Episode 1 — Resonansi Suara Hati Eka

Mentari pagi masih malu-malu menampakkan diri sepenuhnya di ufuk timur. Udara Lapangan Trirenggo di Bantul, Yogyakarta, terasa sejuk dan bersih, membawa aroma embun dan rumput yang baru terjaga. Kicauan burung terdengar bersahutan dari pepohonan di kejauhan, menambah ketenangan pagi itu. Namun, di balik ketenangan alam, sudah ada denyut kehidupan yang berbeda.

Di salah satu sisi lapangan yang luas itu, sebuah gerbang besar berwarna-warni cerah berdiri tegak, dihiasi ornamen geometris dan menyandang nama "FESTIVAL ANTV RAME" di puncaknya. Logo ANTV dan logo Pemerintah Kabupaten Bantul terpasang jelas di sana, menandakan kolaborasi besar sedang dimulai. Di sekitar gerbang dan area lapangan, spanduk-spanduk sponsor berjejer rapi, sementara beberapa stan bazar masih dalam tahap akhir penataan, dan tenda-tenda putih berukuran besar sudah berdiri kokoh, siap menampung pengunjung.

Orang-orang mulai berdatangan. Mereka berjalan santai melewati gerbang, langkah mereka ringan di atas rumput yang masih sedikit basah. Kebanyakan mengenakan pakaian olahraga atau kaus santai, siap untuk beraktivitas. Ada keluarga yang menggandeng anak-anak mereka, sekelompok remaja yang tertawa riang, dan pasangan paruh baya yang berjalan bergandengan. Mereka membawa tas berisi botol minum atau sekadar ponsel di tangan. Beberapa mencari tempat strategis di pinggir lapangan, mulai melakukan peregangan ringan, bersiap menyambut sesi senam yang akan segera dimulai.

Meskipun ribuan orang belum memadati tempat itu, sudah ada getaran antisipasi yang terasa. Suasana pagi yang tenang perlahan dipecah oleh obrolan ringan, tawa, dan pergerakan yang semakin aktif. Lapangan Trirenggo, permata hijau di jantung Bantul, perlahan-lahan hidup, bersiap menjadi saksi dimulainya sebuah perayaan.

Dari kejauhan, samar-samar mulai terdengar alunan musik dengan irama upbeat, volume-nya perlahan naik, menandakan dimulainya aktivitas pagi di pusat acara. Festival ANTV Rame resmi dimulai.

Pagi di Lapangan Trirenggo beranjak menuju pukul sembilan. Matahari sudah lebih tinggi, sinarnya terasa hangat di kulit, menghilangkan sisa sejuk fajar. Gemuruh festival di depan panggung utama kian menguat. Ribuan penonton yang usai bersenam kini mulai menyemut, antusiasme mereka terasa hingga ke area belakang panggung. Suara musik dari penampil yang sudah di atas panggung bergaung, getaran bassnya mendebarkan udara.

Di tengah kesibukan area backstage, di mana kru bergerak cekatan dan para penampil lain bersiap, Eka Fatmala mencari sudut yang relatif tenang. Menemukan ruang kecil di balik tenda atau di samping tumpukan peralatan, ia menggelar sajadah mungilnya. Meskipun suara-suara festival, musik yang menghentak, dan riuh rendah persiapan terdengar di sekelilingnya, Eka menarik napas dalam, berusaha memusatkan pikirannya.

Ia memulai sholat Dhuha. Dalam gerakan-gerakan sholatnya, ada ketenangan yang ia cari paksa di tengah pergumulan hatinya. Ia berusaha khusyu', menutup mata terhadap keramaian visual dan bising suara di sekitarnya, fokus pada setiap bacaan. Dalam keheningan pribadinya di tengah keramaian publik, ia berbicara dengan Sang Sang Pencipta.

Saat sampai pada bagian doa setelah sholat, Eka menengadahkan tangan. Suaranya lirih berbisik memanjatkan harapan. Ketika lisannya mengucapkan lafadz: " Allahumma in kana rizqi fis-sama'i fa anzilhu,..." ia merasakan air mata mulai menggenang. Doanya mengalir, memohon rezeki, kesehatan, keberkahan, dan kemudahan dalam urusannya. Kemudian, ia melanjutkan, "...wa in kana fil-ardhi fa akhrijhu, wa in kana mu’siron fa yassirhu, wa in kana haraman fa thohhirhu, wa in kana ba’idan fa qorribhu,...". Suara-suara dari luar, musik yang menggelegar, sorakan yang jauh, semua terasa meredup, tenggelam oleh gejolak di dalam hatinya.

Sampai pada kalimat "...wa atiniy maa atayta 'ibadakash sholihin." Air mata yang tadinya menggenang kini luruh. Ia memohon, meminta apa yang telah Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang saleh. Dalam permohonan itu, tersirat harapan yang dalam akan kekuatan, ketabahan, dan kebaikan di tengah ujian hidup yang ia hadapi. Air mata itu adalah campuran antara kepasrahan, harapan, dan beban yang ia pikul.

Setelah sholat, Eka melipat sajadahnya, menyeka sisa air mata di pipi. Ketegangan di dadanya sedikit mereda, digantikan oleh kelegaan tipis. Ia kembali ke area persiapan utama, siap untuk dirias dan mengenakan gaun panggungnya. Meskipun kecemasan akan masalah pribadinya itu masih ada, momen sholat tadi memberinya sedikit ketenangan dan kekuatan batin untuk menghadapi apa yang ada di depan mata: panggung Festival ANTV Rame.

Ketegangan di area belakang panggung terasa pekat. Musik dari speaker kini dominan, sorakan penonton terdengar seperti gelombang pasang. Eka Fatmala sudah berdiri di posisi standby, siap untuk dipanggil. Gaun hitam berkilaunya menangkap cahaya lampu panggung yang menerpa dari celah-celah di depannya. Mikrofon terasa dingin dan kokoh di genggamannya. Staf panggung memberikan instruksi terakhir dengan gerakan tangan yang cepat.

Meskipun sudah siap secara fisik, batin Eka adalah pusaran emosi. Ia berusaha keras memusatkan diri pada apa yang akan dilakukannya di atas panggung: menyanyi, menghibur, menghubungkan diri dengan energi ribuan orang di luar sana.

Pandangannya menyapu sekilas ke arah tas kecilnya yang tergeletak di sebuah kursi lipat. Di samping tas itu, layar ponselnya menyala, menampilkan lock screen. Mata Eka tak sengaja menangkap tampilan tanggal dan waktu di sudut layar: 27 Juli 2024, 09:26.

Seketika, bayangan situasi yang tak pasti melintas di benaknya. Hanya beberapa hari lagi. Kata "Putusan" seperti menggema dalam pikirannya, menghapus sejenak suara bising di sekelilingnya.

Jantungnya berdebar kencang. Telapak tangannya terasa dingin, meskipun ruangan itu sedikit hangat. Sebuah gelombang kecemasan, lebih kuat dari sebelumnya, menghantamnya. Ini bukan hanya sekadar gugup jelang tampil, ini adalah ketakutan yang dalam, ketidakpastian yang membayangi seluruh hidupnya.

Seorang staf panggung menepuk pundaknya, memberikan isyarat bahwa gilirannya tiba. "Siap, Mbak Eka?" bisiknya di telinga Eka, berusaha mengalahkan suara musik.

Eka menoleh, memaksakan senyum. Kecemasan itu masih bergolak di dadanya, tetapi ia mengangguk. Ia harus siap. Tidak ada pilihan.

Dengan pikiran masih sedikit berkabut oleh kilasan masalah yang menanti, Eka melangkah menuju tangga panggung. Suara pembawa acara mengumumkan namanya dengan penuh semangat.

Sorak sorai penonton membahana, ribuan suara bersatu padu menyambut nama Eka Fatmala yang diumumkan. Lampu sorot yang terang menerpa, membuatnya sedikit menyipitkan mata sesaat sebelum ia tersenyum dan melambaikan tangan. Di depannya terbentang lautan wajah – ceria, bersemangat, dengan rona merah dan peluh tipis sisa senam pagi. Energi fisik mereka terasa memancar kuat, gelombang antusiasme murni yang siap meledak.

Eka melangkah dari sisi panggung. Di telinganya masih terngiang bisikan kecemasan yang dipicu Insiden Pemicu tadi. Jantungnya berdebar kencang. Namun, saat kakinya menapaki permukaan panggung yang kokoh, ia menarik napas dalam. Di tengah hiruk pikuk suara penonton dan musik yang mulai mengalun samar, bibirnya bergerak lirih. Ia mulai membaca al-Fatihah dalam hati, menjadikannya jangkar spiritual di tengah badai emosi.

Kata demi kata ummul kitab itu mengalir membasahi batinnya saat ia berjalan menuju pusat panggung, mendekati mikrofon. Doanya bukan hanya bacaan, melainkan bisikan langsung dari hatinya, terangkai di antara deru keramaian.

"Ya Allah, permudah jalanku pagi ini..." bisiknya lirih, langkahnya mantap namun hati berdoa penuh harap. "...berikan yang terbaik untuk penampilanku, biarkan aku menjadi wasilah mereka meraih kebahagiaan dari-Mu, dan untuk semua yang hadir di sini selalu mendapat berkah-Mu."

Ia terus melangkah, matanya memindai lautan wajah di depannya, merasakan energi mereka. Permohonan selanjutnya terucap, kali ini lebih berat, terkait dengan beban yang ia pikul sendirian.

"Dan... untuk situasi yang akan datang itu, ya Rabb," bisiknya lagi, hampir tak terdengar. "Apapun putusannya nanti... beri aku kekuatan. Bikin aku ikhlas... tabah..."

Al-Fatihah yang ia baca dalam hati menjadi selubung, perisai batinnya di tengah gelombang kecemasan yang mengancam menenggelamkannya, memohon pertolongan dan bimbingan di saat ia paling membutuhkannya.

Ia sampai di tengah panggung, meraih mikrofon yang terasa dingin dan kokoh di tangannya. Sorak sorai penonton menyambutnya lagi, menariknya kembali sepenuhnya ke momen kini. Ia tersenyum, senyum yang kini terasa sedikit lebih nyata setelah ketenangan yang ia cari dalam doa sunyinya tadi.

"Selamat pagi, Bantul!" sapa Eka hangat. Suaranya jernih dan kuat.

"Piye kabare?" serunya, melempar sapaan khas Jogja.

"Apik!" jawab penonton serempak, tawa riang terdengar di sana-sini.

Eka tersenyum, interaksi singkat ini efektif membumikan dirinya, menarik energinya dari lautan wajah positif di depannya. "Sudah siap bergoyang pagi ini?" serunya lagi, nadanya penuh semangat.

Antusiasme penonton meledak, sorakan mereka membahana.

Musik mulai dimainkan. Intro lagu "Koyo Jogja Istimewa" yang ceria dan akrab langsung menyambut. Melodi dangdut koplo dengan sentuhan etnik khas Jogja mengalun, penuh ritme yang menghentak dan mengajak bergerak.

Eka mulai bernyanyi. Ia menyalurkan seluruh energinya, bergerak lincah di atas panggung, menyatu dengan irama yang membangkitkan semangat. Matanya berinteraksi dengan penonton di barisan depan. Ia fokus pada lirik, pada melodi, pada gerakan. Ia melemparkan senyuman lebar, mengayunkan tangan mengikuti beat.

Penonton merespon dengan luar biasa. Tubuh-tubuh yang baru selesai senam seolah mendapatkan dorongan energi tambahan. Mereka langsung hanyut, bergoyang, bernyanyi bersama, melambaikan tangan di udara. Suasana seketika berubah menjadi pesta pagi yang penuh semangat murni. Energi fisik mereka yang meluap menemukan saluran sempurna melalui irama "Koyo Jogja Istimewa".

Meskipun Eka tampil profesional dan enerjik, dalam beberapa momen singkat, bayangan masalah pribadinya tetap ada di sudut benaknya. Namun, lautan penonton yang bergoyang riang di depannya, suara mereka yang ikut bernyanyi, getaran energi positif yang begitu besar, berhasil menenggelamkan pikiran-pikiran gelap itu, setidaknya untuk sementara. Ia menarik kekuatan nyata dari antusiasme murni penonton, menjadikannya bahan bakar untuk penampilannya.

Sorak sorai dan tepuk tangan penonton membahana saat lagu "Koyo Jogja Istimewa" berakhir. Napas Eka sedikit terengah, tetapi senyum lebar tersungging di bibirnya. Energi dari penonton terasa begitu kuat, sebuah gelombang positif yang membantunya melupakan sejenak beban yang ia bawa. Keriangan murni dari ribuan orang yang bergoyang dan bernyanyi bersamanya tadi seperti infus kekuatan langsung ke dalam batinnya.

Eka membungkuk singkat, memberi hormat. Suaranya terdengar sedikit serak, napasnya masih memburu, namun ia berujar, "Alhamdulillah..."

Ia berjalan ke sisi panggung, di mana botol air mineral disiapkan. Ia mengambil botol itu, lalu duduk sejenak di tepi panggung, di sebuah kursi yang tak terlihat penonton langsung. Sebelum meneguk air, bibirnya kembali bergerak lirih.

"Bismillah..."

Ia minum beberapa teguk, merasakan air dingin membasahi tenggorokannya yang kering. Momen duduk sejenak itu memberinya kesempatan untuk menarik napas, meredakan detak jantungnya yang masih cepat, dan mengumpulkan kembali fokusnya.

Ia kembali berdiri, memegang mikrofon. Jantungnya masih berdebar, tetapi bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga antisipasi untuk lagu berikutnya, lagu yang terasa lebih personal.

"Luar biasa sekali energi Bantul pagi ini!" seru Eka, suaranya kembali kuat dan penuh apresiasi. "Senang sekali bisa ada di sini, merayakan bersama kalian!"

Penonton kembali bersorak, beberapa meneriakkan namanya.

Eka mengambil jeda sesaat, matanya menerawang sekilas ke kejauhan, melewati batas lapangan yang dipenuhi penonton. Dalam keheningan singkat di antara sorakan yang mereda, bayangan persoalan pribadinya kembali terlintas. Ketegangan itu kembali terasa di dadanya, pengingat akan realitas yang menanti setelah festival ini usai.

Tapi, ia memegang erat mikrofon, merasakan bobotnya, merasakan koneksi dengan panggung dan penonton. Lagu berikutnya. Lagu itu terasa penting. Ia berharap bisa mengubah kecemasan ini menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang kuat, sesuatu yang bisa dirasakan penonton.

Eka menoleh ke arah band pengiring di belakangnya, memberikan isyarat. Bibirnya kembali berucap lirih, sebuah bisikan harapan sebelum melangkah ke momen berikutnya.

"Bismillah..."

Sebuah nada intro mulai mengalun, melodi yang akrab namun kali ini terdengar sedikit berbeda, diwarnai oleh getaran emosi Eka yang campur aduk.

"Selanjutnya," ujar Eka, suaranya sedikit lebih lembut, penuh penghayatan. "Untuk kalian semua di sini... sebuah lagu yang spesial... Taman Jurug."

Melodi intro "Taman Jurug" yang akrab dan sedikit melankolis mulai mengalun dari band pengiring. Udara di sekitar panggung seolah berubah. Suara riuh penonton yang tadinya gaduh berangsur mereda, digantikan oleh bisik-bisik antisipasi saat mereka mengenali lagu yang akan dibawakan. Ribuan mata kini tertuju sepenuhnya pada Eka Fatmala di tengah panggung.

Eka mengambil napas dalam. Mikrofon di tangannya terasa seperti konduktor, siap menyalurkan bukan hanya suaranya, tetapi juga gejolak di dalam hatinya. Kecemasan tentang situasi yang dihadapinya, harapan yang terselip dalam doa-doanya, kelelahan fisik, dan energi yang ia tarik dari penonton—semuanya bercampur aduk di dalam dirinya. Kali ini, ia tidak mencoba menyembunyikannya.

Ia mulai bernyanyi.

Suaranya mengalun, jernih dan penuh perasaan. Setiap lirik "Taman Jurug" yang ia nyanyikan terasa memiliki makna ganda. Ia menyanyikan tentang kerinduan, tentang kenangan, tentang tempat yang dicintai—dan tanpa disadari, ia juga menyanyikan tentang kerinduan akan ketenangan batin, kenangan akan masa lalu yang berbeda, dan harapan akan "tempat" di masa depan di mana ia bisa kembali merasa utuh dan damai, terlepas dari badai dalam hidupnya.

Saat Eka bernyanyi, ia memejamkan mata sesaat, menyalurkan seluruh emosinya ke dalam lagu. Ketika ia membukanya kembali, pandangannya menyapu lautan penonton. Sesuatu yang luar biasa terjadi. Penonton yang tadinya penuh energi fisik usai senam, kini seolah terdiam, hanyut dalam alunan suara Eka. Mereka tidak hanya mendengarkan. Sesuatu telah berubah.

Terjadi resonansi. Energi dari hati Eka, yang rapuh namun kuat, jujur dan penuh harapan, mengalir melalui melodi dan lirik, menyentuh hati ribuan orang di hadapannya. Penonton merespons dengan caranya sendiri, bukan hanya sebagai audiens pasif. Mereka ikut bernyanyi lirih, bisikan melodi dan lirik bergabung dengan suara Eka. Ada yang mengangguk perlahan, mata mereka penuh perenungan, seolah setiap kata Eka adalah gema dari perasaan mereka sendiri. Di sana-sini, terlihat beberapa orang diam-diam mengusap sudut mata mereka, tersentuh oleh kedalaman emosi yang tersampaikan.

Melihat ribuan bibir bergerak mengikuti lirik lagunya, mendengar suara mereka bergabung dengan suaranya, Eka merasakan gelombang emosi lain. Senyum tulus, lepas dari beban, mengembang di wajahnya. Ia tidak hanya bernyanyi untuk mereka, tetapi pada saat itu, dengan suara lirih mereka bergabung, terasa seperti mereka bernyanyi untuknya. Seolah ribuan orang di depannya membalas curahan hatinya dengan melodi yang sama, memberikan dukungan yang sunyi namun masif.

Paradoks yang dalam menghantam batin Eka. Ia hadir di sini sebagai penghibur, tugasnya adalah mengangkat semangat ribuan orang ini. Namun, di momen ini, di tengah alunan "Taman Jurug" dan resonansi yang terasa, justru ia merasa seperti dihibur oleh mereka. Energi yang ia curahkan dibalas dengan dukungan yang begitu tulus, seolah penonton di depannya adalah sandarannya, memberikan kekuatan yang ia butuhkan untuk berdiri tegak.

"Ya Allah..." bisiknya lirih di sela-sela baris lagu yang ia nyanyikan. "...Engkau hadirkan mereka... bukan hanya untukku hibur... tapi untukku bersandar. Terima kasih..."

Luapan emosi itu tidak tertahan. Ia bergerak mengikuti irama, namun goyangannya kali ini terasa berbeda. Eka bergoyang, menggoyangkan pinggul dan pantatnya dengan sangat gemulai, gerakannya mengalir seperti air, penuh perasaan yang tersalurkan. Bukan sekadar tarian panggung, itu adalah ekspresi murni dari resonansi yang ia rasakan—antara bebannya yang terangkat, dukungan yang ia terima, dan melodi yang mengalir dari jiwanya. Setiap goyangan gemulai itu adalah pelepasan emosi, perpaduan antara kerapuhan dan kekuatan yang ia temukan di momen tersebut.

Matanya berbinar, menangkap wajah-wajah yang bernyanyi bersama, menikmati momen luar biasa ini di mana ia dan penonton melebur dalam harmoni emosi melalui lagu "Taman Jurug". Ia menggerakkan tangannya, isyarat lembut yang bukan hanya bagian dari koreografi, melainkan respons alami terhadap koneksi mendalam yang ia rasakan. Suasana di seluruh Lapangan Trirenggo, di bawah terik matahari pagi yang mulai meninggi, berubah menjadi momen magis yang tak terlukiskan. Ribuan orang yang berbeda latar belakang, kini terhubung oleh satu suara, satu melodi, dan satu perasaan tulus yang mengalir dari hati ke hati.

Eka, di tengah panggung, merasakan koneksi itu dengan jelas. Energi penonton tidak hanya sekadar memberinya kekuatan untuk terus bernyanyi; energi itu seolah menerima bebannya, membagikannya dalam momen kebersamaan yang sunyi, dan mengembalikannya kepadanya dalam bentuk dukungan, pemahaman, dan bahkan nyanyian balasan yang terasa seperti pelukan hangat bagi jiwanya yang sedang rapuh. Momen ini adalah puncak dari penampilannya, titik di mana suara hatinya yang paling pribadi beresonansi kuat dengan jiwa sekerumun massa, menciptakan ikatan yang terasa sakral di tengah hingar bingar festival.

Eka Fatmala berjalan kembali ke area belakang panggung, suara gemuruh penonton yang masih bergelora di depan seperti suara ombak yang perlahan menjauh. Keringat membasahi tubuhnya, napasnya masih sedikit terengah. Rasa lelah terasa di setiap persendiannya, kelelahan fisik yang jujur setelah mencurahkan seluruh energi di atas panggung.

Seorang kru memberinya handuk dan sebotol air baru. Eka mengambilnya dengan senyum tipis, rasa terima kasih yang tak terucap di matanya. Ia mencari tempat untuk duduk sejenak, menjauh dari keramaian kru yang masih sibuk mempersiapkan penampil berikutnya.

Belum sempat Eka menemukan tempat yang benar-benar tenang, sesosok tubuh menghampirinya dengan cepat. Rheyna Morena, sesama pengisi acara yang juga akan tampil, datang dengan senyum lebar dan mata berbinar penuh kekaguman.

"Mba Eka!" seru Rheyna, langsung memeluk Eka dengan erat. Pelukan yang hangat dan tulus.

Eka sedikit terkejut, tetapi ia membalas pelukan itu.

"Ya ampun, Mba!" Rheyna melepaskan pelukan, memegang bahu Eka erat. Wajahnya terlihat sangat antusias. "Keren banget tadi! Pecah banget! Sampai merinding aku dengernya!"

Kekaguman Rheyna terasa begitu murni, luapan emosi yang jujur dari sesama seniman. Eka tersenyum, senyum yang kini lebih rileks karena interaksi hangat ini. Rheyna, dengan keceriaannya yang meluap, jelas tidak tahu menahu tentang beban pribadi yang baru saja coba diredakan Eka di atas panggung, atau tentang penantian cemas yang masih menanti. Baginya, Eka barusan saja memberikan penampilan yang spektakuler, titik.

"Alhamdulillah, Rheyna..." ujar Eka lembut, napasnya masih sedikit tersengal. "Terima kasih banyak ya..."

"Beneran Mba! Itu tadi... suaranya, feel-nya... nyampe banget!" puji Rheyna lagi, matanya tak lepas dari Eka. "Penonton juga, lihat kan tadi? Hanyut semua!"

Eka mengangguk, senyumnya semakin tulus. "Iya... Alhamdulilah... rasanya..." Ia berhenti sejenak, mencari kata yang tepat, "...spesial."

"Spesial banget!" Rheyna mengiyakan dengan semangat. Ia lalu mengeluarkan ponselnya. "Foto bareng yuk, Mba! Buat kenang-kenangan. Penampilan keren gini harus diabadikan!"

Eka tersenyum lagi. Di tengah kelelahan dan persoalan pribadinya, permintaan Rheyna terasa seperti pelukan hangat lainnya. Ia mengangguk. "Boleh, boleh..."

Rheyna segera mengatur posisi, merangkul Eka akrab, dan mengambil beberapa foto selfie dengan latar belakang kesibukan area belakang panggung. Dalam foto-foto itu, Eka tersenyum, berusaha keras menyembunyikan sisa ketegangan, tetapi kebahagiaan dan kelegaan tipis setelah penampilan yang sukses juga terpancar dari matanya. Rheyna di sampingnya terlihat ceria dan penuh kekaguman yang tulus.

Setelah berfoto, Rheyna pamit untuk mempersiapkan diri, meninggalkan Eka dengan perasaan campur aduk—senang atas apresiasi temannya, tetapi realitas ujian hidupnya kembali menyambut.

Eka kembali mencari tempat yang lebih tenang. Ia menemukan sebuah kursi kosong di sudut yang sedikit tersembunyi dari keramaian kru. Ia duduk, mengambil napas dalam-dalam.

Duduk di sudut yang lebih tenang, Eka menyeka wajahnya dengan handuk, merasakan kelembaban sisa keringat dan mungkin sedikit air mata haru yang belum sepenuhnya kering. Detak jantungnya berangsur normal, tetapi di dalam dadanya, masih ada getaran sisa dari resonansi yang ia alami bersama penonton. Perasaan terharu bercampur dengan kelegaan yang mendalam. Ia telah berhasil melewati momen itu, bukan hanya tampil, tetapi benar-benar terhubung, berbagi, dan menerima.

Ia meraih ponselnya. Layar masih menampilkan tanggal 27 Juli. Bayangan ketidakpastian kembali terlintas, kini terasa lebih dekat, lebih nyata. Beban yang menanti, ketidakpastian hasil proses hukumnya, semua itu kembali menyambutnya setelah gemerlap panggung usai. Realitas pribadi kembali menuntut perhatiannya. Kecemasan itu belum sepenuhnya hilang, masih bersembunyi di sudut-sudut hatinya.

Namun, kali ini terasa sedikit berbeda. Kelelahan fisik itu diimbangi oleh kekuatan batin yang tak terduga. Momen di atas panggung tadi, getaran emosi yang ia bagi dan terima dari ribuan penonton, terasa seperti suntikan energi spiritual. Ia datang untuk menghibur, dan memang ia menghibur, tetapi ia juga merasa telah dihibur kembali dengan cara yang paling ia butuhkan saat itu. Paradoks itu masih terasa, tetapi kini membawa rasa syukur yang mendalam.

Ia tahu perjalanannya belum selesai. Ujian hidupnya masih menanti, sebuah gerbang menuju masa depan yang tidak pasti yang harus ia lewati. Tetapi, di momen ini, duduk di sudut tenang backstage yang bising namun terasa damai baginya, Eka tahu ia tidak sendirian sepenuhnya. Ia telah terhubung dengan ribuan orang di luar sana melalui suaranya, melalui resonansi hati ke hati. Dan koneksi itu, pengalaman berbagi jiwa melalui musik, telah memberinya kekuatan yang ia butuhkan untuk melangkah maju.

Ia meraih ponselnya. Layar masih menampilkan tanggal 27 Juli. Bayangan masalah yang dihadapinya kembali terlintas, kini terasa semakin nyata, semakin dekat. Beban yang menanti, ketidakpastian hasil proses hukumnya, semua itu kembali menyambutnya setelah gemerlap panggung usai. Realitas pribadi kembali menuntut perhatiannya. Kecemasan itu belum sepenuhnya hilang, masih bersembunyi di sudut-sudut hatinya.

Namun, kali ini terasa berbeda. Kelelahan fisik itu diimbangi oleh kekuatan batin yang tak terduga. Momen di atas panggung tadi, getaran emosi yang ia bagi dan terima dari ribuan penonton, terasa seperti suntikan energi spiritual. Ia datang untuk menghibur, dan memang ia menghibur, tetapi ia juga merasa telah dihibur kembali dengan cara yang paling ia butuhkan saat itu. Paradoks itu masih terasa, tetapi kini membawa rasa syukur yang mendalam.

Ia tahu perjalanannya belum selesai. Badai yang dialami masih menanti, sebuah gerbang menuju masa depan yang tidak pasti yang harus ia lewati. Tetapi, di momen ini, duduk di sudut tenang backstage yang bising namun terasa damai baginya, Eka tahu ia tidak sendirian sepenuhnya. Ia telah terhubung dengan ribuan orang di luar sana melalui suaranya, melalui resonansi hati ke hati. Dan koneksi itu, pengalaman berbagi jiwa melalui musik, telah memberinya kekuatan yang ia butuhkan untuk melangkah maju.

Ya Allah, bisiknya lirih dalam hati, mengulangi permohonan dari atas panggung. Engkau benar-benar hadirkan mereka... bukan hanya untukku hibur... tapi untukku bersandar. Terima kasih...

Eka duduk di kursi itu, memandang ke depan. Wajahnya masih menunjukkan jejak kelelahan, tetapi sorot matanya kini berbeda – lebih tenang, lebih tegar. Ia siap menghadapi masa depan yang tak pasti, dan apa pun yang akan datang setelahnya, dengan membawa kekuatan dari resonansi suara hatinya di Bantul.

Beberapa waktu kemudian, Eka Fatmala mengenang hari itu di Lapangan Trirenggo, Bantul, sebagai titik balik. Hari ketika ia tampil berpeluh dengan hati yang rapuh menanti akhir dari satu babak hidup yang keruh, namun justru menemukan kekuatan luar biasa dalam resonansi suaranya dengan ribuan jiwa penonton di lapangan yang penuh. Momen itu, di mana ia merasa begitu rentan namun sekaligus begitu kuat dan terhubung, akan terukir dalam ingatannya.

Sebagai pengingat abadi akan momen transformatif tersebut, ia secara nyata menyematkan (pin) tiga postingan di bagian paling atas profil akun Instagram pribadinya @eka.fatmala. Tiga foto tersebut—seperti yang terlihat pada profilnya—menampilkan dirinya di atas panggung Festival ANTV Rame Bantul: satu cuplikan video saat ia bernyanyi dengan penuh energi, satu foto yang menangkap momen berfoto bersama Rheyna Morena di belakang panggung, dan satu lagi foto dirinya tersenyum tulus kepada penonton saat berada di panggung Bantul.

Sematan di akun Instagram tersebut menjadi galeri visual permanen yang menceritakan kisah tentang bagaimana musik dan koneksi tulus mampu memberikan kekuatan bahkan di saat tergelap. Dan foto profil Instagramnya, yang kini menampilkan bidikan close-up dirinya tersenyum tulus saat berada di panggung Bantul, menjadi simbol bahwa dari kerapuhan pun bisa tumbuh kekuatan yang beresonansi luas dan abadi, sebuah pengingat visual akan momen sakral di Bantul pada Sabtu, 27 Juli 2024.