Penampilan Jupe di
'Chivas Gentleman Moment with Julia Perez' pada Rabu 27 Januari 2016.
Buat sebagian orang, Yuli Rachmawati yang biasa disapa Jupe hanyalah penghibur (entertainer). Bagi sebagian orang, Jupe adalah makhluk Tuhan paling istimewa yang senantiasa dicinta tanpa pernah luntur. Sedangkan untuk sebagian lainnya, Jupe adalah seorang wanita dengan kesan cemar yang mereka pandang lacur.
Walau
begitu, kalau mau jujur mengakui, Jupe adalah media darling. Jupe seperti memiliki daya
pikat tersendiri sehingga sanggup membuat media nyaris tak berpaling. Sepanjang
kariernya sekitar satu dekade ini, banyak hal mengenai Jupe mudah didapati.
Dengan mengetik kata kunci “Julia Perez” di mesin pencari Google misalnya. Mau
Google News, Google Images, hatta Google Scholar sekalipun,
nama Jupe senantiasa ada.
Pada
pencarian “Julia Perez” di mesin pencari tersebut yang bisa diperiksa melalui Google Trends menunjukkan
bahwa Jupe memang banyak dicari maupun diproduksi oleh pengguna media daring
(dalam jaringan, online).
Belum lagi kalau kita mencarinya melalui anak asuh Google, YouTube,
yang niscaya didapatkan video Jupe ke toilet dikawal asisten pun menjadi bahan posting.
Dari
seluruh bentuk pencarian, Google
Scholar adalah bagian paling menggembirakan. Secara singkat Google Scholar adalah
layanan menyediakan bahan terbatas berupa tulisan yang diakui secara keilmuan.
Dibanding bagian pencarian Google,
Google Scholar
memang terbilang lebih sepi peminat. Namun layanan ini saya suka lantaran bisa
menyaring tulisan picisan. Malahan seiring mudahnya setiap pengguna media
daring menerbitkan tulisan, gairah membuncah mencari melalui Google Scholar semakin
menguat.
Banyaknya
tulisan mengenai Jupe yang didapat melalui Google
Scholar membuat saya senang. Saya sendiri adalah penggemar berat
Jupe sejak awal kariernya dengan kekaguman yang tak pernah berkurang. Ketika
sosok yang selama ini dikagumi bisa ikutserta memberi peranan, tentulah hal ini
wajar. Terlebih ketika sosok tersebut lebih kerap dipandang cemar.
Hadirnya
Jupe dalam Google Scholar,
meskipun sebagai bahan kajian, menunjukkan kalau wanita kelahiran Jakarta
Timur, 15 Juli 1980 ini bisa dinikmati dengan segala cara. Mau sekadar memuji
atau mencaci seadanya hatta
mengapresiasi semadyanya, bisa. Hendak menikmati ukuran kesintalan badan Jupe,
juga bisa. Bahkan kalau mau menjadikan Jupe sebagai sarana menerapkan ilmu yang
dimengerti, semuanya bisa. Tinggal kita sendiri yang memilih dengan cara apa
menempatkan seorang wanita bernama Julia.
Kasus
Jupe dengan Dewi Murya Agung (Dewi Perssik atau Depe) dalam proses pembuatan
film Arwah Goyang Jupe-Depe
misalnya. Film tersebut terbilang memiliki brand
tersendiri yang tak pernah sirna. Memang hanya horor biasa saja, yang
melibatkan dua penghibur papan atas Indonesia. Namun kasus perkelahian dua
penghibur yang sama-sama memiliki kelompok penggemar besar ini cukup menyedot
perhatian massa.
Beberapa
berita muncul, mengabarkan setiap penggal bagian yang ingin disajikan. Ragam
ungkapan timbul, berupa sanjungan hingga cibiran. Namun ada juga yang
menjadikan kasus ini sebagai bahan kajian intellectual.
Mereka memilih melihat kasus ini sebagai sarana supaya kajian keilmuan dengan
keseharian sosial tidak seperti terpenggal.
Saya
sendiri, sebagai recreational
author yang menggemari Jupe, belum menghadirkan dirinya dalam Google Scholar. Secara
pribadi baru dengan menulis article
popular. Artikel tersebut diberi judul Menjilati
Yuli (Setiawan, 2013). Sebagian orang yang tahu bahwa saya adalah Jupenizer (semat penggemar Jupe)
memang kerap menyebut seperti ini.
Karena
saya lebih mudah menikmati paduan kata ketimbang ungkapan lainnya, saya pun
menyempatkan diri menulis Membaca Julia,
catatan sekadarnya mengenai buku JUPE:
My Uncut Story (Perez, 2014; Setiawan, 2014). Sebuah buku karya Jupe dengan bahasa sehari-hari
dan intim laiknya sebuah diary.
Saya senang Jupe sempat menulis buku mengenai dirinya walau sebagian besar
berisi pelurusan segala semat yang didapat. Dengan menyampaikan sendiri secara
tertulis, nilai pernyataan lebih kuat dan sanggam terpahat.
Sebagian
orang boleh menganggap saya melakukan pekerjaan sia-sia. Sesekali duduk terpaku
selama beberapa waktu, menikmati beragam jenis sajian unjuk rasa yang
dihadirkan atau menyinggung nama seorang Julia. Betapa tololnya mengabdikan
mata demi menikmati sajian dari sesama manusia biasa yang derajatnya tampak
setara (walau mungkin martabatnya beda)?
Tapi
tahukah mereka bahwa menikmati sajian tersebut merupakan peristiwa yang sangat
bermakna buat saya. Satu peristiwa yang memberikan sebuah penghiburan, menyuntikkan
sejumlah pengharapan. Satu peristiwa yang bisa mencairkan sukma ketika rasa
lara gundah gulana didera. Satu peristiwa yang bisa memperingatkan diri ketika
dihinggapi rasa kesombongan.
Saya
kagum pada Jupe antara lain ketika dia menunjukkan kasih sayang dengan
gamblang. Cara Jupe menempatkan diri menunjukkan kalau dia lebih melihat
manusia dari sisi martabatnya sebagai orang ketimbang kegunaannya sebagai
barang. Wajar kalau Diana Anastasi, asisten pribadinya, tetap loyal. Keduanya
juga bisa terlibat interaksi intim hingga Jupe menyebut Diana sebagai sahabat
dekat. Hubungan keduanya tak sebatas pada financial.
Malahan hampir tanpa sekat.
Mungkin
buat sebagian orang menjadi asisten pribadi—termasuk untuk penghibur bahadur
sekalipun—adalah pekerjaan tak enak yang merendahkan harga diri. Namun bagi
sebagian lainnya, menjadi berkah tersendiri. Hubungan antara penghibur dan
asisten adalah saling menguntungkan. Dengan memiliki asisten pribadi, penghibur
bisa fokus pada karier yang diretas sementara asisten pribadi bisa mendapat
pekerjaan.
Keberhasilan
seorang penghibur (entertainer)
tak bisa dilepaskan dari peran seorang asisten pribadi. Keduanya perlu untuk
bisa saling berpadu menjalankan tugas yang perlu dilakoni. Ketika asisten
pribadi bisa berunjuk kerja maksimal, penghibur bisa berunjuk penampilan
optimal. Dari sini kemudian mereka berbagi penghasilan financial.
Penampilan Jupe di
'Chivas Gentleman Moment with Julia Perez' pada Rabu 27 Januari 2016.
Karena
industri hiburan bersifat fluktuatif, tak semua asisten pribadi betah lama-lama
aktif bekerja pada penghibur yang memberinya pekerjaan. Tak sedikit pada
penghibur yang ditinggal kabur oleh asisten pribadi mereka ketika majikan mulai
sepi tawaran. Apalagi ramai atau sepi tawaran, pekerjaan asisten pribadi
tetaplah sama. “My words is
your jobs,” sejenis demikian kira-kira ketika penghibur
berkata pada asisten pribadinya.
Namun
kecenderungan kabur ketika penghibur menganggur tak menggempur Jupe, yang
beruntung memiliki Diana. Sebagai seorang asisten pribadi, Diana selalu setia
pada Jupe, tak hanya saat Sang Nyonya sedang berjaya, namun ketika dirinya
merana. Sejak awal karier Jupe di industri hiburan ketika belum memiliki nama
besar, Diana sudah berperan sebagai asisten pribadi. Tentu tak sekadar
mendampingi, dirinya harus siap siaga mendapat perintah yang Sang Nyonya beri.
Sepuluh
tahun bukanlah waktu yang sebentar. Namun Diana tak pernah gusar. Diana sadar
bahwa Jupe telah berjasa membuka jalan untuk memenuhi kebutuhan. Sementara Jupe
juga mengerti peran Diana sepanjang perjalanan. Hingga saat ini, Diana tetap
tegap setiap mendampingi Jupe. Semua tugas dari Jupe masih terus dilakukan
dengan enjoy.
Wajar
kalau Jupe sendiri, terutama Sri Wulansih (mama) sangat terharu memiliki Diana.
Della dan Anggia, dua adik Jupe, juga terpesona dibuatnya. Malahan bagi para
penggemar Jupe, Diana memiliki tempat tersendiri. Oleh para Jupenizer, Diana
adalah salah satu sosok yang sangat dihormati.
Pengalaman
menggemari Jupe turut berperan dalam memudahkan saya mencerna bacaan. Misalnya
bacaan karya Farid Esack berjudul The
Quran: A User’s Guide, yang sebenarnya mengkaji Alquran. Farid
melalui buku ini memetakan hubungan seseorang dengan Alquran ke dalam enam
macam (Esack,
2007, hlm. 1-10). Pemetaan yang diibaratkan hubungan antara pecinta (lover) dan kekasihnya (beloved) ini, buat saya,
sudah cukup menjadikan nama Farid bisa sanggam.
Bentuk
pertama, yaitu the
uncritical lover (pecinta buta). Mereka yang tergolong ke dalam
bentuk ini memperlakukan Alquran sebagai kitab sakral. Bentuk pertama ini
mengukuhkan kesucian Alquran tanpa kajian. Sehingga mereka merasa tak perlu
mempertanyakan apapun dalam Alquran dan tak pernah tahu apa makna dan
kegunaannya.
Bentuk
kedua adalah the scholarly
lover (pecinta ilmiah). Para Pecinta Ilmiah berupaya melakukan
kajian untuk memperkaya pemahaman mengenai Alquran. Melalui pemahaman ini
mereka berupaya menjelaskan mengenai keistimewaan-keistimewaan Alquran sembari
mengajak agar setiap pihak menerima keistimewaan tersebut. Bentuk kedua ini
berupaya mengukuhkan kesucian Alquran dengan argumen ilmiah.
Bentuk
ketiga adalah para the
critical lover (pecinta kritis). Pecinta kritis tak ragu bersikap
kritis atas beragam permasalahan yang termuat di dalam Alquran. Pecinta kritis
berusaha memberikan pemahaman lain mengenai Alquran. Sehingga seringkali para
penafsir dalam seperti ini mendapat kecaman dan kerap dipertanyakan rasa
kecintaannya terhadap Alquran.
Bentuk
keempat adalah the friend
of lover (kerabat pecinta). Kerabat pecinta ini berupaya
menunjukkan empatinya terhadap Alquran tanpa rasa sungkan menampakkan kekaguman
mereka terhahadap kitab mulia umat Islam tersebut. Mereka turut melakukan
kajian kritis namun dalam pengungkapan pendapatnya diberikan dengan cara yang
simpatik dan empatik.
Bentuk
kelima adalah the voyeur
(para pengintai). Mereka adalah para pengkaji Alquran yang mengkritis habis
Alquran secara membabi-buta. Mereka biasa bersikap negatif terhadap Alquran
namun kadang masih mengakui sisi positif Alquran selama diungkapkan dengan
alasan yang meyakinkan.
Bentuk
keenam adalah the polemicst
(para pembantah). Para pembantah berupaya melakukan studi tentang Alquran yang
hanya mengungkap sisi-sisi lemahnya saja. Mereka membaca dan memandang Alquran
dengan nada sumbang yang terus bersikap antipati pada Alquran.
Mengadopsi
gagasan Farid tersebut, dalam mengaitkan diri saya dengan Jupe, terbilang
berada pada posisi mengambang antara the
uncritical lover dan the
scholarly lover.
Bila
melihat bahwa saya menyempatkan waktu untuk menikmati dan sesekali
mengungkapkan, tampak berada pada the
scholarly lover. Tampak kalau berusaha mengajak khalayak untuk
memberi apresiasi semadyana.
Hanya
saja, dengan cenderung memaklumi kekurangan disertai mengagumi kelebihan, saya
rasa lebih tepat the
uncritical lover. Karena memang mata yang cinta senantiasa tumpul
terhadap cela. Dengan pandangan serupa ini pula saya menyempatkan menulis Menjilati Yuli,
yang bertutur mengenai perjalanan pribadi Julia.
Yuli
Rachmawati atau Jupe memang manusia biasa. Dirinya bisa berbuat salah juga,
meski seorang wanita. Buat yang tak peduli pada Yuli, tentu boleh tetap
bernafas. Walakin hembusan nafasnya tak perlu disertai cibiran kelewat cemar,
apalagi berperilaku beringas.
Penampilan Jupe di
'Chivas Gentleman Moment with Julia Perez' pada Rabu 27 Januari 2016.
References
Perez,
Julia. (2014). JuPe: My Uncut Story. EnterMedia. [luring: beli]
Setiawan,
Adib Rifqi. (2013). Menjilati Yuli — tegap menghibur walau dalam tangis. Kirana
Azalea, 15 Juli. [daring: lihat]
Setiawan,
Adib Rifqi. (2014). Membaca
Julia — karya biasa saja dari yuli rachmawati. Kirana Azalea, 28 Oktober. [daring: lihat]