Multiple
Intelligences Based on Neuroscience
Sari
Esai
ini menjelaskan teori kecerdasan majemuk yang didasarkan secara eksklusif
kepada kajian empiris dalam neurosains.
Kata-kata Kunci:
neurosains; pendidikan; kecerdasan majemuk;
Abstract
This
essay explains the theory of multiple intelligences that is based exclusively
on empirical study in neuroscience.
Keywords:
education; multiple intelligences; neuroscience
1. Pengantar
Burhān
al-Dīn al-Zarnūjī dalam buku Ta'līm al-Muta'allim Ṭorīq al-Ta'allum menuturkan
bahwa terdapat 6 faktor penentu hasil belajar: kecerdasan, motivasi, kesabaran
ketika menghadapi kesulitan, ketekunan terlibat aktif dalam pembelajaran,
bimbingan guru, dan waktu belajar yang intensif (Siayah, dkk., 2020;
al-Zarnūjī, 2015). Dari keenam faktor
tersebut, kecerdasan menjadi faktor yang disebut lebih dulu. Tidak jarang dalam
uraian teks klasik Bahasa Arab, urutan menunjukkan keutamaan. Apakah urutan 6
faktor penentu hasil belajar tersebut berarti lebih mengutamakan kecerdasan
daripada motivasi, bukanlah persoalan berarti. Yang jelas, kecerdasan memiliki
peran penting terhadap hasil belajar. Tuturan al-Zarnūjī (2015) didukung antara lain oleh Jung & Haier (2007)
yang mengungkap bahwa tidak ada konsep yang lebih penting dalam pendidikan
daripada konsep kecerdasan.
Konsep
kecerdasan dalam sejarah telah mengalami banyak perubahan dalam benak para ilmuwan
dan pakar pendidikan. Banyak yang telah meninggalkan konsep ini sebagian atau
seluruhnya. Sebagai gantinya mereka menyelidiki kemampuan kognitif, pemecahan
masalah, maupun kecakapan memproses informasi. Namun, banyak juga yang terus
mendukung konsep kecerdasan dengan cara beragam. Misalnya dengan cara
menyelidiki sistem saraf fungsional yang mendasari pencapaian intelektual.
Salah satu konsep terkait kecerdasan yang adalah kecerdasan majemuk (multiple
intelligences).
Kecerdasan
majemuk (multiple intelligences)
yang dipekenalkan oleh Howard Earl Gardner melalui buku Frame of
Mind: Theory of Multiple Intelligences merupakan gagasan
revolusioner pada 1983 (Gardner, 2011;
Candler, 2011).
Sebelumnya psikolog tertarik kepada kecerdasan umum (general intelligence),
yakni kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan menerapkan penalaran logis
di berbagai disiplin ilmu. Gagasan kecerdasan umum sebagian dipopulerkan oleh
tes IQ (intelligence quotient) pada awal 1900-an untuk menilai kemampuan
anak dalam memahami, bernalar, dan membuat penilaian (Shearer & Karanian, 2017;
University of Minnesota, 2010).
Tes
IQ membantu menjelaskan alasan tentang keunggulan beberapa pelajar dalam banyak
mata pelajaran. Namun, Gardner (2011)
menganggap konsep itu terlalu terbatas. Kegemaran bermain piano memunculkan
pertanyaan tentang alasan seni tidak dimasukkan dalam diskusi tentang
kecerdasan. Sebagai pelajar pascasarjana yang mempelajari psikologi pada
1960-an, Howard Earl Gardner merasa “tersentak oleh ketiadaan virtual seni
dalam buku teks utama.” (Gardner, 2011).
Pertanyaan
dan sentakan itu menanamkan benih yang tumbuh ke dalam wawasan besar Howard
Earl Gardner, yakni anggapan umum tentang kecerdasan tunggal tidak sesuai
dengan dunia yang dia amati. Wolfgang Amadeus Mozart, pianits paling
digandurngi Howard Gardner, diambil sebagai contoh untuk bahwa kejeniusan dalam
menggubah nada hanya dapat dijelaskan oleh kecerdasan musik (Gardner, 2011).
Dari sinilah Howard Earl Gardner mulai mempertanyakan, “Bukankah masalahnya
bahwa semua orang menunjukkan berbagai kemampuan intelektual—dari bahasa hingga
sosial ke logika—yang sering kali saling menguatkan, serta berubah seiring
waktu berdasarkan minat dan upaya seseorang yang berubah?” (Gardner, 2011).
Beberapa
hipotesis untuk pertanyaan tersebut mulai dikonfirmasi oleh penelitian dari
neurosains (neuroscience, ilmu saraf). Misalnya ulasan Fuchs dan
Flügge (2014)
menyampaikan beberapa bukti yang secara dramatis mengubah pemahaman kita
tentang perkembangan otak. Penyampaian tersebut mengungkapkan bahwa kecerdasan
manusia terus tumbuh dan berubah menjadi matang (Fuchs dan Flügge, 2014).
Kweldju (2015)
juga menyampaikan pembahasan serupa yang fokus terhadap cara kerja otak ketika
membaca. Uraian yang disampaikan mengesampingkan gagasan bahwa membaca terjadi
di area otak yang berbeda, sebaliknya ditemukan bahwa pemrosesan bahasa
melibatkan semua fungsi kognitif manusia, yang berarti tidak hanya pemrosesan
visual tetapi juga beberapa hal lain, seperti perhatian, penalaran abstrak, dan
kerja memori (Kweldju, 2015).
Lalu,
sebagai pelaku pendidikan di lapangan, bagaimana pendidik sebaiknya menanggapi
gagasan kecerdasan majemuk? Khoirul Umam, pendidik asal Pondok Pesantren
Ath-Thullab, Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS), ketika ngopi serta
Syarofis Siayah, dokter asal Universitas Islam Malang (UNISMA) dalam obrolan
luring pada saat bersamaan pada 26 Juni 2019 lalu menyampaikan bahwa gagasan kecerdasan
majemuk perlu ditanggapi positif agar keefektifan pembelajaran bisa maksimal
dan hasil belajar dapat optimal. Howard Earl Gardner (2011)
sendiri berpendapat selaras terhadap keduanya sembari memperingatkan agar kecerdasan
majemuk tidak boleh dijadikan tujuan pendidikan.“Tujuan pendidikan perlu
mencerminkan nilai seseorang (individu atau masyarakat) sendiri, dan
nilai-nilai ini tidak pernah bisa datang secara sederhana atau langsung dari
teori ilmiah.” (Gardner, 2011).
Dampak
paling kentara dari ketiga tuturan tersebut terhadap kami ialah perubahan urutan
faktor terkait profil hasil belajar serta pertimbangan kecerdasan majemuk dalam
penelitian. Mulanya kami meletakkan kecerdasan setelah motivasi, atas dasar
pengalaman pribadi selama belajar. Selain itu, ketika mempertimbangkan beberapa
faktor terkait hasil belajar, belum sempat terpikir untuk memasukkan kecerdasan
majemuk sebagai bagian dari faktor tersebut.
Berdasarkan
informasi yang disampaikan, esai ini mengurai kajian pustaka terkait riset
neurosains terhadap kecerdasan majemuk. Meski telah terdapat banyak pembahasan tentang
neurosains terkait pendidikan, tampak hanya memberi sedikit hasil sehubungan
dengan praktik mengajar (Clement Lovat, 2012;
Oliver, 2011).
Kami berpendapat bahwa perkembangan neurosains tentang peristiwa yang terjadi
di otak ketika manusia belajar dapat memberi manfaat kepada pendidik, terutama
sebagai bahan dalam mempertimbangkan penggunaan model pembelajaran tertentu.
Pengertian terhadap neurosains terkait pendidikan dapat mengarah kepada hasil
yang optimal untuk setiap praktik pembelajaran.
2. PEMBAHASAN
Kilasan
singkat linikala kemunculan gagasan kecerdasan majemuk serta obrolan spontan
yang dialami memberi dasar kepada kami untuk berada dalam posisi menanggai
gagasan kecerdasan majemuk secara positif. Kami melihat bahwa terdapat 2 dampak
langsung terhadap pembelajaran ketika gagasan kecerdasan majemuk diterapkan
secara operasional. Pertama, pelajar perlu diberi banyak cara untuk mengakses
informasi. Pemberian ini bukan bertujuan untuk membuat pembelajaran lebih
menarik, melainkan sebagai sarana melatih pelajar agar cenderung mengerti
informasi yang disajikan dengan cara yang berbeda. Dalam praktik pelaksanaan
dan penilaian pembelajaran, hal ini kerap kami wujudkan dalam bentuk meminta
menyajikan informasi melalui beragam representasi, seperti ilustrasi, tabel,
dan diagram. Kedua, pembelajaran sebaiknya dilakukan secara individual. Cara
ini dipandang lebih sesuai dengan kebutuhan dan minat pelajar, bahkan walau
sekelompok pelajar punya gaya belajar yang seragam. Sayang dalam praktiknya, kami
baru bisa melakukan pembelajaran individual ketika memandu Musyāfahah
al-Qur’ān dan Sorogan Kitab Kuning.
Walau
terasa logis, gagasan kecerdasan majemuk kerap mendapat serangan karena
dianggap tidak memiliki bukti empiris. Lynn Waterhouse misalnya, berpendapat
bahwa karena kecerdasan majemuk memiliki dukungan empiris yang tidak memadai
dan tidak konsisten dengan temuan neurosains kognitif, teori ini tidak boleh
diterapkan dalam pendidikan (Waterhouse, 2006).
Gardner & Moran (2006)
menanggapi pendapat tersebut dengan menganggap bahwa ulasan yang disampaikan
justru salah paham dan terlalu menyederhanakan teori kecerdasan majemuk serta
klaim yang disampaikan tidak selarasa dengan data yang disajikan. Singkatnya,
gagasan tentang kecerdasan majemuk masih kontroversial. Walau belum diterima
sebagai teori ilmiah yang dikembangkan sepenuhnya, boleh dikatakan bahwa daya
tarik gagasan kecerdasan majemuk telah memberi inspirasi terhadap pendidikan.
Tabel
1. Perbedaan
setiap kecerdasan majemuk
|
|
Jenis
Kecerdasan
|
Keterangan
|
Interpersonal
|
Sanggup
bekerja sama dengan orang lain
|
Intrapersonal
|
Memahami
kekuatan dan kelemahan diri
|
Logis
(Matematis)
|
Bisa
melakukan penalaran runtut
|
Verbal
(Linguistik)
|
Cakap
menggunakan perkataan
|
Visual
(Spasial)
|
Dapat
untuk memvisualisasi dengan pikiran
|
Musikal
|
Peka
terhadap suara
|
Kinestetik
(Jasmani)
|
Mampu
mengontrol gerakan tubuh
|
Naturalis
|
Mengerti
hubungan informasi dengan lingkungan
|
Teori
ilmiah yang baik dapat secara akurat menggambarkan perilaku dan memiliki
kekuatan prediksi (Giancoli, 2014; Reece,
dkk., 2011). Beberapa pertanyaan seperti,
“Apakah gagasan kecerdasan majemuk memenuhi kriteria teori ilmiah?”, “Apakah
gagasan kecerdasan majemuk dapat diekspresikan secara kualitatif (seperti
hubungan kesebandingan) dan/atau kuantitatif (misalnya dalam bentuk
persamaan)?”, “Mengapa kita harus menerima/menolak gagasan kecerdasan majemuk?”,
serta “Bagaimana gagasan kecerdasan majemuk dapat memprediksi hasil belajar?”
adalah beberapa pertanyaan yang belum mendapat jawaban yang disepakati banyak
pihak. Kami menganggap bahwa luaran kajian neurosains perlu dilibatkan sebagai
bahan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Neurosains
adalah kajian ilmiah tentang sistem syaraf. Sebagai disiplin ilmu, neurosains
termasuk cabang multidisiplin karena menggabungkan psikologi, fisiologi,
anatomi, biologi molekuler, biologi perkembangan, sitologi, serta pemodelan
matematika untuk memahami sifat dasar dan sifat yang muncul dari neuron dan
sirkuit saraf. Pembahasan neurosains berfokus kepada cara manusia sebagai
individu menggali informasi dari lingkungan sekitar. Di sisi lain, pendidikan
formal modern berfokus pada penjelasan tentang ruang lingkup yang tidak
diharapkan timbul dari pembelajaran. Dari sini tampak bahwa neurosains dan
pendidikan adalah dua hal yang bisa saling berpadu, bukan beradu.
Paduan
antara neurosains dan pendidikan berpotensi menimbulkan tantangan baru bagi
neurosains untuk beradaptasi dengan kebutuhan praktis pendidikan. Luaran dari
tantangan ini kelak dapat member pijakan berupa karakteristik baru tentang
keadaan pelajar—termasuk sekaligus bukan hanya keadaan otak, genetika, dan
hormonal—yang berguna dalam pembelajaran. Di antara pijakan yang dapat
dihasilkan tersebut adalah kecerdasan majemuk.
Kecerdasan
majemuk yang diterima begitu saja oleh sebagian pihak, juga mendapat penolakan
keras dari pihak lain. Penolak gagasan kecerdasan majemuk biasanya menolak
dengan alasan minim bukti empiris (Waterhouse, 2006).
Mereka menganggap bahwa kecerdasan umum memiliki keabsahan karena terdapat
banyak data uji yang dikumpulkan sekitar 100 tahun, sementara tidak terdapat
tes untuk mengukur delapan kecerdasan majemuk. Namun alasan ini justru membuka
kedok bahwa banyak terbitan neurosains terkait kecerdasan majemuk yang belum
dibaca atau bahkan tidak dapat dimengerti oleh para penolak gagasan kecerdasan
majemuk.
Sampai
11 Oktober 2019 ini, telah terdapat sekitar 300–400 kajian empiris terhadap
fungsi otak untuk melihat kesesuaian antara keterampilan dan kemampuan dari
setiap kecerdasan majemuk (Shearer, 2019;
Shearer & Karanian, 2017).
Sebagian besar kajian tersebut dilakukan melalui eksperimen fMRI (functional
magnetic resonance imaging, penggambaran resonansi magnetik fungsional).
Eksperimen fMRI biasa dipakai untuk mengukur aktivitas otak dengan mendeteksi
perubahan aliran darah ke otak. Keperluan menggunakan eksperimen fMRI dalam
kajian tersebut ialah agar keandalan data dapat maksimal. Sayang hal ini
mungkin luput dari pengamatan sebagian peneliti pendidikan, baik yang berposisi
langsung menerima atau segera menolak gagasan kecerdasan majemuk.
Beberapa
kajian tersebut antara lain diulas oleh Shearer & Karanian (2017),
yang mencakup 318 artikel akademik terkait kajian empiris neurosains terhadap kecerdasan
majemuk. Hasilnya menunjukkan bahwa kecerdasan majemuk memiliki pola saraf yang
jelas dan koheren yang sebanding terhadap pola yang diidentifikasi dengan
kecerdasan umum.
Shearer
(2019)
melanjutkan ulasan tersebut ketika menelaah 417 kajian neurosains terkait
korelasi antara saraf dengan unit keterampilan dalam tujuh kecerdasan. Simpulan
yang diperoleh menemukan setiap kecerdasan adalah unit keterampilan kognitif
yang memiliki keunikan dan kesamaan dalam saraf (Shearer, 2019).
Shearer (2019)
menambahkan bahwa gagasan kecerdasan majemuk sulit untuk diselidiki secara
langsung karena sifat abstrak dari kecerdasan yang ditunjuk sebagai gabungan
keterampilan dan kinerja kognitif.
Kedua
uraian tersebut memberi dasar untuk menguji secara eksperimental gagasan
tentang kecerdasan (majemuk dan umum). Namun, karena aspek sosial dari
kecerdasan, deskripsi saraf untuk kecerdasan majemuk mungkin hanya dapat
menghasilkan semacam kerangka kerja sederhana ketimbang pembahasan utuh dan
menyeluruh.
Memang
eksperimen fMRI tekait fungsi otak memiliki beberapa batasan, antara lain tidak
memberi garansi penelitian yang telah dilakukan mudah direplikasi, memfokuskan
bagian otak tertentu sekaligus mengabaikan bagian lain ketika eskperimen, serta
masih membutuhkan banyak kajian dan ulasan tentang interaksi dinamis antara
berbagai struktur saraf. Walau begitu, eksperimen fMRI berhasil memberi rincian
untuk menunjukkan bahwa gagasan kecerdasan majemuk selaras dengan perkembangan
pengertian cara pikiran dan otak berinteraksi. Luaran yang dihasilkan memberi
dukungan kepada pendapat bahwa setiap jenis dari 8 ragam kecerdasan majemuk memiliki
bentuk saraf yang unik.
Tabel
2. Kaitan antara
kecerdasan majemuk dengan wilayah otak
|
||
Jenis
Kecerdasan
|
Bagian
Otak
|
Letak
|
Interpersonal
|
Frontal
Temporal
Cingulate
Parietal
|
Medial-Temporal
Amygdala
Dorsolateral
Prefrontal Cortex (PFC)
Anterior
Cingulate Cortex (ACC)
Superior
Temporal Sulcus (STS)
|
Intrapersonal
|
Frontal
Cingulate
Temporal
Parietal
Subcortical
|
Prefrontal-Cortex
Anterior
Cingulate cortex (ACC)
Dorsolateral
Prefrontal Cortex (PFC)
Lateral
Prefrontal
Ventromedial
Prefrontal Cortex (vmPFC)
|
Logis
(Matematis)
|
Frontal
Parietal
Temporal
|
Prefrontal
Cortex
Intraparietal
Sulcus (IPS)
Inferior
Parietal Lobule
|
Verbal
(Linguistik)
|
Temporal
Frontal
Parietal
|
Superior
Temporal Gyrus (STG)
Inferior
Frontal Gyrus
Area
Broca
Posterior
Inferior Frontal Gyrus
|
Visual
(Spasial)
|
Frontal
Parietal
Temporal
Occipital
|
Superior
Temporal Gyrus (STG)
Premotor
Cortex
Motor
Cortex
Medial
Temporal
Prefrontal
|
Musikal
|
Frontal
Temporal
Subcortical
Cerebellum
|
Superior
Temporal Gyrus (STG)
Primary
Auditory Cortex
Premotor
Cortex
Basal
Ganglia
Supplementary
Motor Area (SMA)
|
Kinestetik
(Jasmani)
|
Frontal
Parietal
Subcortical
Cerebellum
|
Motor
Cortex
Primary
Motor Cortex
Premotor
Cortex
Basal
Ganglia
|
Naturalis
|
Temporal
Subcortical
|
Superior
Temporal Sulcus (STS)
Amygdala
Brainstem
(Batang Otak)
Thalamus
Midbrain
(Mesencephalon / Otak Tengah)
Basal
Ganglia
|
Kecerdasan
adalah potensi diri untuk memproses informasi yang dari lingkungan sekitar
untuk digunakan dalam mengambil keputusan, menyelesaikan masalah, dan/atau atau
menghasilkan produk yang bernilai. Kecerdasan berbeda dari keterampilan dalam
kedalaman, jangkauan, dan kerumitannya. Masing-masing kecerdasan majemuk
merupakan gabungan dari keterampilan terkait dan hal ini menjelaskan bentuk
sarafnya yang rumit. Pendidikan secara umum bertujuan upaya menumbuhkan
kesadaran bahwa seseorang memiliki kecerdasan yang dapat dikembangkan dan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan diri serta mengembangkan masyarakat. Perspektif
kecerdasan majemuk berkontribusi pada upaya ini. Memahami tentang langkah
pembelajaran yang dapat mengembangkan kecerdasan intrapersonal memberi sarana
kepada pelajar untuk lebih menyadari kehadiran diri sebagai bagian lingkungan.
Penerapan temuan neurosains dalam pembelajaran adalah upaya rumit yang untuk
saat ini mungkin baru berada di awal perjalanan panjang menuju interaksi
efektif antara pakar neurosains dan pelaku pendidikan.
3. PENUTUP
Uraian
yang telah disampaikan menunjukkan bahwa gagasan kecerdasan majemuk selaras
dengan perkembangan pengertian cara pikiran dan otak berinteraksi. Setiap
kecerdasan adalah unit keterampilan kognitif yang memiliki keunikan dan
kesamaan dalam saraf dengan perbedaan pola yang jelas dan koheren. Dapat dikatakan
bahwa kajian empiris dalam neurosains menyediakan bahan dukungan terhadap gagasan
kecerdasan majemuk.
Tentunya
walau terdapat kecerdasan majemuk, pelajar tidak boleh diberi label dengan
jenis kecerdasan tertentu. Pelabelan, seperti menyebut ‘cerdas secara verbal’
atau ‘cerdas secara visual’ memiliki bahaya laten ketika membuat pelajar enggan
mengeksplorasi variasi cara belajar maupun mengembangkan jenis kecerdasan lain
‘yang lebih lemah’. Dengan demikian, pengertian terhadap kecerdasan majemuk
pelajar sebaiknya diperlakukan sebagai bahan masukan kepada pendidik ketika
merencanakan maupun mengubah secara mendadak pelaksanaan pembelajaran.
Ketika
para pendidik di seluruh dunia sedang mengeksplorasi beragam cara untuk
menerapkan gagasan kecerdasan majemuk dalam pembelajaran, pakar neurosains
sedang berusaha memberi jawaban tentang cara agar proses dalam otak dapat
meningkatkan hasil belajar. Tentu hal ini belum terjawab seutuhnya. Namun,
bukankah justru hal ini memberi arah baru bagi penelitian pendidikan?
Penelitian hanya bermanfaat ketika hasilnya tidak pasti, begitu kita tahu
jawabannya, betapapun menariknya topik yang diteliti, itu bukan penelitian
lagi. Kami berharap agar para pelaku pendidikan dan pakar neurosains bekerja
sama dalam menghasilkan kerangka kerja yang utuh untuk berbagai faktor yang
mempengaruhi pembelajaran.
REFERENSI
al-Zarnūjī, Burhān al-Dīn. (2015).
Ta’līm al-muta’allim ṭorīq al-ta’allumi. Al-Maktab al-Islāmī.
Candler, Laura. (2011).
Teaching multiple intelligence theory. Teaching Resources URL: https://www.lauracandler.com/wp-content/uploads/2018/06/TPreview.pdf
Clement, Neville D., & Lovat, Terence. (2012).
Neuroscience and education: issues and challenges for curriculum. Curriculum
Inquiry, 42(4), 534-557. DOI: https://doi.org/10.1111/j.1467-873X.2012.00602.x
Fuchs, Eberhard; & Flügge, Gabriele. (2014, 04 Mei). Adult
neuroplasticity: more than 40 years of research. Neural Plasticity:
541870. DOI: https://dx.doi.org/10.1155%2F2014%2F541870
Gardner, Howard Earl, & Moran, Seana. (2006) The science of
multiple intelligences theory: a response to lynn waterhouse. Educational
Psychologist, 41(4): 227-232. DOI: https://doi.org/10.1207/s15326985ep4104_2
Gardner, Howard Earl. (2011).
Multiple intelligences : the first thirty years. Harvard Graduate School
of Education. URL: https://howardgardner01.files.wordpress.com/2012/06/intro-frames-of-mind_30-years.pdf
Giancoli, Douglas C. (2014).
Phys ics principles with applications (7th edition). Pearson Education.
Jung, Rex E., & Haier, Richard J. (2007,
26 Juli). The Parieto-Frontal Integration Theory (P-FIT) of intelligence:
converging neuroimaging evidence. Behavioral and Brain Sciences, 30(2):
135-154. DOI: https://doi.org/10.1017/S0140525X07001185
Kweldju, Siusana. (2015, Juli - Desember). Neurobiology
research findings: how the brain works during reading. PASAA: Journal of
Language Teaching and Learning in Thailand, 50:125-142. URL: https://eric.ed.gov/?id=EJ1088308
Oliver, Mary. (2011,
07 September). Towards an understanding of neuroscience for science educators. Studies
in Science Education, 47(2): 211-235. DOI: https://doi.org/10.1080/03057267.2011.604478
Reece, Jane B., dkk. (2011).
Campbell biology (9th edition). Pearson Education.
Shearer, C. Branton, & Karanian, Jessica M. (2017,
March). The neuroscience of intelligence: Empirical support for the theory of
multiple intelligences?. Trends in neuroscience and education, 6: 211-223.
DOI: https://doi.org/10.1016/j.tine.2017.02.002
Shearer, C. Branton. (2019,
19 Juni). A detailed neuroscientific framework for the multiple intelligences:
describing the neural components for specific skill units within each
intelligence. Journal of Psychological Studies, 11 (3): 1-26. URL: http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ijps/article/view/0/39826
Siayah, Syarofis; Kurniawati, Novi Khoirunnisa; & Setiawan,
Adib Rifqi. (2020, 29 Februari).
Six Main Principles for Quality Learning based on “Ta’līm al-Muta’allim Ṭorīq
al-Ta’allum”. Thesis Commons. DOI: https://doi.org/10.31237/osf.io/gtq4m
University of Minnesota. (2010).
Defining and measuring intelligence. Dalam Introduction to Psychology.
University of Minnesota Libraries Publishing. DOI: https://dx.doi.org/10.24926/8668.1201
Waterhouse, Lynn. (2006). Inadequate evidence
for multiple intelligences, mozart effect, and emotional intelligence theories.
Educational Psychologist, 41:4, 247-255, DOI: https://doi.org/10.1207/s15326985ep4104_5