Dalam
euforia peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, saya mengunggah video
《Kwartet
Bapak Republik Indonesia》 di Google Classroom
kelas 5B. Kwartet tersebut secara berurutan ialah Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Mohammad
Hatta, dan Sukarno. Narasi yang disampaikan dibuat berdasarkan uraian dari seri buku Tempo Bapak Bangsa.
Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan
“Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.”
Itulah kutipan dari Tan Malaka yang pernah diucapkannya. Kerap dilupakan, Tan Malaka sebetulnya memiliki krusial untuk kemerdekaan Indonesia. Memiliki nama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka, ialah yang memberikan konsep “Republik Indonesia”. Ia menulis Madilog sebagai buah pikirnya yang menjelaskan tentang tiga tahap kemajuan umat manusia: dari “logika mistika” lewat “filsafat” ke “ilmu pengetahuan”. Memiliki pandangan berbeda tentang konsep Indonesia, Tan Malaka menjadi salah satu pelopor sayap kiri dan menjadi oposisi pemerintahan Soekarno. Bahkan Sjahrir sempat menawari Tak Malaka untuk memimpin Partai Sosialis, tapi ia menolak.
Di dalam buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Tan Malaka diceritakan dari berbagai sisi, mulai pemikiran, petualangan ke berbagai negara, sampai asmara yang bertepuk-sebelah tangan. Menurut Tempo, ia patut disebut Bapak Bangsa dan berjajar dengan Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.
Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil
“Hidup yang dipertaruhkan tidak akan dimenangkan.”
Kutipan tersebut ditulis Sjahrir dalam catatan hariannya—yang awalnya berbahasa Jerman: “Und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein.” Sjahrir adalah sahabat baik Hatta. Mereka berdua pernah diasingkan bersama-sama di Banda Neira. Bertiga bersama Soekarno, mereka dijuluki Tiga Serangkai. Sjahrir-lah yang mendesar Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat masa kekosongan kekuasaan. Di kemudian hari, Sjahrir menjadi perdana menteri pertama Indonesia dan begitu ahli dalam urusan diplomasi.
Seri buku Tempo Bapak Bangsa tentang Sjahrir ini menceritakan kisah dirinya dari kecil sampai tutup usia. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil juga menjabarkan tentang Sjahrir yang kerap “dikecilkan” di buku-buku teks sejarah karena Perundingan Linggarjati yang digawanginya membuat wilayah Indonesia hanya sebatas Sumatra, Jawa, dan Madura. Buku Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil penting untuk menguak peran-peran krusial lain yang dilakukan oleh Bung Kecil yang tidak diketahui banyak orang.
Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman
“Membaca tanpa merenungkan adalah bagaikan makan tanpa dicerna.”
Suatu ketika Mohammad Hatta pernah berkata begitu. Orang-orang terdekat Hatta tahu bahwa ia tak pernah meninggalkan buku-bukunya. Bahkan saat diasingkan di Banda Naira, Hatta membawa berkerat-kerat besar koleksi bukunya. Butuh satu minggu untuk mengepak koleksi bukunya saat ia akan pulang menimba ilmu di negeri Belanda ke Indonesia. Saking cintanya pada buku, Hatta pun memberikan maskawin buku buatannya sendiri kepada sang istri, Rahmi Rachim.
Laki-laki yang lahir pada 12 Agustus 1902 tersebut memang kutu buku yang berperan besar dalam kemerdekaan Indonesia. Bersama Soekarno, Hatta merumuskan naskah proklamasi. Buku Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman menjelaskan tentang kecintaan Hatta pada buku dan peranannya untuk Indonesia. Ada juga liputan tentang Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi yang pada saat tulisan ini dibuat tidak terawat, padahal kesemuanya adalah buku-buku peninggalan Hatta.
Soekarno: Paradoks Revolusi Indonesia
“Aku dikutuk bagai bandit, dan dipuja bagai dewa.”
Kutipan di atas dilontarkan oleh Bung Karno melalui buku otobiografinya yang berjudul Penyambung Lidah Rakyat yang diterbitkan pertama kali pada 1965. Selain buku tersebut, ada banyak buku-buku lain yang menjabarkan tentang presiden pertama Republik Indonesia ini; dari yang bertema pemikirannya, kehidupan pribadinya, sampai yang bersangkut-pautan dengan hal-hal mistis. Salah satu seri buku Tempo Bapak Bangsa ini menambah jumlah buku-buku tentang Soekarno.
Peran Soekarno untuk Indonesia sudah jelas: ia bersama teman-teman seperjuangannya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta. Laki-laki yang dijuluki Sang Putra Fajar inilah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Selain menjelaskan tentang perannya, buku Soekarno: Paradoks Revolusi Indonesia juga menjelaskan tentang kehidupan pribadi Soekarno yang memiliki Sembilan istri sah. Selain itu, buku ini juga menyematkan kolom-kolom esai tentang Soekarno yang ditulis oleh beberapa pakar.