— Islam Aries-Blackjack, Is Islam?
Islām
«الإسلام» (Islam)… tak ada yang saya kenal termasuk namanya. Hanya saja,
kerap sekali pertanyaan terkait ini dilontarkan—kadang spontan—pada saya.
Secara singkat, Islam saya adalah Islam Aries-Blackjack—menjadi
Aries adalah ketetapan sementara
menjadi Blackjack merupakan pilihan.
Dalam beberapa hal terkait
Islam, bisa jadi saya berbeda, bertentangan, bahkan sendirian dalam menggenggam
pandangan. Mungkin bisa juga pandangan saya sudah terlampau banyak dipeluk oleh
banyak kalangan sepanjang masa terbentangkan.
Kitab mulia Al-Quran
«القرآن الكريم» menuturkan:
«هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ
كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ»
«القرآن
الكريم سورة الجمعة : ٢»
Serta Muhammad menyatakan:
«إنما
بعثت لأتمم مكارم الأخلاق»
Dua ungkapan ini sengaja
saya kutip sebagai titik tolak dalam mulai menulis catatan ini. Ada perasaan
tersendiri terkait dua ungkapan itu.
Pandangan terhadap Islam
banyak ditanam dan ditumbuhkan oleh lingkungan asal saya, Desa Colo, Kabupaten
Kudus. Secara khusus pada masa jaya-jayanya Linkin Park dengan Meteora dan
Britney Spears dengan In the Zone,
kebangkitan Yamaha MotoGP bersama Valentino Rossi, perkembangan menakjubkan
Chelsea F.C. dalam masa pengelolaan oleh Roman Abramovich, serta masa awal
Paris Hilton (melalui The Simple Life)
dan Florentino Pérez (dengan proyek Los Galácticos)
melakukan gebrakan luar biasa.
Di tempat asal saya sekitar
masa itu, terjadi perubahan keadaan lingkungan. Sebelumnya, penduduk didominasi
oleh pemeluk Islam yang sebagian besar bertradisi Nahdliyyin (kelompok
NU) dan sedikit Muhammadiyyin
(kelompok Muhammadiyah) serta sebagian besar sisanya adalah Buddha dan sedikit
sekali Protestan. Dukuh Pandak (RW 03), tempat rumah saya berada, memiliki catatan
bagus: Vihara dan Gereja sebelahan dan selang beberapa meter terdapat Masjid Jami’.
Perubahan keadaan
lingkungan tersebut ialah ketika sepasang pendatang asal Bogor yang berafiliasi
dengan Ahmadiyyah ikutserta dalam pergaulan lingkungan. Mereka tak mengalami
penolakan keras seperti dihajar fisik maupun kejam seperti dikucilkan dari
lingkungan. Alih-alih malah mendapat masjid dan rumah di sampingnya, yang
letaknya dekat dengan gerbang masuk ke wilayah wisata tempat asal saya.
Di masjid tersebut, bersama
teman-teman, kami sering membaca buku-buku yang disediakan. Hingga mengenalkan
kami pada tokoh seperti Nur Muhammad Iqbal, walau sampai saat ini belum saya
elaborasi. Malahan saya sendiri baru mulai membaca buku berjudul Ahlussunnah Wal
Jama’ah dari masjid itu, bukan dari lingkungan NU sendiri misalnya sekolah.
Pada saat yang sama,
buku-buku saku mengenai bid’ah-nya ziarah qubur dan
sejenisnya beredar gratis di lingkungan makam Sunan Muria. Penyebarannya sangat
terbuka laiknya sekarang orang yang menyebarkan brosur kredit sepeda motor.
Buku tersebut berbahasa Indonesia namun pada sampulnya tertera nama negara
Saudi Arabia.
Pada masa yang sama pula di
sekolah saya mendapat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dan
Ke-NU-an yang berturut-turut diperkenalkan pada kelas 3 dan 4 MI (NU Thoriqotus
Sa’diyah). Keduanya termasuk mata pelajaran paling disukai, selain Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) dan Bahasa.
Pengalaman saya beserta
latar belakang lingkungan rumah sebenarnya tak penting sama sekali buat orang
lain. Namun melalui penuturan sekilas—yang ternyata kepanjangan—tersebut diharapkan
bisa memberi gambaran mengenai proses paling penting dalam membentuk Islam Aries-Blackjack,
Islam sebagai ketetapan-pilihan.
Dua ungkapan yang dikutip
sebagai titik tolak tersebut menunjukkan pandangan dalam meresapi Islam seperti
dinyatakan dalam Al-Quran:
«يا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ»
«القرآن
الكريم سورة البقرة : ٢٠٨»
Buat saya Islam sebagai
ajaran kaffah
terdiri dari tiga domain yang berkelindan tak bisa dipisahkan: akidah, syariah,
dan tasawuf.
Melalui domain akidah,
Islam memperkenalkan konsep keesaan Tuhan. Hal ini dimulai dari keberadaan
Muhammad di Makkah di tengah masyarakat yang masih jahiliah, suatu kondisi
mayoritas masyarakat yang dari sisi teologi masih menganut paganisme.
Penghambaan mereka terhadap benda mati berpengaruh pada kondisi keseharian
masyarakat Makkah. Peradaban mereka masih tergolong rendah, perbudakan masih
berlaku, dan ketimpangan sosial juga besar. Ini jelas merupakan tantangan yang
berat dalam membangun lingkungan.
Sekitar 13 tahun, Muhammad
ikut serta dalam pergaulan lingkungan Makkah dengan menawarkan prinsip la ilaha illallah,
tiada Tuhan selain Allah. Di samping bermakna penegasan tidak ada kemutlakan
kecuali Allah, pernyataaan ini juga memberikan dampak pada keseharian, antara
lain penolakan terhadap berbagai bentuk perbudakan, penjajahan, dan pemaksaan
yang mengganggu setiap manusia.
Setelah 13 tahun menawarkan
prinsip la ilaha
illallah di Makkah, Muhammad hijrah ke Yatsrib, yang kemudian berganti nama
menjadi Madinah. Tempat ini dinamakan Yatsrib karena orang yang pertama datang
dan membangun kota itu adalah seseorang yang bernama Yatsrib ibn Amliq ibn
Laudz ibn Sam ibn Nuh.
Yatsrib pada masa didatangi
Muhammad adalah lingkungan beragam yang kompleks. Ada sejumlah suku dominan
yang mendiami kota itu: Suku Aus, Khazraj, Qainuqa, Quraidlah, dan Bani Nadhir.
Demikian pula, penduduknya menganut beragam agama: Islam, Yahudi, dan sebagian
kecil Kristen Najran.
Dalam masyarakat Islam
sendiri terdapat dua latar belakang, yaitu kelompok pendatang yang terkenal
dengan sebutan Muhajirin (dari beberapa suku asal Makkah dan sekitarnya), dan
penduduk lokal yang biasa disebut sahabat Anshar, yang didominasi oleh suku Aus
dan Khazraj. Sedangkan kaum Yahudi lebih berasal dari suku Nadhir, Qainuqa, dan
Quraidlah.
Secara alami setiap
kelompok mempunyai keterkaitan yang sangat dekat. Kedekatan inilah yang
melahirkan interaksi di antara mereka. Prestasi masing-masing kelompok tersebut
di bidang kerukunan mengalami pasang surut. Bahkan tidak jarang masing-masing
terlibat konflik berkepanjangan yang mengakibatkan kerugian besar baik fisik
maupun non-fisik.
Dengan keadaan lingkungan
sejenis demikian, Muhammad mulai membangun pola interaksi yang mengedepankan
pola uswah hasanah,
yakni berdasarkan pada keteladanan. Pola interaksi ini menuntut umat Islam
untuk selalu menjadi teladan dalam pergaulan lingkungan. Pola keteladanan
adalah langkah menggerakkan yang bersifat soft-power, yaitu menjunjung
tinggi sikap sepantasnya agar tak mengganggu perasaan sesama.
Pola interaksi yang mulai
dibangun ini ditunjukkan dengan gamblang melalui keseharian Muhammad. Dia
pernah beranjak dari tempat duduknya saat jenazah non-Muslim diusung melintas
di hadapannya sebagai bentuk penghormatan kepada non-Muslim meski sudah
meninggal. Melalui pembiasaan ini Muhammad hendak menunjukkan gambaran bahwa
Islam adalah pandangan yang menghormati sesama manusia tanpa mempersoalkan
identitasnya. Sehingga ajaran Islam tidak pernah digunakan sebagai pembenaran
untuk melakukan tindakan perusak keharmonisan, seperti pemaksaan.
Demikian pula Islam dalam
domain syariatnya. Syariat berasal dari kata syara'a yang berarti
“jalan”. Secara istilah bisa dimaknai sebagai pilihan jalan yang laras, yaitu
nilai-nilai agama yang diterapkan untuk mengarahkan manusia sebagai pengelola
planet Bumi (khalifah
fi al-‘ardh). Maka tampak wajar jika syariat Islam mencakup segala aspek
keseharian manusia, yakni mulai dari ketentuan ritual, panduan moral, seruan
pada peningkatan sumber daya manusia, penegakan keadilan, hingga perawatan
lingkungan.
Pada masa Muhammad, syariat
menampilkan dua aspek dalam dirinya, aspek eksoterik dan esoteris. Sisi
eksoterik syariat Islam, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad fi sabilillah,
baru komplit ketika keadaan lingkungan masyarakat Madinah sudah
stabil dalam interaksi sosial, tingkat ekonomi, dan struktur politik.
Kondisi masyarakat yang
cukup beragam dan tuntutan pemberlakuan syariat Islam tersebut memberi
inspirasi bagi Muhammad untuk mendirikan Negara Madinah (semacam Negara Athena
pada masa kekunoan dan Negara Singapura pada masa kekinian). Konsep Negara Madinah tertuang dalam Ash-Shahifah
(dialihbahasakan menjadi “Piagam Madinah”) mengandung nilai universal:
keadilan, kemandirian, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama
dalam hukum.
Menariknya dalam Piagam
Madinah ini tidak ditemukan sesuatu yang menunjukkan perlakuan memanjakan
Islam. Seperti kata “Islam”, “ayat Al-Quran”, dan “syariat Islam” Kota Yatsrib
pun berganti nama menjadi Madinah, yang berasal dan kata tamaddun, yang
berarti “peradaban”, untuk penegasan sekaligus pengharapan bahwa tempat
tersebut dibangun atas dasar cita-cita tatanan masyarakat berperadaban.
Untuk mewujudkan tatanan
demikian, Muhammad mengembangkan konsep ukhuwah madaniyah,
yakni komitmen bersama untuk terlibat kebersamaan dalam sebuah ikatan yang
berperadaban. Dalam kerangka ukhuwah seperti ini, masyarakat Madinah
merasa betah dengan pola penegakan syariat Islam yang dipraktikkan Muhammad.
Misalnya, ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh,
Muhammad segera mulai menggerakaan masyarakat dalam mengumpulkan dana santunan
untuk diberikan kepada pihak keluarganya.
Dalam kerangka ukhuwah seperti
ini, syariat Islam dari sisi pemberlakuan hukum Islam berjalan bagus.
Kecenderungan Muhammad untuk mengutamakan pemecahan masalah melalui dialog
ketimbang sanksi hukum yang bersifat formal membuat masyarakat larut dalam
upaya pemecahan masalah kemasyarakatan dan terlepas dari jeratan sanksi hukum.
Dengan demikian, ajaran
Islam yang sempurna menuntut setiap umat Islam untuk menerapkan ajaran-ajaran
keagamaan secara sempurna pula. Indikator dari kesempurnaan penerapan ajaran
Islam dapat dilihat dari seberapa jauh kemampuan seseorang menyeimbangkan
kandungan akidah, syariat, dan tasawuf.
Tentu tingkat pemahaman
umat Islam yang berbeda-beda dalam menangkap pesan Al-Quran. Tidak sedikit yang
memahami agama Islam secara ekstrem yang dalam penerapannya kadang menjadi
menyeramkan. Pandangan seperti ini tak jarang membuahkan sikap melampaui batas.
Padahal Al-Quran tidak memperkenankan sedikit pun segenap sikap melampaui
batas. Terkait melampaui batas, terdapat tiga sikap yang bisa dikategorikan:
Pertama
ialah ghuluw,
yaitu bentuk unjuk rasa (expression)
manusia yang berlebihan dalam menanggapi persoalan hingga mewujud dalam
sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan.
Kedua
ialah tatharruf,
yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berdampak pada empati
berlebihan dan sinisme keterlaluan.
Ketiga
ialah irhab,
yaitu sikap berlebihan karena dorongan pandangan yang dianut sehingga merasa
biasa saja berperilaku kejam pada sesama.
Sebagai seorang Muslim,
mendalami dan memahami ajaran Islam secara menyeluruh hingga ajaran tersebut
berguna buat diri maupun lingkungannya adalah sebuah kebutuhan. Seperti
disebutkan dalam ayat tadi, wayuzakkihim wayu'allimuhumul kitaba wal hikmah,
yakni semadyana (objective)
dalam mencerna pesan-pesan Al-Quran hingga mampu memunculkan hikmah yang
terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, titik
puncak kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran
Islam dan menyelaminya sehingga bersikap bijak (al-hikmah) dalam segenap
pemahaman dan penafsiran itu. Di sinilah perlunya mengedepankan aspek tasawuf
dalam beragama, yakni aspek esoteris dari Islam.
Aspek tasawuf adalah sisi
keislaman yang yang mengutamakan perkataan yang mulia (qaulan kariman),
perkataan yang baik (qaulan
ma’rufa), perkataan yang pantas (qaulan maisura),
perkataan yang lembut (qaulan layyinan),
perkataan yang membekas (qaulan baligha),
dan perkataan yang berbobot (qaulan tsaqila).
Tasawuf tidak dapat
dipisahkan dari dalam Islam. Islam bukanlah sebuah fenomena sejarah yang
dimulai sejak kehadiran Muhammad sebagai manusia putra Abdullah dan Aminah.
Walakin, Islam merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri
seutuhnya dan ketertundukan sepenuhnya. Sementara tasawuf adalah jalan
membentang yang membawa pada kesadaran manusia seperti itu.
Kemunculan tasawuf bermula
dari abad pertama Hijriah sebagai bentuk perlawanan terhadap penyimpangan dari
ajaran Islam yang sudah keterlaluan. Para penguasa dan pendukungnya saat itu
sering menggunakan Islam sebagai alat pembenaran ambisi pribadi. Mereka tak
segan-segan menampik sisi-sisi ajaran Islam yang tidak sesuai dengan kemauan
mereka. Sejak masa itu, sejarah mencatat munculnya pembaruan di kalangan umat
Islam yang ikhlas dan tulus.
Kebangkitan tersebut
kemudian meluas ke seluruh dunia Muslim. Mereka bersemangat untuk mengembalikan
ajaran yang disampaikan, ditunjukkan, maupun diperkenankan oleh Muhammad. Hal
ini merupakan kesadaran spontan dari ketulusan individu-individu Muslim untuk menyingkap
jalan kesejukan. Mereka mendapatkan spirit nurani dari semangat penghambaan
yang terpancar luas tanpa melalui gerakan terorganisasi.
Ikatan di antara para
pelaku tasawuf (sufi) adalah fenomena tanpa banyak koordinasi maupun organisasi
yang bersifat lahiriah. Fenomena tersebut adalah kesadaran terhadap ibadah yang
ikhlas dan sifat-sifat luhur dalam hati mereka serta adanya kemauan menerima
hukum alam. Ikatan ini lebih banyak disebabkan oleh kesamaan keadaan perasaan
mereka ketimbang suatu sikap patuh terhadap doktrin, etnis, ataupun tradisi
tertentu.
Tasawuf adalah sisi Islam
yang menghubungkan dimensi jasmani dan ruhani manusia sebagai makhluk
individual dan sosial. Dimensi ini selaras dengan bentuk penyebutan “manusia”
dalam Al-Quran.
Pertama, sebutan
‘al-basyar’
«البشر», yakni manusia sebagai makhluk individual dalam dimensi jasmani.
Penyebutan seperti ini dapat ditemukan antara lain dalam ayat:
«قُلْ إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ»
«القرآن الكريم سورة
فصلت : ٦»
Kedua, sebutan
'al-insan'
«الإنسان», yakni manusia sebagai makhluk individual dalam dimensi ruhani.
Penyebutan seperti ini dapat ditemukan antara lain dalam ayat:
«وَالْعَصْرِ ۞ إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ۞ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ۞»
«القرآن الكريم سورة
العصر : ٣-١»
Ketiga, sebutan
'an-naas'
«الناس», yakni manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki kecenderungan
berkumpul atas dasar kesamaan jasmani dan/atau ruhani. Penyebutan seperti ini
dapat ditemukan antara lain dalam ayat:
«يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ»
«القرآن الكريم سورة
الحجرات : ١٣١»
Dalam pemahaman seperti
ini, tasawuf menuntun manusia untuk tak lelah mengayuh perjalanan dalam
meningkatkan kualitasnya tanpa memerhatikan secara berlebihan pencapaiannya.
Perjuangan dalam bentuk kerja keras, penataan hati, maupun ikut terlibat dalam
lingkungan dilakukan seluruhnya tanpa mengutamakan atau meminggirkan salah
satunya.
Mungkin setiap manusia
terlihat berbeda ketika dilihat melalui penerapan yang tampak. Bisa jadi satu
sisi lebih kentara ketimbang sisi lainnya. Hanya saja perbedaan ini hanyalah
pilihan yang diambil sesuai keadaan yang dialami dan kenyamanan yang dijalani.
Karena pilihan yang diambil hanyalah cara untuk mencapai kebahagiaan:
membahagiakan diri sendiri, membahagiakan sesama penghuni alam raya, juga
kebahagiaan berjumpa dengan Sang Pencipta.
Catatan
ini saya persembahkan kepada “21-04-2017” yang terjadi pada hari Jumu’ah [جمعة]