Rosa Amalia Iqony


— paduan yakin diri dan rendah hati

Intro:
Versi cekak artikel ini diterbitkan melalui Majalah SANTRI edisi April 2018 halaman 46. [lihat: sumber, arsip]


“Let us talk more about blessings more than we talk about our burdens.”
— Rosa Amalia Iqony

Perkembangan seni fotografi dan industri busana membuat kebutuhan terhadap peragawati (model) ikut terdongkrak. Peragawati menjadi bidang yang mulai digeluti oleh banyak pihak. Tak sekadar sebagai pekerjaan sampingan, melainkan menjadi karier utama seseorang. Bahkan beberapa peragawati bisa membuka lapangan pekerjaan sebagai tambang uang.

Peragawati merupakan pekerjaan yang bergerak dalam bidang jasa untuk menampilkan busana dan/atau menjadi objek pemotretan. Seperti jenis pekerjaan lain, menjadi peragawati juga memiliki keuntungan dan kerugian. Tak dimungkiri memang menjadi peragawati bisa memberi kegembiraan tersendiri, terlebih jika dilakoni sepenuh hati. Namun tak disangkal pula bahwa banyak tantangan yang dihadapi, apalagi kalau sudah berada pada posisi tinggi.

Keuntungan menjadi peragawati, antara lain, menjadi panutan dalam penampilan. Penampilan badan seorang peragawati biasa dianggap sebagai acuan. Karena menjadi acuan, peragawati mudah dikenal oleh banyak kalangan. Dikenal banyak kalangan memudahkan peragawati untuk meluaskan pergaulan, menambah wawasan, hingga menggunakannya sebagai sarana meraih penghasilan.

Keuntungan tentu sebanding dengan kerugian yang didapatkan. Anggapan bahwa peragawati merupakan acuan dalam berpenampilan membuat peragawati seakan dituntut untuk senantiasa memperhatikan penampilan badan. Perhatian dapat berupa perawatan fisik, pemilihan busana yang dikenakan, hingga perilaku ketika mengenakan busana tertentu. Ditambah dengan tingkat keterkenalan yang tinggi, tuntutan tersebut membuat perjalanan pribadi peragawati cukup terganggu.

Keuntungan dan kerugian tersebut disadari dengan baik oleh Rosa Amalia Iqony, peragawati asal Pasuruan, Indonesia. Peragawati sendiri mulai ditekuni tatkala Rosa melewati usia kepala dua. Langkah menjadi peragawati dimulai selepas kuliah S1 di program studi Kedokteran Gigi berhasil diselesaikan selama tujuh semester saja.

Awalnya Rosa bergabung dengan SZ Management, sebuah agensi asal Surabaya. Beberapa waktu kemudian, para perancang busana tertarik untuk menggunakan jasanya sebagai peragawati. Dari sinilah karier peragawati dimulai.

Rosa termasuk sosok yang memiliki semangat kuat dan ulet dalam melakukan pekerjaan. Sebagai workaholicdirinya piawai melaksanakan tugas yang harus diperankan. Rosa tak serta merta meninggalkan pendidikan formalnya di sekolah walau sudah merambah pentas hiburan. Selain peduli terhadap kepantasan penampilan badan, Rosa juga peduli pada pendidikan. Saat ini dirinya mengisi hari dengan mengikuti pendidikan profesi, selepas kuliah diselesaikan.

Rosa tak ragu untuk berunjuk rasa dengan cara yang bisa dilakukannya. Kemauan berunjuk rasa menjadi satu hal yang memang selayaknya dilatih, kalau perlu sejak balita. Kemauan berunjuk rasa memberi semangat agar tak ragu mengungkapkan perasaan dengan penuh yakin diri. Yakin diri menjadi pondasi penting dalam membentuk jiwa yang rendah hati.

Manusia yang piawai berunjuk rasa memiliki dua sisi berkelindan ini: yakin diri dan rendah hati. Meski seringkali yakin diri dilihat sebagai arogansi dan rendah hati dinilai sebagai wujud rendah diri. Rosa pun demikian. Di luar sisi sebagai workaholic, perempuan kelahiran 09 September 1996 ini tetap bersemangat saat terlibat obrolan, membaca buku, serta jalan-jalan.

Rosa seakan mengayuh perjalanan yang membuat namanya memiliki harga jual. Kehadirannya pun dapat memiliki nilai komersial. Keadaan yang demikian tentu memudahkannya untuk ikutserta dalam berbagai kegiatan sosial.

“Let Strong women don't need to declare they can carry on all the burdens in life. They just quitely do it and survive with a smile. 🌸”
— Rosa Amalia Iqony

Tak dimungkiri bahwa kecantikan turut berperan dalam menyukseskan karier Rosa. Pertanyaannya, salahkah memanfaatkan kecantikan? Sebagian orang mungkin akan menjawab iya. Sebagian lainnya barangkali menanggapi tidak. Sisanya bisa jadi sibuk dengan keseharian sehingga tak sempat berkomentar.

Naomi Wolf menuturkan bahwa kecantikan adalah mitos yang diciptakan industri untuk mengeksploitasi perempuan secara ekonomi melalui produk-produk kosmetik. Pandangan Naomi beserta pendukungnya boleh jadi tidak bisa disalahkan, namun kurang lengkap untuk menjadi genggaman. Pasalnya Naomi tak mementingkan paras cantik sebagai salah satu modal untuk perempuan.

Cantik adalah sebagian modal yang layak dimanfaatkan, sejenis demikian diungkapkan oleh Catherine Hakim melalui gagasan erotic capitalGagasan ini secara gamblang mengakui bahwa kecantikan, sebagai bagian dari erotic, satu bentuk modal tersendiri melengkapi bentuk modal ekonomi, budaya, dan sosial yang digagas oleh Pierre Bourdieu.

Erotic capital merupakan kombinasi dari daya tarik fisik, estetik, visual, sosial, dan seksual yang dimiliki seseorang untuk menarik orang lain. Ada enam bagian dalam erotic capital, kecantikan adalah salah satunya. Sepertihalnya jenis modal lain, erotic capital juga dapat diupayakan, kosok bali dengan pandangan yang cenderung menyangka bahwa kecantikan hanyalah ketetapan Tuhan (buat yang percaya Tuhan) atau suatu kebetulan alamiah (buat yang cuma percaya Hukum Alam).

Sayangnya banyak orang yang dicibir ketika memanfaatkan kecantikan. Cibiran terhadap orang yang turut memanfaatkan kecantikan, banyak berpijak dari pandangan yang menyebut bahwa pintar adalah hasil tekun belajar, sedangkan cantik adalah bawaan lahir. Cerdas dianggap sesuatu yang diperoleh lewat kerja keras, sedangkan kecantikan adalah anugerah yang didapat tanpa usaha.

Padahal posisinya bisa saja terbalik. Pasalnya faktor genetis pun, terutama dari ibu, berperan penting dalam menentukan kecerdasan seseorang. Sedangkan untuk tampil cantik, seseorang perlu banyak berusaha, mulai dari olah raga, menjaga pola konsumsi, merias wajah, hingga berpikir menentukan pakaian.

Tak perlu membutakan mata menyaksikan bahwa orang yang cantik memang kerap mendapat beragam kemudahan. Contoh paling bagus dalam hal ini ialah Maria Sharapova, petenis yang melengkapi gelar grand slam-nya di Paris 2012 silam. Pendapatan sebagai model jauh lebih banyak ketimbang menjadi petenis. Maria bahkan masih tetap menambah kekayaan saat diskors gara–gara kasus obat–obatan terlarang.

Erotic capital sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita tampak enggan mengapresiasi kecantikan perempuan sepertihalnya kecerdasan?

Ketika ada perempuan dandan, dibilang menghabiskan waktu tak berguna. Walakin ketika membaca buku, disangka waktu diisi dengan kegiatan bermanfaat. Perempuan yang berusaha menunjukkan kecantikan malahan tak jarang otomatis dianggap bodoh. Pekerjaan yang menjual badan perempuan, seperti modelling, diberi stigma sebagai pekerjaan hina.

Kecantikan dan upaya mempercantik diri dianggap sebagai tindakan tak baik. Para peserta kontes kecantikan, misalnya, mendapatkan banyak cibiran. Kecerdasan dan kecantikan dilihat sebagai dua hal bertentangan yang tak mungkin dipadukan oleh perempuan. Perempuan yang memiliki keduanya, tidak diizinkan untuk menggunakan semuanya, hanya boleh memaksimalkan kecerdasan saja. Mengapa oh Menyapa? Whyyy?


References

Penuturan Rosa Amalia Iqony pada 04 Februari 2018 melalui WhastApp.

— Bibliography

Adib Rifqi Setiawan. (2018). Rosa amalia iqony : paduan yakin diri dan rendah hati. Majalah SANTRI, April 2018, hlm. 46. [daring: lihat]

Catherine Hakim. (2011). Erotic capital: the power of attraction in the boardroom and the bedroom. New York City: Basic Books. [daring: lihat]

Forlap Dikti. (2015). Rosa Amalia Iqony. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi - Forlap Dikti.[daring: lihat]

Joanne Entwistle & Don Slater. (2012). Models as brands: critical thinking about bodies and images. Dalam Fashioning Models: Image, Text and Industry, hlm. 15-33. London: Berg. [daring : lihat]

Joanne Entwistle. (2002). The aesthetic economy: the production of value in the field of fashion modelling. Dalam Journal of Consumer Culture, 2(3), hlm. 317-339. [daring : lihat]

Kurt Badenhausen. (2016). How maria sharapova earned $285 million during her tennis career. Forbes, 8 Maret. [daring: lihat]

Kurt Badenhausen. (2016). How maria sharapova earned $285 million during her tennis career. Forbes, 8 Maret. [daring : lihat]

Lars Hartman. (2013). Humble and confident. on the so-called philosophers in colossians. Dalam Approaching New Testament Texts and Contexts: Collected Essays II, hlm. 223-236. Heidelberg: Mohr Siebeck. [daring : lihat]

Laura Mulvey. (2003). Visual pleasure and narrative cinema. Dalam The Feminism and Visual Culture Reader, hlm. 44-53. London: Routledge. [daring : lihat]

Maria Sharapova. (2017). Unstoppable: my life so farhlm. 266. New York City: Sarah Crichton Books. [daring : lihat]

Naomi Wolf. (2002). The beauty myth: how images of beauty are used againts women. New York City: Morrow. [daring: lihat]

P Soley-Beltran. (2004). Modelling femininity. Dalam European Journal of Women’s Studies, 11(3), hlm. 309-326. [daring : lihat]

Pierre Bourdieu. (1986). The forms of capital. Dalam Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, hlm. 241–58. New York City: Greenwood. [daring : lihat]

Rosa Amalia Iqony. (2017a). Caption post instagram. Instagram RosaIqony, 21 Maret, 08:07 GMT+7. [daring: lihat]

Rosa Amalia Iqony. (2017b). Caption post instagram. Instagram RosaIqony, 21 Maret, 08:11 GMT+7. [daring: lihat]

— Discography

Madonna. (1989). Express yourself. Dalam Like a Prayer. Burbank: Warner Bros. Records, 20 Maret. [lihat]

— Photography

Lokasi: Museum Bank Indonesia, Jl. Pintu Besar Utara No.3 Jakarta Barat [lihat]

Dress: Maura Dress Premium by MYJIVI Muslim Wear [IG: @myjivi]

Shoes: AMANTE [IG: @amanteshoes]

Hijab: HiJaB OOTD INDO [IG: @hijabootdindo]