Episode 5 — Sejenak Mengenang Risak Menggelinjang

Lampu-lampu panggung di Lapangan Bendungan, Wates, Kulon Progo, perlahan mengecil di kaca spion. Di dalam mobil SUV berwarna putih yang terawat, Eka Fatmala duduk di balik kemudi, matanya fokus pada jalanan malam yang masih basah. Tangannya mantap memegang kemudi, jemarinya yang sesekali masih terasa kaku setelah berjam-jam di atas panggung kini dengan tenang mengendalikan laju kendaraan. Suara mesin mobil terdengar stabil, kontras total dengan gemuruh musik, sorak-sorai penonton, dan deru hujan yang baru saja ditinggalkannya.

Eka menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma khas aspal basah bercampur udara malam. Ia lelah, tentu saja. Setiap persendian di tubuhnya seolah protes setelah performa yang begitu intens, apalagi di tengah guyuran hujan lebat tadi. Namun, di balik lelah itu, ada rasa puas yang menguar, kehangatan yang tersisa dari jabat tangan singkat dengan para penggemar di tepi panggung. Ia tersenyum tipis saat teringat wajah-wajah basah kuyup yang tetap setia menatapnya, berteriak penuh semangat meskipun air hujan membasahi mereka. Momen-momen itu, momen koneksi tulus itu, selalu menjadi bayaran yang tak ternilai.

Pandangannya beralih ke luar jendela. Jalanan Wates di malam hari. Setiap tikungan, setiap bangunan yang dilewati, seolah memanggil kenangan. Hujan sudah agak reda, hanya menyisakan rintik halus yang menimpa kaca depan. Suara wiper bergerak ritmis, menciptakan melodi tersendiri dalam keheningan mobil.

Di sinilah segalanya dimulai. Di kota kecil ini. Sebagai gadis kecil yang punya mimpi besar, yang kemudian tumbuh menjadi "Ratu Goyang dari Wates" yang baru saja tampil di depan ribuan orang. Kontras antara momen gemerlap di panggung dengan kesendiriannya di balik kemudi sekarang terasa begitu nyata. Dan entah mengapa, kesendirian ini justru menjadi ruang yang sempurna. Ruang untuk bernapas. Ruang untuk mengingat. Ruang untuk merenung.

Perjalanan pulang ini bukan hanya sekadar menempuh jarak dari Wates ke rumah. Ini adalah perjalanan mundur dalam waktu, menelusuri kembali jejak-jejak yang telah membentuknya menjadi Eka Fatmala yang sekarang. Gadis yang dulu, penampil yang kini, dan mimpi-mimpi yang masih ia simpan di hati. Deru mesin mobil putih yang melaju, seolah menjadi pengiring bisikan kenangan yang mulai datang... kenangan tentang awal segalanya.

Lagu "Nyawiji" oleh Niken Salindry mulai mengalun perlahan, mengiringi pergeseran suasana dari realitas perjalanan ke nostalgia masa lalu. Melodi sinden yang khas berpadu dengan irama yang menenangkan, membawa nuansa asal-usul Eka dari wilayah Jawa.

Di balik kemudi mobil putih yang melaju, Eka Fatmala membiarkan kenangan membawanya kembali. Jalanan Wates yang basah seolah menjadi portal waktu, mengembalikannya ke masa lalu, jauh sebelum ada panggung besar, sorot lampu, dan ribuan pasang mata.

Ia teringat rumah lamanya di Wates. Bukan dari keluarga seniman yang punya koneksi atau latar belakang musik kuat. Hanya seorang gadis biasa yang jatuh cinta pada nada dan irama. Sejak kecil, bakat itu sudah terasa. Di depan cermin kamar, dengan sisir atau botol sampo sebagai mikrofon, ia sering bernyanyi, menirukan lagu-lagu yang didengarnya dari radio atau televisi. Suara Eka saat itu mungkin masih polos, tapi ada energi dan cengkok alami yang tak bisa disembunyikan.

Minat itu terus tumbuh. Ia mulai berani tampil di acara-acara kecil, panggung hajatan warga, tujuh belasan di kampung. Di sinilah, perlahan tapi pasti, ciri khasnya mulai terbentuk. Bukan hanya suara, tetapi juga gerak. Tubuhnya seolah punya insting sendiri saat musik berdetak. Awalnya mungkin hanya gerakan spontan mengikuti irama, tapi seiring waktu, gerakan itu semakin terasah, menjadi unik, menjadi miliknya. Goyangannya punya karakter. Tidak dibuat-buat, mengalir alami, tapi punya energi yang menghipnotis.

"Goyangmu kuwi lho, Cah Ayu, ono wateke dewe!" (Goyangmu itu lho, Gadis Cantik, ada wataknya sendiri!) begitu kata beberapa penonton atau sesepuh yang melihatnya tampil pertama kali. Mereka melihat sesuatu yang berbeda pada gayanya.

Popularitasnya merayap naik di tingkat lokal. Dari panggung kecil ke panggung yang sedikit lebih besar. Namanya mulai dikenal. Eka Fatmala, gadis dari Wates dengan goyang yang khas. Puncak dari pengakuan lokal itu datang ketika media regional mulai meliputnya. Artikel-artikel koran seperti yang kemudian ia kumpulkan, mulai memperkenalkan sosoknya ke khalayak yang lebih luas. Di sanalah, salah satunya, ia resmi dilekatkan dengan julukan yang kini melekat erat: "Ratu Goyang dari Wates". Ada juga yang memanggilnya "Eka Gotik", merujuk pada gaya goyangnya yang unik dan 'nyentrik'.

Eka tersenyum kecil di balik kemudi. "Ratu Goyang dari Wates". Julukan itu dulu terasa begitu besar, begitu membanggakan. Mengingat kembali bagaimana ia mendapatkannya, bagaimana gaya goyang itu muncul begitu saja dari Wates, dari dirinya sendiri. Itu adalah fondasinya. Identitasnya.

Tapi fondasi itu, seperti bangunan apapun, harus siap menghadapi badai. Dan badai itu, segera datang...

Lagu "Bunga" oleh Nena Fernanda mulai menggantikan "Nyawiji". Mungkin lagu ini memiliki melodi yang riang namun dengan lirik yang bisa diinterpretasikan memiliki sisi rapuh, mencerminkan mekarnya karier Eka namun juga kerentanan terhadap kritik yang akan datang.

Di dalam mobil putih yang melaju, Eka Fatmala merasakan sisa-sisa ketegangan dari ingatan tentang kritik itu mereda. Ya, hinaan memang menyakitkan, tapi itu bukan satu-satunya suara yang ia dengar. Ada suara lain, suara yang jauh lebih kuat, yang selalu menjadi penyeimbang, sumber kekuatan yang tak pernah kering.

Ia menarik napas, kenangan itu berubah. Dari panggung kecil di Wates, namanya mulai merangkak naik. Semakin dikenal, semakin banyak mata yang memandang. Dan semakin banyak mata yang memandang, semakin banyak pula komentar yang datang. Tidak semuanya pujian. Ada yang sinis. Ada yang merendahkan. Ada yang bahkan begitu pedas, menusuk sampai ke ulu hati.

"Goyangnya terlalu begini lah," "Bajunya kok begitu ya," "Ah, dia mah cuma modal goyang," "Cuma penyanyi kampung," begitu beberapa "Hinaan Cacian" yang ia ingat, terkadang diucapkan langsung, lebih sering lagi dibaca di kolom komentar di media sosial atau terdengar dari bisik-bisik di belakang panggung.

Eka muda seringkali terpuruk. Ada masanya ia menangis di kamar setelah membaca cercaan itu. Merasa tidak berharga, mempertanyakan pilihannya. Apakah memang jalan ini yang terbaik? Apakah ia memang hanya pantas menerima gunjingan?

Tapi titik balik itu datang. Bukan karena keajaiban besar, melainkan dari sebuah kesadaran yang tumbuh di dalam dirinya sendiri, diperkuat oleh pesan-pesan positif yang tak sengaja ia temukan, seperti dari sebaris kalimat di kliping koran yang ia simpan: "Dirimu Lebih Kuat dari yang Kamu Kira". Kata-kata itu seolah tamparan lembut yang membangunkannya. Ia punya kekuatan. Kekuatan yang selama ini mungkin tersembunyi di balik senyum panggung dan goyangannya yang enerjik.

Kenapa aku harus hancur karena omongan mereka? pikirnya saat itu. Mereka tidak tahu perjuanganku. Mereka tidak tahu seberapa besar cintaku pada musik ini.

Dengan tekad yang membaja, Eka memutuskan untuk mengubah rasa sakit itu menjadi sesuatu yang positif. Hinaan Cacian Jadi Motivasi. Ia mulai memutar balik logika itu. Setiap kritik, setiap cibiran, ia jadikan cambuk untuk membuktikan diri, untuk menjadi lebih baik. Mengasah vokal, menyempurnakan penampilan, tetapi tetap otentik pada gayanya. Ia tidak akan membiarkan komentar negatif mendefinisikan dirinya. Justru, komentar-komentar itu yang memberinya energi tambahan untuk terus melangkah, terus berkarya, terus menunjukkan bahwa mereka salah.

Eka tersenyum, senyum yang kali ini terasa getir namun penuh kemenangan. Hujan di luar mobil seolah mencerminkan badai yang pernah ia lalui. Tapi ia bertahan. Ia tidak tenggelam. Karena ia sadar, ia punya kekuatan. Kekuatan yang membuatnya tetap berdiri tegak di atas panggung, bahkan di tengah guyuran hujan sungguhan sekalipun. Kekuatan itu datang dari dalam dirinya, dari Wates, dan dari satu hal lain yang selalu menjadi jangkar baginya...

Lagu "Petis Manis" oleh Nurhana mulai terdengar, membawa nuansa yang familiar dan menghangatkan, mewakili kenyamanan dan dukungan tulus dari penggemar setia.

Hangatnya ingatan tentang penggemar masih menyelimuti Eka. Cinta mereka adalah bahan bakar, dorongan untuk terus maju. Namun, perjalanan hidup terus bergerak, dan setiap tahapan membawa pertimbangan-pertimbangan baru. Seiring waktu berjalan, seiring usianya bertambah, Eka merasakan ada pergeseran dalam dirinya, sebuah kedewasaan yang kian matang menempa pandangannya terhadap karier dan dirinya sendiri.

Dia masih "Menikmati Peran"-nya sebagai penampil, sebagai "Ratu Goyang dari Wates". Energi di atas panggung, interaksi dengan penonton—itu semua adalah bagian dari dirinya yang tak bisa dipisahkan. Tapi ada sesuatu yang mulai terasa berbeda. Fokusnya kian tertuju pada hal yang mendasar: vokal. Goyangannya, gaya panggungnya yang enerjik dan terkadang terbuka memang telah menjadi ciri khas yang melambungkan namanya. Namun, belakangan ini, Eka merasa panggilan untuk lebih mengutamakan kualitas suaranya semakin kuat. Ia percaya, vokal adalah jiwa dari sebuah lagu, dan ia ingin jiwanya berbicara lebih lantang. Ia ingin dikenal bukan hanya karena goyangannya, tetapi karena suaranya yang merdu dan kemampuannya menjiwai lagu.

Inilah yang membawanya pada sebuah dilema baru, sebuah persimpangan yang terasa genting. Bukan cita-cita di luar dunia seni, melainkan pilihan di dalam dunia itu sendiri. Artikel koran itu benar, ia memang "Berada di Antara Dua Pilihan", namun maknanya kini terasa berbeda. Pilihan itu adalah antara terus mempertahankan gaya penampilan yang sudah melekat erat—yang enerjik, penuh goyangan kuat, dengan kostum yang terkadang terbuka—atau perlahan bertransisi menuju gaya yang lebih elegan, lebih fokus pada kekuatan vokal dan interpretasi lagu, mungkin dengan penampilan yang lebih tertutup dan anggun.

Dilema ini terasa nyata. Gaya lamanya adalah zona nyamannya, identitas yang dikenal publik, sumber rezekinya selama ini. Penggemar mencintai goyangannya. Tapi kedewasaan yang datang bersamanya memunculkan keinginan untuk menampilkan sisi lain dari dirinya, sisi yang lebih menekankan kematangan vokal dan penampilan terhormat di atas panggung. Bagaimana menyeimbangkan keduanya? Bagaimana tetap menjadi "Ratu Goyang" yang enerjik tanpa mengesampingkan keinginan untuk menjadi vokalis yang diakui dan tampil lebih elegan?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benaknya di sepanjang perjalanan pulang. Ia tahu, ini bukan pilihan mudah. Ini adalah tentang evolusi dirinya sebagai seniman, sebagai pribadi yang kian dewasa.

Lampu-lampu kota mulai terlihat semakin jelas di kejauhan, menandakan bahwa perjalanan hampir berakhir. Tujuan fisik perjalanannya sudah dekat. Namun, perjalanan refleksi dalam benaknya masih akan terus berlanjut, mencari jawaban atas dilema yang dihadapi. Di balik kemudi mobil putih yang tenang, Eka Fatmala membawa serta kompleksitas dari dua dunia: dunia panggung yang menuntut energi dan ciri khas, dan dunia pribadinya yang kian matang, mendamba kualitas vokal dan keanggunan dalam berkarya.

Lagu "Kalah Weton" oleh Dinda Teratur mulai terdengar, mungkin dengan melodi yang sedikit merenung atau menunjukkan adanya 'ketidakcocokan'/dilema yang dirasakan Eka. Ini mengiringi pemikirannya tentang pilihan yang sulit.

Lampu-lampu kota kini sudah terang benderang, mengakhiri perjalanan di jalanan Wates yang mulai mengering. Mobil SUV putih yang disetir sendiri oleh Eka Fatmala perlahan berbelok, memasuki sebuah komplek perumahan yang tenang, lalu berhenti di depan sebuah rumah modern dengan desain minimalis yang elegan.

Eka mematikan mesin mobil. Keheningan total. Berbeda jauh dengan dentuman musik dan sorak-sorai yang hanya satu jam lalu mengelilinginya. Ia menarik napas panjang, seperti mengumpulkan kembali setiap keping dirinya yang tadi terpencar dalam kilas balik dan renungan.

Pintu mobil terbuka. Eka melangkah keluar. Ia mengenakan atasan lengan panjang berwarna biru dan rok ketat berwarna hitam, membawa tas selempang berwarna terang di bahu, dan memakai sandal. Busana ini, penampilannya malam ini, adalah antitesis dari kostum panggung yang gemerlap dan terkadang lebih terbuka—gaun gemerlap, detail terbuka, energi yang meledak-ledak.

Ia berdiri sejenak di carport rumahnya, menatap fasad modern bangunan di depannya. Inilah tempatnya. Tempat ia melepas atribut "Ratu Goyang" dan kembali menjadi Eka Fatmala. Mobil ini, rumah ini, dan penampilan-nya yang sederhana namun rapi saat ini, adalah simbol nyata dari kehidupan yang telah ia bangun dengan tangannya sendiri, dari keringat dan kerja kerasnya di dunia yang penuh kilau dan kadang cemooh.

Inilah yang disebut "penampilan terhormat" baginya. Bukan hanya tentang busana di luar panggung, tetapi tentang kemapanan, stabilitas, dan keberadaan di tempat yang aman, yang ia ciptakan sendiri. Ini adalah sisi dirinya yang jarang terlihat di artikel-artikel "Gebyar", namun begitu nyata dalam kesehariannya. Kehidupan yang tenang ini ada berdampingan dengan profesinya yang menuntut tampil enerjik, bergoyang, dan sesekali mengenakan busana yang mungkin dianggap terbuka oleh sebagian orang.

Eka tersenyum tipis. Tidak ada kontradiksi di matanya. Ini adalah dia. Seorang penampil di atas panggung, dan seorang perempuan yang mapan dan "terhormat" di rumahnya. Dua sisi dari koin yang sama, ditempa oleh waktu, tantangan, dan pilihan-pilihan yang ia buat.

Ia melangkah menuju pintu rumahnya, membawa serta segala refleksi dari perjalanan pulang tadi. Jejaknya dari Wates, goyangannya yang khas, luka yang menjadi motivasi, cinta dari penggemar, dan dilema tentang arah yang akan diambilnya di masa depan. Semuanya terangkum dalam sosok yang memasuki rumah itu.

Pertunjukan di Lapangan Bendungan, Wates, selesai. Perjalanan pulang yang penuh kilas balik berakhir. Tapi kisah Eka Fatmala, si Ratu Goyang dari Wates yang kian dewasa dan meniti kehidupan yang terhormat, masih akan terus berlanjut.