Banyak orang mengenal saya sebagai penggemar K-Pop. Sebagian tak menyangka
bahwa saya termasuk penggemar produk Negeri Ginseng ini. Namun, tak sedikit yang
salah sangka bahwa saya menyukai segala yang berbau Korea Selatan. Faktanya
saya termasuk orang yang sakit hati ketika Korea Selatan dengan keji
mengandaskan Jerman di Kazan
pada 27 Juni 2018
silam.
Walau begitu, tidak salah juga sih ketika beberapa orang menyebut
saya penggemar Korea. Soalnya memang sesekali turut menonton beberapa episode
drama Korea, mengkhatamkan beberapa kali beberapa film Korea, menyimak rilisan
musik Korea. Hanya saja, kegandrungan saya sebenarnya lebih mengarah kepada girl
group maupun penyanyi perempuan Korea.
Kalau mau jujur, dalam beberapa tahun terakhir ini, dunia telah menyaksikan
fenomena K-pop yang berkembang atau bahkan meledak. Siapa yang tidak kenal grup
Bangtan Sonyeondan atau BTS? Mereka menulis sejarah di industri musik
dengan menjadi artis Asia pertama yang berhasil memenangkan AMA — tidak hanya
satu tetapi tiga kategori di American Music Awards. Bahkan prestasi itu juga
merupakan bagian kecil dari daftar panjang pencapaian BTS yang telah mereka
catat selama delapan tahun karir mereka.
Dengan mengesampingkan bakat dan erotic capital yang dieksploitasi,
pernahkah kita memikirkan mengapa K-pop bisa terus berkembang sampai sekuat
ini?
K-pop, kependekan dari Korean pop, adalah genre musik yang mendapat
pengaruh dari berbagai genre, seperti pop, R&B, hip hop, rock, elektronik,
dan dance. Berasal dari Korea Selatan, lagu-lagunya terinspirasi oleh musik
tradisional Korea dan liriknya sebagian besar dalam bahasa Korea dengan
sentuhan bahasa Inggris. Campur kode, kalau istilah risetnya.
K-pop mungkin tampak seperti pemain baru, tetapi
kenyataannya tidak. Genre itu dimulai pada 1950-an
selama Perang Korea dengan Kim Sisters, trio musik pop kelahiran Korea yang
tidak berbicara bahasa Inggris tetapi berhasil mencapai ketenaran di AS. Mereka
bahkan dianggap sebagai artis Korea pertama yang lagunya muncul di tangga lagu
Billboard. Jadi ojo gumun dengan penampilan Kim Jisoo yang tak terlibat
percakapan Bahasa Inggris saat BLACKPINK tampil di Good Morning
America pada 12 Februari 2019 silam. Sejarah awalnya ‘kan memang
tidak dimulai kudu bisa Bahasa Inggris.
Maju cepat ke tahun 90-an, Seo Taiji and Boys adalah
grup musik pertama yang menginspirasi pertumbuhan musik K-pop dan mega-fandom yang bisa diamati sampai saat
ini. Seo Taiji merevolusi musik pop Korea dengan menggabungkan gaya Amerika
dengan koreografi hip hop. Yang Hyun-suk, pendiri dan pemilik 17.08% saham YG
Entertainment, adalah salah satu anggota Seo Taiji and Boys. Pengaruh Seo Taiji
and Boys masih bisa dilihat dari koreografi Come Back Home milik 2NE1,
di bagian refrain-nya.
Dari tahun 1990-an hingga awal 2000-an, genre ini
berkembang dan menemukan generasi pertama K-pop dengan musik yang melampaui
batasan genre, pertunjukan yang menarik, penampilan yang sempurna, dan
koreografi yang rumit. Beberapa bintangnya adalah H.O.T, Sechs Kies, S.E.S.,
dan Fin.K.L. Lee Hyori adalah salah satu mutakhorrijat dari generasi
ini, yang masih cukup bisa dikenal oleh generasi saat ini.
Generasi kedua K-pop dimulai pada awal 2000-an hingga
2010-an dengan G.O.D sebagai grup musik paling populer pada awal 2000-an,
diikuti oleh TVXQ, Super Junior, BIG BANG, Girls Generation, 2NEI, dan Wonder
Girls. BIG BANG, yang kabarnya akan come back pada 5 April 2022 ini,
mungkin menjadi brand dari generasi kedua yang masih bisa bertahan,
walau agak compang-camping.
Grup K-pop yang mendominasi tangga lagu saat ini adalah
generasi ketiga. Beberapa grup populer yang telah mengambil alih dunia musik
tanpa tanda-tanda akan mundur adalah BTS, BLACKPINK, Seventeen, ITZY, dan EXO. Generasi
ketiga ini mungkin yang rilisannya banyak dijadikan backsound senam,
seperti Power-nya EXO, maupun muncul cover MV dalam bentuk MMD.
Pada tahap awal, K-pop menyebar hanya di Asia Timur,
Tenggara, dan Selatan. Mungkin banyak yang tak ngeuh kalau lagu My
Lecon dari JtL yang dirilis 2001 silam adalah produk K-Pop. K-Pop berkembang menjadi fenomena global
yang dimulai sekitar tahun 2007 sebagai akibat dari pemanfaatan teknologi
digital dan media sosial oleh Korea Selatan.
Cukup apik juga kalau mengingat pada tahun tersebut Girls’
Generation merilis single debut mereka berjudul Into the New World.
Selain frasa yang dipakai terasa bermakna, video musik yang ditampilkan seolah menandai
momentum “lepas landas” K-Pop. Ini terjadi karena sejak 2007 K-Pop konsisten
berkembang hingga menjadi begitu populer di seluruh dunia. Perkembangan pada
masa inilah yang mulai memunculkan istilah hallyu atau gelombang Korea. Istilah hallyu pertama kali digunakan pada tahun
2010 oleh media Jepang setelah keberhasilan Girl’s Generation balas dendam menginvasi
Nippon seiring penampilan mengesankan di Ariake Coliseum di Tokyo.
Kalau ditelisik kembali, sejak abad ke-21, Korea Selatan
menjadi pengekspor utama budaya populer dan pariwisata. Kedua aspek tersebut
telah menjadi bagian penting dari ekonominya yang sedang berkembang. Peningkatan
popularitas budaya K-pop sebagian didorong oleh dukungan pemerintah Korea
Selatan kepada industri kreatifnya melalui subsidi dan pendanaan untuk
perusahaan rintisan. Pada tahun 2014, pemerintah Korea Selatan mengalokasikan
1% dari anggaran tahunannya untuk industri budaya dan mengumpulkan dana $1
miliar untuk mengembangkan budaya populer.
Label K-pop juga telah menemukan cara inovatif untuk
strategi pemasaran mereka untuk mempromosikan konten mereka secara global,
seperti dengan melepaskan hak cipta dan merilis musik di YouTube bersamaan
dengan rilis musik tersebut di pasar. Selain itu, video musik di YouTube juga
membantu K-pop menarik penggemar secara global karena selalu ikonik dengan
visual yang memanjakan mata, tarian yang trendi, dan musik yang adiktif.
Cara lain yang membuat idola K-pop meningkatkan
popularitas mereka adalah dengan bekerja sama dengan brand
untuk tujuan komersial. Misalnya Kim Jennie dengan Chanel atau Rosé dengan Yves
Saint Laurent. Mereka juga memasuki industri film sebagai aktor atau aktris.
Misalnya, Hyeri membintangi Reply 1988 atau Yoona yang beberapa kali
tampil sebagai aktris.
Dengan latar belakang ini, banyak riset telah dilakukan
untuk menelisik popularitas global K-pop. Selain strategi pemasaran unik
mereka, penjelasan dominan menunjuk pada peran penggemar K-pop serta media
sosial sebagai ruang artis dan penggemar berinteraksi satu sama lain.
Beberapa perspektif diajukan seperti komunitas imajiner
dan teori hubungan parasosial dapat membantu menjelaskan fenomena besar ini.
Dalam budaya fandom, segala
sesuatunya dimulai dengan interaksi. Interaksi dalam fandom K-pop terbagi dalam
dua jenis: interaksi antara penggemar dengan idola yang mereka kagumi serta interaksi
antara sesama penggemar.
Interaksi pertama dapat disebut sebagai interaksi
parasosial. Interaksi parasosial kemudian dapat mengarah pada apa yang disebut
hubungan parasosial, konsep yang mengacu pada pengalaman ilusi yang dialami
audiens karena pertemuan mereka dengan seorang figur media.
Penonton akan merasa atau berpikir bahwa mereka
membentuk hubungan timbal balik dengan persona tersebut, padahal sebenarnya
tidak. Ini mungkin merupakan jawaban dari pertanyaan tentang bagaimana dan
mengapa penggemar K-pop bisa begitu setia pada idolanya.
Twitter mulai populer di Korea Selatan pada tahun 2010.
Tahun ini juga menandai awal pertumbuhan K-pop di Twitter. Hingga saat ini,
penggemar K-pop di Twitter adalah komunitas minat bersama terbesar. Melalui
Twitter, artis dapat berinteraksi dengan penggemar mereka, dan penggemar dapat
berinteraksi satu sama lain.
BTS memiliki dampak besar pada pertumbuhan K-pop di
Twitter. Grup ini mulai berinteraksi dengan penggemar mereka bahkan sebelum
debut mereka pada tahun 2013. Pendekatan itu menjadi cara bagi artis K-pop baru
untuk meraih ketenaran lebih cepat.
Mengingat penggemar menggunakan media sosial untuk lebih
terhubung dengan artis K-pop favorit mereka, mereka akan mendukung dan
menyebarkan budaya fandom. Misalnya, pada 21 Mei 2021, BTS merilis Butter.
Lagu ini ditonton lebih dari 108 juta kali di YouTube dalam 24 jam pertama.
Basis penggemar BTS, ARMY, bahkan mencuit tentang lagu tersebut lebih dari 31
juta kali pada hari perilisannya.
Kekuatan penggemar K-pop melampaui industri musik.
Mereka sudah mulai mendukung aktivisme digital. Filantropi, keinginan untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain, adalah bagian penting dari penggemar
K-pop. Banyak klub penggemar mengumpulkan dana untuk mendukung kegiatan amal.
Ketika BTS dan Big Hit Entertainment (sekarang Hybe)
mendonasikan $1 juta untuk mendukung Black Lives Matter, Army merasa
terinspirasi dan menetapkan tujuan #MatchAMillion pada 6 Juni 2020. Sehari
setelahnya, mereka mencapai target dan mengumpulkan donasi melampaui $1 juta,
menurut kelompok penggemar dan proyek amal One In An ARMY.
Bahkan tanpa pemimpin, penggemar K-pop sangat
berdedikasi dan terorganisir. Mereka tahu bagaimana caranya menghubungi satu
sama lain, menetapkan tujuan, dan mencapainya. Belum lagi pengaruhnya terhadap
berbagai aspek kehidupan; salah satunya politik.
Pada Juni 2020, para penggemar K-pop membeli tiket ke
kampanye Donald Trump di Tulsa, Oklahoma. Sebagai bagian dari upaya
terkoordinasi, mereka tidak menggunakannya dan mengosongkan ratusan kursi di
tempat berkapasitas 19.000 orang itu. Rencana ini diperkuat di Twitter dan
TikTok.
Faktor terpenting yang membuat penggemar K-pop kuat
mungkin adalah daya beli. Para penggemar rela mengeluarkan uang untuk
barang-barang atau pakaian yang dikenakan idola mereka. Misalnya, BTS meals,
kolaborasi antara BTS dan McDonald's, membantu meningkatkan penjualan
McDonald's di seluruh dunia sebesar 41% pada kuartal kedua tahun 2021.
Penggemar K-pop yang memiliki daya beli sebagian besar adalah orang dewasa
mulai dari usia 20 tahun. Rentang usia penggemar K-pop sendiri dimulai dari
remaja usia 13 tahun.
Di sisi lain, penggemar K-pop memiliki kekuatan untuk
membatalkan seseorang atau beberapa orang, yang dapat mengakibatkan intimidasi
dan pelecehan online.
Penggemar K-pop dapat mengucilkan seorang idola atau sebuah grup karena situasi
yang tidak mereka sukai atau tidak setujui. Na Jaemin dari NCT Dream adalah
seorang korbannya pada Mei 2020.
Saat episode NCT Haechan Radio, Jaemin salah mengucapkan
kata yang menimbulkan kontroversi. Ia menyebut "저능" (diucapkan
"jeo-neung"), yang berarti memiliki kemampuan mental yang lebih
rendah dibandingkan dengan rata-rata orang, baik lahir dengan kondisi seperti
itu atau berkembang melalui penyakit. Kata tersebut dapat dianggap mirip dengan
istilah bahasa Inggris yang merendahkan, “terbelakang”. Ini berdampak
signifikan pada citranya dan penggemar menuntut grup tersebut untuk meminta
maaf melalui tagar #DREAMAPOLOGIZE di Twitter.
Perspektif paparan selektif adalah teori lain yang bisa
menjelaskan fenomena K-pop. Ini adalah perspektif psikologis yang sering
digunakan dalam komunikasi media yang melibatkan kecenderungan individu untuk
menyukai informasi yang memperkuat pandangan mereka yang sudah ada sebelumnya
sambil menghindari informasi yang kontradiktif.
Meski demikian, penggemar K-pop tetap memainkan peran
penting dalam kesuksesan fenomena K-pop di seluruh dunia. Sejak 2018, K-pop
tidak lagi dianggap sebagai “potensial”. Sebaliknya, K-pop telah menjadi “pemain
kuat” karena pendapatan mereka tumbuh 17,9%.
Global Music Report
2019 dari
Federasi Internasional Industri Fonografi menyebut BTS dan BLACKPINK sebagai
artis yang memimpin pertumbuhan pasar. Pada tahun 2020, K-pop memecahkan rekor
dengan pertumbuhan 44,8% dan memposisikan diri sebagai pasar dengan pertumbuhan
tercepat tahun ini.
Kalau melihat statistik industri, proyeksi ke depan
mungkin bisa diprediksi bahwa industri K-pop dan fenomena K-Pop akan terus
berlanjut dan terus berkembang selama bertahun-tahun ke depan.
Hanya saja, sebagai penggemar K-Pop sejak generasi
kedua, saya merasa perbedaan signifikan generasi kedua dengan saat ini ialah:
generasi kedua bisa menyanyi dan menari sekaligus menghayati lagu, rasanya
nyatu kalau kata Anya Geraldine di iklan Good Day Cappucino.
K.Sn.Lg.180843.210322.00.46