Episode 2 — Mengenang Riak Penuang Kuldesak

Area belakang panggung Festival ANTV Rame di Bantul masih ramai dengan aktivitas, namun di sudut yang lebih tenang, Eka Fatmala duduk sendiri. Napasnya mulai melambat setelah penampilan yang menguras tenaga dan emosi, tetapi di dalam dadanya, gelombang kecemasan belum sepenuhnya reda. Ia memegang erat botol air mineral, pandangannya kosong menerawang. Keriangan ribuan penonton di depan panggung terdengar samar, seperti gema dari dunia lain yang baru saja ia sentuh dan memberinya kekuatan sesaat. Di depan ribuan orang itu, ia adalah Eka Fatmala sang penghibur, sumber cahaya yang menebarkan energi dan kebahagiaan. Tubuhnya yang ramping dan gerakannya di atas panggung seringkali dipuji, menjadi body goals bagi sebagian perempuan, pujaan mata bagi sebagian laki-laki. Tapi, ironisnya, di balik citra publik yang gemerlap itu, ia justru merasa redup, rapuh, dan membutuhkan cahaya paling besar dalam kegelapan masalah pribadinya.

Tangannya perlahan meraih tas kecilnya yang tergeletak di sampingnya. Ia mengambil ponsel, dan layar itu menyala, menampilkan tanggal: 27 Juli 2024. Angka '27 Juli' itu seperti terpaku di retinanya, dan bayangan kata 'Putusan' kembali melintas, memicu gelombang kecemasan yang lebih pekat dari sebelumnya. Hanya tinggal menghitung hari... Ya Allah, beri hamba kekuatan, bisiknya dalam hati.

Jemarinya yang dingin menyentuh permukaan layar ponsel. Ia membuka galeri foto, seolah mencari pelarian dari beban yang menghimpit. Ia men-scroll ke atas, melewati deretan foto panggung yang berkilauan, foto-foto endorse dengan senyum profesional, dan foto-foto ceria bersama teman. Jemarinya berhenti pada sebuah folder yang jarang ia buka, seolah terdorong oleh kekuatan tak terlihat.

Di layar, muncul sebuah foto lama. Foto Eka tersenyum lembut, terlihat jauh lebih muda dan sederhana, di samping seorang pria berkemeja kasual. Wajah pria itu juga terlihat lebih muda dari ingatannya, tatapannya hangat saat menatap Eka. Itu Yudi. Ia sering memanggilnya Yudi. Foto itu seolah memudar perlahan di pandangannya, lalu layar ponsel meredup sepenuhnya, membawa Eka masuk ke dalam lorong waktu, menuju kilasan memori yang sudah lama terkunci rapat.

Suara riuh festival di Bantul memudar sepenuhnya dari kesadarannya. Berganti dengan alunan musik yang lebih lembut, bernuansa romantis dan tenang, mengiringi perjalanan pikirannya ke masa lalu. Udara terasa lebih ringan, suasana lebih cerah, saat Eka kembali berada di sebuah tempat di Yogyakarta, mungkin taman atau kafe sederhana, bertahun-tahun silam.

Ia melihat dirinya yang lebih muda, berpakaian lebih sederhana, duduk berhadapan dengan seorang pria bernama Yudistira Wijaya Bin Slamet, yang akrab dipanggil Yudi olehnya, juga terlihat jauh lebih muda dan belum mengenakan seragam khas kesatuannya di TNI AU Lanud Adisutjipto.

"Jadi... kamu beneran serius sama dunia tarik suara ini, Eka?" tanya Yudi, tersenyum.

Eka tersenyum balik. "Namanya juga passion, Mas Yudi. Dari kecil sukanya nyanyi."

Yudi tertawa ringan. "Iya sih, suaramu bagus. Aku dengerin kok waktu itu pas kamu nyanyi di acara kampung. Enggak nyangka aja, ternyata penyanyi panggung beneran."

"Belum panggung besar kok ini, Mas Yudi," balas Eka, ikut tertawa. "Masih dari panggung kecil ke panggung kecil. Tapi ya dijalani aja, disyukuri. Ini rezeki halal juga."

"Aku suka semangatmu. Beda dari cewek lain. Kamu nggak cuma nunggu di rumah," ujar Yudi, tatapannya hangat penuh kekaguman, seolah mengapresiasi kemandirian Eka yang berbeda dari stereotip perempuan pada umumnya.

Senyum tulus mengembang di wajah Eka. Ada kehangatan dan kekaguman yang sama di mata Yudi saat itu, menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di dunia. Dulu, suaranya hanya beresonansi di panggung-panggung kecil, dinikmati segelintir orang. Dan di masa itu, ada satu suara yang terdengar paling jelas di telinganya, suara kekaguman dan dukungan dari laki-laki yang ia cintai. Laki-laki yang kelak akan berbagi hidup, merajut janji, dan pada akhirnya, tanpa ia sadari, juga akan membawanya ke dalam badai yang menguji segalanya, badai yang akan menguji apakah cahaya di panggungnya cukup terang untuk menerangi gelapnya kehidupan pribadi, menguji apakah tubuh yang dielu-elukan banyak orang itu punya nilai yang sama di mata pasangannya sendiri. Wajah Eka di masa lalu itu tersenyum bahagia, sebelum gambaran itu perlahan memudar, menenggelamkan pembaca dalam awal kisah yang manis, sebelum kepahitan dimulai.

Di kediaman sederhana keluarga Eka Fatmala di Kulon Progo, tanggal 16 April 2017 menjadi saksi bisu janji suci yang terucap. Bukan di Kantor Urusan Agama, ijab kabul itu dilangsungkan di ruang tamu rumah yang dihias sederhana namun penuh kehangatan. Langit Yogyakarta di luar jendela cerah membiru, seolah ikut merestui momen bahagia Eka Fatmala dan Yudistira Wijaya.

Eka mengenakan kebaya putih yang dipersiapkan khusus untuk hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang tulus. Di sampingnya, Yudi duduk dengan setelan jas yang rapi, senyumnya terus menghiasi wajah saat menatap Eka. Dihadapan penghulu dan disaksikan keluarga dekat serta kerabat, prosesi sakral itu dimulai.

Tangan Yudi terasa hangat dan kokoh saat menggenggam tangan Eka, menyalurkan keyakinan saat mengucapkan ijab kabul. Suaranya terdengar mantap dan jelas di antara keheningan para saksi. Eka mendengarkan dengan hati berdebar kencang, rasa syukur dan cinta meluap di dadanya hingga terasa menyesakkan. Ia menarik napas dalam, mengucapkan "Ya Allah..." dalam hati, memohon kelancaran dan keberkahan untuk awal yang baru ini. Inilah awal yang baru, babak kehidupan yang selama ini ia impikan: membangun keluarga sakinah bersamanya, laki-laki yang ia percaya mengagumi mimpinya sebagai penyanyi, yang berjanji akan selalu menjaganya dalam suka dan duka.

Setelah ijab kabul dinyatakan sah, ucapan selamat mengalir dari para tamu yang memadati ruang tamu dan teras rumah. Pelukan hangat dari Ibu dan Bapaknya terasa melegakan sekaligus mengharukan, senyum mereka adalah restu terindah yang menguatkan langkahnya. Eka yang cenderung pendiam dan tidak suka ghibah, hanya membalas ucapan selamat dengan senyum dan anggukan tulus, menikmati momen sakral bersama orang-orang terdekatnya. Di antara keramaian ucapan selamat, Eka melirik Yudi yang sedang disalami kerabatnya. Ada rasa bangga dan haru melihat laki-laki pilihannya kini resmi menjadi suaminya, disaksikan oleh orang-orang terpenting dalam hidupnya, di rumah yang penuh kenangan masa kecilnya.

Mereka memulai kehidupan bersama di rumah orang tua Eka di Kulon Progo. Hari-hari awal terasa manis, dipenuhi penyesuaian menjadi pasangan suami istri dan tawa kecil yang menghiasi sudut-sudut rumah. Eka tetap menjalankan beberapa jadwal menyanyi di acara-acara lokal, undangan dari kenalan atau acara kampung. Yudi saat itu tampaknya masih memberikan dukungan. Ia bahkan kadang ikut mengantar atau menemani, meski hanya menunggu di kejauhan atau di dalam mobil. Kekaguman di matanya saat melihat Eka di atas panggung masih ada, setidaknya di permukaan pandangannya, memberikan Eka keyakinan bahwa pilihannya tepat. Eka bersyukur, penghasilannya dari menyanyi, bahkan dari panggung-panggung kecil ini, sudah jauh lebih besar dari gaji bulanan Yudi di TNI AU, memberikannya kemandirian finansial yang cukup berarti. Ia pikir, Yudi menghargai itu.

Namun, seiring berjalannya waktu, kehidupan pernikahan membawa rutinitas dan penyesuaian yang lebih dalam. Perlahan, muncul percakapan-percakapan kecil yang tadinya tak berarti, kini mulai terasa agak mengganjal, seperti nada sumbang di antara melodi yang indah. Stereotip tentang peran istri mulai tersisip dalam komentar Yudi.

"Pulangnya jangan terlalu malam ya, Eka," ujar Yudi suatu malam, nadanya bukan melarang dengan keras, tapi ada sedikit ketegasan terselip yang Eka tangkap, seolah ada aturan tak tertulis yang baru Eka sadari. "Sudah jadi istri itu beda. Ada tanggung jawab di rumah." Ia tidak pernah mendengar nada itu sebelumnya dari Yudi terkait pekerjaannya.

"Iya, Mas Yudi. Paling sampai jam sepuluh kok acaranya," jawab Eka, sedikit heran dengan perhatian mendadak itu. "Ini kan juga cari rezeki, Mas."

Di lain waktu, saat Eka sedang berlatih vokal di kamar atau mendengarkan demo lagu baru di ponselnya, Yudi sesekali menunjukkan raut kurang suka saat melintas atau duduk di dekatnya.

"Enggak capek apa nyanyi terus? Sehari-hari di rumah aja dulu lah, nikmatin jadi istri baru," katanya sambil lalu, matanya fokus pada ponselnya, terkesan tidak begitu peduli tapi perkataannya meninggalkan jejak tanya di hati Eka. "Sudah bukan waktunya kayak dulu. Udah ada suami ini yang tanggung jawab."

Eka mengerutkan kening. "Ini kan passion-ku, Mas Yudi. Kan Mas Yudi tahu dari dulu aku suka nyanyi. Aku juga seneng kalau bisa menghibur orang."

Yudi hanya bergumam tidak jelas sebagai jawaban, atau mengalihkan topik, seringkali diselingi komentar tersirat tentang "kodrat perempuan" atau "tugas utama istri yang berbakti pada suami dan rumah tangga", seolah karier Eka adalah bentuk ketidakberbakti an. Eka hanya bisa menarik napas berat. Ya Allah, berilah kesabaran, bisiknya dalam hati.

Hal-hal kecil itu, ganjalan-ganjalan ringan yang Eka coba abaikan karena masih diselimuti kebahagiaan pernikahan, adalah benih-benih perbedaan pandangan yang mulai tumbuh subur, dipupuk oleh pandangan patriarkal yang mungkin dianut Yudi atau lingkungannya. Eka dengan jiwanya yang merdeka, cintanya pada musik, dan keinginannya untuk terus berkarya, dengan penghasilan yang nyatanya lebih besar dari gaji suami. Yudi dengan ekspektasinya akan kehidupan pernikahan yang mungkin tidak sepenuhnya mencakup ambisi profesional Eka di dunia tarik suara, ekspektasi yang perlahan mulai terungkap, mengerdilkan peran Eka di luar rumah tangga dan meremehkan kontribusinya. Kehangatan awal pernikahan perlahan diwarnai nada-nada sumbang yang belum Eka sadari akan menjadi melodi utama yang menyesakkan dalam badai rumah tangga mereka kelak.

Bulan-bulan berlalu, perut Eka semakin membuncit. Kabar kehamilannya disambut suka cita oleh kedua keluarga. Harapan akan hadirnya anggota baru di tengah mereka seolah menjadi perekat yang akan menguatkan fondasi rumah tangga Eka dan Yudi. Awalnya, Yudi tampak antusias. Ia menemani Eka periksa kandungan, mengelus perut Eka yang membesar, dan sesekali membicarakan nama calon bayi mereka. Eka merasa bahagia, membayangkan rumah tangga mereka akan semakin harmonis dengan kehadiran buah hati. Ia berdoa, semoga Adeva kelak bisa menjadi penyejuk di tengah perbedaan mereka.

Namun, seiring perubahan fisik dan emosional yang dialami Eka selama kehamilan, sikap Yudi perlahan kembali menunjukkan sisi yang menggores hati. Stres pekerjaan Yudi di Lanud Adisutjipto, ditambah mungkin dengan kecemasannya sendiri menghadapi peran sebagai ayah, membuat kesabarannya menipis. Perkataan yang tadinya hanya bernada "kurang suka" terhadap kegiatan menyanyi Eka, kini berkembang menjadi komentar-komentar pedas dan merendahkan.

"Kamu tuh ya, lagi hamil gini bukannya fokus istirahat, malah mikirin nanti kalau sudah lahiran mau nyanyi lagi di mana," ujar Yudi suatu sore, saat melihat Eka sedang membuka-buka buku catatan lagu. Nada bicaranya terdengar kasar, seolah menyanyi adalah kegiatan yang tidak pantas bagi calon ibu, melanggar kodrat yang ia yakini.

Eka menatapnya, terkejut. "Aku kan cuma lihat-lihat aja, Mas Yudi. Kan ya sambil persiapan nanti kalau sudah pulih. Lagian kan Mas Yudi tahu aku senang nyanyi. Ini hiburan buatku."

"Senang sih senang, tapi mbok ya tahu diri sedikit!" balas Yudi ketus. "Sudah mau jadi ibu juga. Mikir yang penting-penting aja! Urus rumah, urus nanti kalau anak lahir!" Ia menekankan peran Eka seolah hanya terbatas pada domestik dan pengasuhan, meremehkan kebutuhan Eka akan ekspresi diri.

Hati Eka terasa nyeri mendengar nada dan kata-kata itu. Ini bukan lagi sekadar ganjalan ringan, tapi sudah menyentuh harga dirinya, esensi siapa dirinya di luar peran istri dan calon ibu. Tubuhnya yang mulai membesar, yang tadinya ia harapkan membawa kebahagiaan, justru terasa seperti membuatnya semakin rentan terhadap kritik. Yudi juga jadi mudah tersulut emosi untuk hal-hal kecil. Saat Eka merasa lelah atau mual karena kehamilan dan tidak bisa melakukan pekerjaan rumah secepat biasanya, Yudi akan melontarkan keluhan atau sindiran kasar.

"Gitu aja lemah. Gimana nanti ngurus anak? Calon ibu kok gini amat. Nggak bisa diandelin."

"Dikit-dikit capek. Dari kemarin di rumah aja padahal. Kerjaannya cuma duduk-duduk. Beda sama aku yang cari uang." Ia selalu membandingkan dengan pekerjaannya, seolah itu satu-satunya bentuk 'kerja' yang valid dan mengabaikan fakta bahwa penghasilan Eka jauh lebih besar dari gajinya.

Verbal abuse itu semakin intens. Eka sering menangis diam-diam di kamar mandi, menumpahkan kesedihan dan frustrasinya kepada Allah dalam doa. Ia berusaha berbicara baik-baik dengan Yudi, mengungkapkan perasaannya, tapi Yudi selalu menepis atau berbalik menyalahkannya, mengatakan Eka terlalu sensitif, mengada-ada, atau belum paham "susahnya jadi suami" yang harus bekerja di kesatuan seperti TNI AU. Pada saat yang sama, Eka mulai merasakan firasat tidak enak tentang jadwal kerja Yudi. Pernah, Yudi mengaku ada jadwal piket malam di Lanud Adisutjipto, namun saat Eka mencoba menelepon telepon kantor di sana, dengan alasan menanyakan sesuatu yang mendesak, Yudi ternyata tidak ada di tempat. Firasat "tidak beres" itu muncul pertama kali, seperti riak kecil yang mengganggu ketenangan air, meski Eka berusaha menepisnya, berpikir mungkin hanya salah komunikasi. Ia tidak suka berburuk sangka atau ghibah, tapi instingnya sebagai perempuan dan istri mengatakan ada yang disembunyikan.

Orang tua Eka, meskipun tidak tinggal serumah permanen saat itu, merasakan ketegangan dalam rumah tangga putri mereka. Saat Eka berkunjung ke rumah orang tuanya di Kulon Progo atau berbicara di telepon, mereka menangkap nada bicara Eka yang sering murung, atau mendengar cerita singkat Eka tentang percekcokan. Ibu Eka sering melihat mata Eka sembab. Sesekali, saat Yudi ikut berkunjung, mereka tak sengaja mendengar nada bicara Yudi yang tinggi dan kasar kepada putri mereka. Kekhawatiran tumbuh di hati mereka, mereka juga menangkap gelagat tidak beres dari Yudi, termasuk ketidakjelasan soal pekerjaannya.

Puncaknya, setelah pertengkaran hebat yang dipicu hal sepele namun diwarnai kata-kata Yudi yang sangat menyakitkan dan merendahkan Eka sebagai perempuan dan istri, Eka merasa tidak sanggup lagi. Kondisi mentalnya drop, ia merasa rapuh dan tidak aman. Ia berbicara dengan orang tuanya, menceritakan apa yang dialaminya, termasuk firasatnya tentang Yudi yang mungkin tidak sepenuhnya jujur soal pekerjaannya di Lanud Adisutjipto. Dengan berat hati, dan melihat kondisi Eka yang sangat tertekan, orang tua Eka sepakat bahwa Eka perlu menenangkan diri dan sementara waktu kembali tinggal penuh di rumah mereka di Kulon Progo.

"Pulang dulu saja, Nak," ujar Ibu Eka lembut, memeluk putrinya yang menangis. "Tenangkan diri di sini. Kesehatanmu dan cucu Ibu yang paling penting sekarang."

Eka mengangguk, dadanya sesak. Ya Allah, mudahkanlah, bisiknya lirih. Ia mengemasi beberapa barang seadanya. Yudi tidak mencegahnya pergi, bahkan mungkin terkesan acuh tak acuh. Dalam hati Eka, terselip harapan tipis bahwa jarak ini mungkin bisa membuat Yudi merenung dan mengubah sikapnya. Ia tidak tahu, kepergiannya saat itu adalah awal dari periode sulit yang akan semakin panjang, menjauh dari impian rumah tangga harmonis yang dulu ia genggam erat, dan membuatnya semakin terperangkap dalam kuldesak penderitaan.

Kirana Nadeva Fatima lahir pada 21 Juli 2018, membawa secercah harapan baru dalam hidup Eka. Kehadiran malaikat kecil, yang akrab dipanggil Deva, itu seolah menjadi alasan terkuat bagi Eka untuk mencoba kembali. Setelah masa nifas dan merasa cukup pulih, sekitar akhir Desember 2018, Eka menerima bujukan Yudi untuk kembali membina rumah tangga. Kali ini, mereka tidak tinggal di rumah orang tua Eka. Mereka pindah ke kediaman Ibu Yudi di Sleman, tak jauh dari lokasi kerja Yudi di Lanud Adisutjipto.

Rumah Ibu Yudi di Sleman terasa asing bagi Eka pada awalnya. Ia berusaha keras beradaptasi, berharap lingkungan baru ini bisa membawa suasana yang lebih baik bagi keluarganya. Kehadiran Deva memang membawa kebahagiaan tersendiri. Eka mencurahkan sebagian besar energinya untuk merawat putrinya, menikmati setiap momen tumbuh kembangnya. Ia mencoba melupakan perlakuan Yudi sebelumnya, fokus pada peran barunya sebagai ibu dan istri, berdoa agar kali ini semuanya akan baik-baik saja.

Namun, harapan Eka akan perubahan sikap Yudi perlahan memudar, digantikan rasa kecewa yang kian menumpuk. Yudi memang menunjukkan kasih sayang kepada Deva, tapi sikapnya terhadap Eka dan permasalahan mendasar rumah tangga mereka tak kunjung membaik. Konflik mengenai pekerjaan Eka sebagai penyanyi kembali mencuat. Yudi semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksetujuannya, bahkan melarang Eka untuk menerima tawaran manggung, terutama yang dianggapnya remeh atau dengan bayaran tidak seberapa di matanya. Pandangan stereotip tentang istri yang "seharusnya di rumah" makin sering ia lontarkan, seolah meremehkan kontribusi Eka yang, ironisnya, seringkali jauh melebihi gajinya.

"Buat apa sih nyanyi-nyanyi gitu lagi? Capek-capekin diri aja," kata Yudi sinis saat Eka mendapat tawaran tampil di sebuah acara. "Sudah di rumah aja, ngurus anak. Itu sudah jadi tugas utamamu sebagai istri dan ibu. Jangan kayak cewek murahan keluyuran malam."

Eka merasa tercekik. Ia menarik napas, menahan amarah dan kekecewaan. Ya Allah, kuatkan hamba, bisiknya. "Tapi kan aku suka nyanyi, Mas Yudi. Ini passion-ku. Lagian lumayan kan buat nambah-nambah—"

"Nambah apa?!" potong Yudi dengan nada tinggi. "Urusan uang biar aku yang urus! Aku ini kerja di TNI AU, gajiku cukup! Kamu di rumah aja fokus anak!" Ia menolak mengakui kontribusi Eka, meremehkan pekerjaannya, dan menegaskan bahwa peran finansial hanyalah miliknya, sebuah pandangan patriarkal yang kaku. Padahal, Eka tahu pasti, dari beberapa tawaran menyanyi saja, honornya bisa berkali lipat dari gaji bulanan Yudi. Belum lagi saweran yang ia dapatkan dari penonton yang mengapresiasi penampilannya. Fakta itu, yang seharusnya menjadi kekuatan Eka, justru diremehkan dan dilarang Yudi. Ironis. Gaji Yudi yang sebatas itu, dibalas dengan penolakan atas rezeki yang jauh lebih besar yang bisa Eka hasilkan sendiri.

Namun, ironisnya, di saat Yudi melarangnya bekerja dan berdalih gajinya cukup, kontribusinya untuk kebutuhan rumah tangga dan Eka sangat minim. Sesuai gugatan Eka di dokumen putusan, ia hanya diberi uang Rp 500.000 per bulan, angka yang sangat jauh dari cukup di mata Eka, bahkan untuk kebutuhan dasar Deva sekalipun. Setiap kali Eka mencoba menanyakan gaji Yudi atau meminta lebih untuk kebutuhan rumah tangga, reaksi Yudi selalu marah dan defensif, ia akan berkata: "Gajiku buat apa saja itu urusanku, rasah ngurusi gajiku, Gajimu urusmu, gajiku urusmu. Sing penting tak kasih cukup kalau dak cukup segitu urusmu." Perkataan itu tak hanya merendahkan, tapi juga menutup pintu komunikasi tentang masalah finansial, seolah uang adalah wilayah kekuasaan patriarkal yang tidak boleh diganggu gugat Eka, meskipun Eka sendiri memiliki potensi penghasilan yang jauh lebih besar. Pada saat yang sama, insting Eka tentang Yudi yang "tidak beres" semakin kuat, semakin sering ia tidak ada di Lanud Adisutjipto saat mengaku piket, semakin sering alasannya terdengar mengambang. Pernah Eka mencoba mengonfirmasi diam-diam ke sesama istri anggota, dengan cara yang hati-hati, karena ghibah bukan kebiasaannya, dan dugaannya benar: Yudi tidak berada di tempat yang seharusnya saat mengaku bertugas. Firasat "tidak beres" itu kini bercampur dengan konflik yang ada, menambah beban di hati Eka. Ia mencoba berdoa, memohon petunjuk dan ketenangan, "Ya Allah... apa yang sebenarnya terjadi?"

Tinggal di rumah Ibu Yudi menambah lapisan ketegangan. Meskipun Ibu Yudi mungkin tidak terlibat langsung dalam setiap pertengkaran mereka, kehadiran anggota keluarga lain membuat Eka merasa tidak bebas, seringkali menahan diri untuk tidak menunjukkan emosinya atau membela diri sekuat tenaga, menjaga citra demi menghormati keluarga Yudi. Eka, yang cenderung pendiam, lebih banyak memendam perasaannya atau mencurahkan isi hati dalam doa. Percekcokan jadi sering terjadi dalam bisikan tegang di kamar, atau saat mereka sedang sendirian di luar rumah, di mana Eka mencoba membahas masalah finansial, pekerjaannya, atau ketidakberesan yang ia rasakan terkait jadwal Yudi. Ia melihat tubuhnya di cermin, tubuh yang di panggung dielukan, menjadi body goals, tapi di rumah justru disalahkan, dilarang, bahkan direndahkan. Sungguh ironis, batinnya menjerit.

Harapan Eka untuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, seperti impian awal pernikahannya, perlahan hanya tinggal mimpi belaka. Sikap kasar Yudi, penolakan terhadap kariernya yang dianggap remeh karena stereotip gender, masalah finansial yang tak pernah terselesaikan dengan alasan dominasi pria dalam mencari nafkah, dan firasat kuat tentang sesuatu yang tidak beres terkait kejujuran Yudi, terus menggerogoti keutuhan rumah tangga mereka. Meskipun ada Deva yang menjadi sumber kebahagiaan, Eka semakin merasa terperangkap dalam situasi yang menyesakkan, menyadari bahwa kembali tinggal bersama Yudi ternyata tidak memperbaiki apa pun, justru memperjelas bahwa masalah mereka jauh lebih dalam dari sekadar jarak fisik, berakar pada pandangan hidup yang sangat berbeda, ketidakjujuran yang mungkin disembunyikan, dan riak-riak kecil yang terus menerus menuang penderitaan, membawa mereka ke dalam kuldesak.

Tahun 2022. Langit di atas Sleman terasa kelabu, seperti suasana hati Eka yang sudah lama meredup. Kehidupan rumah tangga di bawah atap ibu Yudi bukannya membaik, malah semakin memburuk. Percekcokan tentang pekerjaan menyanyi Eka yang terus dilarang karena stereotip "istri di rumah" dan masalah nafkah tak hanya intens, tapi juga semakin panas dan tak terkendali. Yudi kian sering melontarkan kata-kata kasar yang merendahkan, menuding Eka tidak becus mengurus rumah tangga atau hanya mementingkan diri sendiri karena masih ingin menyanyi, seolah keinginan Eka untuk berkarya adalah aib yang mencoreng nama baiknya sebagai anggota TNI AU.

"Kamu tuh ya, dibilangin susah banget! Kepala batu!" teriak Yudi suatu sore, suaranya menggelegar di ruang tamu. Deva, putri mereka yang saat itu berusia sekitar tiga tahun, tampak ketakutan di dekat Eka, merasakan aura negatif orang tuanya.

"Aku cuma pengen Mas Yudi ngerti, aku nyanyi itu juga karena aku suka, Mas Yudi. Dan kalau ada hasilnya kan bisa buat Deva—" Eka mencoba menjelaskan, suaranya bergetar, mencoba mencari validasi untuk dirinya dan pekerjaannya di tengah pandangan merendahkan Yudi.

"Gak usah banyak alasan! Udah! Aku udah muak!" potong Yudi, matanya memerah. "Aku capek sama kamu yang nggak pernah nurut! Nggak hargain aku sebagai suami! Nggak ngerti tugasmu itu ngurus rumah, ngurus anak! Bukan keluyuran nyanyi nggak jelas! Mana ada istri TNI AU keluyuran nyanyi di panggung orkes!" Dia berdiri tegak di depan Eka, aura kemarahan memancar kuat, didukung oleh keyakinan akan superioritasnya sebagai kepala keluarga yang berhak mengatur segalanya, dan mungkin juga rasa terancam oleh kemandirian finansial Eka yang jauh melebihi dirinya. Eka menatapnya, hatinya hancur melihat bagaimana pandangan sempit Yudi menghancurkan dirinya. Ia menarik napas dalam. Ya Allah... bisiknya, memohon ketenangan. Ia melihat tubuhnya, tubuh yang di luar sana dipuja, kini di hadapan suaminya sendiri tak punya harga di luar fungsi domestik.

"Aku rasa... kita nggak bisa gini terus," ujar Yudi, suaranya sedikit merendah tapi penuh ketegasan final. "Aku anterin kamu pulang aja."

Eka tertegun. "Pulang? Pulang ke mana, Mas Yudi?"

"Ke rumah orang tuamu di Kulon Progo!" kata Yudi, nada bicaranya kembali meninggi, terdengar seperti perintah yang tak terbantahkan, mengembalikannya ke "tempat asal" karena dianggap gagal menjalankan tugas di "wilayah" Yudi. "Kamu di sana aja. Aku udah nggak tahan sama kelakuanmu! Udah sana!"

Kata-kata itu seperti pukulan telak, diperparah oleh alasan di baliknya. "Mengembalikan". Eka merasa seperti barang yang tidak diinginkan, yang dikirim kembali ke pengirimnya karena cacat atau tidak berfungsi sesuai harapan pemiliknya, terutama dalam menjalankan peran stereotip istri yang patuh dan berdiam diri di rumah. Air mata langsung menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Deva yang bersembunyi di belakang kakinya, hati perih membayangkan dampak perpisahan ini pada putrinya.

"Terus Deva gimana, Mas Yudi?" tanya Eka lirih, suaranya tercekat.

"Deva biar sama kamu dulu," jawab Yudi, nadanya terdengar final, seolah keputusan itu sudah bulat tanpa perlu diskusi, mengabaikan hak Eka untuk berpendapat atau bernegosiasi. "Nanti diurus lagi gimana baiknya."

Malam itu, di tengah kelelahan emosional yang luar biasa, Eka mengemasi barang-barang Deva dan miliknya. Bukan kepulangan untuk menenangkan diri seperti saat hamil dulu, kali ini terasa berbeda. Ini adalah pengusiran, penolakan total terhadap dirinya. Yudi mengantarnya dan Deva kembali ke rumah orang tuanya di Kulon Progo. Di dalam mobil, suasana hening dan dingin. Tidak ada percakapan panjang, hanya ketegangan yang menyesakkan dan pikiran Eka yang berkecamuk, memikirkan kembali semua kejanggalan, termasuk firasat tentang ketidakberesan terkait jadwal piket Yudi di Lanud Adisutjipto. Ia menarik napas dalam. Ya Allah, tunjukkan jalan, bisiknya dalam hati.

Saat tiba di rumah orang tuanya, Eka disambut wajah cemas Ibu dan Bapaknya. Melihat Eka datang membawa Deva dengan mata sembab dan Yudi hanya menurunkan barang tanpa banyak bicara, mereka langsung mengerti. Eka memeluk ibunya, menangis tersedu-sedu, mencurahkan isi hatinya yang selama ini ia pendam, menceritakan apa yang terjadi, termasuk beban mental akibat pandangan merendahkan Yudi terhadap dirinya sebagai perempuan yang bekerja, dan kecurigaannya yang mengganggu terkait jadwal kerja Yudi. Orang tuanya mendengarkan dengan sabar, hati mereka ikut perih. Mereka menguatkan Eka, mendukungnya untuk mengambil keputusan terbaik. Eka, yang cenderung pendiam, merasa sedikit lebih ringan setelah berbagi beban dengan orang tuanya, meskipun ia tidak menceritakan setiap detail ketidakberesan yang ia rasakan, ia hanya mengatakan ada yang "tidak beres" dengan Yudi.

Sejak malam itu di awal tahun 2022, rumah di Kulon Progo kembali menjadi satu-satunya tempat Eka Fatmala dan Deva bernaung. Pisah rumah yang tadinya hanya sementara saat Eka hamil, kini menjadi permanen. Komunikasi antara Eka dan Yudi praktis terhenti, atau jika ada pun, hanya sebatas urusan Deva dan seringkali diwarnai ketegangan. Harapan untuk kembali hidup bersama semakin menipis, terkikis oleh jarak, kebisuan, luka yang tak kunjung sembuh, dan ketidakpercayaan yang sudah terlanjur mengakar akibat "riak-riak" kecil yang terus menerus muncul, menuang kepedihan yang membawanya ke dalam kuldesak penderitaan. Eka hanya bisa berserah diri pada Allah, berdoa memohon kekuatan dan jalan keluar.

November 2022. Eka berdiri di atas panggung kecil sebuah acara komunitas di pinggiran kota. Cahaya lampu temaram menyorotnya, suaranya mengalun membawakan lagu-lagu campursari yang familiar di telinga penonton. Sudah beberapa bulan sejak ia kembali tinggal di rumah orang tuanya. Ia mencoba menata kembali hidupnya, kembali aktif mengambil tawaran menyanyi demi menafkahi diri dan Deva, serta untuk menjaga kewarasannya. Di atas panggung, ia adalah Eka, penyanyi yang menebarkan keceriaan, sumber cahaya bagi mereka yang menikmati alunan musiknya. Tubuhnya bergerak luwes, disorot lampu, dielu-elukan, menjadi objek kekaguman publik. Namun di balik senyum dan goyangannya, ada perempuan rapuh yang desperately mencari cahayanya sendiri di tengah gelapnya kehidupan pribadi, ironi yang begitu menyakitkan. Tubuh yang menjadi pujaan banyak mata itu, justru tak mendapatkan penghargaan yang layak dari satu-satunya laki-laki yang berjanji mencintainya dan melindunginya.

Saat sedang asyik berinteraksi dengan penonton dan bersiap menyanyikan lagu berikutnya, pandangan mata Eka tak sengaja menangkap sosok yang berdiri agak di kejauhan, di pinggir kerumunan. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Yudi. Ia ada di sana, menatap Eka dengan sorot mata tajam yang belum pernah Eka lihat sebelumnya. Ada kemarahan yang jelas tergambar di wajahnya, bukan sekadar ketidaksetujuan yang biasa Eka hadapi.

Eka mencoba mengabaikannya, profesionalisme menuntutnya untuk tetap fokus pada penampilan. Ia menarik napas dalam, "Ya Allah..." bisiknya, memohon ketenangan dan kekuatan. Ia tersenyum pada penonton dan mulai menyanyi, berusaha mengarahkan energinya hanya pada musik, pada cahaya di panggung itu. Namun, keberadaan Yudi yang mengawasinya membuat tenggorokannya tercekat, suaranya sedikit bergetar. Terlintas di benaknya, bukankah seharusnya Yudi sedang piket di Lanud Adisutjipto malam ini? Firasat "tidak beres" itu kembali muncul di waktu yang paling tidak tepat, membuat perutnya mual.

Setelah selesai dengan satu lagu, Eka bergegas turun dari panggung, berencana menghindar atau berbicara sebentar dengan Yudi di area yang lebih pribadi. Namun, belum sempat ia melangkah jauh, Yudi sudah menerobos kerumunan kecil di belakang panggung dan menghampirinya dengan langkah cepat dan sorot mata mengancam.

"Ngapain kamu di sini?! Malam-malam begini bukannya di rumah ngurus anak, malah keluyuran nggak jelas!" Yudi langsung menyerang dengan suara rendah namun penuh amarah yang tertahan, nyaris seperti geraman, mengabaikan fakta bahwa Eka sedang bekerja mencari nafkah yang mungkin lebih layak dari pemberiannya, merendahkan Eka sebagai istri dan ibu.

Eka mundur selangkah, terkejut dengan intensitas kemarahan Yudi. "Mas Yudi, aku kerja—"

"Kerja apa?! Penyanyi orkes murahan gini kamu sebut kerja?! Ini bukan tempat orang baik-baik! Kamu itu istri anggota, jaga sikap! Jangan bikin malu!" potong Yudi, suaranya meninggi sedikit namun masih berusaha menjaga agar tidak terlalu menarik perhatian banyak orang. Wajahnya mendekat ke wajah Eka, dipenuhi pandangan merendahkan, didorong oleh rasa malu dan aib yang ia rasakan atas pekerjaan Eka, serta mungkin rasa bersalah karena Eka ada di sana sementara ia mengaku sedang bertugas di tempat lain. "Aku udah bilang jangan nyanyi-nyanyi lagi! Kamu tuh bikin malu aku! Bikin malu keluarga!"

"Mas Yudi, jangan gini di sini—" Eka mencoba menahan lengan Yudi, khawatir ada yang melihat. Firasat buruk tadi bercampur dengan ketakutan, ia merasakan sesuatu yang sangat "tidak beres" kali ini, bukan hanya soal pekerjaannya, tapi mungkin ada hal lain yang disembunyikan Yudi. Ia berdoa dalam hati, Ya Allah, lindungi hamba.

"Diam kamu! Nggak usah ngatur aku!" sentak Yudi. Umpatan kasar, yang belum pernah Eka dengar selantang itu keluar dari mulut Yudi, menghantam telinga Eka seperti tamparan. Belum sempat Eka mencerna kata-kata kotor itu, tangan Yudi bergerak kasar, menarik lengan Eka dengan kuat, mencengkeramnya hingga terasa sakit, seolah ingin menyeretnya pergi dari sana, menariknya dari "dunianya" yang dianggap hina, kembali ke "tempatnya" sebagai istri yang patuh dan berdiam diri di rumah.

Eka meringis kesakitan, mencoba melepaskan diri. "Lepas, Mas Yudi! Sakit!"

Yudi tidak peduli. Cengkeramannya semakin kuat. Dalam kepanikan dan rasa sakit, Eka berusaha berontak. Pergulatan singkat terjadi di sudut belakang panggung yang remang-remang. Yudi mendorong Eka, membuatnya terhuyung dan menabrak tumpukan peralatan. Eka merasakan sakit di punggungnya, napasnya tercekat. Yudi melangkah mendekat lagi dengan tatapan penuh ancaman, siap melancarkan serangan verbal lainnya, atau mungkin lebih dari itu, terdorong oleh kemarahan patriarkal dan mungkin rasa bersalah atas ketidakjujuran yang lain yang ia sembunyikan.

Namun, beberapa kru acara yang melihat kejadian itu segera mendekat, melerai dengan sopan namun tegas. "Maaf, Mas, ada apa ini? Mohon tenang ya."

Yudi terpaksa melepaskan cengkeramannya pada Eka, tapi sorot matanya masih penuh kemarahan yang membara. Ia menatap Eka dengan kebencian yang membuat Eka merinding, melontarkan satu lagi umpatan terakhir sebelum akhirnya berbalik dan pergi meninggalkan lokasi dengan langkah terburu-buru.

Eka terduduk di lantai yang dingin, napasnya tersengal, air mata mengalir deras di pipinya. Lengan yang dicengkeram Yudi terasa nyeri dan mulai membiru. Lebih dari rasa sakit fisik, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Pengalaman KDRT itu, di depan mata orang lain, meski hanya kru, di tempat ia mencari nafkah dan melarikan diri dari kenyataan pahit, adalah titik terendah. Ia merasa terhina, ketakutan, dan benar-benar patah harapan. Di panggung tadi ia adalah cahaya bagi orang lain, kini ia terpuruk dalam gelap, diserang di tempat ia mencari penerangan. Tubuhnya yang dielu-elukan, kini terasa sakit dan ternoda.

Malam itu, di sudut belakang panggung yang gelap, Eka menyadari dengan kepedihan yang menusuk bahwa pernikahannya sudah benar-benar hancur. Sikap kasar dan merendahkan Yudi, yang diperparah oleh pandangan patriarkal dan ketidakberesan yang ia rasakan, telah memuncak menjadi kekerasan fisik. Tidak ada lagi yang bisa diperbaiki, tidak ada lagi harapan yang bisa dipertahankan. Kejadian di bulan November 2022 itu menjadi pukulan terakhir yang membuat Eka sadar: ia harus keluar dari lingkaran setan ini sepenuhnya. Ia harus berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi demi Deva, demi masa depan yang lebih aman dan damai, masa depan di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, Eka sang penyanyi dan Eka sang ibu, tanpa harus direndahkan atau diancam, masa depan di mana tubuhnya dihargai bukan hanya sebagai objek pandangan publik. Keputusan untuk menempuh jalur hukum, untuk menggugat cerai, akhirnya bulat di benaknya, terdorong oleh luka fisik dan batin yang perih, dan kesadaran bahwa ia layak mendapatkan cahaya dalam hidupnya, terlepas dari gelap yang ditorehkan Yudi. Ya Allah... kuatkan hamba, lindungi hamba dan Deva, bisiknya dalam hati, memantapkan tekadnya.

Hari-hari setelah insiden di tempat kerja terasa seperti berjalan dalam kabut. Luka fisik di lengan Eka perlahan memudar menjadi memar keunguan, tetapi luka di hatinya jauh lebih dalam dan perih. Ketakutan bercampur dengan kemarahan dan rasa lelah yang luar biasa. Eka menghabiskan banyak waktu bersama Deva di rumah orang tuanya di Kulon Progo, tempat ia tinggal sejak diusir Yudi. Ia mencari kekuatan dalam dekapan putrinya dan dukungan tanpa syarat dari Ibu dan Bapaknya. Mereka melihat kondisi Eka, mendengar ceritanya, termasuk firasatnya tentang ketidakberesan yang dirasakan terkait Yudi, dan hati mereka hancur melihat penderitaan putri mereka. Mereka juga mengkhawatirkan ketidakberesan yang dirasakan Eka terkait Yudi.

"Kamu nggak bisa terus-terusan begini, Nak," ujar Bapak Eka suatu sore, nadanya lembut tapi penuh ketegasan. "Dia sudah keterlaluan. Ini bukan lagi masalah rumah tangga biasa. Ini sudah soal keselamatanmu. Soal martabatmu. Cari cahaya lain, Nak."

Ibu Eka mengangguk, air matanya berlinang. "Kami akan selalu ada untukmu, Nduk. Apa pun keputusanmu, kami dukung. Kamu berhak bahagia, kamu berhak dapatkan kehidupan yang baik. Jangan ghibahkan dia, tapi ambil tindakan yang benar."

Kata-kata orang tuanya menguatkan Eka. Ia tahu mereka benar. Ia tidak bisa terus hidup di bawah ancaman dan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Terutama kini ia punya Deva yang harus dilindungi. Ia juga tidak bisa terus-menerus merasa cemas dengan ketidakberesan yang ia rasakan, terus menerus hidup dalam riak ketidakpastian. Setelah merenung panjang, berdoa, dan mengumpulkan keberanian yang tersisa, Eka membuat keputusan berat namun bulat. Ia akan mengakhiri pernikahan ini secara hukum. Ia akan menuntut keadilan, menuntut pengakuan atas harga dirinya, dan memperjuangkan hak asuh Deva serta nafkah yang layak, menggunakan jalur yang benar, bukan dengan ghibah atau mengumbar masalah. Ia menarik napas dalam, mengucap "Ya Allah..." memohon petunjuk dan kekuatan.

Langkah pertama terasa begitu berat, tapi harus dilakukan. Eka mulai mencari informasi. Ia bertanya kepada beberapa kenalan, mencari rekomendasi pengacara yang berpengalaman menangani kasus perceraian, KDRT, dan hak asuh anak. Beberapa nama muncul, ia membandingkan, hingga akhirnya ia menemukan kontak kantor hukum yang dirasa tepat, Kantor HR ASSOCIATES.

Beberapa hari kemudian, dengan ditemani Bapaknya untuk memberikan dukungan moral, Eka mendatangi kantor hukum tersebut. Bangunannya terlihat profesional, memberikan sedikit rasa gentar namun juga harapan. Di ruang konsultasi, Eka duduk berhadapan dengan seorang pengacara, Cahyo Irawan, S.H., salah satu kuasa hukum yang namanya kelak tercatat dalam dokumen putusan.

Awalnya, Eka berbicara dengan suara pelan, ragu-ragu, seolah masih takut untuk membuka kembali luka lamanya, ia memang tidak suka menceritakan masalah pribadinya pada sembarang orang. Ia menceritakan awal pernikahannya, harapan-harapannya yang pupus, konflik yang terus terjadi mengenai pekerjaan dan nafkah, pandangan merendahkan Yudi terhadap kariernya karena stereotip gender, kekerasan verbal yang dialaminya selama bertahun-tahun, pisah rumah di awal 2022, firasatnya tentang hal "tidak beres" terkait pekerjaan Yudi di Lanud Adisutjipto dan kejujurannya, dan puncaknya, insiden KDRT di bulan November 2022. Saat menceritakan bagian KDRT, suara Eka bergetar, air mata kembali menetes, namun ia berusaha keras untuk tidak terisak. Ia juga menyampaikan kekhawatirannya tentang Deva dan hak asuh, serta masalah nafkah yang tidak pernah mencukupi dari Yudi yang gajinya sebenarnya kalah jauh dari potensi penghasilannya sendiri. Ia merasa ironis, tubuh yang dielu-elukan publik justru tak dianggap berharga dalam rumah tangganya.

Pengacara Cahyo mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat poin-poin penting. Tatapannya profesional namun menunjukkan empati. Setelah Eka selesai bercerita, ia mengangguk.

"Saya mengerti, Mbak Eka. Situasi yang Anda alami sangat berat. Tindakan suami Anda termasuk dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan alasan-alasan yang Anda sampaikan, termasuk perselisihan terus-menerus dan pisah rumah, cukup kuat untuk mengajukan gugatan cerai," ujar Pak Cahyo dengan tenang. "Mengenai nafkah dan hak asuh anak, itu juga akan menjadi poin penting dalam gugatan kita. Penghasilan Anda dari menyanyi bisa menjadi pertimbangan dalam penentuan nafkah anak." Ia menjelaskan proses hukum yang akan Eka tempuh, mulai dari pendaftaran gugatan di Pengadilan Agama, upaya mediasi, hingga persidangan dan putusan. Ia juga menjelaskan mengenai hak-hak Eka terkait perceraian, pembagian harta, jika ada, dan yang terpenting bagi Eka, hak asuh anak serta kewajiban nafkah dari suami.

Mendengarkan penjelasan Pak Cahyo membuat gambaran di benak Eka menjadi lebih jelas, meskipun prosesnya terdengar panjang dan melelahkan. Tapi ada secercah cahaya di ujung terowongan, harapan untuk keluar dari kuldesak penderitaan ini. Ini adalah jalan untuk keluar dari penderitaan, jalan untuk meraih kembali martabatnya, dan jalan untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi Deva, masa depan di mana ia tidak perlu mengkhawatirkan "riak-riak" ketidakberesan atau penderitaan yang ditorehkan Yudi.

"Kami siap membantu Anda, Mbak Eka. Kami akan berjuang untuk hak Anda dan hak putri Anda," kata Pak Cahyo meyakinkan.

Eka menarik napas dalam, mencoba menghapus jejak air mata di pipi. Ya Allah, mudahkanlah, bisiknya dalam hati. Ia menatap Bapaknya yang duduk di sampingnya, Bapak mengangguk menguatkan. Dengan tekad yang bulat, meskipun masih terselip rasa takut, Eka mengangguk kepada Pak Cahyo.

"Baik, Pak. Saya putuskan... saya akan ajukan gugatan cerai."

Adegan berakhir dengan Eka menerima formulir awal atau dokumen yang perlu ditandatangani, termasuk Surat Kuasa Khusus yang akan memberikan wewenang kepada tim pengacara HR ASSOCIATES untuk mewakilinya di pengadilan. Surat Kuasa ini ditandatangani pada 25 Agustus 2023, menandakan ada jeda waktu antara keputusan Eka dan proses administrasi awal, mungkin untuk persiapan data atau biaya, periode mengumpulkan bukti dan kekuatan terakhir. Ini adalah langkah awal yang monumental bagi Eka, langkah pertama dalam perjuangan hukum yang akan menguji ketahanan mental dan emosionalnya, sebuah upaya mencari cahaya ketika gelap telah terlalu lama hinggap, upaya keluar dari kuldesak penderitaannya.

Tanggal 7 Juni 2024. Gugatan cerai itu kini resmi terdaftar di Pengadilan Agama Wates. Bagi Eka, momen pendaftaran itu terasa sureal. Setelah berbulan-bulan menimbang, mengumpulkan keberanian, dan melalui trauma KDRT di akhir tahun sebelumnya yang diperparah oleh firasat tak enak tentang Yudi, kini langkah hukum itu benar-benar diambil. Ia tidak ikut langsung ke pengadilan saat pendaftaran—pengacara yang mengurusnya—namun kabar dari kantor hukum bahwa gugatannya sudah masuk memberikan campuran perasaan yang rumit: ada kelegaan tipis karena proses telah dimulai, sebuah titik terang di tengah kemelut, tapi ada juga kecemasan yang mencekam membayangkan tahapan di depan.

Hari-hari setelah tanggal 7 Juni terasa berjalan lambat sekaligus cepat. Eka kembali ke rutinitasnya di rumah orang tua di Kulon Progo. Ia mengantar Deva ke sekolah, menyiapkan sarapan, membereskan rumah, dan sesekali menerima tawaran menyanyi di acara-acara terdekat, meskipun fokusnya sering terpecah. Deva, meskipun masih kecil, adalah jangkar yang menahan Eka agar tidak hanyut dalam kecemasan, pengingat mengapa ia memulai semua ini, pengingat akan cahaya yang harus ia jaga. Di atas panggung, ia kembali mencoba menjadi sumber cahaya bagi orang lain, memancarkan energi positif, tetapi di dalam hati, ia tahu cahaya itu rapuh dan butuh diisi kembali dari sumber yang lebih dalam. Ia menarik napas, mengucap "Ya Allah..." dalam hati, setiap kali merasa berat.

Setiap kali ada telepon berdering dari nomor tak dikenal, jantung Eka berdebar kencang. Apakah ini dari pengadilan? Atau dari Yudi? Kecemasan itu selalu ada di lapisan bawah kesadarannya, mengganggu konsentrasinya, bahkan saat ia sedang bermain dengan Deva atau berlatih vokal. Ia memikirkan kembali semua perlakuan Yudi, pandangan merendahkannya, kata-kata kasarnya, dan firasat tentang ketidakberesan yang membuatnya tak tenang. Ia tidak suka ghibah, ia lebih memilih "curhat" dalam doa kepada Allah.

"Mbak, ada surat dari pengadilan," ujar Bapak Eka suatu hari, menyerahkan sebuah amplop resmi.

Tangan Eka sedikit gemetar saat menerimanya. Isinya bukan panggilan sidang pertama, melainkan pemberitahuan bahwa gugatannya telah diterima dan sedang dalam proses administrasi awal, menunggu penetapan majelis hakim dan jadwal sidang. Tanggal-tanggal penting belum ada di sana, hanya kepastian bahwa roda pengadilan sudah mulai berputar.

Meskipun prosesnya belum intens, periode menunggu ini terasa seperti antrean panjang menuju ketidakpastian. Eka tahu, pengadilan akan segera memanggil Yudi sebagai Tergugat. Ia membayangkan reaksi Yudi saat menerima surat panggilan itu. Marah? Mengabaikan? Atau justru akan melakukan sesuatu yang tak terduga, mungkin terkait firasatnya selama ini? Pikiran-pikiran itu menghantuinya. Pengacaranya sudah memberitahu bahwa Yudi kemungkinan besar akan dipanggil untuk mediasi terlebih dahulu, sebuah tahapan wajib di Pengadilan Agama. Mediasi... itu berarti ia harus duduk satu ruangan, berbicara tatap muka dengan Yudi, didampingi seorang mediator. Perut Eka terasa mual membayangkannya. Mengingat kembali insiden November tahun lalu, mengingat semua kata-kata kasar, perlakuan fisik yang ia terima, pandangan merendahkan Yudi, serta firasat tentang ketidakjujuran yang selama ini ia rasakan, rasanya mustahil bisa duduk tenang dan berbicara baik-baik. Namun, ia tahu, mediasi adalah tahapan wajib yang tidak bisa dihindari. Ya Allah, beri hamba kekuatan untuk menghadapi riak terbesar ini. Ia menarik napas, mencoba membuang ketakutannya.

Di tengah ketidakpastian itu, Eka mencoba mencari ketenangan, mencari cahayanya sendiri dari sumber spiritualnya. Ia habiskan lebih banyak waktu untuk berdoa, memohon kekuatan dan ketabahan untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Ia memandangi Deva yang polos bermain, dan tekadnya semakin bulat. Ini semua ia lakukan demi Deva. Agar Deva bisa tumbuh di lingkungan yang damai, jauh dari konflik dan kekerasan yang mewarnai pernikahan orang tuanya, bebas dari bayangan pandangan patriarkal yang meracuni.

Musiknya, panggung kecil, kini menjadi salah satu pelariannya, tempat ia bisa menjadi sumber cahaya bagi orang lain. Saat menyanyi, ia bisa sejenak melupakan masalahnya, menyalurkan emosinya melalui lirik lagu. Namun, bahkan di sana, kadang bayangan ruang sidang atau wajah Yudi yang marah terlintas, mengganggu alunan suaranya, mengingatkannya bahwa cahaya di panggung tak sepenuhnya bisa mengusir gelap dalam hidupnya. Ia menarik napas, "Ya Allah...", memohon ketenangan setiap kali bayangan itu datang.

Proses hukum itu kini bukan lagi hanya rencana di atas kertas atau diskusi di ruang pengacara. Gugatan itu sudah terdaftar, sebuah langkah tak terhindarkan telah diambil. Periode menunggu ini adalah jeda sebelum badai yang sesungguhnya di ruang sidang dimulai. Eka tahu, tak lama lagi, ia harus siap menghadapi Yudi kembali, tidak di rumah atau di tempat kerja, melainkan di hadapan hukum. Dan ia berdoa, semoga kekuatan yang tersisa di hatinya cukup untuk melewati semua itu demi dirinya dan putrinya, demi meraih kembali cahaya dan kedamaian yang layak ia dapatkan, demi keluar dari kuldesak penderitaannya.

Mentari pagi di Kulon Progo terasa hangat di kulit Eka saat ia menjemur pakaian Deva di halaman belakang. Sudah beberapa minggu berlalu sejak ia menerima surat pemberitahuan awal dari pengadilan. Periode menunggu itu diwarnai kecemasan yang konstan, seperti suara bising di latar belakang pikirannya. Ia terus menjalani rutinitasnya, mengurus Deva, mencoba fokus pada tawaran menyanyi yang datang, tetapi bayangan ruang sidang dan wajah Yudi terus menghantuinya. Firasat tak enak yang dulu muncul, kini terasa semakin kuat seiring mendekatnya jadwal sidang. Ia menarik napas dalam, "Ya Allah...", memohon kesiapan jiwa.

"Eka, ada surat lagi dari pengadilan!" panggil Bapak Eka dari depan rumah, suaranya terdengar sedikit waspada, tahu betul surat dari pengadilan selalu membawa ketegangan.

Eka segera masuk ke dalam. Di tangan Bapaknya, ada sebuah amplop putih berlogo resmi Pengadilan Agama. Ini dia, pikir Eka, jantungnya langsung berdebar kencang. Ini pasti panggilan sidangnya.

Tangannya sedikit gemetar saat ia mengambil amplop itu. Dibukanya perlahan, mengeluarkan selembar kertas yang berisi tulisan formal. Ini adalah Surat Panggilan Sidang. Nama Eka Fatmala, yang identitas lengkapnya tertera dalam dokumen gugatan yang dipegang pengacaranya, tertulis jelas sebagai Penggugat, dan nama Yudistira Wijaya Bin Slamet sebagai Tergugat. Tanggal dan waktu sidang pertama tertera di sana. Dan di salah satu paragraf, ada pemberitahuan mengenai kewajiban menempuh proses mediasi di Pengadilan Agama Sleman, tempat mediasi yang disebutkan dalam dokumen putusan.

Eka membaca tulisan itu berulang kali, berusaha mencerna setiap kata. Tanggal sidang pertama terasa begitu dekat, hanya beberapa minggu lagi. Mediasi... itu berarti ia harus duduk satu ruangan, berbicara tatap muka dengan Yudi, didampingi seorang mediator. Perut Eka terasa mual membayangkannya. Mengingat kembali insiden November tahun lalu, mengingat semua kata-kata kasar, perlakuan fisik yang ia terima, pandangan merendahkan Yudi, serta firasat tentang ketidakjujuran yang selama ini ia rasakan, rasanya mustahil bisa duduk tenang dan berbicara baik-baik. Namun, ia tahu, mediasi adalah tahapan wajib yang tidak bisa dihindari. Ya Allah, beri hamba kekuatan untuk menghadapi riak terbesar ini. Ia menarik napas, mencoba membuang ketakutan, dan memohon ketenangan.

Wajahnya pasti pucat, karena Ibu Eka yang berdiri di sebelahnya langsung menggenggam tangannya erat. "Ada apa, Nduk? Jadwalnya sudah keluar?"

Eka mengangguk lirih, menyerahkan surat itu kepada Ibunya. Bapak Eka ikut mendekat, membaca isi surat panggilan itu bersama.

"Mediasi dulu ya, Bu, di Sleman," ujar Bapak Eka, mengonfirmasi lokasi yang tertera di surat, nada suaranya prihatin.

Eka menatap Deva yang sedang asyik bermain boneka di sudut ruangan, tidak menyadari ketegangan yang melingkupi orang-orang dewasa di sekitarnya. Sebuah desakan kuat muncul di hati Eka. Ia harus kuat. Demi Deva. Proses ini harus dilalui. Tidak ada jalan mundur. Ia harus menghadapi riak-riak badai ini, bahkan di ruang mediasi dan persidangan sekalipun, demi mencapai muara kuldesak penderitaannya dan menemukan jalan menuju cahaya yang ia butuhkan, cahaya yang bersumber dari keyakinan dan perjuangannya sendiri.

Surat panggilan sidang itu adalah penanda dimulainya babak baru yang tak terhindarkan. Kilas balik penderitaan selama pernikahan, KDRT, pandangan patriarkal yang mengerdilkan, firasat tak enak, dan perpisahan yang menyakitkan di awal tahun 2022 telah membawa Eka pada titik ini, gerbang pengadilan. Eka telah kembali ke masa lalu kelam pernikahannya, menggali kembali luka-luka yang membuatnya berdiri di sana. Kini, dengan tanggal dan waktu yang pasti di tangan, Eka tahu ia harus mengumpulkan semua sisa kekuatan yang ia miliki, kekuatan yang ia rasakan getarannya di atas panggung di Bantul, kekuatan dari doa dan keyakinannya. Proses hukum akan segera dimulai, diawali dengan mediasi yang menakutkan, dan ia harus siap menghadapi Yudi di arena yang berbeda—ruang mediasi dan ruang sidang Pengadilan Agama—memperjuangkan kebebasan dan masa depan yang damai untuk dirinya dan putrinya, keluar dari riak-riak penderitaan yang menuangnya ke dalam kuldesak. Eka menatap surat panggilan itu, menarik napas dalam, bersiap melangkah maju menuju babak selanjutnya yang penuh tantangan.