Beberapa musim telah
berganti sejak putusan itu dibacakan. Kehidupan Eka Fatmala terus berjalan,
seperti irama musik yang tak pernah berhenti. Panggung demi panggung masih ia
jelajahi, dari festival besar hingga hajatan sederhana di pelosok desa. Namun,
kini ada ketenangan berbeda yang terpancar dari sorot matanya, ketenangan yang
lahir dari penerimaan dan kemandirian.
Rumah modernnya di ujung
kota menjadi saksi bisu perjuangannya menata kembali kepingan hidup. Deva
tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas dan ceria, sumber tawa sekaligus
pengingat akan kekuatan cinta seorang ibu. Eka memastikan Deva tak kekurangan
kasih sayang, meski figur ayah kini hadir dalam jadwal pertemuan yang telah
disepakati. Nafkah dari Yudi, meski terbatas, tetap ia terima sebagai hak Deva,
namun Eka tak lagi bergantung padanya. Jemarinya lincah mengelola jadwal
manggung, negosiasi kontrak, bahkan merintis lini bisnis kecil di bidang
fashion muslim—buah dari perjalanannya menemukan sisi lain dirinya.
Dilema tentang gaya
panggungnya masih sesekali hadir. Ia mulai berani menyelipkan lagu-lagu dengan
aransemen yang lebih kalem, mencoba kostum yang lebih tertutup di beberapa
kesempatan, menguji reaksi penonton. Responnya beragam, namun ia belajar bahwa
penggemar sejatinya menghargai kejujurannya dalam berkarya. Ia tak lagi merasa
harus memilih; ia bisa menjadi keduanya—"Ratu Goyang" yang energik
dan Eka Fatmala yang kian matang dalam vokal dan penampilan.
Di suatu sore yang tenang,
usai sholat Ashar, ia duduk di teras rumahnya, memandang langit jingga.
Ponselnya berdering, tawaran manggung di luar pulau. Ia tersenyum. Dulu,
tawaran seperti ini mungkin akan memicu konflik atau keraguan. Kini, ia
menjawabnya dengan keyakinan penuh. Ia adalah perempuan berdaya, yang
mengendalikan arah hidupnya sendiri. Resonansi suara hatinya kini tak hanya
terdengar di panggung, tetapi juga dalam setiap langkah tegar yang ia ambil.
Perjalanan masih panjang, namun ia siap, dengan iman di hati dan Deva di
sisinya.