Sejak
terlibat sebagai pemakalah dalam Seminar Nasional Fisika ke-4 (SiNaFi IV) pada
24 November 2018 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), saya kembali
memiliki gairah untuk melestarikan salah satu kegiatan akademik berupa publikasi
dan konferensi. Kedua kata ini perlu dipisahkan, supaya tampak kentara letak perbedaan.
Analogi perbedaan keduanya begini: publikasi itu seperti BLACKPINK (Hangul: 블랙핑크; commonly stylized as
BLΛƆKPIИK) merilis lagu baru, misalnya As If It’s Your Last (Korean: 마지막처럼; RR: Majimakcheoreom). Sedangkan
konferensi itu seperti BLΛƆKPIИK menampilkan lagu yang dirilis, misalnya As
If It’s Your Last, dalam acara tertentu kayak Inkigayo, Gayo Daeujun, dan Seoul
Music Awards. Karena itu, lazim dijumpai bahwa paper yang disampaikan
dalam konferensi berasal dari publikasi yang sudah dilakukan. Meski tak
dimungkiri, kondisi di Indonesia saat ini lebih ramai bahwa konferensi diikuti
guna menjadi jalan melakukan publikasi.
Bahan
yang saya pakai untuk publikasi dan konferensi sepenuhnya berasal dari kegiatan
akademik yang lain, berupa praktik pembelajaran. Dalam praktik pembelajaran,
tentu terdapat tahap mendesain, melaksanakan, sampai mengevaluasi. Entah ketiga
tahap ini dilakukan secara tertulis atau dalam angan saja, tak jadi soal. Tak
jadi soal juga bahwa ketiga tahap tersebut dilakukan satu kali saja selama satu
musim pembelajaran, atau berulang kali setiap topik pembelajaran. Yang jelas,
dalam ketiga tahap tersebut, terdapat kegiatan berpikir, muncul sebuah
penemuan, serta ada beragam kisah yang dapat disampaikan. Dari keseluruhan yang
dapat disampaikan tersebut, sebagian layak untuk disampaikan. Cara untuk
menyampaikan bisa secara lisan, dengan mengikuti konferensi, maupun melalui
tulisan, dengan melakukan publikasi. Buat saya pribadi, kedua hal ini memiliki
kasta setara, tidak saling mengungguli, walakin saling melengkapi.
Gairah
tersebut kian bertambah seiring harapan yang muncul setelah terlibat obrolan
dengan Buk Setiya Utari di rumahnya pada malam hari 8 Juli 2018. Obrolan
tersebut banyak membahas tentang keinginan saya untuk off dari melanjutkan
pendidikan formal sekaligus tetap on dalam melakukan riset. Dari situlah
sebenarnya saya mulai punya gairah untuk melestarikan salah satu kegiatan
akademik berupa publikasi dan konferensi. Fokusnya pun tak perlu aneh-aneh,
cukup kepada kegiatan saya di Madrasah TBS dan Pondok Pesantren Ath-Thullab.
Sampai
akhirnya terlibat sebagai pemakalah di SiNaFi IV pada 24 November 2018. Di
SiNaFi, tampak bahwa saya hanya menyampaikan riset yang notabene adalah skripsi
ketika lulus strata satu Pendidikan Fisika. Namun, ketika waktu istirahat, saya
menjumpai Pak Kusnadi di ruangannya. Saya bersyukur atas perjumpaan tersebut dan
berterima kasih Pak Kusnadi berkenan membagi waktu luang pada Sabtu itu. Pasalnya
sebagai pengajar Biologi di kelas X MA NU TBS pada waktu itu, saya butuh
setidaknya satu pembimbing untuk melakukan riset pembelajaran Biologi. Pak
Kusnadi sendiri siap menjadi pembimbing non-formal, dimulai dengan penyusunan
instrumen penilaian. Karena saya fokus di topik literasi saintifik serta topik
ini belum banyak digarap dalam pembelajaran biologi, alhasil pekerjaan yang
dilakukan pun serupa dengan alur penyelesaian skripsi.
Pertemuan
dengan Pak Kusnadi itulah yang kemudian berdampak terhadap keterlibatan saya sebagai
pemakalah dalam Seminar Nasional Biologi 2019 Inovasi Penelitian dan
Pembelajaran Biologi III (IP2B III) pada 23 Maret 2019 di Universitas Negeri
Surabaya (UNESA), Seminar Nasional Sains & Entrepreneurship VI (SNSE VI) pada
21 Agustus 2019 di Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Seminar Nasional dan
Workshop Biologi-IPA dan Pembelajaran Ke-4 (SnoWBel IV) pada 5 Oktober 2019 di
Universitas Negeri Malang (UM), serta SiNaFi 5.0 pada 23 November 2018 di
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Dari
keempat konferensi tersebut, rupanya SNSE VI memiliki dampak lain. Meski saya
menyampaikan riset tentang pembelajaran biologi berorientasi literasi saintifik,
tapi terdapat pertemuan setelah seminar di rumah Buk Fenny Roshayanti. Buk
Fenny banyak bercerita tentang pengalaman dan kegiatan yang dilakukan sembari
memberi motivasi dan inspirasi kepada saya yang telah kembali mengajar di MI NU
TBS. Seakan déjà vu dengan Pak Kusnadi (kebetulan Buk Fenny dan Pak
Kusnadi sama-sama lulusan Pendidikan Biologi UPI), dari situ saya mulai
menjamah surgamu ranah ‘baru’, yakni literasi saintifik untuk pendidikan
dasar (SD/MI). Buk Fenny juga orang yang mengenalkan kepada saya topik Education
for Sustainable Development (ESD) dan analisis Rasch, dua hal yang blas
belum saya tekuni.
Kalau
ada satu perbedaan signifikan permainan saya di literasi saintifik antara di
fisika SMP, biologi SMA, dan IPA SD, ialah terhadap indikator kompetensi. Di
Fisika SMP & Biologi SMA, saya masih sepenuhnya mengacu kepada kerangka
kerja PISA. Sedangkan untuk IPA SD, mulai menyusun ‘indikator baru’ yang tetap
berpijak salah satunya kepada kerangka kerja PISA. Indikator ini penting,
karena pondasi pembelajaran yang saya lakukan ialah kepada indikator
pembelajaran—bukan topik pelajaran. Dari indikator lah, saya mulai menyusun
instrumen penilaian dan gambaran kegiatan yang kemudian dilaksanakan dan
dievaluasi. Karena itulah saya woles saja ketika Pandemi COVID-19
berdampak terhadap pembelajaran. Soalnya saya lebih terpacu untuk tetap
berpijak kepada indikator yang disusun ketimbang menghabiskan topik yang harus
dipelajari.
Ketika
menyusun indikator serta pembelajaran jarak jauh pada masa Pandemi COVID-19
ini, saya beruntung dapat memiliki kesempatan berinteraksi dengan Buk
Fadhilaturrahmi. Perlahan malar, Buk Fadhilaturrahmi menjelma sebagai sosok
yang sangat ingin saya teladani. Sempat muncul impian kami berduet riset, tapi
saya kemudian sadar bahwa bukan sosok yang setara dengan level tinggi beliau. Namun,
kepada Buk Fadhilaturrahmi saya dapat berharap untuk memelopori publikasi
jurnal di Indonesia. Saya yakin kemampuan, kemauan, dan komitmen beliau yang
luar biasa istimewa akan sanggup melakukannya.
Harapan
tersebut didasari oleh kesan pribadi yang saya peroleh selama menerbirkan 10 jurnal
akademik serta 7 artikel prosiding konferensi. Semuanya di Indonesia. Kedua kesan
utama yang saya peroleh mengarah kepada simpulan bahwa praktik penerbitan yang saya
alami rupanya ketinggalan zaman. Mengapa demikian? Berikut uraiannya.
[1] Hanya
menerbitkan artikel dalam bentuk PDF (Portable Document Format)
Salah
satu kebijakan paling tidak saya suka dari penerbit jurnal maupun prosiding
ialah hanya menerbitkan artikel dalam format PDF. PDF dirancang untuk menjadi
format standar untuk memberikan tata letak halaman akhir untuk dicetak oleh
jurnal luring (offline), tapi entah bagaimana itu menjadi format penerbitan
kanonik untuk artikel jurnal daring (online). Seluruh penerbit yang
menerbitkan jurnal dan prosiding saya, hanya menerbitkan artikel dalam format
PDF saja. Padahal kalau kita melihat layanan penerbitan lain seperti NCBI
(National Center for Biotechnology Information) dan Europe PMC (Europe PubMed
Central), banyak artikel diterbitkan menggunakan format PDF sekaligus HTML (HyperText Markup Language).
Saya
sendiri merasa bahwa PDF penuh dengan keterbatasan dibandingkan dengan HTML
karena:
- Tidak dapat mendukung file penelitian multi-media yang disematkan seperti video;
- Memiliki tata letak yang buruk untuk membaca online, umumnya menggunakan kolom yang mengharuskan pembaca untuk menggulir ke atas dan ke bawah untuk membaca konten pada halaman yang sama;
- Hampir mustahil nyaman dibaca di perangkat seluler karena PDF adalah laman statis (sedangkan HTML dapat dibuat memiliki desain responsif);
- Tidak dengan mudah menunjukkan referensi yang bisa diklik dalam teks; serta
- Sangat tidak dioptimalkan untuk pencarian browser online.
Sederhananya,
PDF tidak dirancang untuk menjadi media penerbitan daring dan dengan demikian
tidak berkembang untuk mendukung pengalaman pencarian dan pembacaan secara
daring yang semakin banyak diharapkan oleh pembaca.
Khusus
untuk poin pertama, berupa “Tidak dapat mendukung file penelitian multi-media
yang disematkan seperti video”, sudah berulang kali disampaikan kepada mentor
saya, Surotul Ilmiyah, sekaligus rekan saya, Vivid Rohmaniyah, untuk meniru
cara penerbitan majalah Mata Lelaki (MALE). Sebagai pembaca majalah
dewasa ini, selain menikmati bentuk tubuh perempuan yang disajikan dan ucapan
yang dituturkan oleh para model, saya juga menikmati penyajian video dalam
majalah berformat PDF. Sayang sampai sekarang saya belum menemukan penyajian
video dalam jurnal maupun prosiding berformat PDF. Kasus serupa juga saya alami
untuk bahan ajar berformat PDF, baik untuk pendidikan dasar, menengah, dan
stinggi.
Tentu
setiap penerbit tidak harus berhenti memproduksi PDF, mengingat tradisi
penerbitan selama 2 dekade terakhir bergantung dengan format PDF. Namun, tak
ada salahnya membiasakan inovasi baru dengan turut menerbitkan artikel dalam formar
HTML. Penerbitan dalam format HTML merupakan cara bahwa jurnal dapat mulai
menumbuhkan pengalaman membaca yang lebih sesuai dengan kebiasaan membaca masyarakat,
termasuk para akademisi, pada masa ini. Saat jurnal mau melakukan praktik
penerbitan yang lebih didorong secara digital, komunitas akademik dapat mulai
mengejar ketinggalan terhadap derap teknologi informasi, yang dampaknya membuka
peluang bagi para akademisi untuk melakukan cara baru dalam menyajikan riset
daring, seperti video.
[2] Menunggu
waktu lama untuk menerbitkan artikel
Saya
bersyukur bahwa artikel terkait LKS pembelajaran jarak jauh topik COVID-19
dapat diterbitkan serta berterima kasih kepada Buk Fadhilaturrahmi yang
berkenan menelaah, menyunting, sampai menerbitkan. Salah satu pemandangan enak
ketika masa COVID-19 ini ialah banyak penerbit seperti CDC (Centers for Disease
Control and Prevention), Nature, dan Elsevier berlomba meraih pembaca dengan menerbitkan
topik khusus atau spesial berupa COVID-19. Saya tak pernah membaca rinci
artikel riset yang diterbitkan, walakin berharap agar riset pendidikan
khususnya dapat meniru hal ini. Pasalnya banyak penerbit jurnal akademik
sekaligus pelaksana konferensi akademik, hanya memberi periode tertentu yang
umumnya lama untuk proses penerbitan. Bahkan keberuntungan saya dapat segera
menerbitkan LKS pembelajaran jarak jauh topik COVID-19 antara lain karena
waktunya sesuai dengan periode penerbitan.
Praktik
penerbitan berbasis isu atau masalah pada periode tertentu (umumnya 3 – 6 bulan)
masih diikuti oleh banyak penerbit. Dalam model ini, artikel yang diterima
dapat memakan waktu selama beberapa pekan, kadang berbulan-bulan, atau bahkan
bertahun-tahun! Sebelum diterbitkan, tergantung pada waktu yang dibutuhkan penerbit
untuk menyiapkan artikel yang cukup untuk menyusun isu atau masalah yang
lengkap.
Di
dunia kita yang jenuh secara digital ketika informasi tersedia hampir secara
instan, tidak sulit untuk melihat masalahnya di sini. Bagi peneliti yang
menerbitkan artikel tepat waktu, menunggu beberapa pekan untuk memiliki artikel
yang diterbitkan dapat memiliki dampak besar. Setiap hari yang berlalu antara
penyerahan naskah mereka dan publikasi artikel dapat mengurangi nilai penting
terbitan bagi masyarakat umum maupun komunitas akademisi dan profesi. Bahkan
untuk artikel yang kurang sensitif terhadap waktu, keterlambatan dalam
penerbitan merupakan masalah bagi para peneliti karena mereka menahan artikel
yang sudah selesai untuk dapat menghasilkan kutipan dan dampak altmetrik yang
diandalkan oleh para peneliti untuk menunjukkan jangkauan kontribusi ilmiah
mereka.
Meski
mengumpulkan artikel ke dalam isu atau masalah tertentu diperlukan untuk mencetak
penerbitan luring, karena tidak praktis untuk mencetak dan mendistribusikan
artikel secara individual, dalam penerbitan daring jurnal waktu tunggu antara
menerima artikel dan menerbitkannya dalam masalah umumnya dapat dipaksakan
sendiri. Dalam kebanyakan kasus, jurnal bisa dengan mudah menerbitkan artikel
individual secara bergulir dan kemudian mengkompilasinya menjadi satu periode isu
atau masalah. Ini adalah sesuatu yang saya lihat dalam Jurnal Adidas, yang
dikelola oleh Buk Fadhilaturrahmi, meski agak lain dengan harapan saya.
Buat
saya, tujuan penerbitan yang tidak menunggu periode waktu lama dimaksudkan
untuk menjadi tentang apa yang terjadi sekarang, sehingga para akademisi dan
praktisi dapat melakukan pekerjaan mereka dengan lebih baik. Saya merasa bahwa
penerbitan jangka waktu lama merupakan warisan era pra-internet yang tidak
masuk elok untuk dilestarikan.
Saya
sendiri, untuk mengakali (artinya menggunakan akal) keadaan seperti ini, kerap
mengunggah artikel yang baru jadi ke pracetak, sementara hanya menggunakan layanan
Open Science Framework (OSF). Setelah mengunggah ke pracetak, kadang turut
mengunggah juga ke media sosial Academia.edu dan ResearchGate.net. Keputusan
mengunggah pracetak antara lain untuk menjangkau lebih cepat pembaca, menerima
tanggapan teknis, sekaligus kalau bisa memperoleh sitasi. Terdapat pengalaman
lucu ketika artikel yang hanya saya terbitkan dalam bentuk pracetak, justru
dikutip oleh salah satu jurnal akademik.
Dalam
mengunggah ke pracetak, tentu saya berhati-hati dan selektif, termasuk meminta
izin kepada penerbit untuk artikel yang memang dalam proses penerbitan. Misalnya
ketika memohon izin kepada Buk Fadhilaturrahmi untuk mengunggah artikel yang dalam
proses penerbitan di Jurnal BasicEdu, beliau tak memperkenankan. Karena itu,
saya tak mengunggah artikel tersebut ke pracetak.
Penutup
Praktik
penerbitan usang yang saya sampaikan di sini, dengan fokus terhadap 2 kesan
negatif, memiliki satu simpulan yakni sisa model penerbitan cetak dari zaman
mesin cetak. Kenyataan saat ini adalah, bahkan penerbitan cetak tradisional
dapat dimodernisasi dengan alat daring kontemporer. Jurnal dapat beroperasi
lebih efisien dengan lebih dulu mengambil pendekatan penerbitan digital,
kemudian baru menggunakan sistem dan bahasa daring untuk menyiapkan artikel
untuk publikasi daring dan luring kalau perlu (bukan sebaliknya).
Mungkin
pertanyaan yang lebih besar untuk diajukan sekarang adalah, “Akankah usia
jurnal pencetakan fisik bertahan lebih lama?” Hari ini, daripada mengambil
pendekatan berbasis cetak untuk penerbitan, jurnal akan lebih baik untuk
berpikir secara digital. Melakukan hal itu akan memiliki dampak yang lebih luas
daripada menyederhanakan proses penerbitan mereka sendiri. Dengan menggunakan
teknologi modern, organisasi akademik memiliki kekuatan untuk dengan mudah
menerbitkan penelitian akses terbuka sendiri. Dengan demikian, mulai memecah
konglomerat penerbit korporat yang mengendalikan sebagian besar makalah
penelitian dan penetapan harga artikel berbayar. Memang di Indonesia banyak penerbit
akademik bukan milik korporat, melainkan lembaga akademik seperti universitas.
Namun, bagaimana dengan keberadaan Elsevier? Dalam masa depan, saya berharap
bahwa penerbitan jurnal yang dipimpin oleh organisasi atau lembaga akademik dapat
mengurangi biaya dan mempercepat jadwal produksi informasi secara dramatis serta
membuat setiap tahap lebih transparan guna membuka jalan bagi model penerbitan
akses terbuka yang lebih berkelanjutan.
K.Rb.Kl.061041.290420.01:13
— ΛLΟBΑΤИIƆ, a huge fans of 2NE1 then BLΛƆKPIИK