutjipto saat mengaku piket, semakin sering
alasannya terdengar mengambang. Pernah Eka mencoba mengonfirmasi diam-diam ke
sesama istri anggota, dengan cara yang hati-hati, karena ghibah bukan
kebiasaannya, dan dugaannya benar: Yudi tidak berada di tempat yang seharusnya
saat mengaku bertugas. Firasat "tidak beres" itu kini bercampur
dengan konflik yang ada, menambah beban di hati Eka. Ia mencoba berdoa, memohon
petunjuk dan ketenangan, "Ya Allah... apa yang sebenarnya terjadi?"
Tinggal
di rumah Ibu Yudi menambah lapisan ketegangan. Meskipun Ibu Yudi mungkin tidak
terlibat langsung dalam setiap pertengkaran mereka, kehadiran anggota keluarga
lain membuat Eka merasa tidak bebas, seringkali menahan diri untuk tidak
menunjukkan emosinya atau membela diri sekuat tenaga, menjaga citra demi
menghormati keluarga Yudi. Eka, yang cenderung pendiam, lebih banyak memendam
perasaannya atau mencurahkan isi hati dalam doa. Percekcokan jadi sering
terjadi dalam bisikan tegang di kamar, atau saat mereka sedang sendirian di luar
rumah, di mana Eka mencoba membahas masalah finansial, pekerjaannya, atau
ketidakberesan yang ia rasakan terkait jadwal Yudi. Ia melihat tubuhnya di
cermin, tubuh yang di panggung dielukan, menjadi body goals, tapi di
rumah justru disalahkan, dilarang, bahkan direndahkan. Sungguh ironis, batinnya
menjerit.
Harapan
Eka untuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, seperti impian awal
pernikahannya, perlahan hanya tinggal mimpi belaka. Sikap kasar Yudi, penolakan
terhadap kariernya yang dianggap remeh karena stereotip gender, masalah
finansial yang tak pernah terselesaikan dengan alasan dominasi pria dalam
mencari nafkah, dan firasat kuat tentang sesuatu yang tidak beres terkait
kejujuran Yudi, terus menggerogoti keutuhan rumah tangga mereka. Meskipun ada
Deva yang menjadi sumber kebahagiaan, Eka semakin merasa terperangkap dalam
situasi yang menyesakkan, menyadari bahwa kembali tinggal bersama Yudi ternyata
tidak memperbaiki apa pun, justru memperjelas bahwa masalah mereka jauh lebih
dalam dari sekadar jarak fisik, berakar pada pandangan hidup yang sangat
berbeda, ketidakjujuran yang mungkin disembunyikan, dan riak-riak kecil yang
terus menerus menuang penderitaan, membawa mereka ke dalam kuldesak.
Tahun
2022. Langit di atas Sleman terasa kelabu, seperti suasana hati Eka yang sudah
lama meredup. Kehidupan rumah tangga di bawah atap ibu Yudi bukannya membaik,
malah semakin memburuk. Percekcokan tentang pekerjaan menyanyi Eka yang terus
dilarang karena stereotip "istri di rumah" dan masalah nafkah tak hanya
intens, tapi juga semakin panas dan tak terkendali. Yudi kian sering
melontarkan kata-kata kasar yang merendahkan, menuding Eka tidak becus mengurus
rumah tangga atau hanya mementingkan diri sendiri karena masih ingin menyanyi,
seolah keinginan Eka untuk berkarya adalah aib yang mencoreng nama baiknya
sebagai anggota TNI AU.
"Kamu
tuh ya, dibilangin susah banget! Kepala batu!" teriak Yudi suatu sore,
suaranya menggelegar di ruang tamu. Deva, putri mereka yang saat itu berusia
sekitar tiga tahun, tampak ketakutan di dekat Eka, merasakan aura negatif orang
tuanya.
"Aku
cuma pengen Mas Yudi ngerti, aku nyanyi itu juga karena aku suka, Mas Yudi. Dan
kalau ada hasilnya kan bisa buat Deva—" Eka mencoba menjelaskan, suaranya
bergetar, mencoba mencari validasi untuk dirinya dan pekerjaannya di tengah
pandangan merendahkan Yudi.
"Gak
usah banyak alasan! Udah! Aku udah muak!" potong Yudi, matanya memerah.
"Aku capek sama kamu yang nggak pernah nurut! Nggak hargain aku sebagai
suami! Nggak ngerti tugasmu itu ngurus rumah, ngurus anak! Bukan keluyuran
nyanyi nggak jelas! Mana ada istri TNI AU keluyuran nyanyi di panggung
orkes!" Dia berdiri tegak di depan Eka, aura kemarahan memancar kuat,
didukung oleh keyakinan akan superioritasnya sebagai kepala keluarga yang berhak
mengatur segalanya, dan mungkin juga rasa terancam oleh kemandirian finansial
Eka yang jauh melebihi dirinya. Eka menatapnya, hatinya hancur melihat
bagaimana pandangan sempit Yudi menghancurkan dirinya. Ia menarik napas dalam.
Ya Allah... bisiknya, memohon ketenangan. Ia melihat tubuhnya, tubuh yang di
luar sana dipuja, kini di hadapan suaminya sendiri tak punya harga di luar
fungsi domestik.
"Aku
rasa... kita nggak bisa gini terus," ujar Yudi, suaranya sedikit merendah
tapi penuh ketegasan final. "Aku anterin kamu pulang aja."
Eka
tertegun. "Pulang? Pulang ke mana, Mas Yudi?"
"Ke
rumah orang tuamu di Kulon Progo!" kata Yudi, nada bicaranya kembali
meninggi, terdengar seperti perintah yang tak terbantahkan, mengembalikannya ke
"tempat asal" karena dianggap gagal menjalankan tugas di
"wilayah" Yudi. "Kamu di sana aja. Aku udah nggak tahan sama
kelakuanmu! Udah sana!"
Kata-kata
itu seperti pukulan telak, diperparah oleh alasan di baliknya.
"Mengembalikan". Eka merasa seperti barang yang tidak diinginkan, yang
dikirim kembali ke pengirimnya karena cacat atau tidak berfungsi sesuai harapan
pemiliknya, terutama dalam menjalankan peran stereotip istri yang patuh dan
berdiam diri di rumah. Air mata langsung menggenang di pelupuk matanya. Ia
menatap Deva yang bersembunyi di belakang kakinya, hati perih membayangkan
dampak perpisahan ini pada putrinya.
"Terus
Deva gimana, Mas Yudi?" tanya Eka lirih, suaranya tercekat.
"Deva
biar sama kamu dulu," jawab Yudi, nadanya terdengar final, seolah
keputusan itu sudah bulat tanpa perlu diskusi, mengabaikan hak Eka untuk
berpendapat atau bernegosiasi. "Nanti diurus lagi gimana baiknya."
Malam
itu, di tengah kelelahan emosional yang luar biasa, Eka mengemasi barang-barang
Deva dan miliknya. Bukan kepulangan untuk menenangkan diri seperti saat hamil
dulu, kali ini terasa berbeda. Ini adalah pengusiran, penolakan total terhadap
dirinya. Yudi mengantarnya dan Deva kembali ke rumah orang tuanya di Kulon
Progo. Di dalam mobil, suasana hening dan dingin. Tidak ada percakapan panjang,
hanya ketegangan yang menyesakkan dan pikiran Eka yang berkecamuk, memikirkan
kembali semua kejanggalan, termasuk firasat tentang ketidakberesan terkait
jadwal piket Yudi di Lanud Adisutjipto. Ia menarik napas dalam. Ya Allah,
tunjukkan jalan, bisiknya dalam hati.
Saat
tiba di rumah orang tuanya, Eka disambut wajah cemas Ibu dan Bapaknya. Melihat
Eka datang membawa Deva dengan mata sembab dan Yudi hanya menurunkan barang
tanpa banyak bicara, mereka langsung mengerti. Eka memeluk ibunya, menangis
tersedu-sedu, mencurahkan isi hatinya yang selama ini ia pendam, menceritakan
apa yang terjadi, termasuk beban mental akibat pandangan merendahkan Yudi
terhadap dirinya sebagai perempuan yang bekerja, dan kecurigaannya yang
mengganggu terkait jadwal kerja Yudi. Orang tuanya mendengarkan dengan sabar,
hati mereka ikut perih. Mereka menguatkan Eka, mendukungnya untuk mengambil
keputusan terbaik. Eka, yang cenderung pendiam, merasa sedikit lebih ringan
setelah berbagi beban dengan orang tuanya, meskipun ia tidak menceritakan
setiap detail ketidakberesan yang ia rasakan, ia hanya mengatakan ada yang
"tidak beres" dengan Yudi.
Sejak
malam itu di awal tahun 2022, rumah di Kulon Progo kembali menjadi satu-satunya
tempat Eka Fatmala dan Deva bernaung. Pisah rumah yang tadinya hanya sementara
saat Eka hamil, kini menjadi permanen. Komunikasi antara Eka dan Yudi praktis
terhenti, atau jika ada pun, hanya sebatas urusan Deva dan seringkali diwarnai
ketegangan. Harapan untuk kembali hidup bersama semakin menipis, terkikis oleh
jarak, kebisuan, luka yang tak kunjung sembuh, dan ketidakpercayaan yang sudah
terlanjur mengakar akibat "riak-riak" kecil yang terus menerus
muncul, menuang kepedihan yang membawanya ke dalam kuldesak penderitaan. Eka
hanya bisa berserah diri pada Allah, berdoa memohon kekuatan dan jalan keluar.
November
2022. Eka berdiri di atas panggung kecil sebuah acara komunitas di pinggiran
kota. Cahaya lampu temaram menyorotnya, suaranya mengalun membawakan lagu-lagu
campursari yang familiar di telinga penonton. Sudah beberapa bulan sejak ia
kembali tinggal di rumah orang tuanya. Ia mencoba menata kembali hidupnya,
kembali aktif mengambil tawaran menyanyi demi menafkahi diri dan Deva, serta
untuk menjaga kewarasannya. Di atas panggung, ia adalah Eka, penyanyi yang
menebarkan keceriaan, sumber cahaya bagi mereka yang menikmati alunan musiknya.
Tubuhnya bergerak luwes, disorot lampu, dielu-elukan, menjadi objek kekaguman
publik. Namun di balik senyum dan goyangannya, ada perempuan rapuh yang desperately
mencari cahayanya sendiri di tengah gelapnya kehidupan pribadi, ironi yang
begitu menyakitkan. Tubuh yang menjadi pujaan banyak mata itu, justru tak
mendapatkan penghargaan yang layak dari satu-satunya laki-laki yang berjanji
mencintainya dan melindunginya.
Saat
sedang asyik berinteraksi dengan penonton dan bersiap menyanyikan lagu
berikutnya, pandangan mata Eka tak sengaja menangkap sosok yang berdiri agak di
kejauhan, di pinggir kerumunan. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Yudi. Ia
ada di sana, menatap Eka dengan sorot mata tajam yang belum pernah Eka lihat
sebelumnya. Ada kemarahan yang jelas tergambar di wajahnya, bukan sekadar
ketidaksetujuan yang biasa Eka hadapi.
Eka
mencoba mengabaikannya, profesionalisme menuntutnya untuk tetap fokus pada
penampilan. Ia menarik napas dalam, "Ya Allah..." bisiknya, memohon
ketenangan dan kekuatan. Ia tersenyum pada penonton dan mulai menyanyi,
berusaha mengarahkan energinya hanya pada musik, pada cahaya di panggung itu.
Namun, keberadaan Yudi yang mengawasinya membuat tenggorokannya tercekat,
suaranya sedikit bergetar. Terlintas di benaknya, bukankah seharusnya Yudi
sedang piket di Lanud Adisutjipto malam ini? Firasat "tidak beres"
itu kembali muncul di waktu yang paling tidak tepat, membuat perutnya mual.
Setelah
selesai dengan satu lagu, Eka bergegas turun dari panggung, berencana
menghindar atau berbicara sebentar dengan Yudi di area yang lebih pribadi.
Namun, belum sempat ia melangkah jauh, Yudi sudah menerobos kerumunan kecil di
belakang panggung dan menghampirinya dengan langkah cepat dan sorot mata
mengancam.
"Ngapain
kamu di sini?! Malam-malam begini bukannya di rumah ngurus anak, malah
keluyuran nggak jelas!" Yudi langsung menyerang dengan suara rendah namun
penuh amarah yang tertahan, nyaris seperti geraman, mengabaikan fakta bahwa Eka
sedang bekerja mencari nafkah yang mungkin lebih layak dari pemberiannya,
merendahkan Eka sebagai istri dan ibu.
Eka
mundur selangkah, terkejut dengan intensitas kemarahan Yudi. "Mas Yudi,
aku kerja—"
"Kerja
apa?! Penyanyi orkes murahan gini kamu sebut kerja?! Ini bukan tempat orang
baik-baik! Kamu itu istri anggota, jaga sikap! Jangan bikin malu!" potong
Yudi, suaranya meninggi sedikit namun masih berusaha menjaga agar tidak terlalu
menarik perhatian banyak orang. Wajahnya mendekat ke wajah Eka, dipenuhi
pandangan merendahkan, didorong oleh rasa malu dan aib yang ia rasakan atas
pekerjaan Eka, serta mungkin rasa bersalah karena Eka ada di sana sementara ia
mengaku sedang bertugas di tempat lain. "Aku udah bilang jangan nyanyi-nyanyi
lagi! Kamu tuh bikin malu aku! Bikin malu keluarga!"
"Mas
Yudi, jangan gini di sini—" Eka mencoba menahan lengan Yudi, khawatir ada
yang melihat. Firasat buruk tadi bercampur dengan ketakutan, ia merasakan
sesuatu yang sangat "tidak beres" kali ini, bukan hanya soal
pekerjaannya, tapi mungkin ada hal lain yang disembunyikan Yudi. Ia berdoa
dalam hati, Ya Allah, lindungi hamba.
"Diam
kamu! Nggak usah ngatur aku!" sentak Yudi. Umpatan kasar, yang belum
pernah Eka dengar selantang itu keluar dari mulut Yudi, menghantam telinga Eka
seperti tamparan. Belum sempat Eka mencerna kata-kata kotor itu, tangan Yudi
bergerak kasar, menarik lengan Eka dengan kuat, mencengkeramnya hingga terasa
sakit, seolah ingin menyeretnya pergi dari sana, menariknya dari "dunianya"
yang dianggap hina, kembali ke "tempatnya" sebagai istri yang patuh
dan berdiam diri di rumah.
Eka
meringis kesakitan, mencoba melepaskan diri. "Lepas, Mas Yudi!
Sakit!"
Yudi
tidak peduli. Cengkeramannya semakin kuat. Dalam kepanikan dan rasa sakit, Eka
berusaha berontak. Pergulatan singkat terjadi di sudut belakang panggung yang
remang-remang. Yudi mendorong Eka, membuatnya terhuyung dan menabrak tumpukan
peralatan. Eka merasakan sakit di punggungnya, napasnya tercekat. Yudi
melangkah mendekat lagi dengan tatapan penuh ancaman, siap melancarkan serangan
verbal lainnya, atau mungkin lebih dari itu, terdorong oleh kemarahan
patriarkal dan mungkin rasa bersalah atas ketidakjujuran yang lain yang ia
sembunyikan.
Namun,
beberapa kru acara yang melihat kejadian itu segera mendekat, melerai dengan
sopan namun tegas. "Maaf, Mas, ada apa ini? Mohon tenang ya."
Yudi
terpaksa melepaskan cengkeramannya pada Eka, tapi sorot matanya masih penuh
kemarahan yang membara. Ia menatap Eka dengan kebencian yang membuat Eka merinding,
melontarkan satu lagi umpatan terakhir sebelum akhirnya berbalik dan pergi
meninggalkan lokasi dengan langkah terburu-buru.
Eka
terduduk di lantai yang dingin, napasnya tersengal, air mata mengalir deras di
pipinya. Lengan yang dicengkeram Yudi terasa nyeri dan mulai membiru. Lebih
dari rasa sakit fisik, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Pengalaman KDRT
itu, di depan mata orang lain, meski hanya kru, di tempat ia mencari nafkah dan
melarikan diri dari kenyataan pahit, adalah titik terendah. Ia merasa terhina,
ketakutan, dan benar-benar patah harapan. Di panggung tadi ia adalah cahaya
bagi orang lain, kini ia terpuruk dalam gelap, diserang di tempat ia mencari
penerangan. Tubuhnya yang dielu-elukan, kini terasa sakit dan ternoda.
Malam
itu, di sudut belakang panggung yang gelap, Eka menyadari dengan kepedihan yang
menusuk bahwa pernikahannya sudah benar-benar hancur. Sikap kasar dan
merendahkan Yudi, yang diperparah oleh pandangan patriarkal dan ketidakberesan
yang ia rasakan, telah memuncak menjadi kekerasan fisik. Tidak ada lagi yang
bisa diperbaiki, tidak ada lagi harapan yang bisa dipertahankan. Kejadian di
bulan November 2022 itu menjadi pukulan terakhir yang membuat Eka sadar: ia
harus keluar dari lingkaran setan ini sepenuhnya. Ia harus berjuang, tidak
hanya untuk dirinya sendiri, tetapi demi Deva, demi masa depan yang lebih aman
dan damai, masa depan di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, Eka sang
penyanyi dan Eka sang ibu, tanpa harus direndahkan atau diancam, masa depan di
mana tubuhnya dihargai bukan hanya sebagai objek pandangan publik. Keputusan
untuk menempuh jalur hukum, untuk menggugat cerai, akhirnya bulat di benaknya,
terdorong oleh luka fisik dan batin yang perih, dan kesadaran bahwa ia layak
mendapatkan cahaya dalam hidupnya, terlepas dari gelap yang ditorehkan Yudi. Ya
Allah... kuatkan hamba, lindungi hamba dan Deva, bisiknya dalam hati,
memantapkan tekadnya.
Hari-hari
setelah insiden di tempat kerja terasa seperti berjalan dalam kabut. Luka fisik
di lengan Eka perlahan memudar menjadi memar keunguan, tetapi luka di hatinya
jauh lebih dalam dan perih. Ketakutan bercampur dengan kemarahan dan rasa lelah
yang luar biasa. Eka menghabiskan banyak waktu bersama Deva di rumah orang
tuanya di Kulon Progo, tempat ia tinggal sejak diusir Yudi. Ia mencari kekuatan
dalam dekapan putrinya dan dukungan tanpa syarat dari Ibu dan Bapaknya. Mereka
melihat kondisi Eka, mendengar ceritanya, termasuk firasatnya tentang
ketidakberesan yang dirasakan terkait Yudi, dan hati mereka hancur melihat penderitaan
putri mereka. Mereka juga mengkhawatirkan ketidakberesan yang dirasakan Eka
terkait Yudi.
"Kamu
nggak bisa terus-terusan begini, Nak," ujar Bapak Eka suatu sore, nadanya
lembut tapi penuh ketegasan. "Dia sudah keterlaluan. Ini bukan lagi
masalah rumah tangga biasa. Ini sudah soal keselamatanmu. Soal martabatmu. Cari
cahaya lain, Nak."
Ibu
Eka mengangguk, air matanya berlinang. "Kami akan selalu ada untukmu,
Nduk. Apa pun keputusanmu, kami dukung. Kamu berhak bahagia, kamu berhak
dapatkan kehidupan yang baik. Jangan ghibahkan dia, tapi ambil tindakan
yang benar."
Kata-kata
orang tuanya menguatkan Eka. Ia tahu mereka benar. Ia tidak bisa terus hidup di
bawah ancaman dan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Terutama kini ia punya
Deva yang harus dilindungi. Ia juga tidak bisa terus-menerus merasa cemas
dengan ketidakberesan yang ia rasakan, terus menerus hidup dalam riak
ketidakpastian. Setelah merenung panjang, berdoa, dan mengumpulkan keberanian
yang tersisa, Eka membuat keputusan berat namun bulat. Ia akan mengakhiri
pernikahan ini secara hukum. Ia akan menuntut keadilan, menuntut pengakuan atas
harga dirinya, dan memperjuangkan hak asuh Deva serta nafkah yang layak,
menggunakan jalur yang benar, bukan dengan ghibah atau mengumbar
masalah. Ia menarik napas dalam, mengucap "Ya Allah..." memohon
petunjuk dan kekuatan.
Langkah
pertama terasa begitu berat, tapi harus dilakukan. Eka mulai mencari informasi.
Ia bertanya kepada beberapa kenalan, mencari rekomendasi pengacara yang
berpengalaman menangani kasus perceraian, KDRT, dan hak asuh anak. Beberapa
nama muncul, ia membandingkan, hingga akhirnya ia menemukan kontak kantor hukum
yang dirasa tepat, Kantor HR ASSOCIATES.
Beberapa
hari kemudian, dengan ditemani Bapaknya untuk memberikan dukungan moral, Eka
mendatangi kantor hukum tersebut. Bangunannya terlihat profesional, memberikan
sedikit rasa gentar namun juga harapan. Di ruang konsultasi, Eka duduk
berhadapan dengan seorang pengacara, Cahyo Irawan, S.H., salah satu kuasa hukum
yang namanya kelak tercatat dalam dokumen putusan.
Awalnya,
Eka berbicara dengan suara pelan, ragu-ragu, seolah masih takut untuk membuka
kembali luka lamanya, ia memang tidak suka menceritakan masalah pribadinya pada
sembarang orang. Ia menceritakan awal pernikahannya, harapan-harapannya yang
pupus, konflik yang terus terjadi mengenai pekerjaan dan nafkah, pandangan
merendahkan Yudi terhadap kariernya karena stereotip gender, kekerasan verbal
yang dialaminya selama bertahun-tahun, pisah rumah di awal 2022, firasatnya
tentang hal "tidak beres" terkait pekerjaan Yudi di Lanud Adisutjipto
dan kejujurannya, dan puncaknya, insiden KDRT di bulan November 2022. Saat
menceritakan bagian KDRT, suara Eka bergetar, air mata kembali menetes, namun
ia berusaha keras untuk tidak terisak. Ia juga menyampaikan kekhawatirannya
tentang Deva dan hak asuh, serta masalah nafkah yang tidak pernah mencukupi
dari Yudi yang gajinya sebenarnya kalah jauh dari potensi penghasilannya
sendiri. Ia merasa ironis, tubuh yang dielu-elukan publik justru tak dianggap
berharga dalam rumah tangganya.
Pengacara
Cahyo mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat poin-poin penting.
Tatapannya profesional namun menunjukkan empati. Setelah Eka selesai bercerita,
ia mengangguk.
"Saya
mengerti, Mbak Eka. Situasi yang Anda alami sangat berat. Tindakan suami Anda
termasuk dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan alasan-alasan yang
Anda sampaikan, termasuk perselisihan terus-menerus dan pisah rumah, cukup kuat
untuk mengajukan gugatan cerai," ujar Pak Cahyo dengan tenang. "Mengenai
nafkah dan hak asuh anak, itu juga akan menjadi poin penting dalam gugatan
kita. Penghasilan Anda dari menyanyi bisa menjadi pertimbangan dalam penentuan
nafkah anak." Ia menjelaskan proses hukum yang akan Eka tempuh, mulai dari
pendaftaran gugatan di Pengadilan Agama, upaya mediasi, hingga persidangan dan
putusan. Ia juga menjelaskan mengenai hak-hak Eka terkait perceraian, pembagian
harta, jika ada, dan yang terpenting bagi Eka, hak asuh anak serta kewajiban
nafkah dari suami.
Mendengarkan
penjelasan Pak Cahyo membuat gambaran di benak Eka menjadi lebih jelas,
meskipun prosesnya terdengar panjang dan melelahkan. Tapi ada secercah cahaya
di ujung terowongan, harapan untuk keluar dari kuldesak penderitaan ini. Ini
adalah jalan untuk keluar dari penderitaan, jalan untuk meraih kembali
martabatnya, dan jalan untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi Deva,
masa depan di mana ia tidak perlu mengkhawatirkan "riak-riak"
ketidakberesan atau penderitaan yang ditorehkan Yudi.
"Kami
siap membantu Anda, Mbak Eka. Kami akan berjuang untuk hak Anda dan hak putri
Anda," kata Pak Cahyo meyakinkan.
Eka
menarik napas dalam, mencoba menghapus jejak air mata di pipi. Ya Allah,
mudahkanlah, bisiknya dalam hati. Ia menatap Bapaknya yang duduk di sampingnya,
Bapak mengangguk menguatkan. Dengan tekad yang bulat, meskipun masih terselip
rasa takut, Eka mengangguk kepada Pak Cahyo.
"Baik,
Pak. Saya putuskan... saya akan ajukan gugatan cerai."
Adegan
berakhir dengan Eka menerima formulir awal atau dokumen yang perlu ditandatangani,
termasuk Surat Kuasa Khusus yang akan memberikan wewenang kepada tim pengacara
HR ASSOCIATES untuk mewakilinya di pengadilan. Surat Kuasa ini ditandatangani
pada 25 Agustus 2023, menandakan ada jeda waktu antara keputusan Eka dan proses
administrasi awal, mungkin untuk persiapan data atau biaya, periode
mengumpulkan bukti dan kekuatan terakhir. Ini adalah langkah awal yang
monumental bagi Eka, langkah pertama dalam perjuangan hukum yang akan menguji
ketahanan mental dan emosionalnya, sebuah upaya mencari cahaya ketika gelap
telah terlalu lama hinggap, upaya keluar dari kuldesak penderitaannya.
Tanggal
7 Juni 2024. Gugatan cerai itu kini resmi terdaftar di Pengadilan Agama Wates.
Bagi Eka, momen pendaftaran itu terasa sureal. Setelah berbulan-bulan menimbang,
mengumpulkan keberanian, dan melalui trauma KDRT di akhir tahun sebelumnya yang
diperparah oleh firasat tak enak tentang Yudi, kini langkah hukum itu
benar-benar diambil. Ia tidak ikut langsung ke pengadilan saat
pendaftaran—pengacara yang mengurusnya—namun kabar dari kantor hukum bahwa
gugatannya sudah masuk memberikan campuran perasaan yang rumit: ada kelegaan
tipis karena proses telah dimulai, sebuah titik terang di tengah kemelut, tapi
ada juga kecemasan yang mencekam membayangkan tahapan di depan.
Hari-hari
setelah tanggal 7 Juni terasa berjalan lambat sekaligus cepat. Eka kembali ke
rutinitasnya di rumah orang tua di Kulon Progo. Ia mengantar Deva ke sekolah,
menyiapkan sarapan, membereskan rumah, dan sesekali menerima tawaran menyanyi
di acara-acara terdekat, meskipun fokusnya sering terpecah. Deva, meskipun
masih kecil, adalah jangkar yang menahan Eka agar tidak hanyut dalam kecemasan,
pengingat mengapa ia memulai semua ini, pengingat akan cahaya yang harus ia
jaga. Di atas panggung, ia kembali mencoba menjadi sumber cahaya bagi orang
lain, memancarkan energi positif, tetapi di dalam hati, ia tahu cahaya itu
rapuh dan butuh diisi kembali dari sumber yang lebih dalam. Ia menarik napas,
mengucap "Ya Allah..." dalam hati, setiap kali merasa berat.
Setiap
kali ada telepon berdering dari nomor tak dikenal, jantung Eka berdebar
kencang. Apakah ini dari pengadilan? Atau dari Yudi? Kecemasan itu selalu ada
di lapisan bawah kesadarannya, mengganggu konsentrasinya, bahkan saat ia sedang
bermain dengan Deva atau berlatih vokal. Ia memikirkan kembali semua perlakuan
Yudi, pandangan merendahkannya, kata-kata kasarnya, dan firasat tentang
ketidakberesan yang membuatnya tak tenang. Ia tidak suka ghibah, ia
lebih memilih "curhat" dalam doa kepada Allah.
"Mbak,
ada surat dari pengadilan," ujar Bapak Eka suatu hari, menyerahkan sebuah
amplop resmi.
Tangan
Eka sedikit gemetar saat menerimanya. Isinya bukan panggilan sidang pertama,
melainkan pemberitahuan bahwa gugatannya telah diterima dan sedang dalam proses
administrasi awal, menunggu penetapan majelis hakim dan jadwal sidang.
Tanggal-tanggal penting belum ada di sana, hanya kepastian bahwa roda
pengadilan sudah mulai berputar.
Meskipun
prosesnya belum intens, periode menunggu ini terasa seperti antrean panjang menuju
ketidakpastian. Eka tahu, pengadilan akan segera memanggil Yudi sebagai
Tergugat. Ia membayangkan reaksi Yudi saat menerima surat panggilan itu. Marah?
Mengabaikan? Atau justru akan melakukan sesuatu yang tak terduga, mungkin
terkait firasatnya selama ini? Pikiran-pikiran itu menghantuinya. Pengacaranya
sudah memberitahu bahwa Yudi kemungkinan besar akan dipanggil untuk mediasi
terlebih dahulu, sebuah tahapan wajib di Pengadilan Agama. Mediasi... itu
berarti ia harus duduk satu ruangan, berbicara tatap muka dengan Yudi,
didampingi seorang mediator. Perut Eka terasa mual membayangkannya. Mengingat
kembali insiden November tahun lalu, mengingat semua kata-kata kasar, perlakuan
fisik yang ia terima, pandangan merendahkan Yudi, serta firasat tentang ketidakjujuran
yang selama ini ia rasakan, rasanya mustahil bisa duduk tenang dan berbicara
baik-baik. Namun, ia tahu, mediasi adalah tahapan wajib yang tidak bisa
dihindari. Ya Allah, beri hamba kekuatan untuk menghadapi riak terbesar ini. Ia
menarik napas, mencoba membuang ketakutannya.
Di
tengah ketidakpastian itu, Eka mencoba mencari ketenangan, mencari cahayanya
sendiri dari sumber spiritualnya. Ia habiskan lebih banyak waktu untuk berdoa,
memohon kekuatan dan ketabahan untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Ia
memandangi Deva yang polos bermain, dan tekadnya semakin bulat. Ini semua ia
lakukan demi Deva. Agar Deva bisa tumbuh di lingkungan yang damai, jauh dari
konflik dan kekerasan yang mewarnai pernikahan orang tuanya, bebas dari
bayangan pandangan patriarkal yang meracuni.
Musiknya,
panggung kecil, kini menjadi salah satu pelariannya, tempat ia bisa menjadi
sumber cahaya bagi orang lain. Saat menyanyi, ia bisa sejenak melupakan
masalahnya, menyalurkan emosinya melalui lirik lagu. Namun, bahkan di sana, kadang
bayangan ruang sidang atau wajah Yudi yang marah terlintas, mengganggu alunan
suaranya, mengingatkannya bahwa cahaya di panggung tak sepenuhnya bisa mengusir
gelap dalam hidupnya. Ia menarik napas, "Ya Allah...", memohon
ketenangan setiap kali bayangan itu datang.
Proses
hukum itu kini bukan lagi hanya rencana di atas kertas atau diskusi di ruang
pengacara. Gugatan itu sudah terdaftar, sebuah langkah tak terhindarkan telah
diambil. Periode menunggu ini adalah jeda sebelum badai yang sesungguhnya di ruang
sidang dimulai. Eka tahu, tak lama lagi, ia harus siap menghadapi Yudi kembali,
tidak di rumah atau di tempat kerja, melainkan di hadapan hukum. Dan ia berdoa,
semoga kekuatan yang tersisa di hatinya cukup untuk melewati semua itu demi
dirinya dan putrinya, demi meraih kembali cahaya dan kedamaian yang layak ia
dapatkan, demi keluar dari kuldesak penderitaannya.
Mentari
pagi di Kulon Progo terasa hangat di kulit Eka saat ia menjemur pakaian Deva di
halaman belakang. Sudah beberapa minggu berlalu sejak ia menerima surat
pemberitahuan awal dari pengadilan. Periode menunggu itu diwarnai kecemasan
yang konstan, seperti suara bising di latar belakang pikirannya. Ia terus
menjalani rutinitasnya, mengurus Deva, mencoba fokus pada tawaran menyanyi yang
datang, tetapi bayangan ruang sidang dan wajah Yudi terus menghantuinya.
Firasat tak enak yang dulu muncul, kini terasa semakin kuat seiring mendekatnya
jadwal sidang. Ia menarik napas dalam, "Ya Allah...", memohon
kesiapan jiwa.
"Eka,
ada surat lagi dari pengadilan!" panggil Bapak Eka dari depan rumah,
suaranya terdengar sedikit waspada, tahu betul surat dari pengadilan selalu
membawa ketegangan.
Eka
segera masuk ke dalam. Di tangan Bapaknya, ada sebuah amplop putih berlogo
resmi Pengadilan Agama. Ini dia, pikir Eka, jantungnya langsung berdebar
kencang. Ini pasti panggilan sidangnya.
Tangannya
sedikit gemetar saat ia mengambil amplop itu. Dibukanya perlahan, mengeluarkan
selembar kertas yang berisi tulisan formal. Ini adalah Surat Panggilan Sidang.
Nama Eka Fatmala, yang identitas lengkapnya tertera dalam dokumen gugatan yang
dipegang pengacaranya, tertulis jelas sebagai Penggugat, dan nama Yudistira
Wijaya Bin Slamet sebagai Tergugat. Tanggal dan waktu sidang pertama tertera di
sana. Dan di salah satu paragraf, ada pemberitahuan mengenai kewajiban menempuh
proses mediasi di Pengadilan Agama Sleman, tempat mediasi yang disebutkan dalam
dokumen putusan.
Eka
membaca tulisan itu berulang kali, berusaha mencerna setiap kata. Tanggal
sidang pertama terasa begitu dekat, hanya beberapa minggu lagi. Mediasi... itu
berarti ia harus duduk satu ruangan, berbicara tatap muka dengan Yudi,
didampingi seorang mediator. Perut Eka terasa mual membayangkannya. Mengingat
kembali insiden November tahun lalu, mengingat semua kata-kata kasar, perlakuan
fisik yang ia terima, pandangan merendahkan Yudi, serta firasat tentang
ketidakjujuran yang selama ini ia rasakan, rasanya mustahil bisa duduk tenang
dan berbicara baik-baik. Namun, ia tahu, mediasi adalah tahapan wajib yang
tidak bisa dihindari. Ya Allah, beri hamba kekuatan untuk menghadapi riak
terbesar ini. Ia menarik napas, mencoba membuang ketakutan, dan memohon
ketenangan.
Wajahnya
pasti pucat, karena Ibu Eka yang berdiri di sebelahnya langsung menggenggam
tangannya erat. "Ada apa, Nduk? Jadwalnya sudah keluar?"
Eka
mengangguk lirih, menyerahkan surat itu kepada Ibunya. Bapak Eka ikut mendekat,
membaca isi surat panggilan itu bersama.
"Mediasi
dulu ya, Bu, di Sleman," ujar Bapak Eka, mengonfirmasi lokasi yang tertera
di surat, nada suaranya prihatin.
Eka
menatap Deva yang sedang asyik bermain boneka di sudut ruangan, tidak menyadari
ketegangan yang melingkupi orang-orang dewasa di sekitarnya. Sebuah desakan
kuat muncul di hati Eka. Ia harus kuat. Demi Deva. Proses ini harus dilalui.
Tidak ada jalan mundur. Ia harus menghadapi riak-riak badai ini, bahkan di
ruang mediasi dan persidangan sekalipun, demi mencapai muara kuldesak
penderitaannya dan menemukan jalan menuju cahaya yang ia butuhkan, cahaya yang
bersumber dari keyakinan dan perjuangannya sendiri.
Surat
panggilan sidang itu adalah penanda dimulainya babak baru yang tak
terhindarkan. Kilas balik penderitaan selama pernikahan, KDRT, pandangan
patriarkal yang mengerdilkan, firasat tak enak, dan perpisahan yang menyakitkan
di awal tahun 2022 telah membawa Eka pada titik ini, gerbang pengadilan. Eka
telah kembali ke masa lalu kelam pernikahannya, menggali kembali luka-luka yang
membuatnya berdiri di sana. Kini, dengan tanggal dan waktu yang pasti di
tangan, Eka tahu ia harus mengumpulkan semua sisa kekuatan yang ia miliki,
kekuatan yang ia rasakan getarannya di atas panggung di Bantul, kekuatan dari
doa dan keyakinannya. Proses hukum akan segera dimulai, diawali dengan mediasi
yang menakutkan, dan ia harus siap menghadapi Yudi di arena yang berbeda—ruang
mediasi dan ruang sidang Pengadilan Agama—memperjuangkan kebebasan dan masa
depan yang damai untuk dirinya dan putrinya, keluar dari riak-riak penderitaan
yang menuangnya ke dalam kuldesak. Eka menatap surat panggilan itu, menarik
napas dalam, bersiap melangkah maju menuju babak selanjutnya yang penuh
tantangan.