Pertengahan Juni 2024. Beberapa hari telah berlalu
sejak amplop resmi berlogo Pengadilan Agama itu tiba di rumah sederhana di
Kulon Progo. Surat Panggilan Sidang itu tergeletak di meja ruang tamu, seolah
menjadi pusat gravitasi yang menarik seluruh perhatian Eka Fatmala, meskipun ia
berusaha mengabaikannya dan fokus pada rutinitas pagi bersama Deva. Tanggal
yang tertera untuk sidang pertama di Pengadilan Agama Wates dan kewajiban
menempuh mediasi di Pengadilan Agama Sleman terasa nyata, tak bisa lagi
dihindari.
Eka memandangi Deva yang asyik bermain balok di
lantai. Tawa riang dan celotehan putrinya adalah melodi terindah di tengah kegundahan
hatinya. "Mah, lihat ini!" seru Deva sambil menunjukkan balok warna
merah. Eka tersenyum tulus, mengecup lembut puncak kepala Deva. Senyum dan tawa
polos putrinya adalah pengingat terkuat mengapa ia melakukan ini. Namun,
membayangkan duduk satu ruangan dengan Yudi lagi, setelah semua yang terjadi,
terutama insiden di bulan November 2022 itu, membuat perut Eka terasa mual.
Ketakutan itu kembali merayap, dingin dan mencekam.
Ia mengambil napas dalam, mencoba menenangkan degup
jantungnya yang mendadak kencang. "Ya Allah..." bisiknya lirih,
memejamkan mata sejenak. Hanya kepada-Nya ia bisa menumpahkan seluruh beban
yang ia rasakan, tanpa perlu menjelaskan panjang lebar, tanpa khawatir dihakimi
atau ghibah. Ia memohon kekuatan untuk menghadapi tahapan yang
akan datang. Di balik sorot matanya yang kadang sendu, ada kilatan tekad dan
kekuatan batin yang menjadi sumber karismanya, bahkan di saat paling rapuh. Ia
adalah Eka Fatmala, yang di atas panggung bisa menebarkan energi, dan kekuatan
itu tidak sepenuhnya hilang di balik panggung kehidupan pribadi.
Ibu Eka menghampirinya, tatapannya penuh kekhawatiran.
Ia tahu putrinya sedang bergumul dengan batinnya sejak surat itu datang.
"Nduk... sudah siap?" tanyanya lembut sambil mengelus bahu Eka.
Eka membuka mata, memaksakan seulas senyum yang tak
sepenuhnya mencapai matanya, namun tetap memancarkan keanggunan alaminya.
"InsyaAllah, sampun Bu."
Bapak Eka duduk di kursi terdekat. "Tidak perlu
takut, Nak. Kamu tidak sendirian. Ada Bapak dan Ibu di sini. Dan pengacaramu,
Pak Cahyo, mereka akan membantumu. Kamu hanya perlu bicara yang
sebenarnya."
Kata-kata orang tuanya menguatkan Eka. Mereka memang
sumber cahaya dan kekuatan baginya di tengah gelapnya masalah ini. Dukungan
mereka yang tak pernah luntur. Membuat Eka tak pernah kabur dari rasa syukur.
Siang harinya, mengenakan pakaian yang rapi namun
sederhana, Eka berangkat menuju Pengadilan Agama Wates, didampingi oleh
Bapaknya. Perjalanan terasa panjang. Selama di perjalanan, Eka lebih banyak
diam, tenggelam dalam pikirannya, mengumpulkan keberanian. Ia berdoa tanpa
henti dalam hati, menyerahkan segalanya kepada Allah.
Setibanya di kompleks Pengadilan Agama Wates, aura
tempat itu langsung terasa berbeda. Bangunan formal, orang-orang yang berjalan
dengan langkah terburu-buru atau wajah serius, antrean di beberapa
loket—semuanya terasa asing dan sedikit menakutkan bagi Eka. Ini adalah arena
hukum, tempat di mana masalah pribadinya akan "dibongkar" dan
diadili. Kakinya terasa agak berat melangkah masuk.
Di dalam, suasana tidak jauh berbeda. Meskipun ada
beberapa sudut yang tenang, secara keseluruhan tempat itu memancarkan aura
ketegangan dan formalitas. Eka berpegangan pada lengan Bapaknya. Ia melihat
nama-nama yang terpampang di papan pengumuman, mencari nomor perkaranya. Setiap
langkah terasa seperti mendekati sebuah pertarungan, pertarungan yang selama
ini ia hindari namun kini harus ia hadapi demi meraih kembali kebebasan dan
masa depan yang lebih baik untuk Deva dan dirinya. Di tengah keraguan, ia
menarik napas dalam, memancarkan aura ketenangan yang kontras dengan
kegelisahan di sekitarnya. Ya Allah... batinnya kembali berbisik, memohon
ketabahan dan kelancaran untuk proses yang akan segera dimulai ini.
Tanggal 13 Juni 2024. Udara di Sleman terasa sedikit
lebih dingin pagi itu, kontras dengan ketegangan yang dirasakan Eka Fatmala di
dalam ruang mediasi Pengadilan Agama Sleman. Ruangan itu cukup netral, dengan
meja dan beberapa kursi di tengahnya, diatur sedemikian rupa untuk
memfasilitasi dialog damai. Namun, bagi Eka, ruangan itu terasa seperti medan
perang emosional.
Di hadapannya, duduk Yudistira Wijaya, Yudi. Ini
adalah tatap muka pertama mereka setelah insiden di belakang panggung itu,
setelah pengusiran 2022 lalu. Eka berusaha keras menjaga ketenangan, meskipun jantungnya
berdebar kencang. Ia menarik napas dalam, mengucap "Ya Allah..."
dalam hati, memohon kekuatan untuk melewati momen ini. Ia tidak ingin terlihat
rapuh di hadapan Yudi. Karisma dan ketenangan yang biasa ia tunjukkan di atas
panggung, kini menjadi perisainya di ruangan ini, menyembunyikan gejolak yang
sebenarnya.
Seorang wanita paruh baya yang ramah namun berwibawa
memperkenalkan diri sebagai mediator, Ibu Ida Kristiana, S.H., M.H., C.M.. Ia
menjelaskan tujuan mediasi, yaitu mencari jalan damai demi kebaikan kedua belah
pihak, terutama anak mereka, Kirana Nadeva Fatima.
"Baik, Bapak Yudistira dan Ibu Eka," ujar
Ibu Ida dengan suara lembut. "Kita di sini untuk mencari solusi terbaik.
Pernikahan adalah ibadah terpanjang. Apakah masih ada ruang untuk memperbaiki?
Untuk kembali membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah?"
Eka menatap Yudi sejenak, tatapannya sulit diartikan –
ada kesedihan, ketegangan, dan kepedihan masa lalu, namun ia menahan diri untuk
tidak menunjukkan emosi berlebih. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela,
memikirkan Deva. Ia sudah terlalu jauh melangkah dalam penderitaan ini. Terlalu
banyak luka yang menganga, terlalu banyak riak yang menuang kepedihan. Ia tidak
bisa kembali.
"Mohon maaf, Ibu Mediator," ujar Eka dengan suara
tenang namun tegas, memancarkan kemantapan di balik kesedihan yang jelas di
matanya. Ia berbicara pelan, hati-hati, menghindari ghibah yang tidak perlu
di forum ini. "Saya rasa... kami sudah tidak bisa kembali. Terlalu banyak
perbedaan dan... hal-hal yang terjadi. Kami sudah pisah rumah sejak awal 2022,
sudah lebih dari dua tahun."
Yudi terlihat sedikit gelisah, menunduk sejenak, lalu
ia mengangguk membenarkan pernyataan Eka. "Ya, Ibu Mediator. Kami memang
sudah... sulit untuk rukun kembali."
Mediator Ida mengangguk prihatin. "Baik. Jika
memang upaya damai untuk kembali berumah tangga sulit, mari kita fokus pada
bagaimana kita bisa berpisah dengan baik, terutama demi kebaikan ananda Kirana
Nadeva Fatima."
Diskusi beralih pada nasib Deva, putri mereka. Eka
berbicara dengan penuh keyakinan saat membahas hak asuh. "Deva... biar
bersama saya saja, Ibu Mediator. Saya ibunya. Saya yang merawat dia selama
ini." Ia menyampaikan ini bukan sebagai permintaan, tetapi sebagai
kebutuhan mutlak.
Yudi tidak menyanggah keras permintaan Eka soal hak
asuh Deva, namun ia menekankan keinginannya untuk tetap bisa bertemu putrinya.
"Saya mohon diberikan akses seluas-luasnya untuk bertemu anak saya, untuk
mendidik dan mencurahkan kasih sayang saya," ujar Yudi. Kesepakatan pun
tercapai dengan fasilitasi mediator: Hak asuh Deva akan berada pada Eka sebagai
ibu, dengan memberikan akses seluas-luasnya bagi Yudi sebagai ayah untuk
bertemu dan berinteraksi dengan putrinya, tanpa dipersulit, demi kepentingan
terbaik anak.
Pembahasan berlanjut ke masalah nafkah anak. Eka
awalnya berpegang pada kebutuhannya yang tinggi untuk Deva, mengingat
penghasilannya dari menyanyi yang tidak pasti setiap bulan dan gaji Yudi yang
selama ini minim kontribusinya, Rp 500.000 per bulan saja menurut gugatannya.
Ia tahu potensi penghasilannya sendiri jauh lebih besar dari gaji Yudi, ironi
yang pahit. Namun, setelah negosiasi alot dan pertimbangan dari mediator
mengenai kemampuan Yudi sebagai anggota TNI AU, Eka akhirnya menyetujui angka
minimal yang disanggupi Yudi dalam mediasi dan tertuang dalam kesepakatan
parsial: Rp 1.000.000 per bulan, di luar biaya pendidikan dan kesehatan, dengan
kenaikan 10% setiap tahun. Ini jauh dari angka Rp 3.500.000 per bulan yang ia
ajukan di gugatan awal, namun kesepakatan ini terasa seperti satu langkah maju
yang realistis, meskipun menyakitkan. Ia menarik napas dalam, mengucap "Ya
Allah..." di dalam hati, menerima kesepakatan parsial ini sebagai bagian
dari jalan yang harus ia tempuh, sebuah riak lain dalam badainya yang harus
dilewati.
Mediasi berakhir. Upaya untuk rujuk gagal total, namun
ada kesepakatan penting terkait Deva dan nafkah anak yang akan dicantumkan
dalam putusan pengadilan. Eka dan Yudi meninggalkan ruang mediasi dengan
perasaan yang campur aduk – lega karena satu tahapan selesai, namun juga sadar
bahwa pertempuran sesungguhnya di ruang sidang Pengadilan Agama Wates baru akan
dimulai. Mediasi ini memperjelas bahwa jalan mereka sebagai pasangan sudah
berakhir di kuldesak.
Pertengahan Juni 2024. Beberapa hari setelah mediasi
di Pengadilan Agama Sleman, Eka Fatmala kembali menginjakkan kaki di kompleks
Pengadilan Agama Wates. Kali ini, ia tidak berhenti di area depan atau ruang
mediasi, melainkan melangkah lebih dalam, menuju ruang sidang yang ditentukan.
Ruangan itu terasa dingin dan formal. Meja Hakim yang tinggi di depan,
kursi-kursi kayu yang berjejer rapi untuk para pihak, dan suasana hening yang
penuh ketegangan menciptakan atmosfer yang mencekam bagi Eka. Ia duduk di kursi
yang telah ditentukan untuk pihak Penggugat, didampingi pengacaranya, Pak Cahyo
Irawan, S.H. Di sisi lain, duduk Yudistira Wijaya, Yudi, bersama pengacaranya.
Sebelum sidang dimulai, Pak Cahyo menoleh ke arah Eka.
"Sudah siap, Mbak Eka?" bisiknya memastikan.
Eka mengangguk, berusaha tersenyum tipis.
"InsyaAllah, Pak." Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan
dirinya. Di sebelahnya, Bapaknya menggenggam erat tangannya, memberikan
kekuatan tanpa kata.
Sidang dibuka oleh Hakim Tunggal. Prosesi awal terasa
asing bagi Eka, serangkaian formalitas hukum yang diucapakan dengan cepat.
Setelah memastikan para pihak hadir dan persyaratan administrasi terpenuhi,
Hakim mempersilakan pengacara Eka untuk menyampaikan gugatan.
"Kuasa Penggugat, silakan bacakan gugatan
Anda," ujar Hakim.
Pak Cahyo berdiri, membuka map berkas. Suaranya
terdengar jelas dan tegas membacakan kembali pokok-pokok gugatan yang telah
mereka daftarkan. Ia merinci sejarah pernikahan Eka dan Yudi, perselisihan
terus-menerus, pisah rumah sejak awal 2022, masalah nafkah yang minim,
pandangan merendahkan Yudi terhadap pekerjaan Eka sebagai penyanyi (mengutip
kata-kata Yudi dari gugatan Eka), hingga puncak masalah yaitu insiden Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) di bulan November 2022.
Eka mendengarkan, setiap kata gugatan itu seperti
mengungkit kembali luka lama, namun mendengarnya diucapkan secara formal di
ruang sidang memberinya perasaan campur aduk antara nyeri dan validasi. Ia
mencengkeram tepi kursinya tanpa sadar ketika Pak Cahyo sampai pada bagian
KDRT. Ya Allah... batinnya berbisik, menahan gejolak di dada.
Setelah pengacara Eka selesai, giliran pihak Yudi
untuk menyampaikan jawaban atas gugatan tersebut.
"Sekarang giliran pihak Tergugat untuk
menyampaikan jawaban," kata Hakim.
Pengacara Yudi berdiri, dan dengan nada yang berusaha
meyakinkan, mulai membaca jawaban mereka.
Eka menahan napas saat mendengar jawaban Yudi.
Beberapa poin dalam jawabannya terasa seperti pukulan telak. Yudi menyanggah
beberapa dalil utama gugatan Eka. Terkait KDRT di bulan November 2022, Yudi membantah
mendatangi tempat kerja Eka dan melakukan kekerasan fisik; pengacaranya
mengklaim Yudi hanya menyuruh Eka pulang lewat telepon.
"Menyatakan dalil gugatan Penggugat pada Posita
Nomor 8 adalah tidak benar, bahwa faktanya Tergugat tidak pernah mendatangi
tempat kerja Penggugat dan hanya menyuruh Penggugat pulang lewat HP," baca
pengacara Yudi.
Eka mengepalkan tangannya di bawah meja. Bohong!
Batinnya menjerit. Ia masih bisa merasakan nyeri cengkeraman Yudi di lengannya,
masih teringat jelas mata merah Yudi dan umpatan kasarnya di belakang panggung
itu. Mendengar Yudi menyangkalnya begitu saja terasa sangat menyakitkan, seolah
pengalamannya, penderitaannya, dianggap tidak ada. Ia menarik napas dalam,
mengucap "Ya Allah..." lirih dalam hati, berusaha menahan emosinya
agar tidak meledak.
Yudi juga menyanggah klaim Eka soal
ketidak-terbukaannya mengenai gaji dan tunjangan istri/anak, serta klaim Eka
bahwa ia arogan dan kasar. Pengacaranya menyatakan Yudi selalu terbuka soal
slip gaji dan tidak pernah arogan atau kasar, dan jika bernada tinggi, itu
karena Eka "susah dinasehati".
"Menyatakan dalil gugatan Penggugat pada Posita
Nomor 6 adalah tidak benar, bahwa faktanya Tergugat selalu terbuka terkait slip
gaji Tergugat serta Tergugat tidak pernah berlaku arogan atau kasar karena
Penggugat susah untuk dinasehati yang menyebabkan Tergugat bernada
tinggi," lanjut pengacara Yudi.
Mendengar bagian ini, Eka merasa ironis. Yudi yang
gajinya jelas kalah jauh dari penghasilannya sendiri, yang hanya memberinya Rp
500.000 per bulan, sekarang mengklaim selalu terbuka soal gaji? Dan nada
tingginya karena Eka "susah dinasehati"? Kata-kata itu kembali ke
stereotip lama, bahwa istri harus patuh, harus nurut pada suami,
dan jika tidak, suami berhak "bernada tinggi". Pandangan patriarkal
itu kembali ia dengar di ruang sidang ini, diucapkan oleh pengacara Yudi. Ia
menatap Yudi, berusaha mencari jejak kejujuran di wajahnya, namun hanya
menemukan ekspresi tegang dan defensif. Di balik ketenangan luarnya, batin Eka
bergejolak. Ya Allah, kuatkan hamba menghadapi kebohongan dan penyangkalan ini.
Walakin, jawaban Yudi mengkonfirmasi satu hal penting
yang mendukung gugatan Eka: Yudi membenarkan bahwa ia memang
"mengembalikan" Eka ke rumah orang tuanya di Kulon Progo pada awal
tahun 2022 karena ia "sudah tidak tahan lagi dengan perilaku Penggugat
yang sulit dinasehati".
"Menyatakan dalil gugatan Penggugat pada Posita
Nomor 7 adalah benar, bahwa Tergugat merasa sudah tidak tahan lagi dengan
perilaku Penggugat yang sulit dinasehati maka Tergugat mengembalikan Penggugat
kepada kedua orang tua Penggugat hingga sekarang," baca pengacara Yudi.
Pengakuan ini, meskipun dibungkus alasan "sulit
dinasehati", secara hukum mengkonfirmasi adanya pisah rumah yang
diprakarsai Yudi sejak awal 2022, salah satu alasan kuat dalam gugatan
perceraian. Setidaknya satu kebenaran diakui, pikir Eka getir.
Sidang diskors setelah penyampaian jawaban Tergugat.
Eka menarik napas dalam, mencoba melepaskan ketegangan di bahunya. Pak Cahyo
menoleh padanya.
"Bagaimana, Mbak Eka? Ada tanggapan?" tanya
Pak Cahyo.
Eka menggeleng perlahan. "Tidak sekarang, Pak.
Nanti di replik saja." Ia tidak suka ghibah atau berdebat
langsung di ruang sidang, ia akan menyerahkan itu pada pengacaranya. Ia lebih
memilih "curhat" dalam doa. Ia telah mendengar bagaimana Yudi
menyajikan versinya atas kejadian-kejadian yang menimpanya. Rasanya perih,
namun ia tahu inilah bagian dari proses. Ia tidak suka keributan, tapi di ruang
sidang ini, ia harus siap menghadapi segalanya dengan jujur dan kuat, mengandalkan
kebenaran dan keyakinan spiritualnya.
Beberapa hari setelah sidang pertama, Eka Fatmala
kembali duduk di kursi Penggugat di ruang sidang Pengadilan Agama Wates. Hari
ini adalah jadwal pembuktian dari pihaknya. Suasana di ruang sidang masih
formal, namun bagi Eka, kehadiran Ibu dan adiknya yang juga akan bersaksi
memberikan sedikit kehangatan dan keberanian.
Sidang dimulai. Hakim menyatakan bahwa agenda hari ini
adalah penyerahan bukti surat dan mendengarkan keterangan saksi dari pihak
Penggugat.
"Kuasa Penggugat, apakah bukti surat sudah
siap?" tanya Hakim.
Pak Cahyo berdiri. "Sudah, Yang Mulia
Hakim," ujarnya seraya menyerahkan beberapa lembar dokumen kepada petugas.
"Kami menyerahkan bukti P.1 sampai P.4." Ia menyebutkan satu per satu
dokumen tersebut: salinan Kartu Tanda Penduduk Eka, salinan Kutipan Akta Nikah
mereka, salinan Akta Kelahiran Kirana Nadeva Fatima, dan salinan Surat Izin
Cerai dari Atasan Tergugat, Komandan Pangkalan TNI AU.
Eka menatap dokumen-dokumen itu, bukti fisik dari
perjalanan hidupnya yang panjang. Buku nikah mewakili awal impian indahnya,
akta kelahiran Deva adalah wujud cinta dan sumber kekuatannya, dan surat izin
cerai adalah bukti bahwa proses ini benar-benar nyata, bahkan melibatkan
institusi tempat Yudi bekerja di TNI AU.
Setelah bukti surat diterima, Hakim mempersilakan
saksi dari pihak Eka untuk masuk. Ibu dan adik Eka masuk ke ruang sidang, wajah
mereka menunjukkan campuran ketegangan dan dukungan untuk Eka. Mereka
mengucapkan sumpah di hadapan Hakim, berjanji akan memberikan keterangan yang
sebenar-benarnya.
"Saksi pertama, silakan sebutkan identitas dan
hubungan Anda dengan Penggugat," ujar Hakim kepada Ibu Eka.
"Ibu Lina, umur 49 tahun, ibu kandung dari
Penggugat," jawab Ibu Eka, suaranya sedikit bergetar namun jelas.
Hakim mulai bertanya seputar rumah tangga Eka dan
Yudi. Ibu Eka menceritakan bagaimana putrinya menikah pada tahun 2017 di KUA
Kulon Progo, awalnya rukun dan harmonis, lalu dikaruniai satu anak. Ia
menguatkan dalil Eka bahwa mereka pernah tinggal di rumahnya di Kulon Progo,
kemudian pindah ke rumah ibu Yudi di Sleman, dan Eka sempat pulang ke rumahnya
lagi saat hamil.
Kemudian, Ibu Eka mulai menceritakan kondisi rumah
tangga Eka dan Yudi. "Sejak Eka hamil, Yang Mulia Hakim... sudah mulai
tidak rukun. Sering cekcok," ujarnya pelan, raut wajahnya berubah sedih.
"Masalah nafkah... masalah pekerjaan Eka...".
Mendengar Ibunya berbicara di hadapan Hakim dan Yudi,
hati Eka terasa nyeri. Ia tahu ini sulit bagi Ibunya, namun kesaksian ini
sangat penting. Ia menggenggam tangannya sendiri di bawah meja, berdoa dalam
hati, Ya Allah, mudahkanlah lisan Ibu hamba.
Yang paling berat, Ibu Eka juga bersaksi tentang KDRT.
"Saya... saya tahu Tergugat melakukan KDRT pada Eka... karena Tergugat
tidak setuju Eka bekerja sebagai penyanyi," ujar Ibu Eka, suaranya
tercekat menahan tangis. "Tapi... saya hanya melihat bekasnya saja, Yang
Mulia Hakim...".
Eka memejamkan mata sejenak. Melihat bekas memar di
lengannya, mendengar umpatan kasar Yudi, merasakan nyeri dorongannya di belakang
panggung—semua itu kembali terlintas. Ibunya tidak menyaksikan langsung, tapi
melihat bekas luka fisik itu sudah cukup baginya untuk turut merasa apa yang
terjadi kepada buah hati yang tak lagi mungil ini. Firasatnya selama ini
tentang "tidak beres" pada Yudi semakin kuat, didukung oleh kejadian
KDRT dan penyangkalan Yudi di sidang sebelumnya.
Ibu Eka juga membenarkan bahwa Eka sudah pisah rumah
dengan Yudi sejak awal tahun 2022 hingga sekarang. Ia dan keluarga sudah
berusaha merukunkan keduanya, namun tidak berhasil.
Setelah Ibu Eka selesai, giliran adik Eka. Ia juga
bersaksi di bawah sumpah. Keterangannya senada dengan Ibunya. Ia membenarkan
pernikahan Eka dan Yudi, kelahiran Deva, dan bagaimana rumah tangga mereka
mulai tidak harmonis sejak Eka hamil. Adiknya juga menguatkan bahwa Yudi
bersifat arogan dan kasar, pernah berkata kasar dan kotor, serta kurang
perhatian pada Eka dan Deva. Ia juga melihat bagaimana Yudi yang tadinya mau
mengantar Eka manggung sebelum menikah, berubah melarang setelah menikah.
Adik Eka juga membenarkan fakta pisah rumah sejak awal
tahun 2022 karena Eka "dikembalikan" ke orang tua oleh Yudi, dan
selama itu Yudi tidak pernah menghubungi Eka. Keluarga sudah berusaha
mendamaikan, namun tidak berhasil. Ia bahkan menyatakan sudah tidak sanggup
lagi merukunkan mereka berdua.
Mendengarkan kesaksian adik perempuannya, Eka merasa
campur aduk. Ada rasa terima kasih yang dalam karena adiknya berani bersaksi,
namun juga sedih mendengar penderitaannya diceritakan kembali di ruang sidang.
Kesaksian mereka, meskipun menyakitkan, memberikan validasi atas apa yang ia
alami dan memperkuat dalil-dalil gugatannya di mata Hakim. Di balik wajahnya
yang tenang, ia mengucap "Ya Allah, terima kasih untuk kekuatan dan
kesaksian mereka." Ini adalah cahaya yang ia dapatkan di tengah proses
yang gelap.
Beberapa hari setelah saksi dari pihak Eka memberikan
kesaksian yang menguatkan dalil gugatannya, Eka Fatmala kembali duduk di ruang
sidang Pengadilan Agama Wates. Hari ini adalah giliran pihak Yudistira Wijaya
untuk menghadirkan saksi-saksi mereka. Eka duduk tegak, berusaha mempertahankan
ketenangan yang menjadi perisainya. Ia siap mendengarkan apa pun yang akan
disampaikan oleh pihak Yudi, meskipun ia menduga itu akan kembali menggores
hatinya. Ia menarik napas dalam, mengucap "Ya Allah..." memohon
kekuatan untuk tetap tenang dan sabar.
Saksi dari pihak Yudi masuk ke ruang sidang dan
diambil sumpahnya. Mereka adalah adik kandung dan adik sepupu Yudi, seperti
yang tercatat dalam dokumen putusan.
Hakim memulai dengan saksi pertama Yudi, adik
kandungnya. Ia membenarkan bahwa Yudi dan Eka adalah suami istri sah, menikah
di KUA Kulon Progo, dan memiliki satu anak, Deva. Ia juga membenarkan bahwa Eka
dan Yudi pernah tinggal di rumah orang tua Yudi di Sleman.
Kemudian, ia mulai berbicara tentang kondisi rumah
tangga Yudi. "Saya mengetahui keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat
2 tahun lebih tidak rukun," ujarnya, suaranya datar. "Sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan saya pernah melihat pertengkarannya".
Eka mendengarkan. Pengakuan adanya perselisihan dan
pertengkaran terus-menerus ini, meskipun datang dari pihak Yudi, justru
menguatkan salah satu dalil utama gugatannya. Ironi kembali terasa. Ia sampaikan masalahnya hanya kepada Allah dalam doa, tapi
justru pihak Yudi yang membuka aib rumah tangga mereka di depan umum, pikir Eka
getir.
Saksi adik Yudi menyebutkan penyebab pertengkaran.
"Yang menjadi penyebab pertengkaran karena Tergugat tidak memperbolehkan
Penggugat bernyanyi dan juga karena kurangnya komunikasi," ujarnya.
Eka menahan napas. Itulah inti masalahnya, pikirnya.
Penolakan Yudi terhadap karier menyanyinya, yang berakar pada pandangan
stereotip peran perempuan, menjadi pemicu utama konflik mereka, ditambah dengan
minimnya komunikasi dan masalah nafkah.
Saksi ini juga membenarkan bahwa Eka dan Yudi sudah
pisah rumah selama 2 tahun sampai sekarang dan sudah tidak bersatu lagi. Ia dan
keluarga sudah berusaha merukunkan, namun tidak berhasil.
Setelah adik kandung Yudi selesai, giliran adik sepupu
Yudi. Keterangannya senada. Ia juga membenarkan pernikahan Eka dan Yudi, mereka
tinggal bersama di rumah orang tua Yudi di Sleman, dan memiliki anak, Deva. Ia
juga menguatkan bahwa rumah tangga Yudi dan Eka sudah tidak rukun selama 2
tahun lebih, sering bertengkar, dan ia pernah melihatnya.
Penyebab pertengkaran menurut saksi kedua ini juga
sama: karena Yudi tidak memperbolehkan Eka bekerja bernyanyi dan karena kurang
komunikasi. Ia juga membenarkan bahwa Eka dan Yudi sudah pisah rumah 2 tahun
sampai sekarang dan tidak bersatu lagi. Ia juga menyaksikan upaya keluarga
untuk mendamaikan yang tidak berhasil.
Eka mendengarkan kedua saksi dari pihak Yudi. Meskipun
mereka jelas berusaha membela Yudi, kesaksian mereka justru membenarkan
fakta-fakta kunci dalam gugatan Eka: adanya perselisihan dan pertengkaran
terus-menerus, penyebab pertengkaran yang terkait dengan pekerjaan Eka dan
kurangnya komunikasi (meskipun versi Yudi fokus pada Eka yang "sulit
dinasehati"), dan fakta bahwa mereka sudah pisah rumah sejak awal 2022 dan
tidak bersatu lagi. Kesaksian mereka menjadi bukti tambahan yang kuat di mata
Hakim, meskipun itu berarti luka lamanya kembali terbuka. Di tengah sidang, Eka
kembali menarik napas dalam, mengucap "Ya Allah... hanya Engkau yang tahu
kebenarannya. Terima kasih atas bukti ini."
Tanggal 27 Juni 2024. Eka Fatmala duduk di ruang
sidang Pengadilan Agama Wates, jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.
Hari ini adalah kelanjutan sidang, setelah mendengarkan saksi dari kedua belah
pihak. Ada aura ketegangan yang berbeda di udara.
Setelah Hakim membuka sidang dan meninjau kembali
jalannya persidangan sebelumnya, ada momen ketika Hakim berbicara langsung
kepada Yudistira Wijaya. Hakim mungkin menanyakan kembali posisi Yudi setelah
mendengarkan semua kesaksian dan bukti.
Kemudian, dengan suara yang terdengar jelas di ruang
sidang yang hening, Yudi mengucapkan kata-kata yang dicatat dalam dokumen
putusan, kata-kata yang akan menjadi penanda resmi akhir dari pernikahan
mereka.
"Saya... saya mengiklaskan untuk bercerai, Yang
Mulia Hakim," ujar Yudi.
Waktu seolah berhenti sejenak bagi Eka. Ia menatap
Yudi, mencerna kata-kata itu. Mengikhlaskan. Setelah penolakan, penyangkalan,
dan argumentasi selama ini, akhirnya Yudi menyatakan ikhlas untuk bercerai.
Campuran emosi melanda Eka – ada rasa lega yang tipis, seolah beban berat
terangkat, namun juga kesedihan yang mendalam atas akhir dari sebuah babak
kehidupan yang dulunya dimulai dengan harapan. Di balik ketenangan luarnya,
batin Eka berbisik, “Ya Allah... akhirnya. Jalan ini semakin jelas.”
Setelah momen krusial itu, sidang dilanjutkan dengan
agenda penyampaian kesimpulan. Pengacara Eka, Pak Cahyo, menyampaikan
kesimpulan yang merangkum bukti dan kesaksian yang mendukung gugatan Eka:
adanya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, pisah rumah yang sudah
lama, KDRT, masalah nafkah dan pekerjaan Eka, serta kini pengakuan Yudi yang
mengikhlaskan perceraian. Ia memohon agar Hakim mengabulkan gugatan cerai,
menetapkan hak asuh Kirana Nadeva Fatima pada Eka, dan menghukum Yudi membayar
nafkah anak sesuai kesepakatan mediasi.
Pengacara Yudi pun menyampaikan kesimpulannya, mungkin
masih berusaha mempertahankan beberapa argumennya, tetapi mengakui fakta
perselisihan dan pisah rumah yang dibenarkan oleh saksi mereka sendiri, serta
mengkonfirmasi kembali bahwa Yudi telah mengikhlaskan perceraian.
Setelah kedua pihak menyampaikan kesimpulan, Hakim
menyatakan bahwa proses pemeriksaan di persidangan telah selesai.
"Sidang dinyatakan selesai dan akan dilanjutkan
dengan pembacaan putusan," ujar Hakim. "Tanggal pembacaan putusan
akan diberitahukan kemudian."
Ruang sidang perlahan kosong. Eka menarik napas dalam,
merasa lelah secara mental dan emosional. Proses persidangan yang panjang dan
menguras tenaga ini telah berakhir. Sekarang, dimulailah masa penantian yang
menegangkan.
Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan lambat.
Eka kembali ke rutinitasnya di Kulon Progo bersama Deva, namun pikirannya
seringkali melayang ke ruang sidang dan hasil putusan yang akan datang. Tanggal
31 Juli 2024, tanggal putusan, semakin dekat. Kecemasan yang ia rasakan di
panggung Bantul tanggal 27 Juli lalu, kini semakin nyata. Tanggal 27 Juli itu
mungkin adalah hari ia mendapat pemberitahuan tanggal putusan ini, pemicu
gelombang kecemasan yang membawanya kembali ke masa lalu.
Di masa penantian ini, Eka semakin intens mencari
ketenangan spiritual. Ia menghabiskan lebih banyak waktu untuk sholat dan
berdoa, "curhat" segala kegundahan dan harapannya hanya kepada Allah.
"Ya Allah... apapun putusannya nanti... kuatkan hamba untuk menerima. Beri
yang terbaik untuk Deva..." bisiknya dalam setiap sujudnya. Ia membaca
Al-Quran, mencari kedamaian dalam setiap ayatnya.
Meskipun publik mungkin melihatnya sebagai Eka Fatmala
yang kuat dan bersinar di atas panggung, body goals yang
percaya diri, di masa-masa ini, di balik panggung kehidupannya, ia adalah
perempuan biasa yang rapuh, penuh luka, dan membutuhkan cahaya spiritual untuk
menerangi kegelapannya. Ironi itu kembali terasa kuat. Ia harus kuat untuk
Deva, ia harus kuat untuk dirinya sendiri, dan mungkin ia harus kuat untuk
penggemarnya. Kekuatan dari resonansi suara hatinya di panggung Bantul
memberinya dorongan emosional, tetapi kekuatan terbesar tetap ia cari dalam
hubungan vertikal.
Penantian itu terus berjalan, diwarnai ketegangan yang
konstan, hingga akhirnya tiba hari yang ditentukan.
Tanggal 31 Juli 2024. Hari itu akhirnya tiba. Matahari
pagi di Kulon Progo terasa seperti hari-hari biasa, namun bagi Eka Fatmala,
udara terasa tegang. Ia telah melewati minggu-minggu penantian penuh kecemasan
sejak sidang terakhir, mengandalkan doa dan dzikir untuk menenangkan hati.
Tanggal ini, 31 Juli, adalah tanggal putusan, hari di mana statusnya akan
ditentukan, nasib rumah tangganya secara hukum akan diputuskan. Kecemasan yang
ia rasakan di panggung Bantul tanggal 27 Juli lalu, kini memuncak. Tanggal 27
Juli itu mungkin adalah hari ia mendapat pemberitahuan tanggal putusan ini,
pemicu gelombang kecemasan yang membawanya kembali ke masa lalu.
Eka mencoba menyibukkan diri dengan rutinitas pagi,
menyiapkan sarapan untuk Deva, membereskan rumah. Tapi fokusnya buyar. Setiap
dering telepon membuat jantungnya berdebar kencang. Apakah ini dari pengacara?
Kabar itu... akan datang hari ini. Ia menarik napas dalam, mencoba mengucap
"Ya Allah..." tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Sekitar siang hari, ponsel Eka berdering. Terlihat
nama Pak Cahyo, pengacaranya, di layar. Eka menarik napas gemetar, menggeser
tombol jawab dengan tangan dingin.
"Assalamualaikum, Pak?" suaranya sedikit
bergetar.
Di ujung telepon, suara Pak Cahyo terdengar tenang
namun penuh makna. "Wa'alaikumussalam, Mbak Eka. Alhamdulillah, saya mau
mengabari... putusannya sudah dibacakan hari ini."
Eka menahan napas. "Bagaimana, Pak?"
bisiknya, seluruh tubuhnya menegang.
"Gugatan Mbak Eka... dikabulkan," ujar Pak
Cahyo. "Hakim Pengadilan Agama Wates telah menjatuhkan talak satu Bain
Sughra dari Tergugat, Mas Yudistira, kepada Mbak Eka Fatmala."
Air mata langsung menggenang di pelupuk mata Eka.
Gugatan dikabulkan. Ia... resmi bercerai.
Pak Cahyo melanjutkan, menjelaskan detail putusan yang
dibacakan Hakim berdasarkan kesepakatan parsial mediasi dan bukti di
persidangan. "Hakim juga menetapkan hak asuh ananda Kirana Nadeva Fatima
berada di bawah asuhan Mbak Eka sebagai ibunya, dengan memberikan akses seluas-luasnya
kepada Mas Yudistira sebagai ayahnya untuk bertemu Deva."
Lega. Itu yang pertama Eka rasakan. Hak asuh Deva
bersamanya, itu yang terpenting. "Alhamdulillah..." bisiknya lirih,
air mata mulai mengalir di pipinya.
"Selain itu," lanjut Pak Cahyo, "Hakim
menghukum Mas Yudistira untuk membayar nafkah iddah sebesar tiga juta rupiah,
mut'ah sebesar satu juta rupiah, dan nafkah anak ananda Kirana Nadeva Fatima
sebesar satu juta rupiah setiap bulan di luar biaya pendidikan dan kesehatan,
dengan kenaikan sepuluh persen setiap tahunnya."
Eka mendengarkan angka nafkah anak itu. Rp 1.000.000
per bulan. Jauh dari harapannya semula, namun itu adalah angka yang ia setujui
dalam mediasi. Ia tahu itu tidak akan cukup untuk memenuhi semua kebutuhan Deva
sendirian, mengingat biaya pendidikan dan kesehatan juga perlu disiapkan.
Tanggung jawab itu kini sepenuhnya ada di pundaknya, ditopang oleh nafkah
terbatas dari Yudi dan potensi penghasilannya dari menyanyi yang sempat
diremehkan dan dilarang Yudi – ironi yang begitu nyata. Namun, ini adalah
keputusan hukum, hasil dari proses yang ia jalani.
Setelah percakapan selesai, Eka menutup telepon. Ia
terduduk di kursi ruang tamu, air mata mengalir deras, bukan hanya karena
sedih, tetapi campuran dari segala emosi: lega karena badai persidangan telah
usai, haru atas dukungan orang tua dan tim pengacaranya, lelah yang luar biasa
setelah perjuangan panjang, dan kesedaran akan tantangan baru di depan. “Ya
Allah... inilah jalan yang Engkau berikan.”
Ia menatap Deva yang masih bermain. Kirana Nadeva
Fatima. Nama yang indah, membawa harapan cahaya. Deva adalah alasan ia
berjuang, alasan ia kuat menghadapi semua riak penderitaan dan penyangkalan
Yudi.
Momen putusan ini adalah titik akhir dari babak
pernikahan yang pahit, babak yang penuh kekerasan verbal, pandangan
merendahkan, masalah nafkah, firasat tidak beres, KDRT, dan perjuangan di
pengadilan. Kuldesak itu kini terbuka. Eka telah memilih jalur hukum untuk
keluar dari sana, keluar dari bayangan pandangan patriarkal dan ketidakjujuran yang
menghantuinya.
Meskipun lelah dan tahu jalan di depan tidak akan
mudah sebagai seorang single parent dengan dukungan
finansial yang terbatas, Eka merasakan kekuatan baru. Kekuatan yang ia temukan
dalam doa-doanya, kekuatan dari dukungan orang tuanya, kekuatan dari resonansi
suaranya dengan ribuan orang di panggung Bantul. Ia adalah Eka Fatmala, sang
penyanyi yang mampu menyalurkan emosi dan kekuatan, dan ia juga adalah Eka, ibu
yang berjuang demi anaknya.
Dengan air mata masih membasahi pipi, Eka berdiri. Ia
berjalan menghampiri Deva, berlutut, dan memeluk erat putrinya. Deva membalas
pelukan Mamahnya dengan erat.
"Mamah sayang Deva," bisik Eka, suaranya
bergetar.
Deva mendongkat, menatap Eka dengan mata polosnya.
"Deva sayang Mamah."
Dalam pelukan hangat putrinya, Eka merasakan secercah
cahaya paling murni. Badai mungkin belum sepenuhnya reda, riak-riak kehidupan
masih akan datang, tetapi ia telah keluar dari kuldesak penderitaan
terbesarnya. Dengan hak asuh Deva di tangannya, dengan kekuatan spiritual dan
dukungan keluarga, Eka Fatmala siap melangkah maju, menghadapi babak baru
kehidupannya. Eka memeluk putrinya, siap
menata kembali hidupnya di bawah cahaya yang ia perjuangkan sendiri.